Tampilkan postingan dengan label FIQIH..... Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH..... Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Oktober 2014

Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban

Bismillahirrohmaanirrohim
Di hari raya Adhha, kaum muslim menyembelih qurban. Biasanya yang ingin berqurban menyerahkan qurbannya ke panitia qurban baik di mesjid atau di tempat-tempat lainnya. Sering kita temukan dalam proses pembagian daging qurban, kulit dan kaki hewan qurban tidak di bagikan, tetapi oleh panitia di kumpulkan kemudian di jual kepada pihak penampung kulit hewan.

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya menjual kulit atau daging hewan qurban?

Jawab:
Hewan qurban tidak boleh di jual, baik dagingnya, kulit dan juga tulangnya.
Pada qurban sunat, kulitnya boleh di sadaqahkan dan boleh juga di manfaatkan oleh orang yang berkurban untuk berbagai macam keperluannya (selain di jual atau di sewakan). Bila di jual, penjualan tersebut tidak sah.
sedangkan qurban wajib, kulitnya wajib di sadaqahkan semuanya, tidak boleh di manfaatkan untuk keperluan orang berqurban.
Bagi penerima yang miskin boleh saja setelah ia terima ia jual, sedangkan bila ia orang kaya, maka setelah ia terima tidak boleh ia jual, bagi orang kaya qurban yang diterima hanya di bolehkan untuk di konsumsi sendiri dan keluarga atau di sedeqahkan atau di hidangkan sebagai jamuan bagi tamu yang datang sebagaimana dalam ketentuan orang kaya menerima daging kurban. Ini merupakan pendapat yang kuat.
Selain itu kulit hewan qurban juga tidak boleh di jadikan sebagai upah bagi penyembelih qurban. Namun boleh saja di berikan kepada penyembelih tetapi bukan sebagai upah sembelihan.

Nash Kitab Mu`tabarah:
Hasyiah Qalyubi `ala Mahalli Jilid 4 hal 255 Dar Fikr

ويتصدق بجلدها أو ينتفع به) في الاستعمال، وله إعارته دون بيعه وإجارته
قوله: (ويتصدق) هو ومثله وارثه بجلدها قال شيخنا: ولو على من تلزمه نفقته ولا يجوز بيعه ولا إجارته وتجوز عاريته، ولآخذه التصرف فيه لا بنحو بيع ولا يجوز إعطاؤه أجرة للجوار. وجوز بعضهم لمن يأخذه التصرف بالبيع وغيره، وهو وجيه إن كان الذي أخذه من الفقراء كما في مر اللحم وإلا فلا فليراجع،

Tuhfatul Muhtaj dan Hasyiah Ubadi Jilid 9 hal 365 Dar Fikr

ويتصدق بجلدها) ونحو قرنها أي المتطوع بها وهو الأفضل للاتباع (أو ينتفع به) أو يعيره لغيره ويحرم عليه وعلى نحو وارثه بيعه كسائر أجزائها وإجارته وإعطاؤه أجرة للذابح بل هي عليه للخبر الصحيح «من باع جلد أضحيته فلا أضحية له» ولزوال ملكه عنها بالذبح فلا تورث عنه لكن بحث السبكي أن لورثته ولاية القسمة والنفقة كهو ويؤيده قول العلماء له الأكل والإهداء كمورثه أما الواجبة فيلزمه التصدق بنحو جلدها
قوله نحو بيعه) ليس فيه إفصاح ببطلانه وقضية قوله لزوال ملكه عنها لبطلان

Hasyiah Bujairimi `ala Khatib Jilid 4 Hal 338 Dar Fikr

ولا يبيع من الأضحية شيئا) ولو جلدها أي يحرم عليه ذلك ولا يصح سواء أكانت منذورة أم لا. وله أن ينتفع بجلدأضحية التطوع كما يجوز له الانتفاع بها. كأن يجعله دلوا أو نعلا أو خفا والتصدق به أفضل. ولا يجوز بيعه ولا إجارته لأنها بيع المنافع لخبر الحاكم وصححه: «من باع جلد أضحيته فلا أضحية له» ولا يجوز إعطاؤه أجرة للجزار، وتجوز إعارته، كما له إعارتها. أما الواجبة فيجب التصدق بجلدها.

=============================================
Sumber :http://lbm.mudimesra.com/


Rabu, 13 Agustus 2014

Hukum asuransi dalam Islam

Bismillahirrohmaanirrohim
Hukum asuransi dalam Islam
Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri.

Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam

Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.

Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.

Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )  Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.

Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992:

” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan “

Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :

I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :

1.    Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial

2.    Asuransi Sosial ( Ta’min  Ijtima’i ) , yaitu asuransi ( jaminan )  yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan  dan lain-lain.   [1]

Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan  kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.

Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan. [2]

II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.

Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :

1.    Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )

2.    Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan

Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :

Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )

Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.

Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )

Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.

Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk  [3] :

1.       Term assurance (Asuransi Berjangka)

Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode

waktu tertentu.

Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance)  :

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 1 tahun
Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.       Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) 

Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.

3.       Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) 

Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.

Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 10 tahun
Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
1.      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta

IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.

Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :

1.    Asuransi Konvensional

2.    Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator. [4]

Hukum Asuransi
Hukum Asuransi menurut Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :

Pertama : Ansuransi Ta’awun

Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut [5] :

Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang  menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan  ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.

Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.

Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.

Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.

Kedua : Asuransi Sosial

Begitu juga asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :

Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu. 

Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan  hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.

Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga

Adapun untuk Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut [6] :

Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad  secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :

َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

” Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787  )

Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah  ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang,  juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Maidah: 90).

Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para ulama.

Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur  rihan ( taruhan )  yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta  perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“ Tidak ada perlombaan  kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau  yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )

Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.

Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).

Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan  bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional.[7]

Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :

Dari Sisi Prinsip Dasar

Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ), yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan ditanggung secara penuh oleh pengelola.

Dari Sisi Akad

Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).

Dari Sisi Kepimilikan Dana

Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri. Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah ( bagi hasil ). Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana.

Dari sisi obyek

Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan juga hotel-hotel yang tidak syariah.  Adapun Asuransi Konvensional tidak membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.

Dari Sisi Investasi Dana.

Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).

Dari Sisi Pembayaran Klaim.

Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ ( dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi pengeluaraan perusahaan.

Dari Sisi Pengawasan.

Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.

Dari sisi dana zakat, infaq dan sadaqah.

Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal istilah zakat.



Perkembangan Asuransi di Indonesia [8]

Asuransi Jiwa Konvensional pertama kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas.  Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra. Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat hingga  tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah : American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.

Adapun asuransi Syariah pertama kali di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful. Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34 perusahaaan lebih.

Rata-rata asuransi Syariah yang disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu  . Yang benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah adalah  PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994.   Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance, adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syariah adalah : PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas.*



Catatan Kaki:

[1] DR, Syekh Husain bin Muhammad al Malah, Al fatwa Nasyatuha wa Tathuwuruha, Hal. 909

[2] http://www.asuransicerdas.com/

[3] http://pojokasuransi.com

[4] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2

[5] Keputusan Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya’ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah,  dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.

[6] Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,

[7] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2-5

[8] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 69-73



Penulis: DR. Ahmad Zain An-Najah

===============================================================
Sumber : - See more at: http://www.arrahmah.com/read/2011/12/15/16834-hukum-asuransi-dalam-islam.html#sthash.xd2MU4H1.dpuf

Kamis, 05 Juni 2014

HIKMAH MENCUKUR BULU KEMALUAN DARI SISI MEDIS : MENCEGAH TUMBUHNYA KUTU KEPITING

Bismillahirrohmaanirrohim



Dasarnya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,

وقت لنا في قص الشارب وتقليم الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة أن لا نترك أكثر من أربعين ليلة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.”

(HR. Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa’i)

Subhanallah, baru ini kami membaca tentang artikel tentang KUTU KEPITING yang dialami oleh sebagian orang. Ternyata kutu ini hidup dan berkembang biak di daerah yang berbulu lebat dan lembab. Kebanyakan orang yang mengalaminya pun yaitu orang yang jarang mencukur bulu kemaluan dan menjaga kebersihannya.

Seketika jadi teringat hadist Nabi diatas dan hikmah dibalik sunnah yang mulia ini.

Kutu kelamin (Pediculosis Pubis) atau sering disebut dengan kutu kepiting (crabs) adalah serangga parasit yang ditemukan terutama di daerah kemaluan atau alat kelamin manusia. Istilah kepiting diberikan karena tampilan mikroskopiknya yang menyerupai kepiting.

Kutu kemaluan berwarna abu-abu, oval, Arthropoda berkaki enam. Setiap 1 sampai 2 mm, membuat kutu kemaluan kecil dari kutu kepala, yang merupakan spesies yang berbeda. Kutu kemaluan bertelur (nits disebut) pada kasar rambut-rambut tubuh yaitu, kemaluan, rambut perianal, rambut paha, rambut perut dan rambut ketiak. Kutu dewasa hidup dengan menghisap darah dan tidak bergerak jauh dari telur mereka (Frenkl & Potts, 2007; Leone, 2007; Link, 2007)

Gejala infeksi kutu kelamin:

1. Gatal dan terbakar di daerah kemaluan

2. Gatal dapat menyebar karena kutu kelamin bergerak ke daerah basah lain dari tubuh seperti ketiak

3. Gatal akan memburuk pada malam hari

4. Menggaruk intens dan lama dapat mengakibatkan kulit terluka dan dapat menjadi terinfeksi oleh bakteri.

Sumber : Mengenal Konspirasi Yahudi dan Memperdalam Islam
Penulis : Redaksi Salam Dakwah
http://goo.gl/cRdllK

Jumat, 30 Mei 2014

Terlalu Was-Was Dalam Niat Shalat

Bismillahirrohmaanirrohim



Di Masjid Nabawi, kami beberapa kali melihat jama’ah dari Indonesia, mengulang-ulang takbiratul ihram beberapa kali. Sebuah pemandangan yang belum pernah kami dapatkan dari jama’ah negara lain, walaupun sama-sama bermadzhab Syafi’i.

Rasa iba selalu hinggap di hati, bila melihat pemandangan tersebut. Karena saya yakin hal itu didasari ketidak-tahuannya terhadap pendapat madzhab Syafi’i yang mu’tamad.

Oleh karena itu, mari kita simak perkataan Imam An Nawawi -rahimahullah- dalam masalah ini:

واختار إمام الحرمين والغزالي في البسيط وغيره انه لا يجب التدقيق المذكور في تحقيق مقارنة النية وأنه تكفي المقارنة العرفية العامية بحيث يعد مستحضرا لصلاته غير غافل عنها اقتداء بالأولين في تسامحهم في ذلك وهذا الذي اختاراه هو المختار والله أعلم

“Imamul Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Basith, dan (ulama madzhab Syafi’i) yg lainnya memilih pendapat, bahwa: tidaklah diwajibkan untuk terlalu detail dalam hal membarengkan niat dengan takbir seperti yang disebutkan (yakni: bahwa niat harus benar-benar berbarengan dg takbiratul ihram dari awal takbir, hingga akhir takbir).

Tetapi niat sudah cukup dengan ‘muqaranah urfiyyah aammiyah‘ (yakni kebersamaan yg biasa dan dimampui oleh orang awam), yang penting ia sudah dianggap menghadirkan kesadarannya akan sholatnya dan tidak dianggap lalai dari sholatnya, (dalil dalam hal ini adalah) karena mengikuti generasi awal umat Islam dalam sikap mereka yg toleran dalam masalah ini.

Dan pendapat yg dipilih oleh dua orang ini, adalah pendapat yang terpilih (dalam madzhab syafi’i), wallahu a’lam“. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277-3278)

Bahkan sebagian pengikut madzhab Syafi’i mengatakan bahwa: bahwa niat harus mendahului amal ibadah, agar tidak ada sebagian ibadah yg kosong dari niat. Imam Nawawi -rahimahullah- mengatakan:

قول أبي منصور ابن مهران شيخ أبي بكر الأودني يجب أن يقدم النية على أول التكبير بشئ يسبر لئلا يتأخر أولها عن أول التكبير

“Pendapatnya Abu Manshur Ibnu Mahran gurunya Abu Bakar Al-Audni: Bahwa niat wajib mendahului awal takbiratul ihram dengan waktu yang sedikit, agar awal niatnya tidak terlambat dari awal takbirnya”. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277)

Bahkan Imamul Haramain (Al-Juwaini) -rahimahullah- mengatakan:

فأما التزام حقيقة مصادفة الوقت الذي يذكره الفقيه، فممّا لا تحويه القدرة البشرية

“Adapun mengharuskan barengnya niat dengan waktu takbir sebagaimana disebutkan oleh ahli fikih, maka itu termasuk sesuatu yang tidak dimampui oleh manusia” (Nihayatul Mathlab, karya Al-Juwaini, 2/117)

Semoga bermanfaat…

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini Lc., MA.
==================================================

Sumber   : Artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 22 Maret 2014

APA HUKUM MEMINUM DARAH KOBRA DAN MAKAN EMPEDUNYA UNTUK OBAT?

Bismillahirrohmaanirrohim

Dari pemahaman dan penelitian terhadap Al-Qur’an dan Hadits, para ulama fiqih telah mengadakan pengelompakan mengenai apa yang boleh dimakan / minum dan tidak. Secara garis besar sesuatu yang diharamkan karena 6 faktor:

1. Diperoleh secara ilegal

2. Najis

3. Memabukkan

4. Membahayakan bagi tubuh manusia

5. Binatang buas

6. Menjijikkan (Ahkam al Hikmah al Syari’ah alIslamiyah: 113-116)

Pelarangan mengkonsumsi beberapa jenis makanan maupun minuman tidak lain kecuali untuk kemaslahatan manusia sendiri. Apa yang disyariatkan oleh Allah SWT, pasti mengandung hukmah. Sedangkan yang dilarang pasti mengandung kemadlaratan. Dalam hal ini Islam mengambil jalan tengah, hanya melarang perkara yang perlu dilarangdan memperbolehkan apa-apa yang semestinya diperbolehkan. Apa yang membawa dampak positif diperbolehkan, sebaliknya yang membawa dampak negatif tidak diperbolehkan. Jadi, Islam tidak memperbolehkan semua, tidak pula melarang semua. Tidak terlal longgar juga tidak terlalu sempit.

Pada sisis lain, manusia tidak diciptakan di dunia ini melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT dan memakmurkan bumi. Untuk itu dia perlu mempertahankan hidupnya. Karenanya manusia membutuhkan makanan dan minuman sebagai sumber energi serta kesehatan. Padahal penyakit adalah awal dari kematian jika sudah amat parah dan tidak bisa diobati. Bukankah penyakit merupakan kematian kecil?

Menurut ajaran Islam, mempertahankan hidup wajib hukumnya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Al Baqarah; 195. Artinya: “Dan belanjakanlah harta bendamu dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam binasaan, dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Untuk kepentingan mempertahankan hidupnya, dalam keadaan darurat, seseorang tidak hanya diperbolehkan bahkan diwajibkan memakan benda yang diharamkan dalam keadaan normal. Dalam keadaan terpaksa perkara yang dilarang menjadi diperbolehkan.

Oleh karena itu, sebagaimana untuk menolak lapar dan dahaga dalam keadaaan darurat diperbolehkan makan dan minum barang haram, diperkenankan pula mengkonsumsi barang haram untuk keperluan pengobatan, kecuali minuman keras.

Dengan begitu, minum darah kobra dapat dijadikan sebagai pengobatan alternativ. Mengingat pembolehan ini termasuk rukhshah, maka harus memenuhi dua persyaratan:

1. Tidak ada alternatif lain yang halal

2. Menurut dokter yang berkompeten, darah ular kobra efektif menyembuhkan penyakit yang diderita.

Memang ada juga ulama yang tidak membolehkan berobat dengan barang haram(darah ular kobra). Mereka berpegang pada sebuah hadits yang artinya,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan pada sesuatu yang dihramkan atas kalian”.

Hadits ini secara eksplisit membatasi pengobatan pada hal-hal yang diharamkan. Barang haram merupakan sumber penyakit, bukan sumber kesehatan.

Dua kondisi yang tampak bertentangan ini dikompromikan oleh para ulama dengan mengadakan perbedaaan antara dengan keadaan terpaksa dan tidak. Kalau terpaksa diperbolehkan, jika tidak terpaksa maka dilarang. Keterpaksaan dalam konteks pengobatan barang haram, bearti tidak diketemukannya obat dari bahan yang halal dalam penyakit tertentu.

Refrensi:
http://kesehatan.kompasiana.com/

Sabtu, 15 Maret 2014

Hukum Mendengarkan Lagu atau Musik dalam Islam

Bismillahirrohmaanirrohim

PROLOG
Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada hukumnya.

DALIL

Surah Luqman: (6):
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
Surah An-Najm: (59-61):
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi)
Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik”(HR. Al-Bukhari, 10/5590).


PENDAPAT

Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi lalai.”
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.
Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.
Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.

ANALISA

Al-Quran tidak menjelaskan hukum lagu atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam (syariat).

Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.

Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini tentu dilarang.

Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.

Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick dkk, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.

KESIMPULAN

Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika sebaliknya.

Refrensi :
http://hukum-islam.com/

Sabtu, 22 Februari 2014

PERINGATAN HAUL

Bismillahirrohmaanirrohim
Pengertian Haul
Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan.


Tujuan Diadakannya Peringatan Haul
Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para haba'ib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus.


Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haul
a.    Ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah thayyibah serta membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dan do’a bersama di makam;
b.    Diadakan majlis ta'lim, mau'idzoh hasanah dan pernbacaan biografi sang tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau haba’ib;
c.    Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan niat selamatan/shodaqoh ‘anil mayit.

Hukum Mengadakan Peringatan Haul
Selama dalam peringatan haul itu tidak ada hal yang menyimpang dari tujuan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi atau yang difatwakan oleh para ulama, maka haul hukumnya jawaz (boleh). Jadi, salah besar jika ada orang yang mengatakan bahwa secara mutlak peringatan haul itu hukumnya haram atau mendekati syirik.

Dalil diperbolehkannya Peringatan Haul
Berikut ini ada beberapa dalil syar’i yang berkaitan dengan masalah peringatan haul dengan serangkaian mata acaranya.
a.    Hadits riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam kitab Nahjul Balaghoh hal. 399
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزور قتلى أحد في كل حول، وإذا لقاهم بالشعب رفع صوته يقول : السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار. وكان أبو بكر يفعل مثل ذلك وكذلك عمر بن الخطاب ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهم. [رواه الواقدي]
Artinya:
“Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada’ Uhud pada setiap tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau mengucapkan dengan suara keras “semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat kesudahan”. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut”.

b.    Hadits riwayat Imam Thabrani dan Imam Baihaqi :
ما جلس قوم يذكرون الله تعالى فيقومون حتى يقال لهم قوموا قد غفر الله لكم ذنوبكم وبدلت سيئاتكم حسنات. [رواه الطبراني والبيهقي]

Artinya :
“Tiada suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir kepada Allah kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada mereka “bubarlah kamu”, sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu dan kejahatan-kejahatanmu telah diganti dengan kebaikan-kebaikan”. (HR. Thabarani dan Baihaqi)
c.    Hadits riwayat Imam Dailami :
ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى الجنة. [رواه الديلمي] اهـ الجامع الصغير : 158
Artinya :
“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kuburitu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)
d.    Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman al-Jaziri) dalam kitabnya al-fiqih ala madzahibil arba’ah :
وينبغي للزائرالاشتغال بالدعاء والتضرع والاعتبار بالموتى وقراءة القرآن للميت، فإن ذلك ينفع الميت على الأصح. اهـ [الفقه على مذاهب الأربعة 1/540]
Artinya :
“Sangat dianjurkan bagi orang yang berziarah kubur untuk bersungguh-sungguh mendo’akan kepada mayit dan membaca Al-Qur’an untuk mayit, karena semua itu pahalanya akam bermanfaat bagi mayit. Demikian itu menurut pendapat ulama yang paling shahih”.
Memang begitulah doktrin Ahlussunnah wal Jamaah tentang ziarah kubur dan haul. Kedua-keduanya merupakan salah satu dari sekian banyak cabang amalan qurbah yang dianjurkan dalam agama. Namun dibalik itu ada hal yang patut disayangkan karena di dalam pelaksanaannya sering terjadi kemaksiatan yang sangat mencolok yang dilakukan oleh warga kita sewaktu menghadiri acara tadi, yakni berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan dalam satu tempat : di sarean sewaktu mereka berziarah kubur, berjubel-jubel dalam satu ruangan sewaku hadir pada acara haul atau berjejal-jejal dalam satu kendaraan (truk) yang mengangkat sewaktu mereka berangkat dan pulang dari tempat acra dll.
Maka alangkah bijaknya jika masing-masing oknum, baik panitian atau warga yang hadir mau memperhatikan fatwa ulama klasikk yang menaruh rasa saying kepada umat dengan maksud agar amaliyh mereka ini tidak tercemar denan noda-noda kemaksiatan.
Tersebut dalam kitab Al-Fatawil Kubro juz II hal 24 :
(وسئل) رضي الله عنه عن زيارة قبور الأولياء في زمن معين مع الرحلة إليها هل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كثيرة كاختلاط النساء بالرجال وإسراج السرج الكثيرة وغير ذلك (فأجاب) بقوله : زيارة قبور الأولياء قرية مستحبة ... إلى أن قال : وما أشار إليه السائل من تلك البدع أوالمحرمات، القربات لا تترك لمثل ذلك بل على الإنسان فعلها وإنكار البدع بل وإزالتها إن أمكنه. وقد ذكر الفقهاء في الطواف المندوب فضلا عن الواجب أنه يفعل ولو مع وجود النساء وكذا الرمل، لكن أمروه بالبعد عنهن وينهى عما يراه محرما، بل ويزيله إن قدر كما مر. اهـ
Artinya :
“Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kubur para wali pada saat tertentu dan menuju ke kuburan itu, apakah itu diperbolehkan, sedangkan di situ terjadi banyak mafsadah/kemaksiatan, seperti berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan, menyalakan lampu dalam jumlah yang banyak dan lain sebaigainya. Beliau menjawab : ziarah kubur para wali adalah suatu amal kebaikan yang dianjurkan ….. sampai kata-kata kiyai mushonnif : apa yang diisyaratkan oleh si penanya berupa tindakan bid’ah atau hal-hal yang diharamkan, jangan menjadi sebab ditinggalkannya kebaikan tersebut. Bagi seseorang tetaplah melakukannya dan ingkar/benci terhadap pelanggaran dan menghilangkannya, kalau memang memungkinkan. Para fuqaha’ menyebutkan mengenai thawaf sunat apalagi thawaf wajib agar dilakukan walaupun di situ ada banyak perempuan demikian pula lari-lari kecil. Namun mereka memerintahkan agar menjauh dari para perempauan tersebut. Demikian pula ziarah kubur tetap dilakukan akan tetapi jauhilah (berdesak-desakan dengan) kaum wanita dan cegahlah dan kalau bisa hilangkanlah hal-hal yang diharamkan seperti keterangan yang telah lewat.

Ref:
http://ahlussunah-wal-jamaah.blogspot.com/

Sabtu, 08 Februari 2014

Atsar Thaawuus tentang Anjuran Tahlilan 7 Hari Berturut-Turut

Bismillahirrohmaanirrohim




Abu Nu’aim rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا أَبِي، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: ” إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ “

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami Al-Asyja’iy, dari Sufyaan (Ats-Tsauriy), ia berkata : Telah berkata Thaawus : “Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7 hari. Dulu mereka[1] menyukai untuk memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’ 4/11].

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hajar[2] rahimahullah dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 834.

Keterangan para perawinya adalah sebagai berikut :

1.     Abu Bakr bin Maalik, namanya adalah : Ahmad bin Ja’far bin Hamdaan bin Maalik bin Syabiib Al-Baghdaadiy Al-Qathii’iy Al-Hanbaliy, Abu Maalik; seorang yang tsiqah. Lahir tahun 274 H dan wafat tahun 368 H [Lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/210-213 dan Mishbaarul-Ariib 1/75 no. 1316].

2.     ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 290 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 490 no. 3222].

3.     Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang imam yang tsiqah, haafidh, faqiih, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 164 H, dan wafat tahun 241 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 98 no. 97].

4.     ‘Ubaidullah bin ‘Ubaidirrahmaan Al-Asyja’iy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun – orang yang paling tsabt kitabnya dalam riwayat dari Ats-Tsauriy. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 182 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 642 no. 4347].

5.     Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].

6.     Thaawuus bin Kaisaan Al-Yamaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Humairiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 106 H, dan dikatakan juga setelah itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 462 no. 3026].

Dapat kita lihat bahwa para perawi riwayat di atas adalah tsiqaat. Namun, rijaal tsiqaat tidaklah langsung menjadikan satu riwayat shahih[3] karena ternyata riwayat tersebut ma’luul lagi dla’iif.

Sufyaan Ats-Tsauriy lahir pada tahun 97 H di Kuufah, sedangkan Thaawuus bin Kaisaan wafat 106 H di Makkah. Hingga tahun wafatnya Thaawuus, Sufyaan belum melakukan rihlah ke Makkah[4]. Selain itu, tidak masyhur penukilan bahwa Thaawuus termasuk syuyuukh Ats-Tsauriy rahimahumallah.

Ada riwayat lain :

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ ” إِنَّمَا يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، أَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، وَأَمَّا الْكَافِرُ: فَلا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ، وَلا يَعْرِفُهُ “

Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar : “Dua orang yaitu orang mukmin dan munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari. Orang munafiq selama empat puluh hari. Adapun orang kafir, maka jangan ditanya dari Muhammad, ia tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/590 no. 6757].

Riwayat lemah karena munqathi’. Ibnu Juraij tidak pernah bertemu dengan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, Ibnu Juraij sendiri seorang yang tsiqah namun sering melakukan tadlis dan irsaal.[5]

Riwayat yang shahih yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah :


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ. ح وحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو الْفَضْلِ، قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: ” كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ “

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Husyaim (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Syujaa’ bin Makhlad Abul-Fadhl, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim, dari Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy, ia berkata : “Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612].

Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/307-308 no. 2279.

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja Husyaim seorang mudallis[6] dan di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah. Husyaim mempunyai mutaba’ah dari Nashr bin Baab sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[7] 2/204.

Nashr bin Baab seorang yang lemah[8].

Riwayat di atas dikuatkan oleh :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ طَلْحَةَ، قَالَ: قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: ” هَلْ يُنَاحُ قِبَلُكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ: لَا ” قَالَ: ” فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عندَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: نَعَمْ “، فَقَالَ: ” تِلْكَ النِّيَاحَةُ “

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah, ia berkata : Jarir mendatangi ‘Umar, lalu ia (‘Umar) berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan makan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/487].

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja ada kekhawatiran keterputusan antara Thalhah dengan Jariir. Ada syaahid yang lain :

ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ، قَالَ: أنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أنا عُمَرُ أَبُو حَفْصٍ الصَّيْرَفِيُّ، وَكَانَ ثِقَةً، قَالَ: ثنا سَيَّارٌ أَبُو الْحَكَمِ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَمَا يُدْفَنُ مِنَ النِّيَاحَةِ “

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Abi Hafsh Ash-Shairaafiy – dan ia seorang yang tsiqah – ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sayyaar Abul-Hakam, ia berkata : Telah berkata ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu : “Dulu kami menganggap berkumpul-kumpul di sisi keluarga mayit setelah si mayit dikuburkan termasuk niyahah (meratap)” [Diriwayatkan oleh Aslam bin Sahl dalam Taariikh Waasith hal. 26 no. 206].

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja Sayyaar tidak pernah bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.

Oleh karena itu, dengan keseluruhan jalan riwayatnya, atsar Jariir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhu adalah shahih.[9]

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :

وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، ….

“Dan aku membenci perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan aku juga membenci[10] berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si mayit)…” [Al-Umm, 1/248].

Kesimpulan : Tahlilan sampai tujuh hari ternyata (BUKAN) tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi’in.

Wallaahu a’lam.

Semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai – 15122012 – 22:24 – revisi : 16122012, 17:00].





[1]      ‘Mereka’ yang dimaksudkan oleh Thaawus di sini adalah sebagian shahabat dan taabi’iin yang semasa dengannya.

[2]      Riwayatnya adalah :

وَقَالَ أَحْمَدُ فِي الزُّهْدِ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: ” إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، وَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامَ “

[3]      Baca artikel : Apa perbedaan antara istilah hadits shahih, hadits shahihul-isnad, dan hadits rijaaluhu tsiqaat ?.

[4]      Bahkan ia (Sufyaan) belum keluar dari negerinya (Kuufah).

أَخْبَرَنَا ابن رزق، قال: أَخْبَرَنَا عثمان بن أحمد، قال: حَدَّثَنَا حنبل بن إسحاق، قال: قال أبو نعيم: خرج سفيان الثوري من الكوفة سنة خمس وخمسين ومائة ولم يرجع، ومات سنة إحدى وستين ومائة، وهو ابن ست وستين فيما أظن

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Rizq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq, ia berkata : Telah berkata Abu Nu’aim (Al-Fadhl bin Dukain) : “Sufyaan Ats-Tsauriy keluar dari Kuufah pada tahun 155 H, dan kemudian ia tidak kembali lagi. Ia meninggal tahun 161 H dalam usia 66 tahun sebagaimana yang aku kira” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad, 10/242 - biografi Sufyaan Ats-Tsauriy].

Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat.

[5]      ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy – terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].

Ia tidak pernah berjumpa seorang pun dari kalangan shahabat [Jaami’ut-Tahshiil, hal. 229-230 no. 472].

[6]      Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim bin Diinaar As-Sulamiy, Abu Mu’aawiyyah bin Abi Khaazim; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy. Termasuk thabaqahke-7, lahir tahun 104/105 H, dan wafat tahun 183 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1023 no. 7362].

[7]      Riwayatnya adalah :

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ بَابٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: ” كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ “

[8]      Beberapa ulama mengkritiknya dengan keras, seperti Ibnu Ma’iin, Zuhair bin Harb, Abu Haatim, Juzjaaniy, dan yang lainnya. Akan tetapi Ahmad bin Hanbal mentautsiqnya dan membelanya saat mengetahui beberapa ulama mendustkannya. Ia (Ahmad) mengatakan bahwa Nashr bin Baab diingkari para ulama saat ia (Nashr) meriwayatkan dari Ibraahiim Ash-Shaaigh. Ibnu Sa’d juga mengatakan hal yang sama dengan Ahmad. Ahmad adalah ulama yang terkenal muta’addil dalam urusan al-jarh wat-ta’diil, dan ia juga termasuk orang yang paling tahu mengenai gurunya, Nashr bin Baab, sehingga mengambil riwayat darinya. Namun bukan berarti jarh para ulama kepada Nashr tidak memberikan pengaruh. Nashr adalah seorang yang dla’iif yang riwayatnya dapat digunakan sebagai i’tibaar, hanya saja tidak benar tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Wallaahu a’lam.

[9]      Atsar Jariir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu tersebut dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285, Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih 1/241, Al-Buushiiriy dalam Zawaaidu Ibni Maajah  hal. 236, Ibnu Hajar Al-Haitamiy dalam Tuhfatul-Muhtaaj 3/207, Asy-Syaukaaniy dalam As-Sailul-Jaraar 1/372, dan yang lainnya.

[10]     Makna ‘makruh’ dalam perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahullah di sini adalah tahriim (pengharaman), karena sebelumnya ia juga mengatakan tentang makruhnya perbuatan niyaahah (meratap). Perkataan itu satu rangkaian. Meratap sendiri sudah jelas hukumnya, yaitu haram, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ، الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan niyaahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 67].

Ummu ‘Athiyyah berkata :

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ “

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami dari perbuatan niyaahah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3127; shahih].

Ref :

1.http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/12/atsar-thaawuus-tentang-anjuran-tahlilan.html
2.http://al-atsariyyah.com/atsar-thaawuus-tentang-anjuran-tahlilan-7-hari-berturut-turut.html


Senin, 03 Februari 2014

Hukum Asuransi dalam Pandangan Islam

Bismillahirrohmaanirrohim
Hukum Asuransi dalam Pandangan Islam
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang hukum kehalalan sistem asuransi. Sebagian mengharamkannya, sebagain lagi menghalalkannya. Dan di antara keduanya, ada yang memilah hukumnya, dalam arti tidak semua haram atau halal, tetapi dilihat secara lebih detail dan luas.

Pendapat Yang Mengharamkan

1. Disimpulkan Bahwa Asuransi Sama Dengan Judi

Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al Quran telah mengharamkan perjudian, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat berikut:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa“at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa“atnya.” (QS. Al Baqarah: 219)

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al Maidah: 90)

Karena menurut sebagian ulama bahwa pada prakteknya asuransi itu tidak lain merupakan judi, maka mereka pun mengharamkannya. Karena yang namanya judi itu memang telah diharamkan di dalam Al Quran.

2. Disimpulkan Bahwa Asuransi Mengandung Unsur Riba

Sebagian ulama lewat penelitian panjang pada akhirnya mnyimpulkan bahwa asuransi (konvensional) tidak pernah bisa dilepaskan dari riba. Misalnya, uang hasil premi dari peserta asuransi ternyata didepositokan dengan sistem riba dan pembungaan uang.

Padahal yang namanya riba telah diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al Quran, sebagaimana yang bisa kita baca di ayat berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al Baqarah: 278)

Maka mereka dengan tegas mengharamkan asuransi konvensional, karena alasan mengandung riba.

3. Disimpulkan Bahwa Asuransi Mengandung Unsur Pemerasan

Para ulama juga menyimpulkan bahwa para peserta asuransi atau para pemegang polis, bila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi. Inilah yang dikataka sebagai pemerasan.

Dan Al Quran pastilah mengharamkan pemerasan atau pengambilan uang dengan cara yang tidak benar.

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.(QS. Al Baqarah: 188)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An-Nisa“: 29)

4. Disimpulkan Bahwa Hidup dan Mati Manusia Mendahului Takdir Allah.

Meski alasan ini pada akhirnya menjadi kurang populer lagi, namun harus diakui bahwa ada sedikit perasaan yang menghantui para peserta untuk mendahului takdir Allah.

Misalnya asuransi kematian atau kecelakaan, di mana seharusnya seorang yang telah melakukan kehati-hatian atau telah memenuhi semua prosedur, tinggal bertawakkal kepada Allah. Tidak perlu lagi menggantungkan diri kepada pembayaran klaim dari perusahaan asuransi.

Padahal takdir setiap orang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Quran.

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(QS. Ath-Thalaq: 3)

Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan. (QS. Al Hijr: 4)

Itulah hasil pandangan beberapa ulama tentang asuransi bila dibreakdown isinya. Ada beberapa hal yang melanggar aturan dalam hukum muamalah.

Pendapat Yang Membolehkan

Namun kita juga tahu bahwa ada juga beberapa ulama yang masih membolehkan asuransi, tentunya dengan beberapa pertimbangan. Antara lain mereka mengatakan

Pada dasarnya Al Quran sama sekali tidak menyebut-nyebut hukum asuransi. Sehingga hukumnya tidak bisa diharamkan begitu saja. Karena semua perkara muamalat punya hukum dasar yang membolehkan, kecuali bila ada hAl hal yang dianggap bertentangan.
Karena pada kenyataannya sistem asuransi dianggap dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
Asuransi telah nyata menyantuni korban kecelakaan atau kematian dalam banyak kasus, termasuk juga pada kerusakan atau kehilangan harta benda, sehingga secara darurat asuransi memang dibutuhkan.
Kriteria Asuransi Yang Halal

Asuransi sistem syariah pada intinya memang punya perbedaan mendasar dengan yang konvensional, antara lain:

Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Di mana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (juAl beli antara nasabah dengan perusahaan).
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

Redaktur: Shabra Syatila
Sumber: rumahfiqih.com

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...