Rabu, 26 Juni 2013

SAYYIDUL FUQAHA AL HIJAZ (Pemimpin para ahli fiqh di Makkah dan Madinah)

Bismillahirrohmaanirrohim



Atha’ bin Abi Rabah adalah salah satu ‘alim dari kalangan para tabi’in. Beliau dilahirkan di Yaman pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan. Beliau berasal dari keturunan Habsyi yang berkulit hitam. Atha’ bin Abi Rabah adalah budak dari seorang wanita Mekkah bernama Habibah binti Maisarah bin Abi Hutsaim.

Allah mengkaruniakan kecintaan akan ilmu pada Atha’ bin Abi Rabah. Semasa menjadi budak, dia membagi waktunya menjadi tiga. Sepertiga waktunya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt, sepertiga waktunya untuk mengabdikan diri, melayani majikannya sebaik-baiknya, mengurus segala keperluan majikannya dengan baik, dan sepertiga waktunya dia gunakan untuk mencari ilmu, belajar dan berguru kepada sahabat Rasulullah saw yang bisa dia temui, di antaranya Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Zubair, Abu Hurairah, sehingga dirinya penuh dengan ilmu dan menjadi faqih.

Melihat budaknya yang bersemangat dalam mencari ilmu dan beribadah kepada Allah swt, majikan Atha’ bin Abi Rabah memerdekakannya, berharap agar mendapat ridlo Allah swt dan Atha’ bisa lebih banyak beribadah dan mencari ilmu sehingga bermanfaat untuk umat. Maka Atha’ bin Abi Rabah pun membagi waktunya menjadi dua, beribadah, berkhidmat kepada Allah swt dan mempelajari ilmu. Selama lebih dari 20 tahun, Masjidil Haram menjadi tempat tinggal baginya.

Allah swt meninggikan derajat beliau dengan ilmunya. Di Masjidil Haram tidak ada yang berani memberikan fatwa kecuali Atha’ bin Abi Rabah. Karena ketinggian ilmunya, banyak orang berbondong-bondong dari semua penjuru untuk menimba ilmu, dan meminta fatwa dari beliau. Beliau mendapat julukan SAYYIDUL FUQAHA AL HIJAZ (Pemimpin para ahli fiqh di Makkah dan Madinah). Bahkan diriwayatkan ketika Abdullah bin Umar ke Mekkah untuk umroh, orang-orang mengerumuni beliau untuk bertanya persoalan agama dan meminta fatwa, beliau menjawab, “Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Mekah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya tentang masalah-masalah tersebut padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Abi Rabah?!”.

Atha’ bin Abi Rabah adalah seorang tawadhu’. Imam Ibnu Abi Laila mengatakan, “Aku pernah berjumpa dengan Atha. Lalu ia menanyakan beberapa hal kepadaku. Maka sahabat-sahabat Atha tercengang keheranan seraya mengatakan, ‘bagaimana mungkin engkau yang bertanya kepadanya?’ Atha menjawab, ‘apa yang kalian herankan? Dia orang yang lebih berilmu daripada saya.”

Atha’ bin Abi Rabah mempunyai sifat wara’. Beliau tidak mengatakan sesuatu tanpa dasar ilmu. Diriwayatkan Abu Khaitsamah dari Abdul Aziz bin Rafi’ berkata: “Atha pernah ditanya tentang suatu masalah lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Lalu ada yang mengatakan, “Mengapa engkau tidak menajawab saja pertanyaan tersebut dengan pendapatmu.” Ia menjawab, “Sungguh, aku malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila ada seorang beragama di muka bumi ini hanya berpedoman pada pendapatku.”

Muhammad bin Suqoh mengatakan, “Maukah kalian aku ceritakan sesuatu yang bermanfaat bagi kalian seabagaimana juga bermanfaat bagiku?” Mereka menjawab, “Tentu.” Kemudian ia menceritakan tentang Atha, “Suatu ketika Atha bin Abi Rabah menasihatiku dengan mengatakan, ‘wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita (para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam) membenci banyak bicara.’ Aku pun bertanya, ‘Apa sajakah yang termasuk banyak bicara menurut mereka?’ Ia mengatakan, ‘Sesungguhnya mereka (para sahabat) menganggap banyak bicara apabila seseorang mengatakan perkataan selain kitabullah yang dibaca dan dipahami, atau hadis-hadis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diriwayatkan, atau mengajak kepada yang baik dan mencegah dari yang jelek dan hina, atau berbicara suatu ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau membicarakan kebutuhan hidup. Tidakkah kalian ingat “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” (Q.S. al-Infithor: 10-11).

Lalu ia menasihatkan, “Tidakkah kalian malu seandainya kelak lembaran-lembaran catatan amalan dibentangkan lalu di dalamnya dijumpai kebanyakan perkara-perkara yang bukan termasuk dari bagian agama tidak pula dunia?!!.”

Beliau juga memiliki sifat zuhud terhadap dunia. Pakaian beliau tidak lebih dari 5 dirham. Para khalifah telah mengundangnya supaya dia menemani mereka. Akan tetapi bukan dia tidak memenuhi ajakan mereka, karena mengkhawatirkan agamanya daripada dunianya; akan tetapi disamping itu dia datang kepada mereka jika dalam kedatangannya ada manfaat bagi kaum muslimin atau ada kebaikan untuk Islam.

Seperti dalam peristiwa yang dikisahkan oleh Utsman bin Atha’ Al-Khurasani:

“Aku pergi bersama ayah untuk menghadap Hisyam bin Abdul Malik, Tatkala perjalanan kami telah dekat dengan Damsyik, tiba-tiba kami bertemu dengan orang tua yang menunggangi himar hitam, mengenakan baju lusuh dan jubbah yang telah usang, penutup kepala vang kusut melekat pula di kepalanya. Pelana yang dipakainya terbuat dari kayu murahan, aku tertawa geli karenanya. Lalu aku bertanya kepada ayah: “Siapakah orang ini?’ Ayah berkata: “Diam kamu, ia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.” Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dari himarnva. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk menunggu hingga mendapatkan ijin untuk masuk.

Setelah ayah keluar aku bertanya kepadanya: “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?” Beliau berkata: “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera menyambut dan mempersilahkan kami untuk masuk. Demi Alloh Subhanahu Wata’ala saya tidak akan bisa masuk melainkan karena bersama Atha’. Demi melihat Atha’ Hisyam berkata: “Marhaban! Marhaban! silakan.silakan..beliau terus menyambut: “Silakan ..silakan..!” hingga Hisyam mendudukkan Atha’ di atas kasurnya dan menempel­kan lututnya ke lutut Atha’. Ketika itu majlis dihadiri oleh para bang­sawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka men­jadi diam.

Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara keduanya:

Hisyam: “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”



Atha’: “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluarga Alloh Subhanahu Wata’ala dan tetangga Rosululloh Solallohu “Alaihi Wasallam, hendaknva mendapatkan pem­bagian rezki dan pemberian.”

Hisyam: ‘Baik…wahai penulis, tulis bagi penduduk Mekah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.” (Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’) “Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”

Atha’: “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan pen­duduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”

Hisyam: “Balk …! wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan kelebihan sedekah mereka.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”

Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsugur (yang ribath fii sabililah diperbatasan) mereka berdiri menjaga dari musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”

Hisyam: ‘Baiklah…! wahai penulis, tulislah agar kita mengirim ma­kanan kepada mereka.” Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”

Atha’: “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ke­tundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk menga­lahkan musuh kalian.”

Hisyam: (Berkata kepada penulisnya) “Wahai penulis, tulislah bagi ahli dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui.” Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”

Atha’: “Benar..bertakwalah kepada Alloh Subhanahu Wata’ala atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri, engkaupun akan mati seorang diri, dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Alloh Subhanahu Wata’ala engkau tidak melihat siapapun..!”

Hisyam menundukkan kepalanva sambil menangis, lalu berdirilah Atha’ dan akupun berdiri bersama beliau. Namun, ketika kami me­lewati pintu tiba-tiba ada saeorang membuntuti beliau sambil mem­bawa sebuah bejana yang aku tidak mengetahui apa isinya sembari mengatakan: “Saungguhnya amirul mukminin menyuruhku untuk menyerahkan ini kepada Anda!” Atha’ menjawab: “Tidak!. Lalu beliau membaca ayat:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٠٩)

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (Asy­Syu’ara: 109)

Demi Alloh Subhanahu Wata’ala, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dan sisinya sementara beliau sama sekali tidak minum seteguk air pun.

Sungguh, Alloh Subhanahu Wata’ala memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha’ bin Abi Rabah. Di antara mereka ada yang men­jadi ahli ilmu yang handal, ada yang menjadi pengusaha dan lain-­lain.

Imam Abu Hanifah An-Nu’man menceritakan pengalaman beliau: “Aku pernah melakukan lima kasalahan ketika melakukan manasik di Mekah, lalu seorang tukang cukur mengajariku. Peristiwa tersebut ter­jadi manakala aku bermaksud mencukur rambut karena hendak me­nyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya: “Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur ram­but kepala?” Tukang cukur itu menjawab: “Semoga Alloh Subhanahu Wata’ala memberikan hidayah kepada Anda, ibadah tidak mempersaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sauka Anda.” Akupun merasa grogi dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang cukur tersebut mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan aku­pun menuruti kata-katanya. Yang demikian itu semakin membuat aku salah tingkah. Lalu saya serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu berkata: “Berikan bagian kanan.” Lalu akupun menyerahkan bagian kanan kepalaku.

“Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku ha­nya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata: “Mengapa Anda diam saja? Bertakbirlah!” Lalu aku­pun takbir hingga aku beranjak untuk pergi. Untuk kaekian kalinya tukang cukur itu menegurku: “Hendak kemanakah Anda?”Aku kata­kan: “Aku hendak pergi menuju kendaraanku.” Tukang cukur itu ber­kata: “Shalatlah dua rekaat dahulu baru kemudian silakan pergi sauka Anda.” Akupun shalat dua rekaat, lalu aku berkata pada diriku sendiri: “Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu.” Kemudian aku bertanya kepadanya: “Dari manakah Anda mendapatkan tata cara manasik yang telah Anda ajarkan kepadaku tadi?” Orang itu menjawab: “Aku melihat Atha’ Bin Abi Rabah mengerjakan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya.”

Atha bin Abi Rabah meninggal dunia pada tahun 114 atau 115 Hijriah dalam umur 88 tahun. Ketika dia wafat, ribuan orang menshalatkan sampai-sampai di masjidil Haram dilaksanakan shalat janazah berkali-kali karena banyaknya yang ingin menshalatkan. Dan ketika mereka mengangkat jenazahnya, maka mereka semua terheran-heran karena mayatnya sangat ringan seperti bulu, sebab tidak sedikitpun membawa keduniaan serta dipenuhi oleh berbagai bekal untuk akhirat yang banyak.



Sumber:
http://ryu1nayumi.wordpress.com/2013/02/04/sayyidul-fuqaha-al-hijaz-atha-bin-abi-rabah/
Website abu-uswah.blogspot.com yang mengambil maraji’ Terjemahan Buku “Shuwar min Hayatit Tabi’in” karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya
Website kisahmuslim.com

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...