Bismillahirrohmaanirrohim
Ahlul Kitab Menurut Imam Syafi’i
Istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah).
Dalam hal ini Imam Syafi’i (w. 204 H) menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab hanya terbatas pada dua golongan saja, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel. Sedangkan diluar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, menurut Imam Syafi’i, tidak termasuk Ahlul Kitab.
Imam Syafi’i berargumen bahwa Nabi Musa a.s dan Isa a.s hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel (hal ini menunjukkan bahwa objek seruan Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s yang diutus hanya Bani Israel). (Tafsir Imam Syafi’i , vol. II,hlm. 56 )
Adapun agama Majusi (Zoroaster) , menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam kategori Ahlu kitab (Al-Umm : Vol.V, hlm. 405 ). Hal itu karena Majusi tidak diturunkan kepadanya Kitab, dan juga tidak mengikuti salah satu dari agama Yahudi maupun Nasrani. Dengan demikian, kaum Muslim tidak dihalalkan menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan tidak dapat pula mengawini wanita-wanita mereka, walaupun dalam masalah membayar jizyah ( pajak ), keudukan Majusi dan Ahlul Kitab dianggap sama.
Ini disebabkan adanya pengecualian secara khusus, sebagaimana terdapat dalam hadist Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Syafi’i, bahwa suatu ketika ditanyakan kepada Umar r.a. tentang perlakuan terhadap Majusi dalam masalah jizyah, Umar pun terdiam ( tawaquf ), sampai datang kepadanya Abdurrahman bin Auf, seraya bersaksi, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Perlakukanlah mereka ( kaum Majusi ) sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab.” Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: “tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini wanita mereka.” Hal ini juga dikuatkan oleh guru Imam Syafi’i yaitu Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, hadis ke-42.
Jadi, tegas Imam Syafi’i. dapat disimpulkan bahwa Ahlul Kitab hanya terbatas pada kedua golongan saja yaitu Yahudi dan Nasrani, sementara Majusi (Zoroaster) tidak termasuk di dalamnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah: “(Kami turunkan Al-Qur’an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS Al-An’am [6]: 156).
Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, istilah Ahlul Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai Ahli Kitab. Kaum Majusi, misalnya, meskipun mereka sudah dikenal pada masa Nabi SAW, tetapi mereka tidak disebut sebagai Ahlul Kitab. Namun, Rasulullah saw memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab.
Pendapat Imam Syafi’i senada dengan para ulama besar lainnya, seperti Thabary, al-Qurthuby (w. 671 H) yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan bahwasannya Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab. Pernyataan ini dipertegas juga oleh al-Baghawy (w. 516 H), Ibn Katsir (w. 774 H), dan al-Biqa’iy (w. 885 H) ketika menafsirkan QS al-Bayyinah:1, bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah Yahudi dan Nasrani.
Kajian tentang Ahul Kitab telah menyedot perhatian banyak ilmuwan Muslim, baik yang klasik maupun kontemporer. Salah satu kajian serius dilakukan oleh Dr. Muhammad Azizan Sabjan, dalam disertasinya di International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia yang berjudul The People of the Book and the People of a Dubious Bookin Islamic Religious Tradition.
Disertasi ini juga menyimpulkan, bahwa istilah Ahlul Kitab (the people of the book) pada komunitas pengikut agama Yahudi dan Nasrani. Golongan ini ada dua jenis, yakni true believers yang sejatinya adalah Muslim, karena mereka mengimani kenabian Muhammad saw saat dakwah Nabi saw sampai pada mereka. Golongan lain adalah misbelievers. Inilah yang masuk kategori Ahlul Kitab. “As stressed by al-Ghazali, they are those of the Jews and Christians who are exercising corrupted form of religions.” (***)
Nah, sekarang tentang ahlul kitab, jaman sekarang kita tidak bisa nyebut orang agama lain sebagai ahlul kitab, karena , kita tau kalau injil yang ada pada jaman nabi Isa bukanlah injil yang ada sekarang. Dalam Islam, injil adalah firman Allah sendiri, sedangkan injil yang ada di perjanjian baru ditulis sama murid Yesus, maaf ini kalau tidak salah, tapi yang saya ketahwi ada injil matius, lukas, yohanes, sama markus. saya tidak tau mana yang termasuk 12 murid mana yang bukan, tapi ya itulah intinya. Ada perbedaan pendapat antara Islam dan Kristen tentang injil, jadi yaa, para penganut Kristen saat ini bukanlah ahlul kitab :)
Yaa, sekian dulu aja deh :D :) semoga bermanfaat bagi yang belom tau apa itu ahlul kitab sebenernya :) syukran lakum :)
http://rizkifebi.wordpress.com/2010/08/19/ahlul-kitab/
Ahlul Kitab Menurut Imam Syafi’i
Istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah).
Dalam hal ini Imam Syafi’i (w. 204 H) menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab hanya terbatas pada dua golongan saja, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel. Sedangkan diluar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, menurut Imam Syafi’i, tidak termasuk Ahlul Kitab.
Imam Syafi’i berargumen bahwa Nabi Musa a.s dan Isa a.s hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel (hal ini menunjukkan bahwa objek seruan Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s yang diutus hanya Bani Israel). (Tafsir Imam Syafi’i , vol. II,hlm. 56 )
Adapun agama Majusi (Zoroaster) , menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam kategori Ahlu kitab (Al-Umm : Vol.V, hlm. 405 ). Hal itu karena Majusi tidak diturunkan kepadanya Kitab, dan juga tidak mengikuti salah satu dari agama Yahudi maupun Nasrani. Dengan demikian, kaum Muslim tidak dihalalkan menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan tidak dapat pula mengawini wanita-wanita mereka, walaupun dalam masalah membayar jizyah ( pajak ), keudukan Majusi dan Ahlul Kitab dianggap sama.
Ini disebabkan adanya pengecualian secara khusus, sebagaimana terdapat dalam hadist Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Syafi’i, bahwa suatu ketika ditanyakan kepada Umar r.a. tentang perlakuan terhadap Majusi dalam masalah jizyah, Umar pun terdiam ( tawaquf ), sampai datang kepadanya Abdurrahman bin Auf, seraya bersaksi, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Perlakukanlah mereka ( kaum Majusi ) sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab.” Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: “tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini wanita mereka.” Hal ini juga dikuatkan oleh guru Imam Syafi’i yaitu Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, hadis ke-42.
Jadi, tegas Imam Syafi’i. dapat disimpulkan bahwa Ahlul Kitab hanya terbatas pada kedua golongan saja yaitu Yahudi dan Nasrani, sementara Majusi (Zoroaster) tidak termasuk di dalamnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah: “(Kami turunkan Al-Qur’an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS Al-An’am [6]: 156).
Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, istilah Ahlul Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai Ahli Kitab. Kaum Majusi, misalnya, meskipun mereka sudah dikenal pada masa Nabi SAW, tetapi mereka tidak disebut sebagai Ahlul Kitab. Namun, Rasulullah saw memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab.
Pendapat Imam Syafi’i senada dengan para ulama besar lainnya, seperti Thabary, al-Qurthuby (w. 671 H) yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan bahwasannya Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab. Pernyataan ini dipertegas juga oleh al-Baghawy (w. 516 H), Ibn Katsir (w. 774 H), dan al-Biqa’iy (w. 885 H) ketika menafsirkan QS al-Bayyinah:1, bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah Yahudi dan Nasrani.
Kajian tentang Ahul Kitab telah menyedot perhatian banyak ilmuwan Muslim, baik yang klasik maupun kontemporer. Salah satu kajian serius dilakukan oleh Dr. Muhammad Azizan Sabjan, dalam disertasinya di International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia yang berjudul The People of the Book and the People of a Dubious Bookin Islamic Religious Tradition.
Disertasi ini juga menyimpulkan, bahwa istilah Ahlul Kitab (the people of the book) pada komunitas pengikut agama Yahudi dan Nasrani. Golongan ini ada dua jenis, yakni true believers yang sejatinya adalah Muslim, karena mereka mengimani kenabian Muhammad saw saat dakwah Nabi saw sampai pada mereka. Golongan lain adalah misbelievers. Inilah yang masuk kategori Ahlul Kitab. “As stressed by al-Ghazali, they are those of the Jews and Christians who are exercising corrupted form of religions.” (***)
Nah, sekarang tentang ahlul kitab, jaman sekarang kita tidak bisa nyebut orang agama lain sebagai ahlul kitab, karena , kita tau kalau injil yang ada pada jaman nabi Isa bukanlah injil yang ada sekarang. Dalam Islam, injil adalah firman Allah sendiri, sedangkan injil yang ada di perjanjian baru ditulis sama murid Yesus, maaf ini kalau tidak salah, tapi yang saya ketahwi ada injil matius, lukas, yohanes, sama markus. saya tidak tau mana yang termasuk 12 murid mana yang bukan, tapi ya itulah intinya. Ada perbedaan pendapat antara Islam dan Kristen tentang injil, jadi yaa, para penganut Kristen saat ini bukanlah ahlul kitab :)
Yaa, sekian dulu aja deh :D :) semoga bermanfaat bagi yang belom tau apa itu ahlul kitab sebenernya :) syukran lakum :)
http://rizkifebi.wordpress.com/2010/08/19/ahlul-kitab/