Bismillahirrohmaanirrohim
Oleh Habib Munzir Al mousawa
Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain.
Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.
Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya.
Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.
Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama’ besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?? Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu person pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja
yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa.
Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya.
Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama2 besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata :
“Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya.
Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut.
Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali.
Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global.
Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur.
Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta.
Tambahan Ulama Besar yang dibunuh dengan kejam oleh Wahabi:
Kisah Nyata ; Pembantaian Keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (Pembesar Syafi’iyyah) Oleh Kaum Wahhabi
Kisah ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani yang berhasil lolos dari kejaran Wahhabi. Beliau adalah KH. Thabari Syadzily. Berikut adalah sedikit kisah pembantaian tersebut.
KISAH NYATA : Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (pujangga Indonesia) pun tidak luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau sedang duduk memangku cucunya, kemudian gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa diundang dan langsung membunuh dan membantainya hingga tewas. Darahnya mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang dipangku oleh beliau.Sedangkan keluarganya yang lain di golongan laki-laki dikejar-kejar oleh gerombolan Wahabi untuk dibunuh. Alhamdulillah mereka selamat sampai ke Indonesia dengan cara menyamar sebagai perempuan.
Syaikh Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi bin ‘Ali al-Tanari al-Bantani al-Syafi’i (Salah seorang ulama pembesar Syafi’iyyah)
Oleh Habib Munzir Al mousawa
Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain.
Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.
Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya.
Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.
Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama’ besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?? Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu person pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja
yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa.
Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya.
Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama2 besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata :
“Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya.
Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut.
Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali.
Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global.
Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur.
Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta.
Tambahan Ulama Besar yang dibunuh dengan kejam oleh Wahabi:
Kisah Nyata ; Pembantaian Keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (Pembesar Syafi’iyyah) Oleh Kaum Wahhabi
Kisah ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani yang berhasil lolos dari kejaran Wahhabi. Beliau adalah KH. Thabari Syadzily. Berikut adalah sedikit kisah pembantaian tersebut.
KISAH NYATA : Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (pujangga Indonesia) pun tidak luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau sedang duduk memangku cucunya, kemudian gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa diundang dan langsung membunuh dan membantainya hingga tewas. Darahnya mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang dipangku oleh beliau.Sedangkan keluarganya yang lain di golongan laki-laki dikejar-kejar oleh gerombolan Wahabi untuk dibunuh. Alhamdulillah mereka selamat sampai ke Indonesia dengan cara menyamar sebagai perempuan.
Syaikh Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi bin ‘Ali al-Tanari al-Bantani al-Syafi’i (Salah seorang ulama pembesar Syafi’iyyah)
KH. Thobari Syadzily Mengenakan Jubah Syaikh Nawawi al-Bantani. Baju jubah Syeikh Nawawi bin Umar bin ‘Arobi bin Ali, Tanara – Banten masih tersimpan dengan rapih di rumah saudara sepupu KH. Thobary Syadzily di desa Kampung Gunung Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang, Banten.
Ulama baru yang dibunuh Wahabi adalah Syekh Al Buthi. Seperti biasa, Wahabi tidak pernah mau mengaku meski mereka selalu menghina dgn penuh rasa kebencian thd Syekh Al Buthi dan bergembira ria atas kematiannya.
Al-Buti sendiri yang tahun ini berusia 84 tahun adalah seorang pensiunan dekan dan profesor Fakultas Hukum Islam di Universitas Damaskus. Ia dikenal keras menentang terorisme dan pengkritik pihak asing yang didukung kelompok-kelompok militan, yang ia gambarkan sebagai “para tentara bayaran”.
Seminggu sebelum pembunuhan itu, ia mengatakan dalam ceramahnya, “Kami diserang di setiap jengkal tanah kami, makanan kami, kesucian dan kehormatan perempuan dan anak-anak kami Hari ini kami menjalankan tugas yang sah… yakni kebutuhan mobilisasi untuk melindungi nilai-nilai, tanah air, dan tempat-tempat suci kami, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara tentara nasional dan seluruh bangsa ini”.
Seminggu setelah pembunuhan Al-Buti, ulama Sunni lainnya Syaikh Hassan Saifuddin (80 tahun) secara brutal dipenggal kepalanya di bagian utara Kota Aleppo oleh sekelompok militan yang dibekingi pihak asing dan menyeret tubuhnya di jalanan. Kepalanya ditanam di menara sebuah masjid yang biasa digunakan untuk berkhotbah. Syaikh Saifuddin juga dikenal sebagai seorang anti-milisi, dan penentang perang yang sedang berkecamuk melawan pemerintah Suriah.
========================================================================
Refrensi :
1.https://www.facebook.com/photo.php?fbid=413723665364286&set=a.104389446297711.6773.100001799685063&type=1&theater
2.http://ashhabur-royi.blogspot.com/2011/07/kisah-nyata-pembantaian-keluarga.html
3.http://wahabinews.wordpress.com/2012/06/11/kisah-nyata-pembantaian-keluarga-syaikh-nawawi-al-bantani-al-syafii-pembesar-syafiiyyah-oleh-kaum-wahhabi/
4.http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,43499-lang,id-c,nasional-t,Tokoh+Muslim+dan+Kristiani+Jadi+Target+Teroris+di+Suriah-.phpx
5.http://kabarislam.wordpress.com/2013/04/15/ulama-baru-yang-dibunuh-wahabi/
6.http://kabarislam.wordpress.com/2012/12/21/sejarah-wahabi-dan-muhammad-bin-abdul-wahhab/