Rabu, 19 Juni 2013

Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Wudhu

Bismillahirrohmaanirrohim

Memang kita menemukan adanya perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang hukum menyentuh mushaf Al-Quran. Sebagian berpendapat bahwa menyentuh mushaf itu harus dalam keadaan suci dari hadats kecil dan juga hadats besar. Artinya harus berwudhu' dulu baru boleh sentuh mushaf Al-Quran.

Sementara sebagian lagi dari masyarakat kita punya kecenderungan untuk membolehkan orang yang tidak punya wudhu' untuk menyentuh mushaf.

A. Khilafiyah Kalangan Mujtahid

Sebenarnya masalah ini bukan sekedar perbedaan pendapat di tengah masyarakat awam kita, namun sudah sejak masa salaf dulu kita menemukan perbedaan pendapat ini, yang menjadi diskusi menarik para ahli ilmu, mujtahid dan fuqaha'.

Peta sederhananya adalah bahwa jumhur ulama mewajibkan wudhu, namun ada mazhab Dzhahiri yang membolehkan.

1. Jumhur Ulama : Harus Suci Dari Hadats Kecil

Kalau kita buka literatur kitab-kitab fiqih klasik, memang kita akan dapati bahwa ternyata jumhur (mayoritas) ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Al-Quran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil. Dalam kata lain, haram menyentuh mushaf bila tidak punya wudhu'.

Di kalangan para shahabat Nabi SAW ada begitu banyak ulama yang mengharamkan kita menyentuh mushaf kecuali bila kita suci dari hadats. Di antara mereka yang mengharamkan adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Sa'ad bin Abi Waqqash ridhwanullahi 'alaihim ajmain.

Sedangkan di kalangan tabi'in dan generasi berikutnya adalah Said bin Zaid, Atha', Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakha'i, Hammad, dan yang lainnya.

Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil, untuk menyentuh mushaf meski pun dengan alas atau batang lidi.

Sedangkan Al-Hanafiyah meski mengharamkan sentuhan langsung, namun bila dengan menggunakan alas atau batang lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.

Dasar yang umumnya digunakan adalah ayat berikut ini :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطَهَّرُون

Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi’ah : 79)

Selain itu juga ada dalil keharammnya dari hadits Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لاَ يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik).

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa keharaman menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil ini sudah menjadi pendapat jumhur ulama yang didukung 4 mazhab utama. Artinya, tidak ada khilafiyah di antara keempat mazhab itu tentang haramnya seorang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.

2. Mazhab Ad-Dhzahiri : Membolehkan

Ibnu Qudamah menegaskan bahwa satu-satunya mazhab yang membolehkan orang yang berhadats menyentuh mushaf Al-Quran adalah mahzah Adz-Dhzahiri.

Dalam pandangan mazhab ini yang diharamkan menyentuh mushaf hanyalah orang yang berhadats besar sedangkan yang berhadats kecil tidak diharamkan.

Sedangkan di kalangan shahabat, di antara mereka yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa wudhu adalah pendapat Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.

B. Studi Kritis Atas Tafsir Ayat Al-Quran

Salah satu titik krusial perbedaan pendapat ini adalah masalah ayat Al-Quran yang dijadikan dalil, yaitu ayat ke-79 dari surat Al-Waqi'ah di atas :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطَهَّرُون

Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi’ah : 79)

Kalau kita buka kitab tasifr klasik, memang kita menemukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dibicarakan dalam ayat ini.

Dalam kitab Al-Jami' li Ahkamil Quran karya Al-Imam Al-Qurthubi disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat pada dua hal. Pertama, apakah kata 'menyentuh' disini maksudnya menyentuh secara fisik atau secara kiasan. Kedua, siapa yang dimaksud dengan 'al-muthahhrun' dalam ayat ini, orang yang tidak berhadats kah atau para malaikat?

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan 'al-muthahhrun' disini bukan orang yang suci dari hadats, tetapi para malaikat. Dan objek yang tidak disentuh itu bukan mushaf Al-Quran yang kita kenal, melainkan Al-Quran yang ada di Lauhil Mahfudz di atas langit sana.

Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Anas, Said bin Jubair, Qatadah, Abu Al-'Aliyah dan Ibnu Zaid.

Namun sebagian ulama menyebutkan bahwa dalam menafsirkan ayat Al-Quran memang bisa saja dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan zahir dan pendekatan kiasan. Hanya saja, kalau ayat Al-Quran masih bisa ditafsirkan apa adanya lewat pendekatan zahir, tidak boleh langsung ditafsirkan lewat pendekatan kiasan. Oleh karena itu menurut pendapat ini, yang lebih tepat menafsirkan ayat ini dengan pendekatan zahir apa adanya, tidak dikiaskan kepada hal yang lain.

Inilah keterangan dari ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA.

Saran saya sebagai penyusun  (ADLOG/ADMIN BLOG) ambillah pendapat pertama,kecuali jika anda sebagai pengajar Al-quran,penjual mushhaf atau untuk kalangan sendiri saja tanpa disebarkan silahkan ambil pendapat kedua.

Ref :
http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1360580133&=bolehkah-menyentuh-mushaf-tanpa-wudhu.htm

HUKUM HAJI BAGI WANITA TANPA MAHROM

Bismillahirrohmaanirrohim

Para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang.

1. Pendapat Pertama: Mengharuskan ada mahram secara mutlak.

Seorang wanita yang sudah akil baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih dari tiga hari kecuali ada suami atau mahram bersamanya. Hal itu sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu dalam sabda beliau.

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya. (HR Muttafaq 'alaihi)

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah, "Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya." Ada seorang bertanya,`Ya Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun isteriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,"Pergilah bersama isterimu untuk haji bersama isterimu." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad.)

Dengan dua dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, sebagian ulama berpendapat wanita diharamkan bepergian sejauh perjalanan 3 hari, kecuali harus benar-benar ditemani oleh mahramnya atau suaminya. Dan di antara yang berpendapat demikian antara lain: Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri dan Ishaq rahimahumullah.

Buat kalangan ini, keberadaan mahram atau suami adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi bila seorang wanita ingin bepergian. Tanpa keberadaan salah satu dari keduanya, maka tidak halal bagi wanita untuk bepergian keluar rumah lebih dari tiga hari lamanya.

Abu Hanifah menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa seorang wanita yang tidak punya mahram atau tidak ada suami yang menemaninya, maka tidak wajib untuk menunaikan ibadah haji yang wajib atasnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji.

2. Pendapat Kedua: Tidak mengharuskan secara mutlak

Sebagian ulama memahami hadits yang digunakan oleh pendapat di atas bukan sebagai syarat mutlak, melainkan sebagai sebagai gambaran tentang perhatian Islam kepada para wanita dan upaya melindungi mereka dari ketidak-amanan perjalanan.

Hal itu lantaran di masa itu memang belum ada jaminan keamanan bagi wanita yang bepergian sendirian. Sehingga keberadaan mahram atau suami adalah antisipasi dari buruknya keadaan di masa lalu, khususnya dalam perjalanan menembus padang pasir jauh dari peradaban.

Namun ketika keadaan masyarakat sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi ancaman dan bahaya yang menghadang di tengah jalan, maka tidak lagi diperlukan mahram atau suami. Hal itu tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti berikut ini:

`Wahai Adi, Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya. Beliau bersabda, "Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita bepergian dari kota Hirahberjalan sendirian hinggabisa tawaf di Ka`bah, dengan keadaan tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata, "Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di ka'bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah." (HR Bukhari).

Dari hadits yang dishahihkan oleh Al-Imam Al-Bukhari ini, para ulama pendukung pendapat kedua mengambil kesimpulan bahwa syarat kesertaan mahram itu bukan syarat mutlak, melainkan syarat yang diperlukan pada saat perjalanan keluar kota yang tidak terjamin keamanannya, baik dari kejahatan maupun dari fitnah lainnya.

Dan jelas sekali digambarkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang bepergian dari Hirah ke Makkah sendirian tanpa takut dari ancaman apapun. Dan bahwa seorang wanita akan berjalan sendirian, menembus gelapnya malam dan melintasi padang pasir tak bertepi, tetapi dia sama sekali tidak takut atas ancaman apapun.

Dengan amat jelasnya penggambaran nabi SAW ini, menurut para ulama, hal itu tidak lain menunjukkan hukum kebolehan seorang wanita bepergian sendirian ke luar kota, tanpa mahramatau juga suami. Dengan demikian, keberadaan mahram atau suami dibutuhkan hanya pada saat tidak adanya keamanan saja.

Ini adalah pendapat yang didukung oleh Al-Imam Malik. Al-Imam Asy-Syafi`i, Daud Azh-Zhahiri, Hasan Al-Bashri, Al-Mawardi dan lainnya. Bahkan Al-Imam Asy-syafi'i dalam salah satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Semua mensyaratkan satu hal saja, yaitu amannya perjalanan dari fitnah.

Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan bila aman dari fitnah, para wanita boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah (bisa dipercaya).

KATA SAYA (PENYUSUN): "AMAN DARI FITNAH"inilah inti dr pelarangan itu,pertanyaanya amankah wanita zaman sekarang ?

Sedangkan Al-Mawardi dari ulama kalangan As-Syafi'iyah mengatakan bahwa sebagian dari kalangan pendukung mazhab As-syafi'i berpendapat bahwa bila perjalanan itu aman dan tidak ada kekhawatiran dari khalwat antara laki dan perempuan, maka para wanita boleh bepergian tanpa mahram bahkan tanpa teman seorang wanita yang tsiqah.

KATA SAYA (PENYUSUN) :INILAH BENTUK FITNAH YG MEREKA MAKSUDKAN ,pertanyaanya amankah wanita zaman sekarang menurut anda dari BENTUK FITNAH ITU ?KALAU AMAN SILAHKAN....

Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang hukumnya sunnah,hukum kebolehannyatidak berlaku. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman.
KATA SAYA (PENYUSUN) :KALAU YG WAJIB AJA SEPERTI INI BAGAIMANA DENGAN YANG SUNNAH DAN MUBAH....???

Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para isteri nabi pun pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Demikian disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari.

Ibnu Taimiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah.

Perjalanan di Luar Haji

Semua perbedaan pendapat di atas masih dalam koridor pergi haji bagi wanita tanpa mahram. Lalu bagaimana dengan bepergiannya wanita tanpa mahram tapi bukan untuk haji. Dalam hal ini para ulama sekali lagi berbeda pendapat.

Sebagian ulama yang membolehkan wanita bepergian sendirian, hanya membolehkan untuk haji yang wajib. Sedangkan haji yang hukumnya sunnah, bukan wajib, maka hukumnya tetap tidak boleh.
Sebagian lainnya mengatakan bahwa kebolehan wanita bepergian tanpa mahram itu hanya khusus untuk ibadah haji saja, sedangkan bila di luar kepentingan pergi haji, maka hukumnya tetap tidak boleh kecuali harus dengan mahram
Sebagian lainnya lagi mengqiyaskan kebolehan pergi yang bukan haji dengan kebolehan haji di atas. Sehingga bagi mereka, semua bentuk perjalanan yang hukumnya halal, wania boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan aman dari fitnah, atau ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Ref :http://www.rumahfiqih.com/ust/e2.php?id=1166431950

Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan Karena Zina

Bismillahirrohmaanirrohim
Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan Karena Zina
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
Ada dua kategori wanita yang tidak perawan, yaitu karena berstatus janda atau pernah berzina. Yang dimaksud dalam judul tulisan ini adalah makna yang kedua. Tulisan ini berasal dari sebuah pertanyaan yang dikirim ke info@alkhoirot.com sebagai berikut: “Apakah hukum dalam agama Islam menikah dengan wanita yang pernah berzina atau sudah tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas?”

Pertanyaan itu timbul karena ada firman Allah dalam QS An-Nur 24:3 yang menyatakan:  “Seorang lelaki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Seorang wanita pezina tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Hal itu diharamkan bagi seorang mukmin.”[1] Secara eksplisit ayat ini jelas menyatakan larangan menikah dengan wanita yang pernah berzina. Itulah sebabnya si penanya menjadi ragu-ragu ketika hendak menikahi seorang perempuan yang ternyata sudah tidak perawan lagi karena pernah melakukan hubungan zina dengan lelaki yang dikenal sebelumnya.

Ismail bin Umar Ibnu Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi dalam Tafsir Ibnu Katsir membandingkan ayat ini dengan QS An-Nisa’ 4:25 di mana Allah berfirman “…sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”[2] Dalam konteks inilah Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal demikian:

ذهب الإمام أحمد بن حنبل ، رحمه الله ، إلى أنه لا يصح العقد من الرجل العفيف على المرأة البغي ما دامت  كذلك حتى تستتاب ، فإن تابت صح العقد عليها وإلا فلا وكذلك لا يصح تزويج المرأة الحرة العفيفة بالرجل الفاجر المسافح ، حتى يتوب توبة صحيحة; لقوله تعالى : وحرم ذلك على المؤمنين

(Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwasanya tidak sah akad nikah laki-laki saleh yang menikahi wanita nakal (pezina)  kecuali setelah bertaubat. Apabila wanita itu bertaubat maka sah akad nikahnya. Begitu juga tidak sah perkawinan wanita salihah dengan laki-laki pezina kecuali setelah melakukan taubat yang benar karena berdasar pada firman Allah dalam akhir ayat QS An-Nur 24:3.)[3]

Sementara itu Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menguraikan sejumlah perbedaan penafsiran dan ikhtilaf ulama dalam memahami ayat QS An-Nur 24:3 tersebut.  Dari pendapat Ibnu Mas’ud yang mengharamkan menikahi wanita perzina sampai pendapat Said bin Al-Musayyab dan segolongan ulama yang membolehkan wanita pezina secara mutlak karena menganggap ayat 24.3 sudah di-naskh oleh QS Annur 24:23 yang berbunyi ” Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…” .[4] Selain itu, ulama yang membolehkan menikahi wanita pezina berargumen adanya hadits dari Sahabat Jabir sebagai berikut:

أن رجلا أتى النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال يا رسول الله إن امرأتي لا تدفع يد لامس ؟ قال : طلقها ، قال : فإني أحبها وهي جميلة ، قال : استمتع بها . وفي رواية غيره ” فأمسكها إذا

Artinya: Seorang laki-laki datang pada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, istri saya tidak pernah menolak sentuhan tangan lelaki.” Nabi menjawab, “Ceraikan dia!”. Pria itu berkata: “Tapi saya mencintainya karena dia cantik”. Nabi menjawab: “Kalau begitu jangan dicerai.”[5]

Dari hadits ini, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk menyimpulkan:

وإن زنى رجل بزوجة رجل لم ينفسخ نكاحها، وبه قال عامة العلماء ، وقال على بن أبى طالب: ينفسخ نكاحها وبه قال الحسن البصري دليلنا حديث ابن عباس في الرجل الذى قال للنبى صلى الله عليه وسلم: إن امرأتي لا ترد يد لامس

(Apabila seorang lelaki berzina dengan istri orang lain, maka nikah perempuan itu tidak rusak (tidak batal). Ini pendapat kebanyakan ulama. Ali bin Abi Talib berkata: nikahnya rusak (batal) pendapat ini diikuti Al-Hasan Al-Bishri. Dalil kita adalah hadits Ibnu Abbas di mana seorang laki-laki yang istrinya berzina diberi pilihan oleh Nabi untuk mentalak atau tidak.)[6]

Pendapat Imam Nawawi di atas senada dengan pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Umm yang menyatakan:[7]

فالاختيار للرجل أن لا ينكح زانية وللمرأة أن لا تنكح زانيا فإن فعلا فليس ذلك بحرام على واحد منهما ليست معصية واحد منهما في نفسه تحرم عليه الحلال إذا أتاه قال وكذلك لو نكح امرأة لم يعلم أنها زنت فعلم قبل دخولها عليه أنها زنت قبل نكاحه أو بعده لم تحرم عليه ولم يكن له أخذ صداقه منها ولا فسخ نكاحها وكان له ان شاء أن يمسك وإن شاء أن يطلق وكذلك إن كان هو الذى وجدته قد زنى قبل أن ينكحها أو بعدما نكحها قبل الدخول أو بعده فلا خيار لها في فراقه وهى زوجته لحالها ولا تحرم عليه وسواء حد الزانى منهما أو لم يحد أو قامت عليه بينة أو اعترف لا يحرم زنا واحد منهما ولا زناهما ولا معصية من المعاصي الحلال إلا أن يختلف ديناهما بشرك وإيمان.

(Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan.            Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar [pilihan] untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.)

Pernikahan Wanita Hamil Zina

Masalah kedua yang timbul dan banyak terjadi dewasa ini adalah bagaimana apabila wanita pezina tadi ternyata dalam keadaan hamil, bolehkah dinikahi?  Ulama fiqih madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil zina berdasarkan pada hadits sahih riwayat Abu Daud dan Hakim di mana Nabi bersabda: “Wanita hamil tidak boleh dijimak (dinikahi) kecuali setelah melahirkan.”[8]

Madzhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa boleh hukumnya menikahi wanita hamil karena zina. Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alwi, seorang ulama madzhab Syafi’i, dalam kitab Bughiyatul Mustarsyidin menyatakan: “boleh menikahi wanita hamil karena zina baik oleh yang menzinahinya maupun pria lain. Begitu juga boleh melakukan hubungan intim tapi makruh.”[9]

Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzab juga menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil zina karena kehamilannya tidak dinasabkan kepada siapapun karena itu adanya janin dianggap tidak ada.”[10] Senada dengan pendapat ini adalah Zakaria Al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib di mana ia menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil karena zina dan berhubungan intim dengannya seperti halnya wanita yang tidak hamil karena tidak ada keharaman bagi wanita itu.”[11]

ٍIbnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah  secara ringkas menguraikan sejumlah pendapat antar-madzhab yang berbeda-beda sebagai berikut: [12]

ِ وَأَمَّا نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا فَفِيهِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ أَيْضًا بَيْن أَئِمَّتِنَا وَغَيْرِهِمْ وَالصَّحِيحُ عِنْدَنَا الصِّحَّةُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه لِأَنَّهَا لَيْسَتْ في نِكَاحٍ وَلَا عِدَّةٍ من الْغَيْر وَعَنْ مَالِكٍ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه قَوْلٌ بِخِلَافِهِ

 ثُمَّ إذَا قَلَّدَ الْقَائِلِينَ بِحِلِّ نِكَاحِهَا وَنَكَحَهَا فَهَلْ له وَطْؤُهَا قبل الْوَضْعِ الذي صَحَّحَهُ الشَّيْخَانِ نعم قال الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ لَا حُرْمَة لِحَمْلِ الزِّنَا وَلَوْ مُنِعَ الْوَطْءُ لِمَنْعِ النِّكَاحِ كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ وقال ابن الْحَدَّادِ من أَئِمَّتِنَا لَا يَجُوزُ له الْوَطْءُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَدَاوُد رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى وَاسْتَدَلُّوا بِخَبَرِ أبي دَاوُد وَالتِّرْمِذِيِّ وَلَفْظُهُ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخَرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَيُجَابُ بِأَنَّ ذلك إنَّمَا وَرَدَ لِلتَّنْفِيرِ عن وَطْءِ الْمَسْبِيَّةِ الْحَامِلِ لِأَنَّ حَمَلَهَا مُحْتَرَمٌ فَحُرِّمَ الْوَطْءُ لِأَجْلِ احْتِرَامِهِ بِخِلَافِ حَمْلِ الزِّنَا فإنه لَا حُرْمَةَ له تَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْوَطْءِ وَعَلَى الْقَوْلِ بِحِلِّهِ هو مَكْرُوهٌ كما في الْأَنْوَارِ وَغَيْرِهِ خُرُوجًا من خِلَافِ من حَرَّمَهُ هذا كُلُّهُ فِيمَا تُحُقِّقَ أَنَّهُ من الزِّنَا

(Adapun menikahi wanita hamil zina terdapat perbedaan ulama. Yang sahih adalah pendapat yang mengesahkan. Abu Hanifah berkata wanita hamil itu tidak dalam keadaan nikah dan tidak dalam keadaan iddah dari pria lain. Sedang dari Imam Malik terdapat pendapat yang berbeda.

Kemudian apabila orang bertaklid pada pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil lalu menikah dengannya apakah boleh berhubungan intim sebelum wanita itu melahirkan?  Pendapat yang sahih menurut Syaikhain [Nawawi – Rafi’i] adalah boleh.  Sedangkan menurut pendapat Ibnul Haddad tidak boleh hubungan intim selama hamil. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Malik, dan Dawud… Bagi pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil zina, maka makruh melakukan hubungan intim sebelum melahirkan seperti keterangan dalam kitab Al-Anwar dan lainnya).

Seperti dijelaskan di muka bahwa dalam tinjauan fiqih sah hukumnya pernikahan wanita pezina baik dalam keadaan hamil atau tidak. Baik pria yang menikahi sama-sama perzina atau orang salih Namun demikian, bagi lelaki dan wanita salih, menikah dengan pasangan yang pernah berzina hendaknya menjadi pilihan terakhir kecuali kalau memang sudah betul-betul taubat. Karena hal itu akan memiliki efek psikologis dan sosial kelak di kemudian hari dalam kehidupan berumahtangga.Kalau bisa memilih pasangan yang salih dan salihah mengapa harus memilih pasangan yang punya masa lalu kelam?[]
________________

CATATAN KAKI

[1]  الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين
[2]  محصنات غير مسافحات ولا متخذات أخدان. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[3] Ibid.
[4] Lihat Tafsir Al-Baghawi dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[5] Ibid
[6] Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 6/223
[7] Imam Syafi’i dalam Al-Umm , 5/13.
[8] Teks hadits: لا توطأ حامل حتى تضع
[9] Teks asal: يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. Lihat Bughiyatul Mustarsyidin 1/419.
[10] Teks asal: ويجوز نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه. Lihat Al-Muhadzab 2/45.
[11] Teks asal: َ. يَجُوزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا وَكَذَا وَطْؤُهَا كَالْحَائِلِ إذْ لَا حُرْمَةَ له Lihat Asnal Matalib, 3/393.
[12] Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah, 4/93.

 Ref :http://www.fatihsyuhud.net/2013/01/hukum-menikahi-wanita-tidak-perawan-karena-zina/

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...