Senin, 22 Desember 2014

KEBIJAKAN ULAMA DALAM IKHTILAF QUNUT SUBUH

Bismillahirrohmaanirrohim
          Persoalan membaca doa qunut pada shalat subuh ketika i’tidal kedua, merupakan perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi. Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, pikiran, bahkan sampai memecahkan barisan kaum muslimin. Sebenarnya, bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Benarkah para Imam Ahlus Sunnah satu sama lain saling mengingkari secara keras, sebagaimana perilaku para penuntut ilmu dan orang awam yang kita lihat hari ini dari kedua belah pihak?
Ilustrasi (Republika Online)          Kali ini, saya tidak akan membahas qunut pada posisi, “Mana yang lebih benar, qunut atau tidak qunut?” yang justru kontra produktif dengan tema yang sedang saya bahas. Walau bagi saya tidak berqunut adalah pendapat yang lebih kuat. Tetapi, mereka yang berqunut adalah saudara seiman yang harus dijaga perasaannya dan dipelihara hubungannya. Tidak mengingkari mereka, lantaran mereka pun berpijak pada pendapat para Imam Ahlus Sunnah lainnya, yang juga memiliki sejumlah dalil dan alasan yang dipandang kuat oleh mereka. Sedangkan para imam kita telah menegaskan kaidah, “Al Ijtihad Laa Yanqudhu bil Ijtihad (Suatu Ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh Ijtihad lainnya),” dan “Laa inkara fi masaail ijtihadiyah (tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah).”

         Qunut Subuh Benar-Benar Khilafiyah Ijtihadiyah
         Kita lihat peta perbedaan ini, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama sebagai berikut:
Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya sebagai berikut:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ و قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ   يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ

“Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (subuh), sebagian Ahli ilmu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan lainnya berpendapat bahwa qunut ada pada shalat subuh, dan ini adalah pendapat Malik dan Asy Syafi’i. Sedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin. Jika turun musibah, maka bagi imam berdoa untuk para tentara kaum muslimin.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

Berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :

اختلفوا في القنوت، فذهب مالك إلى أن القنوت في صلاة الصبح مستحب، وذهب الشافعي إلى أنه سنة وذهب أبو حنيفة إلى أنه لا يجوز القنوت في صلاة الصبح، وأن القنوت إنما موضعه الوتر وقال قوم: بيقنت في كل صلاة، وقال قوم: لا قنوت إلا في رمضان،  وقال قوم: بل في النصف الاخير منه وقال قوم: بل في النصف الاول منه.

“Mereka berselisih tentang qunut, Malik berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan Abu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat subuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir. Ada kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat. Kaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan. Kaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. Ada juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz. 1, Hal. 107-108. Darul Fikr)

Juga diterangkan di dalam kitab Al Mausu’ah sebagai berikut:

ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى مَشْرُوعِيَّةِ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ . قَال الْمَالِكِيَّةُ : وَنُدِبَ قُنُوتٌ سِرًّا بِصُبْحٍ فَقَطْ دُونَ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ قَبْل الرُّكُوعِ ، عَقِبَ الْقِرَاءَةِ بِلاَ تَكْبِيرٍ قَبْلَهُ .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُسَنُّ الْقُنُوتُ فِي اعْتِدَال ثَانِيَةِ الصُّبْحِ ، يَعْنِي بَعْدَ مَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ ، وَلَمْ يُقَيِّدُوهُ بِالنَّازِلَةِ .
وَقَال الْحَنَفِيَّةُ ، وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ قُنُوتَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ إِلاَّ فِي النَّوَازِل وَذَلِكَ لِمَا رَوَاهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ ، وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : – أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِلاَّ أَنْ يَدْعُو لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ وَمَعْنَاهُ أَنَّ مَشْرُوعِيَّةَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ مَنْسُوخَةٌ 
فِي غَيْرِ النَّازِلَةِ

“Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan Asy Syafi’iyah (pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat bahwa doa qunut pada shalat subuh adalah disyariatkan. Berkata Malikiyah: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan) pada shalat subuh saja, bukan pada shalat lainnya. Dilakukan sebelum ruku setelah membaca surat tanpa takbir dulu.
Kalangan Asy Syafi’iyah mengatakan: qunut disunnahkan ketika i’tidal kedua shalat subuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua, mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.
Kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan Hanabilah (pengikut Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan: Tidak ada qunut dalam shalat subuh kecuali qunut nazilah. Hal ini karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkan doa tersebut).” (HR. Muslim dan An Nasa’i). Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.” (HR. Ibnu Hibban). Artinya, syariat berdoa qunut pada shalat subuh telah mansukh (dihapus), selain qunut nazilah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/321-322. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Sedikit saya tambahkan, bahwa hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan hujjah oleh golongan Hanafiyah dan Hanabilah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, lalu beliau meninggalkan doa tersebut. Merupakan hadits shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Istihbab Al Qunut fi Jami’ish Shalah Idza Nazalat bil Muslimina Nazilah, No. 677.
Ada pun hadits Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum. Disebutkan oleh Imam Az Zaila’i, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, dan penulis At Tanqih mengatakan, hadits ini shahih. (Al Hazifh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 3/180. Mawqi’ Al Islam)

Sedangkan dalil yang menyunnahkan qunut subuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut subuh sampai faraqat dunia (meninggalkan dunia/wafat). (HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarani, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711. Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 2/139)

Sementara Al Hafizh Az Zaila’i menyebutkan riwayat dari Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafazhnya dari Rabi’ bin Anas: Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya: “Apakah Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?” Anas pun memberikan peringatan padanya, dan berkata: “Rasulullah senantiasa berqunut subuh sampai beliau meninggalkan dunia.” Ishaq berkata: hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah dalam qunutnya.” (Nashbur Rayyah, 3/183) Jadi, bukan meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang beliau doakan dalam qunut nazilah.

Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa saja yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah masyru’ (disyariatkan), yakni kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i. Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya. Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346) Itulah nama-nama yang menyetujui qunut subuh pada rakaat kedua.

Nah, demikian peta perselisihan mereka, dan juga sebagian kecil dalil-dalil kedua kelompok. Pastinya, sekuat apapun seorang pengkaji meneliti masalah ini, dia tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini, bahwa memang khilafiyah ini benar-benar wujud (ada). Maka, yang lebih esensi dan krusial pada saat ini adalah bagaimana mengelola perbedaan ini menjadi kekayaan yang bermanfaat, bukan warisan pemikiran yang justru membahayakan.
Selanjutnya, kita lihat bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah menyikapi perselisihan qunut subuh ini.

Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu
Beliau adalah salah satu dari imam empat mazhab terkenal di dunia Islam, khususnya Ahlus Sunnah, yang memiliki jutaan pengikut di berbagai belahan dunia Islam. Beliau termasuk yang menyatakan kesunnahan membaca doa qunut ketika shalat subuh. Beliau sendiri memiliki sikap yang amat bijak ketika datang ke jamaah yang tidak berqunut subuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .

“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Imam Ahmad bin Hambal termasuk yang membid’ahkan qunut dalam subuh, namun Beliau memiliki sikap yang menunjukkan ketajaman pandangan, keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap. Hal ini dikatakan oleh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على 
دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.

“Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
Beliau mengatakan, sebagaimana dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat subuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah
Beliau berpendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy Syaukani:
وقال الثوري وابن حزم : كل من الفعل والترك حسن
“Berkata Ats Tsauri dan Ibnu Hazm: “Siapa saja yang melakukannya dan meninggalkannya, adalah baik.” (Nailul Authar, 2/346)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Beliau memiliki pandangan yang jernih dalam hal qunut subuh ini. Walau beliau sendiri lebih mendukung pendapat yang tidak berqunut. Berikut ini ucapannya:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ
“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci). Begitu pula perselisihan seputar sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5/185. Mauqi’ Al Islam)

Beliau juga mengatakan bahwa para ulama sepakat berqunut atau tidak, shalat subuh adalah shahih. Perbedaan terjadi pada mana yang lebih utama. Katanya:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إذَا فَعَلَ كُلًّا مِنْ الْأَمْرَيْنِ كَانَتْ عِبَادَتُهُ صَحِيحَةً، وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ: لَكِنْ يَتَنَازَعُونَ فِي الْأَفْضَلِ.
وَفِيمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ، وَمَسْأَلَةُ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَالْوِتْرِ، مِنْ جَهْرٍ بِالْبَسْمَلَةِ، وَصِفَةِ الِاسْتِعَاذَةِ وَنَحْوِهَا، مِنْ هَذَا الْبَابِ.
فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ جَهَرَ بِالْبَسْمَلَةِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ خَافَتْ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَعَلَى أَنَّ مَنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ لَمْ يَقْنُتْ فِيهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْوِتْرِ.
Ulama sepakat bahwa melakukan salah satu di antara dua hal maka ibadahnya tetap shahih (sah), dan tidak berdosa atasnya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang mana yang utama. Pada apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, masalah qunut pada subuh dan witir, mengeraskan basmalah, bentuk isti’adzah, dan hal semisalnya yang termasuk pembahasan ini.
Mereka sepakat bahwa orang yang mengeraskan basmalah adalah sah shalatnya, dan yang menyembunyikan juga sah shalatnya, yang berqunut subuh sah shalatnya, begitu juga yang berqunut pada witir. (Al Fatawa Al Kubra, 2/116, Cet. 1, 1987M-1408H. Darul Kutub Al ’Ilmiyah)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah
Beliau termasuk yang melemahkan pendapat qunut subuh sebagaimana beliau uraikan dalam Zaadul Ma’ad, dan baginya adalah hal mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya pada shalat subuh. Tetapi, tak satu pun kalimat darinya yang menyebut bahwa qunut subuh adalah bid’ah, walau dia mengutip beberapa riwayat sahabat yang membid’ahkannya.
Bahkan Beliau sendiri mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kadang melakukan qunut dalam shalat subuh. Berikut ini ucapannya:

كَانَ تَطْوِيلَ الْقِرَاءَةِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُخَفّفُهَا أَحْيَانًا وَتَخْفِيفَ الْقِرَاءَةِ فِي الْمَغْرِبِ وَكَانَ يُطِيلُهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يَقْنُتُ فِيهَا أَحْيَانًا وَالْإِسْرَارَ فِي الظّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْقِرَاءَةِ ِكَانَ يُسْمِعُ الصّحَابَةَ الْآيَةَ فِيهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْجَهْرِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَانَ يَجْهَرُ بِهَا أَحْيَانًا .

“Dahulu Nabi memanjangkan bacaan pada shalat subuh dan kadang meringankannya, meringankan bacaan dalam shalat Maghrib dan kadang memanjangkannya, beliau meninggalkan qunut dalam subuh dan kadang dia berqunut, beliau tidak mengeraskan bacaan dalam shalat Ashar dan kadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada para sahabat, beliau tidak mengeraskan bacaan basmalah dan kadang beliau mengeraskan.” (Zaadul Ma’ad, 1/247. Muasasah Ar Risalah)

Beliau tidaklah mengingkari qunut secara mutlak, yang beliau ingkari adalah anggapan bahwa qunut subuh dilakukan terus menerus. Berikut ini ucapannya:

وقنت في الفجر بعد الركوع شهراً، ثم ترك القنوت ولم يكن مِن هديه القنوتُ فيها دائماً، ومِنْ المحال أن رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كان في كل غداة بعد اعتداله من الركوع يقول: “اللَّهُمَ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ…” الخ ويرفعُ بذلك صوته، ويؤمِّن عليه أصحابُه دائماً إلى أن فارق الدنيا

“(Beliau) Qunut dalam subuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat subuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setiap paginya setelah i’tidal dari ruku mengucapkan: “Allahumahdini fiman hadait wa tawallani fiman tawallait … dst” dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. (Ibid, 1/271)

Lalu beliau mengutip pertanyaan Sa’ad bin Thariq Al Asyja’i kepada ayahnya, di mana ayahnya pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, apakah mereka pernah qunut subuh? Ayahnya menjawab: Anakku, itu adalah muhdats (perkara yang diada-adakan). (HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan lainnya, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)

Beliau juga mengutip dari Said bin Jubair, dia berkata aku bersaksi bahwa aku mendengar, dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Qunut yang ada pada shalat subuh adalah bid’ah.” (HR. Ad Daruquthni No. 1723)

Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). (Nashbur Rayyah, 3/183). Imam Al Baihaqi mengatakan: tidak shahih. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang dhaiful hadits (hadits darinya dhaif). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)

Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah. Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits. Katanya:

فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه،ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن

“Maka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membid’ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini. Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya. Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunah, meninggalkannya juga sunah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bid’ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bid’ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya telah berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.” (Ibid, 1/274-275)

Syaikh ‘Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)

Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia
Mereka saat itu diketuai oleh Syaikh Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Sebenarnya secara resmi Lajnah Daimah membid’ahkan perilaku merutinkan qunut pada subuh, sebagaimana fatwa No. 2222. Namun, pada fatwa lainnya – yang ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudyan, dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi- mereka pun memberikan pandangan bijak, sebagai berikut:

وبالجملة فتخصيص صلاة الصبح بالقنوت من المسائل الخلافية الاجتهادية، فمن صلى وراء إمام يقنت في الصبح خاصة قبلالركوع 
أو بعده فعليه أن يتابعه، وإن كان الراجح الاقتصار في القنوت بالفرائض على النوازل فقط.

“Maka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat subuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah. Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut subuh, baik sebelum atau sesudah ruku, maka hendaknya dia mengikutinya. Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’, No. 902)

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah
Beliau ditanya:
عندنا إمام يقنت في صلاة الفجر بصفة دائمة فهل نتابعه ؟ وهل نؤمن على دعائه ؟

Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat subuh yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan apakah kami mesti mengaminkan doanya?

Beliau menjawab:
من صلى خلف إمام يقنت في صلاة الفجر فليتابع الإمام في القنوت في صلاة الفجر ، ويؤمن على دعائه بالخير ، وقد نص على ذلك 
الإمام أحمد رحمه الله تعالى

Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang berqunut pada shalat subuh, maka hendaknya dia mengikuti imam berqunut pada shalat subuh, dan mengaminkan doanya dengan baik. Telah ada riwayat seperti itu dari Imam Ahmad Rahimahullah. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fafatwa, 14/177)

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al Jibrin Rahimahullah
Beliau berpendapat jika qunut dilakukan tanpa sebab maka itu makruh, namun dia tetap menasihati agar jika ada yang melakukan karena mengikuti pendapat mazhab Syafi’i maka itu jangan ingkari.
Katanya:

وبكل حال فمن قنت تبعاً للشافعية فلا يُنكر عليه ، ولكن الصحيح أنه لا يشرع . ولم يثبت عنه صلى الله عليه وسلم ، الاستمرار عليه . فالأظهر أنه مكروه بلاسبب والله علم .

Bagaimana pun juga, bagi siapa saja yang berqunut karena mengikuti syafi’iyah maka jangan diingkari, tetapi yang benar adalah itu tidak disyariatkan. Tidak ada yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau merutinkannya. Maka, yang nampak adalah hal itu makruh dilakukan tanpa sebab. Wallahu A’lam. (Fatawa Islamiyah, 1/454. Dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)

Demikian. Pemaparan ini bukanlah dalam rangka mengaburkan permasalahan, tetapi dalam rangka – sebagaimana kata Imam Ahmad- menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghapuskan kebencian sesama kaum muslimin. Sebab, para imam yang berselisih pendapat pun memiliki sikap yang tidak melampaui batas-batas akhlak dan adab Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih. Sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran dari para A’immatil A’lam (imam-imam dunia) ini.

Nasihat Emas Imam Kaum Muslimin
Pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)

Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu
Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” (Majmu’ah Ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:

وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .

“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti mazhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Syamilah)

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

Nasihat Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:

قال ابن الجنيد: وسمعت يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.
Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no comment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Mu’asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)

Nasihat Imam An Nawawi Rahimahullah
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ

“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah
Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Syamilah)

Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Ketika membahas tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:
“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorang pun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yang murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat di antara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yang sunnah.”

Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halnya tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz 6, hal. 56)
Katanya lagi: “Ketika perluasan aktivitas dan penganekaragaman furu’ (cabang)-nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)

Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)

Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)

Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Imam Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain…

Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 1. hal. 383-384)

Jadi, setelah Anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
“Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)

Wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbail ‘alamin ….
Wallahu A’lam.

=================================
Sumber: http://www.dakwatuna.com

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...