Kamis, 01 Agustus 2013

IMAM ZAINAL ABIDIN BIN ABDURRAUF ALMANAWI

Bismillahirrohmaanirrohim



Luthfi Bashori

Beliau berasal dari Mesir, di saat usia 7 tahun beliau sudah berhasil menyelesaikan hafalan Alquran seluruhnya. Setelah usai mendalami hafalan Alquran, dalam usia murahiq (menjelang baligh) beliau lantas belajar memperdalam keilmuan syariat agama Islam dengan berbagai fak, hingga di masa dewasa beliau menjadi tokoh ulama yang mumpuni. Setelah lama menggeluti ilmu syariat agama Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, pada akhirnya beliau terjun dalam bidang thariqat atau mendalami ilmu tasawwuf.

Pada usia senja, beliau lebih banyak berkhalwat (menyendiri) untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana diriwayatkan, hampir setiap orang yang sempat menengok Imam Zainal Abidin Almanawi di masa tuanya, maka selalu saja beliau ditemukan sedang dalam keadaan shalat atau duduk berdzikir kepada Allah.

Hampir setiap malam, beliau tidak menbiarkan matanya terpejam dalam tidur yang pulas, melainkan hati dan lisannya dipergunakan untuk berdzikir mengingat Allah, bahkan tidak jarang dalam sehari semalam beliau hanya sekali berwudhu wajib, yang dipergunakan untuk beribadah selama sehari semalam. Ini pertanda beliau benar-benar jarang tertidur lelap.

Karena kesungguhan beliau dalam mempelajari ilmu syariat agamanya Allah, serta giatnya dalam bermujahadah dan beribadah kepada Allah dengan mendalami thariqat dan praktek tasawwuf, maka Allah berkenan memberikan keistimewaan-keistimewaan khusus kepada beliau, yaitu berupa karamah sebagai tanda kewalian (kekasih Allah).

Karamah Imam Zainal Abidin antara lain, seringkali di saat beliau duduk berdzikir, tiba-tiba didatangi oleh Nabi SAW secara langsung. Hal ini sesuai dengan hadits shahih, Nabi SAW bersabda yang artinya: Barang siapa yang telah melihatku dalam mimpinya, maka di saat akan meninggal dunia, ia akan bertemu aku secara langsung.

Di saat usia Imam Zainal abidin masih tergolong muda belia, nama beliau sudah banyak dikenal di kalangan para wali kekasih Allah. Bahkan tidak jarang arwah para wali itu datang kepada beliau dan mengajak  berdiskusi seputar urusan alam barzakh.

Suatu saat, Imam Zainal Abidin berziarah ke makam Imam Syafi`i, tiba-tiba beliau mendengar suara Imam Syafi`i  dari dalam makam dan mengajak berdiskusi keagamaan.

Di saat yang lain, ketika beliau berziarah ke makam Imam Syafi`i, mata beliau melihat secara langsung bahwa dari atas qubah makam Imam Syafi`i itu tampak seperti mengalir dua mata air dan dua burung merpati. Pada pangkal satu mata air itu dihinggapi seekor merpati berwarna putih dan yang lainya dihinggapi merpati berwarna hijau. Sedangkan di atas makam kuburan Imam Syafi`i, tampak kakek beliau yang sudan meninggal dunia bernama Almarhum Assyaraf Yahya Almanawi  sedang duduk berziarah kepada Imam Syafi`i.

Imam Zainal Abidin dikenal sebagai seorang wali yang diberi karamah oleh Allah dapat berkomunikasi  secara baik dengan dunia arwah para shalihin yang telah meninggal dunia. Bahkan suatu hari  ada seorang ulama yang bermimpi melihat alam barzakh. Di alam barzakh tersebut terdapat sebuah cahaya yang berbentuk manusia atau manusia yang berbentuk cahaya. Secara spontan, sang ulama ini bertanya : Siapa gerangan orang itu ? Tiba-tiba sang ulama itu mendengar suara yang menjawab: Dia adalah Imam Zainal Abidin Almanawi.

Alaa inna auliyaa-allahi laa khaufun `alahim yalaahum yahzanuun
(ketahuilah bahwa bagi  para wali Allah itu tiada rasa takut dan tiada rasa kekhawatiran)

(disarikan dari kitab Karamatul Aulia, karangan Syeikh Yusuf bin Ismail Annabhani).

http://tinta168.blogspot.com/2012/06/kemuliaan-imam-zainal-abidin-abdurrauf.html

Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) : Mengkritik aqidah tajsim ad-zahabi dan ibnu taimiyah

Bismillahirrohmaanirrohim
Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan bahwa adz-Dzahabi (w 748 H) memiliki sifat sinis terhadap al-Imâm al-Asy’ari. Adz-Dzahabi sama sekali tidak apresiatif, bahkan selalu memojokan faham-faham al-Imâm al-Asy’ari dalam berbagi kesempatan. Perlakuan adz-Dzahabi dalam meremehkan al-Imâm al-Asy’ari ini sebagimana ia tuangkan dalam karyanya sendiri; Târîkh adz-Dzahabi. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menempatkannya secara proporsional sesuai keagungannya.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki mengatakan bahwa adz-Dzahabi memiliki kebencian yang sangat besar terhadap al-Imâm al-Asy’ari, hanya saja ia tidak sanggup untuk mengungkapkan itu semua karena takut diserang balik oleh Ahl al-Haq dari para pemuka Ahlussunnah. Di sisi lain adz-Dzahabi juga tidak sabar untuk mendiamkan ajaran-ajaran al-Imâm al-Asy’ari yang menurutnya sebagai ajaran yang tidak benar. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi tidak banyak berkomentar, di akhir tulisannya ia hanya berkata: “Barangsiapa yang ingin mengenal lebih jauh tantang al-Asy’ari maka silahkan untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî karya Abu al-Qasim Ibn Asakir”[1]. Yang lebih mengherankan lagi di akhir tulisan itu kemudian adz-Dzahabi menuliskan ungkapan doa sebagai berikut:
“Ya Allah, matikanlah kami di dalam Sunnah Nabi-Mu dan masukan kami ke surga-Mu. Jadikanlah jiwa-jiwa kami ini tenang. Kami mencintai para wali-Mu karena-Mu, dan kami membenci para musuh-Mu karena-Mu. Kami meminta ampun kepada-Mu bagi hamba-hamba-Mu yang telah melakukan maksiat. Jadikan kami mengamalkan ayat-ayat muhkamât dari kitab-Mu dan beriman dengan ayat-ayat mutsyâbihât-nya. Dan jadikan kami sebagai orang-orang yang mensifati-Mu sebagaimana Engkau mensifati diri-Mu sendiri”[2].
Simak tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam mengomentari tulisan adz-Dzahabi di atas:
“Dari sini nyata bagimu bahwa adz-Dzahabi ini sangat aneh dan mengherankan. Engkau melihat sendiri bagaimana sikap orang miskin ini, dia benar-benar seorang yang celaka. Saya telah mengatakan berulang-ulang bahwa adz-Dzahabi ini sebenarnya guru saya, dan saya banyak mengambil ilmu hadits darinya, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti, dan karenanya saya wajib menjelaskan kebenaran ini. Maka saya katakan: “Wahai adz-Dzahabi, orang sepertimu bagaimana mungkin hanya menyuruh orang lain untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî sementara engkau sendiri malalaikan pujian terhadap Syaikh al-Asy’ari?! Padahal engkau sama sekali tidak meninggalkan nama seorangpun dari kaum Mujassimah kecuali engkau menuliskan biografinya secara langkap. Bahkan bukumu itu sampai menyebut-nyebut biografi beberapa orang dari madzhab Hanbali yang datang belakangan dan tidak memiliki kapasitas memadai secara keilmuan. Semua itu engkau tuliskan biografinya dengan sangat rinci dan lengkap. Lantas apakah engkau tidak mampu untuk menuliskan biografi Syaikh al-Asy’ari secara proporsional?! Padahal derajat Syaikh al-Asy’ari berada jauh ribuan tingkat di atas orang-orang mujasim yang engkau tuliskan itu?! Tidak lain ini adalah hawa nafsu dan kebencian yang telah mencapai puncaknya. Aku bersumpah demi Allah, engkau melakukan ini tidak lain hanya karena engkau tidak senang nama al-Asy’ari disebut-sebut dengan segala kebaikannya. Dan di sisi lain engkau tidak mampu untuk mengungkapkan kepada orang-orang Islam akan apa yang ada dalam hatimu dari kebencian kepada Syaikh al-Asy’ari, karena engkau sadar bila kebencian itu engkau ungkapkan seutuhnya maka engkau akan berhadapan dengan kekuatan seluruh orang Islam.
Sementara itu doamu yang engkau ungkapkan di akhir tulisan biografi Syaikh yang sangat ringkas itu, adakah kalimat-kalimat itu pada tempatnya wahai orang miskin?! Kemudian ungkapanmu “…dan jadikanlah kami orang-orang yang membenci musuh-musuh-Mu” adalah tidak lain karena manurutmu Syaikh al-Asy’ari adalah musuh Allah, dan engkau benar-benar sangat membencinya. Kelak nanti engkau akan berdiri di hadapan hukum Allah untuk bertanggung jawab terhadap Syaikh, sementara semua ulama dari empat madzhab, orang-orang saleh dari kaum sufi, dan para pemuka Huffâzh al-hadîts berada di dalam barisan Syaikh al-Asy’ari. Engkau kelak saat itu akan merangkak dalam kegelapan akidah tajsîm, yang engkau mengaku-aku telah bebas dari akidah sesat tersebut, padahal engkau adalah orang terdepan dalam menyeru kepada akidah sesat tersebut. Engkau mengaku ahli dalam masalah Ilmu Tauhid, padahal engkau sama sekali tidak memahaminya walaupun hanya seukuran atom atau seukuran tipisnya kulit biji kurma sekalipun. Aku katakan bagimu: “Siapakah sebenarnya yang mensifati Allah sesuai dengan keagungan-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya sendiri?! Adakah orang itu yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti dirimu?! Ataukah yang benar-benar memahami bahwa “Allah tidak menyerupai apapun dari segala makhluk-Nya” (QS. As-Syura: 11)?!”. Sebenarnya, secara khusus bagiku tidak harus banyak bicara dalam masalah ini, namun demikian hal ini harus saya sampaikan.
Dalam penulisan biografi Syaikh al-Asy’ari sebagaimana anda tahu sendiri, bahwa sebenarnya tidak akan cukup dengan hanya dituangkan dalam beberapa lembar saja. Dalam kitab yang saya tulis ini, saya juga memerintahkan kepada para pembaca yang ingin mengenal lebih jauh tentang Syaikh al-Asy’ari untuk merujuk kepada kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî (karya al-Hâfizh Ibn Asakir). Namun anjuran saya ini berbeda dengan anjuran adz-Dzahabi. Saya menganjurkan anda untuk membaca Tabyîn Kadzib al-Muftarî agar anda benar-benar mengenal sosok al-Asy’ari dan mengetahui keagungan serta bertambah kecintaan kepadanya, sementara adz-Dzahabi menganjurkan hal tersebut tidak lain hanya untuk menutup mata anda, karena sebenarnya dia telah bosan dengan menyebut-nyebut kebaikan orang-orangnya sendiri yang tidak senang kepada Syaikh al-Asy’ari”[3].
Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam penulisan biografi al-Hâfizh Ahmad ibn Shaleh al-Mishri menuliskan kaedah yang sangat berharga dalam metode penilaian al-jarh (Klaim negatif terhadap orang lain). Kesimpulannya ialah bahwa apa bila seseorang melakukan al-jarh terhadap orang lain yang memiliki amal saleh lebih banyak dari pada perbuatan maksiatnya, dan orang-orang yang memujinya lebih banyak dari pada yang mencacinya, serta orang-orang yang menilai positif baginya (al-Muzakkûn) lebih banyak dari pada yang menilai negatif atasnya (al-Jârihûn), maka penilaian orang ini tidak dapat diterima, sekalipun ia punya penjelasan dalam penilainnya tersebut. Terlebih lagi apa bila orang yang menilai al-jarh ini berlandaskan karena panatisme madzhab, atau karena kecemburuan masalah duniawi dan lainnya. Kemudian pada akhir tulisan kaedah al-jarh ini, al-Imâm Tajuddin as-Subki menuliskan:
“… dan adz-Dzahabi ini adalah guru kami. Dari sisi ini ia adalah seorang yang memiliki ilmu dan memiliki sikap teguh dalam beragama. Hanya saja dia memiliki kebencian berlebihan terhadap para ulama Ahlussunnah. Karena itu adz-Dzahabi ini tidak boleh dijadikan sandaran”.
Masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga mengutip tulisan al-Imâm al-Hâfizh Shalahuddin Khalil ibn Kaikaldi al-Ala-i dalam penilainnya terhadap adz-Dzahabi, sebagai berikut:
“Al-Hâfizh asy-Syaikh Syamsuddin adz-Dzahabi tidak saya ragukan dalam keteguhan beragamanya, sikap wara’-nya, dan ketelitiannya dalam memilih berbagai pendapat dari orang lain. Hanya saja dia adalah orang yang berlebihan dalam memegang teguh madzhab itsbât dan dia sangat benci terhadap takwil hingga ia melalaikan akidah tanzîh. Sikapnya ini telah memberikan pengaruh besar terhadap tabi’atnya, hingga ia berpaling dari Ahl at-Tanzîh dan sangat cenderung kapada Ahl al-Itsbât. Jika ia menuliskan biografi seseorang yang berasal dari Ahl al-Itsbât maka dengan panjang lebar ia akan mengungkapkan segala kebaikan yang ada pada diri orang tersebut, walaupun kebaikan-kebiakan itu hanya sebatas prasangka saja ia tetap akan menyebut-nyebutnya dan bahkan akan melebih-lebihkannya, dan terhadap segala kesalahan dan aib orang ini ia akan berpura-pura melalaikannya dan menutup mata, atau bahkan ia akan membela orang tersebut. Namun apa bila yang ia menuliskan biografi seorang yang ia anggap tidak sepaham dengannya, seperti Imam al-Haramain, al-Imâm al-Ghazali, dan lainnya maka sama sekali ia tidak mengungkapkannya secara proporsional, sebaliknya ia akan menuliskan nama-nama orang yang mencaci-maki dan menyerangnya. Ungkapan-ungkapan cacian tersebut bahkan seringkali ia tulis berulang-ulang untuk ia tampakkan itu semua dengan nyata, bahkan ia meyakini bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan cacian semacam itu sebagai bagian dari agama. Di sini ia benar-benar berpaling dari segala kebaikan para ulama agung tersebut, dan karena itu dengan sengaja pula ia tidak menuliskan kebaikan-kebaikan mereka. Sementara bila ia menemukan cacat kecil saja pada diri mereka maka ia tidak akan melewatkannya. Perlakuan ini pula yang ia lakukan terhadap para ulama yang hidup semasa dengan kami. Dalam menuliskan biografi para ulama tersebut jika ia tidak mampu secara terus terang mengungkapkan cacian atas diri mereka (karena takut diserang balik) maka ia akan menuliskan ungkapan “Allâh Yushlihuh” (semoga Allah menjadikan dia seorang yang lurus), atau semacamnya. Ini semua tidak lain adalah karena akidah dia yang berbeda dengan mereka”[4].
Setelah mengutip pernyataan al-Hâfizh al-Ala-i di atas, al-Imâm Tajuddin as-Subki lalu menuliskan komentar berikut:
“Sebenarnya, keadaan guru kita adz-Dzahabi ini lebih parah dari pada apa yang digambarkan oleh al-Hâfizh al-Ala-i. Benar, dia adalah syaikh kita dan guru kita, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti dari pada dirinya. Ia memiliki panatisme yang berlebihan hingga mencapai batas yang tercela. Saya khawatir atas dirinya di hari kiamat nanti bahwa ia akan dituntut oleh mayoritas ulama Islam dan para Imam yang telah membawa syari’at Rasulullah kepada kita, karena sesungguhnya mayoritas mereka adalah kaum Asy’ariyyah. Sementara adz-Dzahabi apa bila ia menemukan seorang yang bermadzhab Asy’ari maka ia tidak akan tinggal diam untuk mencelanya. Yang saya yakini bahwa para ulama Asy’ariyyah tersebut, walaupun yang paling rendah di antara mereka di hari kiamat nanti kelak akan menjadi musuh-musuhnya. Hanya kepada Allah kita berharap agar bebannya diringankan, semoga Allah memberi ilham kepada para ulama tersebut untuk memaafkannya, juga semoga Allah memberikan syafa’at mereka baginya. Sementara itu, para ulama yang semasa dengan kami mengatakan bahwa semua pendapat yang berasal dari dirinya tidak boleh di anggap dan tidak boleh dijadikan sandaran”[5].
Pada bagian lain, masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Adapun kitab at-Târîkh karya guru kami; adz-Dzahabi, semoga Allah memberikan ampunan kepadanya, sekalipun sebuah karya yang bagus dan menyeluruh, namun di dalamnya penuh dengan panatisme berlebihan, semoga Allah memaafkannya. Di dalamnya ia telah banyak mencaci-maki para ahli agama, yaitu mencaci maki kaum sufi, padahal mereka itu adalah orang-orang saleh. Ia juga banyak menjelekan para Imam terkemuka dari kalangan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi. Ia memiliki kebencian yang berlebihan terhadap kaum Asy’ariyyah. Sementara terhadap kaum Mujassimah ia memiliki kecenderungan bahkan ia memuji-muji mereka. Walau demikian ia tetap salah seorang Hâfizh terkemuka dan Imam yang agung. Jika sejarawan (Mu’arrikh) sekelas adz-Dzahabi saja memiliki kecenderungan panatisme madzhab berlebihan hingga batas seperti ini, maka bagaimana lagi dengan para sejarawan yang berada jauh di bawah tingkatan adz-Dzahabi?! Karena itu pendapat kami ialah bahwa penilaian al-Jarh (cacian) dan al-Madh (pujian) dari seorang sejarawan tidak boleh diterima kecuali apa bila terpenuhi syarat-syarat yang telah dinyatakan oleh Imam agung umat ini (Habr al-Ummah), yaitu ayahanda kami (al-Imâm Taqiyuddin as-Subki), semoga rahmat Allah selalu tercurah atasnya”.
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya karyanya berjudul Qam’u al-Mu’âridl Bi Nushrah Ibn Fâridl menuliskan sebagai berikut:
“Anda jangan merasa heran dengan sikap sinis adz-Dzahabi. Sungguh adz-Dzahabi ini memiliki sikap benci dan sangat sinis terhadap al-Imâm Fakhruddin ar-Razi, padalah ar-Razi adalah seorang Imam yang agung. Bahkan ia juga sangat sinis terhadap Imam yang lebih agung dari pada Fakhruddin ar-Razi, yaitu kepada al-Imâm Abu Thalib al-Makki; penulis kitab Qût al-Qulûb. Bahkan lebih dari pada itu, ia juga sangat sinis dan sangat benci terhadap al-Imâm yang lebih tinggi lagi derajatnya dari pada Abu Thalib al-Makki, yaitu kepada al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Padahal siapa yang tidak kenal al-Asy’ari?! Namanya harum semerbak di seluruh penjuru bumi. Sikap buruk adz-Dzahabi ini ia tulis sendiri dalam karya-karyanya, seperti al-Mîzân, at-Târikh, dan Siyar A’lâm an-Nubalâ’. Adakah anda akan menerima penilaian buruk adz-Dzahabi ini terhadap para ulama agung tersebut?! Demi Allah sekali-kali jangan, anda jangan pernah menerima penilaian adz-Dzahabi ini. Sebaliknya anda harus menempatkan derajat para Imam agung tersebut secara proporsional sesuai dengan derajat mereka masing-masing”[6].
Asy-Syaikh al-Imâm Ibn al-Wardi dalam kitab Târîkh Ibn al-Wardi pada bagian akhir dari juz ke dua dalam penulisan biografi adz-Dzahabi mengatakan bahwa di akhir hayatnya adz-Dzahabi bersegera menyelesaikan kitab Târîkh-nya. Dalam kitab at-Târîkh ini adz-Dzahabi menuliskan biografi para ulama terkemuka di daratan Damaskus dan lainnya. Metode penulisan yag dipakai adalah dengan bertumpu kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara mereka dari masa ke masa. Hanya saja buku ini kemudian berisi sinisme terhadap beberapa orang ulama terkemuka[7].
Saya Abou Fateh, penulis buku yang lemah ini, –sama sekali bukan untuk tujuan mensejajarkan diri dengan para ulama di atas dalam menilai adz-Dzahabi, tapi hanya untuk saling mengingatkan di antara kita–, menambahkan:
“Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Kebanyakan apa yang diajarkan oleh Ibn Taimiyah telah benar-benar diserap olehnya, tidak terkecuali dalam masalah akidah. Salah satu karya adz-Dzahabi yang sekarang ini merupakan salah satu rujukan utama kaum Wahhabiyyah dalam menetapkan akidah tasybîh mereka adalah sebuah buku berjudul “al-‘Uluww Li al-‘Aliyy al-‘Azhîm”. Buku ini wajib dihindari dan dijauhkan dari orang-orang yang lemah di dalam masalah akidah. Karena ternyata, –dan ini yang membuat miris penulis–, tidak sedikit di antara generasi muda kita sekarang yang terlena dengan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dan faham-faham Wahhabiyyah hingga menjadikan buku adz-Dzahabi ini sebagai salah satu rujukan dalam menetapkan akidah tasybîh mereka. Hasbunallâh.
***************** footnote ********************
[1] Târîkh adz-Dzahabi.
[2] Ibid.
[3] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 352-354
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 185.
[5] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 190 dalam penyebutan biografi Ahmad ibn Shaleh al-Mishri.
[6] Lihat ar-Raf’u Wa at-Takmîl Fî al-Jarh Wa at-Ta’dîl, h. 319-320 karya asy-Syaikh Abd al-Hayy al-Laknawi mengutip dari risalah Qam’u al-Mu’âridl karya al-Hâfizh as-Suyuthi. Tidak sedikit para ulama dalam karya mereka masing-masing menuliskan sikap buruk adz-Dzahabi ini terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, kaum Asy’ariyyah, dan secara khusus kebenciannya terhadap kaum sufi, di antaranya salah seorang sufi terkemuka al-Imâm Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani dengan karyanya berjudul Mir’âh al-Janân Wa ‘Ibrah al-Yaqzhân, dan al-Imâm Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dengan karyanya berjudul al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fî Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, termasuk beberapa karya yang telah kita sebutkan di atas.
[7] Lihat Barâ’ah al-Asy’ariyyîn mengutip dari Târîkh Ibn al-Wardi, j. 2, h. 13


Ref ::salafytobat.wordpress.com/

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...