Sabtu, 08 Februari 2014

Tahlilan haram.....!!!!!!! Ini dalilnya

Bismillahirrohmaanirrohim


kata siapa.....???

TAHLILAN berasal dari kata hallala, yuhallilu,
tahlilan, artinya membacakan kalimat La Ilaha Illalloh.
Seperti yang tertera dalam Lisanul ’Arab bagi Ibnu Mandzur Al-Ifriqy juz XIII sebagai berikut
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻴﺚ ﺍﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻗﻮﻝ ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ
”Telah berkata Allaits :arti Tahlil adalah mengucapkan ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ”
Dan yang perlu kita ketahui adalah semua rangkaian kalimat yang ada dalam Tahlil diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit.Tahil ini dijalankan berdasar pada dalil-dalil.

DALIL YANG PERTAMA ;
(Al-Tahqiqat, juz III. Sunan an-Nasa’i, juz II)
ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﻋﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﻴﺖﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺫﻛﺮﺍﺳﺘﻮﺟﺐﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺍﻟﺠﻨﺔ
 ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻰ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ))
Barang siapa menolong mayyit dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, maka Alloh memastikan surga baginya.”
(HR. ad-Darimy dan Nasa’I dari Ibnu Abbas)

DALIL YANG KEDUA
(Tanqih al-Qoul)
ﻭﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﺗﺼﺪﻗﻮﺍﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺍﺗﻜﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺍﺗﻜﻢ ﻭﻟﻮﺑﺸﺮﺑﺔ ماﺀﻓﺎﻥ ﻟﻢ ﺗﻘﺪﺭﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﺒﺄﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﺎﻥ ﻟﻢ ﺗﻌﻠﻤﻮﺍﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻓﺎﺩﻋﻮ ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﻤﻐﻔﺮﺓ ﻭﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﺍﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﺪﻛﻢ ﺍﻹﺟﺎﺑﺔ
Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika kalian tidak mengerti Al-Qur’an, berdo’alah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh,  ﺗﻌﺎﻟﻰ الله  telah berjanji akan mengabulkan do’a kalian.”

DALIL YANG KETIGA ;
(Kasya-Syubhat li as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi)
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺑﻰ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻳﻌﻨﻰﻟﺰﺍﺋﺮ ﺍﻷﻣﻮﺍﺕ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻣﺎﺗﻴﺴﺮﻭﻳﺪﻋﻮﻟﻬﻢ ﻋﻘﺒﻬﺎﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰﻭﺍﺗﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﺻﺤﺎﺏ
“Dalam Syarah al-Muhamdzdzab Imam
an-Nawawi berkata:
Adalah disukai seorang berziarah kepada orang mati lalu membaca ayat-ayat al-Qur’an sekedarnya dan
berdo’a untuknya.
Keterangan ini diambil dari teks Imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.”

DALIL KEEMPAT ;
ﺇﻗﺮﺀﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﺗﺎﻛﻢ ﻳﺴﻰ
( (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ
“Bacalah atas orang-orangmu yang telah mati, akan Surat Yasin” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan Alhakim)

DALIL KELIMA ;
(Fathul mu’in pada Hamisy I’anatuttholibin, juz III)
ﻭﻗﺪ ﻧﺺ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰﻭﺍﻷﺻﺤﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﺪﺏﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮﻋﻨﺪﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻘﺒﻬﺎﺍﻯ ﻻﻧﻪ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺍﺭﺟﻰﻟﻼﺟﺎﺑﺔ ﻭﻻﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺗﻨﺎﻟﻪﺑﺮﻛﺔ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻛﺎﻟﺤﻲﺍﻟﺤﺎﺿﺮ
“Dan telah menyatakan oleh Assyafi’I dan Ashab-nya atas sunnah membaca apa yang mudah di sisi mayit,
dan berdo’a sesudahnya, artinya karena bahwasanya ketika itu lebih diharapkan diterimanya, dan karena bahwa mayyit itu mendapatkan barokah qiro’ah seperti orang hidup yang hadir.”
Dan masih banyak dalil-dalil lain....

Atsar Thaawuus tentang Anjuran Tahlilan 7 Hari Berturut-Turut

Bismillahirrohmaanirrohim




Abu Nu’aim rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا أَبِي، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: ” إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ “

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami Al-Asyja’iy, dari Sufyaan (Ats-Tsauriy), ia berkata : Telah berkata Thaawus : “Sesungguhnya orang yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7 hari. Dulu mereka[1] menyukai untuk memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’ 4/11].

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hajar[2] rahimahullah dalam Al-Mathaalibul-‘Aaliyyah no. 834.

Keterangan para perawinya adalah sebagai berikut :

1.     Abu Bakr bin Maalik, namanya adalah : Ahmad bin Ja’far bin Hamdaan bin Maalik bin Syabiib Al-Baghdaadiy Al-Qathii’iy Al-Hanbaliy, Abu Maalik; seorang yang tsiqah. Lahir tahun 274 H dan wafat tahun 368 H [Lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/210-213 dan Mishbaarul-Ariib 1/75 no. 1316].

2.     ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 290 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 490 no. 3222].

3.     Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang imam yang tsiqah, haafidh, faqiih, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 164 H, dan wafat tahun 241 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 98 no. 97].

4.     ‘Ubaidullah bin ‘Ubaidirrahmaan Al-Asyja’iy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun – orang yang paling tsabt kitabnya dalam riwayat dari Ats-Tsauriy. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 182 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 642 no. 4347].

5.     Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].

6.     Thaawuus bin Kaisaan Al-Yamaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Humairiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 106 H, dan dikatakan juga setelah itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 462 no. 3026].

Dapat kita lihat bahwa para perawi riwayat di atas adalah tsiqaat. Namun, rijaal tsiqaat tidaklah langsung menjadikan satu riwayat shahih[3] karena ternyata riwayat tersebut ma’luul lagi dla’iif.

Sufyaan Ats-Tsauriy lahir pada tahun 97 H di Kuufah, sedangkan Thaawuus bin Kaisaan wafat 106 H di Makkah. Hingga tahun wafatnya Thaawuus, Sufyaan belum melakukan rihlah ke Makkah[4]. Selain itu, tidak masyhur penukilan bahwa Thaawuus termasuk syuyuukh Ats-Tsauriy rahimahumallah.

Ada riwayat lain :

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ ” إِنَّمَا يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، أَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، وَأَمَّا الْكَافِرُ: فَلا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ، وَلا يَعْرِفُهُ “

Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar : “Dua orang yaitu orang mukmin dan munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari. Orang munafiq selama empat puluh hari. Adapun orang kafir, maka jangan ditanya dari Muhammad, ia tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/590 no. 6757].

Riwayat lemah karena munqathi’. Ibnu Juraij tidak pernah bertemu dengan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, Ibnu Juraij sendiri seorang yang tsiqah namun sering melakukan tadlis dan irsaal.[5]

Riwayat yang shahih yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah :


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ. ح وحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو الْفَضْلِ، قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ إِسْمَاعِيل بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: ” كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ “

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Husyaim (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Syujaa’ bin Makhlad Abul-Fadhl, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim, dari Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy, ia berkata : “Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612].

Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/307-308 no. 2279.

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja Husyaim seorang mudallis[6] dan di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah. Husyaim mempunyai mutaba’ah dari Nashr bin Baab sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad[7] 2/204.

Nashr bin Baab seorang yang lemah[8].

Riwayat di atas dikuatkan oleh :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ طَلْحَةَ، قَالَ: قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: ” هَلْ يُنَاحُ قِبَلُكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ: لَا ” قَالَ: ” فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عندَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: نَعَمْ “، فَقَالَ: ” تِلْكَ النِّيَاحَةُ “

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah, ia berkata : Jarir mendatangi ‘Umar, lalu ia (‘Umar) berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan makan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/487].

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja ada kekhawatiran keterputusan antara Thalhah dengan Jariir. Ada syaahid yang lain :

ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ، قَالَ: أنا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ: أنا عُمَرُ أَبُو حَفْصٍ الصَّيْرَفِيُّ، وَكَانَ ثِقَةً، قَالَ: ثنا سَيَّارٌ أَبُو الْحَكَمِ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَمَا يُدْفَنُ مِنَ النِّيَاحَةِ “

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Abi Hafsh Ash-Shairaafiy – dan ia seorang yang tsiqah – ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sayyaar Abul-Hakam, ia berkata : Telah berkata ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu : “Dulu kami menganggap berkumpul-kumpul di sisi keluarga mayit setelah si mayit dikuburkan termasuk niyahah (meratap)” [Diriwayatkan oleh Aslam bin Sahl dalam Taariikh Waasith hal. 26 no. 206].

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja Sayyaar tidak pernah bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.

Oleh karena itu, dengan keseluruhan jalan riwayatnya, atsar Jariir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhu adalah shahih.[9]

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :

وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، ….

“Dan aku membenci perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan aku juga membenci[10] berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si mayit)…” [Al-Umm, 1/248].

Kesimpulan : Tahlilan sampai tujuh hari ternyata (BUKAN) tradisi para sahabat Nabi Saw dan para tabi’in.

Wallaahu a’lam.

Semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai – 15122012 – 22:24 – revisi : 16122012, 17:00].





[1]      ‘Mereka’ yang dimaksudkan oleh Thaawus di sini adalah sebagian shahabat dan taabi’iin yang semasa dengannya.

[2]      Riwayatnya adalah :

وَقَالَ أَحْمَدُ فِي الزُّهْدِ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: ” إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، وَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامَ “

[3]      Baca artikel : Apa perbedaan antara istilah hadits shahih, hadits shahihul-isnad, dan hadits rijaaluhu tsiqaat ?.

[4]      Bahkan ia (Sufyaan) belum keluar dari negerinya (Kuufah).

أَخْبَرَنَا ابن رزق، قال: أَخْبَرَنَا عثمان بن أحمد، قال: حَدَّثَنَا حنبل بن إسحاق، قال: قال أبو نعيم: خرج سفيان الثوري من الكوفة سنة خمس وخمسين ومائة ولم يرجع، ومات سنة إحدى وستين ومائة، وهو ابن ست وستين فيما أظن

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Rizq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq, ia berkata : Telah berkata Abu Nu’aim (Al-Fadhl bin Dukain) : “Sufyaan Ats-Tsauriy keluar dari Kuufah pada tahun 155 H, dan kemudian ia tidak kembali lagi. Ia meninggal tahun 161 H dalam usia 66 tahun sebagaimana yang aku kira” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad, 10/242 - biografi Sufyaan Ats-Tsauriy].

Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat.

[5]      ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy – terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].

Ia tidak pernah berjumpa seorang pun dari kalangan shahabat [Jaami’ut-Tahshiil, hal. 229-230 no. 472].

[6]      Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim bin Diinaar As-Sulamiy, Abu Mu’aawiyyah bin Abi Khaazim; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy. Termasuk thabaqahke-7, lahir tahun 104/105 H, dan wafat tahun 183 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1023 no. 7362].

[7]      Riwayatnya adalah :

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ بَابٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: ” كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ “

[8]      Beberapa ulama mengkritiknya dengan keras, seperti Ibnu Ma’iin, Zuhair bin Harb, Abu Haatim, Juzjaaniy, dan yang lainnya. Akan tetapi Ahmad bin Hanbal mentautsiqnya dan membelanya saat mengetahui beberapa ulama mendustkannya. Ia (Ahmad) mengatakan bahwa Nashr bin Baab diingkari para ulama saat ia (Nashr) meriwayatkan dari Ibraahiim Ash-Shaaigh. Ibnu Sa’d juga mengatakan hal yang sama dengan Ahmad. Ahmad adalah ulama yang terkenal muta’addil dalam urusan al-jarh wat-ta’diil, dan ia juga termasuk orang yang paling tahu mengenai gurunya, Nashr bin Baab, sehingga mengambil riwayat darinya. Namun bukan berarti jarh para ulama kepada Nashr tidak memberikan pengaruh. Nashr adalah seorang yang dla’iif yang riwayatnya dapat digunakan sebagai i’tibaar, hanya saja tidak benar tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Wallaahu a’lam.

[9]      Atsar Jariir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu tersebut dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285, Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih 1/241, Al-Buushiiriy dalam Zawaaidu Ibni Maajah  hal. 236, Ibnu Hajar Al-Haitamiy dalam Tuhfatul-Muhtaaj 3/207, Asy-Syaukaaniy dalam As-Sailul-Jaraar 1/372, dan yang lainnya.

[10]     Makna ‘makruh’ dalam perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahullah di sini adalah tahriim (pengharaman), karena sebelumnya ia juga mengatakan tentang makruhnya perbuatan niyaahah (meratap). Perkataan itu satu rangkaian. Meratap sendiri sudah jelas hukumnya, yaitu haram, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ، الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan niyaahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 67].

Ummu ‘Athiyyah berkata :

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ “

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami dari perbuatan niyaahah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3127; shahih].

Ref :

1.http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/12/atsar-thaawuus-tentang-anjuran-tahlilan.html
2.http://al-atsariyyah.com/atsar-thaawuus-tentang-anjuran-tahlilan-7-hari-berturut-turut.html


Jawaban terhadap Uraian Vaksinasi Pertama Kali oleh Dokter Muslim


Pertama Kali oleh Dokter Muslim
Posted on Oktober 17, 2011 6


Tahnik sebagai imunisasi Alami VS Vaksinasi Modern
Bismillah. Assalamu’alaykum wa rahmatullah.
Perdebatan pro – kontra vaksin sepertinya kian memanas, mengingat dalam 1 minggu ke depan adalah Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dimana semakin banyak orangtua cerdas memilih uuntuk menghindari vaksin. Berbagai macam alasan para orangtua untuk memilih mengatakan TIDAK UNTUK VAKSINASI, kelompok ini lebih dikenal dengan kelompok kontra vaksinasi sebagai kelompok minoritas. Diantara alas an mereka adalah kekhawatiran akan bahaya vaksin dan dari segi halal/haramnya produk yang digunakan. Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tentunya wajar sekali jika isu halal/tidaknya menjadi perhatian khusus para orangtua.
Dan hal tersebut pula yang saya kritisi kepada pihak Biofarma, sebagai produsen vaksin lokal. Dimana sepengetahuan saya bahwa dalam menentukan halal/tidaknya sebuah produk, diwajibkan proses audit dari LPPOM MUI. Namun ternyata, lembaga tersebut tidak pernah mengaudit dan pihak Biofarma mengakui bahwa mereka tidak pernah meminta untuk diaudit. Aneh bukan? Pengakuan ini saya peroleh ketika menghadiri debat pro-kontra imunisasi yang diselenggarakan oleh majalah Ayahbunda di Jakarta.
Dalam 1 minggu menjelang dilaksanakannya PIN, situasi perdebatan semakin memanas. Kemudian muncul sebuah argumentasi yang memojokkan pihak kontra vaksinasi melalui sebuah blog.
Uraian ini bukan untuk menyudutkan siapapun, lebih memberikan ketegasan sikap atas PRINSIP DASAR ALASAN bagi pihak kontra dalam menolak vaksinasi. Saya akan mencoba menjabarkan secara bertahap analisa dan jawaban atas argumentasi di bawah ini.
Dari sebuah blog yang saya baca, menuliskan bahwa “sistem imunisasi/vaksinasi berasal dari dokter-dokter muslim zaman khalifah Turki Utsmani, dan cikal bakalnya sudah ada dari zaman khilafah abbasiyah. Referensi informasi tersebut menurut penuturan si pengirim sumber email ada pada buku “1001 Inventations Muslim Heritage in Our World” page 178. Tertera: “The Anatolian Ottoman Turks knew about methods of vaccination, they called vaccination Ashi. or engrafting, and they had inherited it form older turkic tribes”
Dalam hati, sejujurnya saya terkagum-kagum bahwa begitu hebatnya ilmuwan Islam namun hingga saat ini dunia barat pun masih belum memberikan pengakuan kepada para ilmuwan Islam. Satu kata yang menarik perhatian saya adalah “ENGRAFTING”. Saya memiliki latar belakang pendidikan dokter umum dan kebetulan ayah adalah seorang dokter spesialis bedah, sehingga kata “ENGRAFTING” sudah sering saya dengar sejak beranjak remaja.
Jika merujuk pada kamus kedokteran maka kata tersebut memiliki arti melakukan penanaman pada bagian tubuh, bisa kulit dan sebagainya.
Lalu karena semakin penasaran akan istilah ASHI / ENGRAFTING di jaman tersebut, maka saya telusuri mbah google demi memuaskan keingintahuan. Prinsip dasar saya bahwa ilmu yang diterima haruslah seimbang, dalam arti cek dan ricek adalah penting.
Sebagai kelanjutan kisah terhadap blog tersebut, maka mari kita lanjutkan hingga selesai uraian tersebut yah.
“Informasi berikutnya adalah Lady Mary Wortley Montagu (1689- 1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki saat itu, membawa system vaksinasi ke Inggris untuk memerangi smallpox, tapi ditolak oleh pemerintahan Inggris saat itu.
Untuk informasi mengenai Lady Mary ini, bisa juga dibaca di: www/.psychologytoday.com/blog/child-myths/200909/lady-mary-wortley-montagucontributor-public-health
Berikut kutipan tulisan pada URL tersebut:
“Lady Mary Wortley Montagu was a pretty girl until she had smallpox at age 26 and was left with many pitted scars on her face and no eyelashes. Her only brother died of the disease. Despite her disfigurement, Lady Wortley Montagu recovered her health and energy. (And we should remember that plenty of other people had smallpox scars on their faces at that time, so the impact was not exactly what it would be if someone today had the same appearance.) With her husband, who was the British Ambassador to Turkey, and their little son and daughter, she traveled to what was then part of the Ottoman Empire.
She watched with interest as Turkish women carried out a method of inoculation for smallpox. This she described in letters to her family back in England. The Turks waited until cool fall weather came after the heat of the summer was over. They inoculated children by using the purulent matter from the sores of a person who had become infected with smallpox. Cutting into 5 or 6 veins (on the legs or upper parts of the arms), they poked the smallpox matter into the incision and then bandaged the site. The children seemed fine for some days, developed a fever for a few more days, and then generally recovered — immune to smallpox. Lady Wortley Montagu decided to have her own young son inoculated, accepting the fact that a small number of children were harmed by the inoculation, and he recovered well— immune to smallpox. Returning to England, Lady Wortley Montagu began efforts at public education about inoculation. Her friendship with the then Princess of Wales, later Queen Caroline, was a great support to her work (although it’ s probably the case that Lady Mary could have accomplished more if she’d had fewer boyfriends, who didn’t seem to mind the lack of eyelashes). Because of these efforts, the British public was prepared to pay attention 30 years later when Edward Jenner published his evidence about smallpox vaccination.”
Semakin penasaran dengan kisah diatas, maka saya telusuri lebih jauh tentang smallpox, Edward jenner dan ashi Turkic tribes. Pencarian akhirnya membuat saya menemukan link ini http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1200696/ dimana dalam link ini merupakan jurnal ilmiah akan sejarah Edward Jenner sebagai penemu vaksin cacar air/smallpox.
Dalam pengkajian lebih lanjut, semakin memperkuat keyakinan saya bahwa vaksin saat ini dengan teknologi modern memang berbahaya tidak hanya bagi orangtua namun juga bagi bayi dan anak-anak.
Prinsip dasar ASHI atau Inokulasi pada jaman itu hampir sama dengan prinsip vaksinasi alamiah yang masyarakat lakukan terhadap campak. Tentunya ayah bunda pernah mendengar anjuran banyak pihak bahwa jika ada yang sakit campak, maka biarkanlah anak kita tertular dengan demikian anak akan memiliki antibody terhadap penyakit tersebut dengan sendirinya.
Nah ASHI, memang memaparkan penyakit terhadap orang sehat dengan cara melakukan sayatan pada kulit daerah subkutan dan memberikan bagian dari cacar air kedalamnya. Mirip namun tak sama.
Kemudian bisa dibaca pula uraian mengenai peran wanita tersebut diatas dalam dunia kesehatan masyarakat pada link ini eurpub.oxfordjournals.org/content/18/4/353.full
Setelah tuntas membaca dan mengkaji, Alhamdulillah keyakinan saya tidak berubah bahkan semakin menguatkan bahwa vaksin modern yang dipergunakan saat ini memang berbahaya.
Mereka telah salah memahami bahwa penolakan kami adalah pada prinsip vaksinasinya. Padahal, penolakan kami adalah penggunaan bahan kimia yang berbahaya didalam vaksin modern tersebut. Jika dianalisa dari tindakan vaksinasi “kuno”, bisa kita pahami bahwa jaman itu mereka TIDAK menggunakan bahan-bahan kimia seperti merkuri, garam alumunim, atau bahkan menggunakan media hewan haram dalam proses pengembangbiakkan kuman/virus.
Bagaimanapun dalam hati kecil saya saat membaca dan mencari tahu lebih jauh, berpegangan pada prinsip bahwa seorang MUSLIM akan menghindari penggunaan bahan haram dan berbahaya. Dan itu TERBUKTI.
Untuk mengetahui bagaimana peran garam alumunium dalam tubuh, silakan dibaca penelitian ini dimana garam alumunium yang disuntikkan kedalam tubuh seekor tikus memberikan kerusakan bahkan kehancuran dari sel setiap organ tikus tersebut. Dosis yang digunakan tentunya disesuaikan dengan tubuh tikus tersebut. Lalu bagaimana dengan tubuh seorang bayi yang dilakukan berulang kali?
Link terhadap penelitian alum atau garam alumunium bisa dibaca disini :
- http://therefusers.com/refusers-newsroom/aluminum-based-adjuvants-cause-cell-death-and-release-of-host-cell-dna/
- http://www.sciencedaily.com/releases/2011/07/110717204910.htm
- http://www.nature.com/nm/journal/v17/n8/full/nm.2403.html
- http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/21568886/
Link diatas hanyalah mengenai fakta akan bahaya garam alumunium yang digunakan sebagai bahan adjuvant di SEMUA vaksin. Untuk bahan vaksin lainnya, silakan ayah bunda telusuri mbah google dan belajar menganalisa sendiri yaahh..
Mari dilanjutkan uraian dari blog diatas : “Adalagi informasi lainnya. Untuk vaksinasi dasar, Indonesia telah berhasil membuat vaksin sendiri, sudah terbukti uji klinis dan epidemiloginya, bahkan dieskpor untuk kepentingan regional Asia Tenggara, di Biofarma, Bandung.
Masalah yang berkembang dan mencuat belakangan adalah vaksinasi tambahan, termasuk meningitis untuk calon jamaah haji atau vaksin HPV, yang masih diproduksi oleh produsen luar negeri semisal GSK.
*menurut penuturan seorang guru ngaji bahwa kebetulan beliau bekerja di balai POM, sudah ada vaksin meningitis yang halal untuk calon jemaah haji*”

Mengenai vaksin meningitis, ayah bunda bisa baca sendiri di harian Republika edisi Jumat tanggal 14 Oktober 2011. Vaksin tersebut bahkan baru-baru ini kembali dikritisi oleh Mantan Menkes Siti Fadhillah Sapari bahwa semua vaksin tersebut tetap mengandung bahan haram alias babi. So, menurut saya dalam mencari sebuah informasi bukan sekedar berbicara dengan seseorang yang ilmunya terbatas.
Alhamdulillah informasi ini saya dapatkan LANGSUNG dari bu DR. dr Siti Fadhillah Sapari, SpJK (K) sebagai mantan menkes lohh.. Ditambah dengan pengakuan dari Biofarma bahwa mereka TIDAK PERNAH diaudit oleh pihak yang berwenang dan dalam hal ini adalah LP POM MUI.
Kalimat terakhir yang mendorong saya untuk meluruskan informasi dari blog tersebut adalah pernyataan bahwa seseorang yang bukan berasal dari kedokteran sebagaimana tertulis demikian “apalagi kalau munculnya dari orang-orang yang bukan ahlinya, atau bahkan ga punya background pendidikan kedokteran sama sekali.”
Buat saya, seorang dokter atau bukan – ia punya kemampuan untuk BELAJAR dari siapapun. Gelar dan sebagainya bukan jaminan bahwa individu tersebut akan berkata benar. Belajar adalah kata kunci yang luar biasa. Bahkan Rasulullah shalallahu alayhi wa salam menyuruh kita untuk tidak taqlid atau belajar seperti kerbau dicucuk hidungnya, dimana apapun perkataan seseorang yang dianggap pintar langsung dijadikan hukum tanpa mempelajari lebih jauh. Dan Alhamdulillah informasi yang saya terima justru berasal dari sosok-sosok yang memiliki kompetensi tinggi, seperti DR. dr. Siti Fadhillah Sapari, SpJK(K) dan Prof. DR. Hasyim dari LP POM MUI.
Kritikan tajam saya tujukan pada kalimat ini “sorry to say, maap- maap yeee kalo agak kasar, menurut saya, orang tua yang menganggap tidak mengimunisasi anaknya adalah pilihan terbaik dan adalah hak dia untuk memilih untuk tidak mengimunisasi adalah orang tua yang LUPA, lupa bahwasanya ada HAK ORANG LAIN untuk merasa aman dari ancaman penyakit yang mematikan.”
Sebagai seorang dokter, saya memahami dengan baik bahwa jika kuman yang disuntikkan dalam tubuh seseorang dengan daya tahan tubuh yang menurun maka kuman/virus tersebut menjadi aktif bahkan menginfeksi tubuh yang menerima vaksin tersebut. Dalam hal ini, siapakah yang berjalan-jalan membawa bahan penyakit dan memiliki resiko memberikan penularan kepada anak lainnya yang sehat? Sehat tanpa bahan kimia, sehat karena ibunya memberikan pengobatan ala Rasulullah shalallahu alayhi wasalam?
Ditambah lagi pengakuan dari salah seorang karyawan Biofarma bahwa penyimpanan vaksin tersebut di beberapa wilayah pelosok Indonesia TIDAK MEMENUHI STANDAR, sehingga kemungkinan vaksin rusak atau terkontaminasi sangat besar.
Kembali pada kisah di blog tersebut “mau ngutip kalimat temennya ayah, beliau punya background pendidikan kedokteran dan sedang mengambil jenjang spesialis, aaahh:
“ﻪّﻠﻟَﺍ sdh Mengaruniakan akal buat kita, ilmu pengetahuan manusia sudah tahu tentang vaksinasi, kampanye sudah dijalankan, digratiskan lagi oleh pemerintah. Secara rasional, ga ada alasan lagi untuk ga vaksinasi jadi, anggapan bahwa imunisasi / vaksinasi berasal dari kedokteran barat yang penuh konspirasi untuk melemahkan umat muslim, gimana?”

Sebagai seorang dokter, walaupun dokter umum, satu hal yang saya ketahui bahwa pribadi muslim diberikan akal dan pikiran pertama kali yang dilakukannya adalah MEYAKINI AYAT-AYAT ALLAH dan RASULNYA. Selanjutnya baru kewajiban untuk mengkaji dan telaah.
Saya dan barisan orangtua kontra vaksin kimia telah memilih ASI sebagai vaksin alami, karena kami meyakini QS. AL BAqarah : 233 dan dari ayat tersebut kami kaji lebih jauh. Saya pribadi membutuhkan waktu 7 tahun untuk meyakini bahwa inilah maksud dari ayat Allah subhanahu wa ta’ala itu, bahwa ASI adalah VAKSIN ALAMI bagi setiap anak manusia yang lahir di muka bumi.
Bukti ilmiahnya apa? Silakan membaca pada link dibawah ini, bahwa dr Albert Sabin pada awal merintis percobaan vaksin polio – beliau menggunakan kolostrum manusia dan sapi sebagai obat. Jurnal ini menunjukkan bahwa hewan yang terinfeksi oleh polio, 84% sembuh dengan pemberian kolostrum.
http://pediatrics.aappublications.org/content/29/1/105.full.pdf+html
Pada bagian akhir penulis menyampaikan, “Silahkan menilai dan menjawab sendiri yaaaa”

Maka saya menjawab, “Betul sekali. Mari silakan menilai, megkaji dan menjawab sendiri. Kebenaran hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala semata dan kelemahan adalah dalam diri saya sebagai penulis. BELAJAR dan DO’A untuk mendapatkan cahaya kebenaran. Semoga ayah bunda tidak membutuhkan waktu selama 7 tahun seperti saya dalam meyakini kebenaran tersebut.”
Sekali lagi bukanlah sekedar halal/haram semata namun bahan kimia didalam vaksin tersebutlah yang mendorong kami untuk mengatakan dengan lantang “NO TO VACCINE”.

Ref :
http://drhennyzainal.wordpress.com/

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...