Tampilkan postingan dengan label ILMU AGAMA ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ILMU AGAMA ISLAM. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 November 2014

Memahami wasiat Imam Syafii (klik judul untuk baca selengkapnya)

Bismillahirrohmaanirrohim
Alhamdulillah <saya baru tahu > ternyata pemahamanku selama ini terhadap pernyataan Imam Syafii yang redakasinya sbb :
إذا صح الحديث فهو مذهبي
Apabila saheh hadits maka itulah mazhabku

Ini didukung oleh Imam Nawawi rahimahulloh,  silahkan anda baca artikel dibawah ini :


Imam Syafi’i merupakan nama yang tidak asing lagi di telinga kita, terlebih lagi umat Islam Asia Tenggara umumnya merupakan penganut Mazhab beliau dalam bidang fiqh. Banyak mutia kalam Imam Syafii yang dikutip para ulama sesudahnya baik dalam ranah fiqh maupun lainnya. Salah satu wasiat Imam Syafii yang cukup terkenal adalah 
إذا صح الحديث فهو مذهبي
Apabila saheh hadits maka itulah mazhabku
Wasiat beliau ini banyak di salah artikan, di mana banyak kalangan yang dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafii hanya dapat di amalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan satu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dhahir hadits dan melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan wasiat Imam Syafii. Bahkan mereka menjadikan wasiat Imam Syafii ini sebagai hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan wasiat ini sebagai larangan dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau. Oleh karena itu kami tertarik ingin mengupas masalah ini. 

Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafii, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maskud wasiat Imam Syafii ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafii maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafii, terutama dalam penguasaan ilmu hadits. 

Ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafii tersebut. Imam Nawawi mengatakan :

وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك

“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafii ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafii dan langsung mengamalkan dhahir hadits. Wasiat ini hanya di tujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64)

Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafii tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan. 
Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafii ini dengan kata beliau 

وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

“tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah) 

Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafii tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafii tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafii meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafii dan shahabat beliau. Imam Nawawi yang hidup di abad ke 6 hijriyah mengakui sulitnya mendapati orang yang mencapai derajat ini. 

Tentang wawasan Imam Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :

ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي

“tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafii”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)

Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :
يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.” 
Imam Ahmad menjawab :
إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr)

Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafii tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafii hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafii yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafii yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95)

Imam Syafii juga mengucapkan wasiat ini pada beberapa masalah di mana yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah keshahihan hadits tersebut yang masih beliau ragukan, sehingga beliau mengaitkan apabila shahih hadits maka itulah pendapatku. Atas dasar inilah, para ulama pengikut beliau meninggalkan beberapa pendapat jadid beliau dan malah berpegang kepada pendapat qadim, karena dalam qaul jadid yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah karena keraguan pada keshahihan hadits saja, sehingga setelah ulama setelah beliau melakukan analisa terhadap hadits tersebut dan di simpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits shahih maka mereka langsung berpegang kepada pendapat qadim karena mengamalkan wasiat beliau ini. Kita lihat penjelasan Imam Syarwani dalam hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:
يعلم منه أنه حيث قال في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ وصيته من غير توقف على النظر في وجود معارض؛ لأنه - رضي الله تعالى عنه - لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته حينئذ وإلا فلا

Artinya : Bisa di ketahui bahwa jika Imam Syafi berkata pada satu tempat “jika sahih hadits pada masalah ini saya akan berpendapat demikian” maka wajib di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa tawaquf pada dalil lain yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak mengucapkan demikian kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh kecuali hanya tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan satu hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih dan segala mani`, bila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di amalkan wasiat beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh ..(Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani `ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)

Ketentuan ini berlaku dalam semua Mazhab, Imam al-Qurafi dalam Syarah al-Mahshul setelah mengutip wasiat Imam Syafii tersebut berkata :
فإنه كان مراده مع عدم المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن كان مع وجود المعارض فهذا خلاف الإجماع ...كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف على من له أهلية استقراء الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما استقراء غير المجتهد المطلق فلا عبرة به

“Maksudnya adalah bila tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah mazhab ulama seluruhnya bukan hanya khusus Mazhab Syafii. sedangkan bila ada dalil yang kontra maka hal ini adalah bertentangan dengan ijmak ulama…Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang mencoba berpegang kepada perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini adalah mazhab Syafii karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena harus tidak ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada dalil yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadits ini tidak ada dalil lain yang kontra dengannya. Adapun analisa selain mujtahid mutlaq maka tidak di terima”. (al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)

Imam Taqi as-Subki memberikan komentar mengenai syarat mengamalkan wasiat Imam Syafii yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi :
وهذا الذى قالاه رضي الله عنهما ليس راد لما قاله الشافعى ولا لكونها فضيلة امتاز بها عن غيره ولكنه تبيين لصعوبة هذا المقام حتى لا يغتر به كل احد

Artinya; perkataan keduanya (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) ini bukan berarti menolak perkataan Imam Syafii sendiri dan bukan pula karena wasiat ini merupakan satu kelebihan yang membedakan beliau dengan ulama lainnya tetapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan ini sehingga tidak akan ada orang yang tertipu dengannya. (as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 93)

Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafii sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafii tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafii yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafii kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafii tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafii semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafii melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid. 

Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada al-qur-an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafii dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafii.
Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada al-quran dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman al-quran menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga.

Sumber : http://lbm.mudimesra.com/2014/11/memahami-wasiat-imam-syafii.html

Senin, 13 Oktober 2014

Kisah Kucing Kesayangan Nabi SAW, dan Keistimewaan Kucing Dalam Islam

Bismillahirrohmaanirrohim



Didalam perkembangan peradaban islam, kucing hadir sebagai teman sejati dalam setiap nafas dan gerak geliat perkembangan islam.

Diceritakan dalam suatu kisah, Nabi Muhammad SAW memiliki seekor kucing yang diberi nama Mueeza. Suatu saat, dikala nabi hendak mengambil jubahnya, di temuinya Mueeza sedang terlelap tidur dengan santai diatas jubahnya. Tak ingin mengganggu hewan kesayangannya itu, nabi pun memotong belahan lengan yang ditiduri Mueeza dari jubahnya. Ketika Nabi kembali ke rumah, Muezza terbangun dan merunduk sujud kepada majikannya. Sebagai balasan, nabi menyatakan kasih sayangnya dengan mengelus lembut ke badan mungil kucing itu sebanyak 3 kali.

Dalam aktivitas lain, setiap kali Nabi menerima tamu di rumahnya, nabi selalu menggendong mueeza dan di taruh dipahanya. Salah satu sifat Mueeza yang nabi sukai ialah ia selalu mengeong ketika mendengar azan, dan seolah-olah suaranya terdengar seperti mengikuti lantunan suara adzan.

Kepada para sahabatnya, nabi berpesan untuk menyayangi kucing peliharaan, layaknya menyanyangi keluarga sendiri.

Hukuman bagi mereka yang menyakiti hewan lucu ini sangatlah serius, dalam sebuah hadist shahih Al Bukhori, dikisahkan tentang seorang wanita yang tidak pernah memberi makan kucingnya, dan tidak pula melepas kucingnya untuk mencari makan sendiri, Nabi SAW pun menjelaskan bahwa hukuman bagi wanita ini adalah siksa neraka.


Tak hanya nabi, istri nabi sendiri, Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq pun amat menyukai kucing, dan merasa amat kehilangan dikala ditinggal pergi oleh si kucing. Seorang sahabat yang juga ahli hadist, Abdurrahman bin Sakhr Al Azdi diberi julukan Abu Hurairah (bapak para kucing jantan), karena kegemarannya dalam merawat dan memelihara berbagai kucing jantan dirumahnya.

Penghormatan para tokoh islam terhadap kucing pasca wafatnya Nabi SAW.


Dalam buku yang berjudul Cats of Cairo, pada masa dinasti mamluk, baybars al zahir, seorang sultan yang juga pahlawan garis depan dalam perang salib sengaja membangun taman-taman khusus bagi kucing dan menyediakan berbagai jenis makanan didalamnya. Tradisi ini telah menjadi adat istiadat di berbagai kota-kota besar negara islam. Hingga saat ini, mulai dari damaskus, istanbul hingga kairo, masih bisa kita jumpai kucing-kucing yang berkeliaran di pojok-pojok masjid tua dengan berbagai macam makanan yang disediakan oleh penduduk setempat.

Pengaruh Kucing dalam Seni Islam.

Pada abad 13, sebagai manifestasi penghargaan masyarakat islam, rupa kucing dijadikan sebagai ukiran cincin para khalifah, termasuk porselen, patung hingga mata uang. Bahkan di dunia sastra, para penyair tak ragu untuk membuat syair bagi kucing peliharaannya yang telah berjasa melindungi buku-buku mereka dari gigitan tikus dan serangga lainnya.

Kucing yang memberi inspirasi bagi para sufi.

Seorang Sufi ternama bernama ibnu bashad yang hidup pada abad ke sepuluh bercerita, suatu saat ia dan sahabat-sahabatnya sedang duduk santai melepas lelah di atas atap masjid kota kairo sambil menikmati makan malam. Ketika seekor kucing melewatinya, Ibnu Bashad memberi sepotong daging kepada kucing itu, namun tak lama kemudian kucing itu balik lagi, setelah memberinya potongan yang ke dua, diam-diam Ibnu Bashad mengikuti kearah kucing itu pergi, hingga akhirnya ia sampai disebuah atap rumah kumuh, dan didapatinya si kucing tadi sedang menyodorkan sepotong daging yang diberikan Ibnu Bashad kepada kucing lain yang buta kedua matanya. Peristiwa ini sangat menyentuh hatinya hingga ia menjadi seorang sufi sampai ajal menjemputnya pada tahun 1067.

Selain itu, kaum sufi juga percaya, bahwa dengkuran nafas kucing memiliki irama yang sama dengan dzikir kalimah Allah.


Cerita yang dijadikan sebagai sauri tauladan

Salah satu cerita yang cukup mahsyur yaitu tentang seekor kucing peliharaan yang dipercaya oleh seorang pria, untuk menjaga anaknya yang masih bayi dikala ia pergi selama beberapa saat. Bagaikan prajurit yang mengawal tuannya, kucing itu tak hentinya berjaga di sekitar sang bayi. Tak lama kemudian melintaslah ular berbisa yang sangat berbahaya di dekat si bayi mungil tersebut. Kucing itu dengan sigapnya menyerang ular itu hingga mati dengan darah yang berceceran.

Sorenya ketika si pria pulang, ia kaget melihat begitu banyak darah di kasur bayinya. Prasangkanya berbisik, si kucing telah membunuh anak kesayangannya! Tak ayal lagi, ia mengambil pisau dan memenggal leher kucing yang tak berdosa itu.

Tak lama kemudian, ia kaget begitu melihat anaknya terbangun, dengan bangkai ular yang telah tercabik di belakang punggung anaknya. melihat itu, si pria menangis dan menyesali perbuatannya setelah menyadari bahwa ia telah mebunuh kucing peliharaannya yang telah bertaruh nyawa menjaga keselamatan anaknya. Kisah ini menjadi refleksi bagi masyarakat islam di timur tengah untuk tidak berburuk sangka kepada siapapun.

Hukum membunuh kucing

Tahukah agan Nabi Muhammad saw juga membela kucing?
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang wanita disiksa karena mengurung seekor kucing sampai mati. Kemudian wanita itu masuk neraka karenanya, yaitu karena ketika mengurungnya ia tidak memberinya makan dan tidak pula memberinya minum sebagaimana ia tidak juga melepasnya mencari makan dari serangga-serangga tanah. (Shahih Muslim No.4160)
dan Dalam syariat Islam, seorang muslim diperintahkan untuk tidak menyakiti atau bahkan membunuh kucing, berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari kisah Abdullah bin Umar[1] dan Abu Hurairah.[2]

Adakah manfaat kucing bagi dunia ilmu pengetahuan?

Salah satu kitab terkenal yang ditulis oleh cendikia muslim tempo dulu adalah kitab hayat al hayaawan yang telah menjadi inspirasi bagi perkembangan dunia zoologi saat ini. Salah satu isinya mengenai ilmu medis, banyak para dokter muslim tempo dulu yang menjadikan kucing sebagai terapi medis untuk penyembuhan tulang, melalui dengkuran suaranya yang setara dengan gelombang sebesar 50 hertz. Dengkuran tersebut menjadi frekuensi optimal dalam menstimulasi pemulihan tulang.

Tak hanya ilmu pengetahuan, bangsa barat juga banyak membawa berbagai jenis kucing dari timur tengah, hingga akhirnya kepunahan kucing akibat mitos alat sihir di barat dapat terselamatkan.

Kucing “Muqawwamah”: Kucing Palestina yang Dipenjara di Sel Khusus Israel

Jika boleh iri, kaum muslimin mungkin harus iri kepada kucing Palestina. Pasalnya, ditengah ketidakmampuan kita ikut membela saudara-saudara kita di Palestina yang kini sedang berjuang mempertahankan Masjidil Aqsha dari ancaman israel, justru seekor kucing tampil sebagai pahlawan. Kucing itu dinilai zionis-israel dapat membangkitkan perlawanan (muqawwamah).

Sebagaimana dikutip situs .::, zionis-israel telah memenjarakan seekor kucing Palestina. Kucing ini dinilai menjadi penghubung di sel isolasi di kamp tahanan pejuang-pejuang Palestina di Negev.
Menurut pejabat israel, kucing tersebut membantu para tahanan dengan membawa barang-barang ringan seperti surat, roti dan lainnya dari satu sel ke sel lain. Peran itu dimainkan si kucing selama berbulan-bulan, sebelum akhirnya ketahuan.

Penjaga penjara Negev lalu menjebloskan kucing itu ke dalam sel khusus. Nah, siapa bersedia menjenguk kucing yang pintar ini? Adakah kira-kira pengacara dermawan yang akan membelanya?

=============================================
Sumber :http://forum.viva.co.id/

Kamis, 09 Oktober 2014

Mengapa ulama Khalaf melakukan takwil?

Bismillahirrohmaanirrohim
Sebelumnya kami telah memaparkan sedikit tentang takwil dan tafwidh nash mutasybihat menurut ulama salaf dan khalaf. Satu hal yang mungkin menjadi pertanyaan adalah mengapa para ulama khalaf berani mentakwilkan nash-nash mutasyabihat?
Dan apakah tidak ada di antara ulama salaf yang ikut mentakwil nash-nash mutasyabihat?
Padahal ketika sifat-sifat Allah tersebut tidak dapat di ketahui maksudnya secara pasti tentu lebih baik berdiam diri dan hanya menyerahkan maksudnya kepada Allah sebagaimana yang di tempuh oleh ulama salaf! Apa yang menyebabkan para ulama khalaf berani menyalahi metode ulama salaf? padahal metode para ulama salaf adalah lebih aman sebagai di akui oleh mayoritas ulama mutakhirin sendiri.

Syeikh Mahmud Khatab as-Subki dalam kitab beliau, Ittihaf al-Kainat bi bayan Mazhab as-Salaf wa Khalaf fi Mutasyabihat hal 178:

والخلف يؤولونه تأويلا تفصيليا بتعيين المعنى المراد منه لاضطرارهم إلى ذلك ردا على المبتدعين الذين كثروا فى زمانهم بناء على أن الوقف على قوله تعالى والراسخون فى العلم

Artinya : dan para ulama khalaf mentakwilnya secara rinci (takwil tafshily) dengan menentukan makna yang di maksudkan dari nash tersebut karena mereka berhajat kepada demikian untuk menolak ahli bid’ah yang telah banyak pada masa mereka dengan berdasarkan pendapat bahwa wakaf pada firman Allah warrasikhuna..(surat ali Imran 7).

Para ulama melakukan takwil terhadap nash mutasyabihat bertujuan untuk mengindari timbulnya pemahaman secara makna dhahir terhadap nash mutasyabihat tersebut. Sedangkan makna (makna hakikatnya) merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah karena makna hakikatnya merupakan satu makna yang merupakan sifat khususiyat pada makhluk. Misalnya makna yad di artikan dengan tangan, maka yang akan terbayang di benak manusia adalah jisim karena hakikat dari yad adalah jisim walaupun akhirnya kaum mujassimah mengatakan, tangan Allah tidak seperti tangan manusia. Sedangkan Allah ta`ala tidak memiliki jisim, karena jisim itu sifat makhluk, Allah berfirman :

ليس كمثله شئ وهو السميع البصير

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.(Q.S. asy-Syura 11)

al-Allamah Syeikh Mahmud bin Khatab as-Subky dalam kitab ad-Din al-Khalish jilid 1 hal 27 – 28 menjelaskan :

والخلف يقولون فيها الاستواء معناه الاقتدار والتصرف او نحو ذلك ...ووجه صحة مذهب الخلف انهم فسروا الآية بما يدل عليه اللفظ العربي والقرآن عربى
 وحملهم على تفسير المذكرور ولم يفوضوا كما فوض السلف وجود المشبهة والمجسمة فى زمانهم زاعمين ان ظاهر الآيات يدل على اته تعالى جسم ولم يفقهوا انه مستحيل علسه عز وجل الجسمية والحلول فى الامكنة . وقد اغتر بعض العوام بقولهم فاعتقدوا أن الله تعالى جالس على العرش وحال فى السماء فكفروا والعياذ بالله تعالى...
فوجب عليهم ان بينوا للعامّة معنى تلك الآيات والاحاديث المتشابهة حسب مدلولات القرآن والاحاديث النبوية بما يصح اتصافه تعالى به ليعرفوا الحق فيعملوا عليه ويتركوا الباطل واهله فلا يكفرون فجزاهم الله تعالى الجزاء
وقد نقل العلامة احمد زروق عن ابى حامد انه قال لا خلاف فى وجوب التأويل عند تعين شبهة لا ترتفع إلا به
والحاصل ان الخلف لم يخالفوا السلف فى الاعتقاد وانما خلفوهم فى تفسير المتشابه للمقتضى الذى حدث فى زمانهم دون زمان السلف كما علمت بل اعتقادهم واحد وهو أن الآيات والاحاديث المتشابهات مصروفة عن ظاهرها الموهم تشبيهه تعالى بشيء من صفات الحوادث وانه سبحانه وتعالى مخالف للحواديث فليس بجسم ولا جوهر ولا عرض ولا مستقر على عرش ولا فى السماء ولا يمر علىي زمان وليس له جهة إلى غير ذلك مما هو من نعوت المخلوقين

Artinya :
“Ulama khalaf mengatakan pada ayat tersebut (ayat mutasyabihat) Istiwak, maknanya kekuasaan , penggunaan dan lain-lain....
Alasan dari kebenaran Mazhab Khalaf adalah karena mereka menafsirkan ayat dengan makna yang ditunjuki oleh lafaz ‘arab sendiri, sedangkan al-quran termasuk dari ‘arabi. Hal yang mendorong para ulama khalaf melakukan penafsiran tersebut, dan tidak menyerahkan makna (kepada Allah) sebagai mana yang dilakukan oleh ulama salaf karena pada masa mereka (khalaf) sudah muncul para musyabihah yang menyatakan bahwa, dhahir ayat menunjuki bahwa Allah SWT adalah jisim. Padahal mereka tidak mengerti , jisim dan bertempat adalah hal yang mustahil bagi Allah SWT...
Oleh karna itu, maka wajib bagi mereka (ulama khalaf) untuk menjelaskan bagi masyarakat awam makna dari ayat dan hadis tersebut menurut pemahaman al-quran dan hadis itu sendiri dengan makna yang bisa sah pada zat Alllah SWT. Supaya orang ‘awam mengerti mana yang haq kemudian mengamalkannya dan meninggalkan kebathilan dan ahlinya. Maka Allah membalas mereka dengan sebaik-baik pembalasan.
Al-‘Allamah Zauraq menukilkan perkataan Abi Hamid, beliau berkata ‘’ Tiada khilaf (perbedaan pendapat) tentang wajibnya takwil ketika nyata adanya syubhat yang tidak ada jalan lain untuk menghilangkannya selain dengan takwil.
Kesimpulanya adalah para ulama khalaf tidak berbeda keyakinannya dengan ulama salaf. Dan hanya saja ulama khalaf berbeda dalam menfsirkan ayat mutasyabihat disebabkan gejolak yang terjadi pada zaman mereka yang belum ada pada periode ulama salaf sebagaimana yang telah kita ketahui. Akan tetapi I’tikad mereka itu sama, yaitu: Segala ayat dan hadis mutasyabihat ditakwilkan dari dhahirnya yang memberi pemahaman serupa Allah SWT dengan salah satu sifat hawadis. Padhal Allah SWT berbeda dengan hawadis. Maka Allah SWT tidak berjisim, bukan jauhar, bukan sifat, tidak menetap diatas ‘arasy, tidak dilangit, tidak dilalui zaman, tidak ber-arah dan lain-lain yang merupakan sifat dari makhluk.”

Maka dari beberapa penjelasan ulama yang kami kuti sangat jelaslah bahwa apa yang di lakukan oleh sebagian ulama Asya'irah yaitu mentakwilkan nash-nash mutasyabihat bukanlah hal yang salah. Satu kesalahan bagi sebagian golongan yang memvonis sesat kepada para ulama Asya'irah karena mereka melakukan takwil terhadap nash mutasyabihat, bahkan sebaliknya yang sesat adalah kaum yang mengartikan nash-nash mutasyabihat tersebut dengan makna dhahirnya, penafsiran demikian bukanlah penafsiran para ulama salaf. Bahkan kenyataannya sebagian takwil juga di lakukan oleh para ulama salaf.
Wallahu A’lam bish shawab.

==============================================
Sumber :http://lbm.mudimesra.com/2014/10/mengapa-ulama-khalaf-melakukan-takwil.html

Kamis, 02 Oktober 2014

Pengertian, Niat, Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah

Bismillahirrohmaanirrohim

Posted by: redaksi  26 September 2014 9,025 Views


Pengertian, Niat, Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah

Pengertian Puasa Hari Tarwiyah dan Arafah
      Pada bulan Dzulhijjah (dalam kalender Islam), dilaksanakan 2 hari sebelum tanggal 10 Dzulhijjah (Idul Adha) atau biasa dikenal dengan lebaran haji yaitu tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Tanggal 8 Dzulhijah dinamakan puasa Tarwiyah dan tanggal 9 Dzulhijah dinamakan puasa Arafah. Puasa sunah Tarwiyah dan Arafah sangat dianjurkan, agar kita dapat turut merasakan nikmatnya seperti yang dirasakan oleh para jama’ah haji.

Puasa tarwiyah puasa arafah
     Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah yaitu hari pada saat jama’ah haji melakukan wukuf di padang Arafah.
Puasa Tarwiyah adalah puasa yang dilaksanakan pada hari tarwiyah yakni 8 Dzulhijjah, hari sebelum hari wukuf.

     Adapun keutamaan puasa sunah Tarwiyah (8 Dzulhijjah) dan ‘arafah (9 Dzulhijjah) berdasarkan beberapa hadist adalah :
Puasa Tarwiyah dapat menghapus dosa satu tahun silam yang telah terlewati.
Sedangkan puasa hari ‘arafah memiliki keutamaan yaitu dapat menghapus dosa dua tahun (1 tahun lalu dan 1 tahun yang akan datang)

Niat Puasa Tarwiyah dan Puasa Arafah
Niat Puasa Tarwiyah
نويت صوم ترويه سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA TARWIYAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
“ Saya niat puasa Tarwiyah, sunnah karena Allah ta’ala.”

Niat Puasa Arafah
نويت صوم عرفة سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA ARAFAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
“ Saya niat puasa Arafah , sunnah karena Allah ta’ala.”
Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Puasa Arafah

Hadist tentang puasa Tarwiyah adalah sbb.:
(12087 -) صوم يوم التروية كفارة سنة ، وصوم يوم عرفة كفارة سنتين.
(أبو الشيخ في الثواب وابن النجار عن ابن عباس).
Artinya: Puasa hari Tarwiyah menghapuskan dosa setahun, puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun.

       Hadist tersebut tercantum dalam kitab Kanzul Ummal, Jami’  Imam Suyuthi, diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab Al-Tsawab. Para ulama mengatakan bahwa hadist tersebut dlaif. Sebagian ulama mengatakan ini hadist marfu’.

Hadist yang lain juga :
وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ وَيَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ النَّحْرِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ }
Artinya: Rasulullah saw melarang puasa di hari Tarwiyah, Arafah, Hari Penyembelihan dan hari Tasyriq”. Namun para ulama mengatakan bahwa hadist ini berlaku bagi yang melaksanakan ibadah haji.

      Beberapa kitab fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan disunnahkan puasa sunnah pada hari Tarwiyah. Hadist riwayat Ibnu Abbas ra berikut adalah dalil terkuat yang dijadikan landasan disunnahkannya puasa hari Tarwiyah.
“ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله، من هذه الأيام العشر” رواه البخاري.
Artinya: Tidak ada hari yang di dalamnya amal soleh lebih dicintai Allah kecuali pada sepuluh hari ini (maksudnya 10 hari bulan Dzul Hijjah). HR Bukhari.

Hadist lain:
وعن حفصة قالت: أربع لم يكن يدعهن رسول الله صلى الله عليه وسلم: صيام عاشوراء، والعشر، وثلاث أيام من كل شهر، والركعتين قبل الغداة رواه أحمد والنسائي.

Artinya: Dari Hafsah ra : ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw, yaitu puasa bulan hari Asyura (10 Muharram), (amal soleh) 10 hari pertama Dzul Hijjah, tiga hari setiap bulan dan dua rakaat sebelum pagi” h.r. Ahmad dan Nasai.

     Berdasarkan hadist tersebut, cukup kuat pendapat ulama yang mengatakan bahwa disunnahkan puasa pada hari Tarwiyah.
Pendapat yang mengatakan bahwa puasa Tarwiyah disunnahkan karena termasuk amal saleh yang dianjurkan pada 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa tidak disunnahkan secara khusus puasa pada hari Tarwiyah karena melihat hadist di atas yang dlaif atau lemah. Ini juga terkembali pada masalah perbedaan pendapat mengenai apakah hukum menggunakan hadist dlaif.

       Sebaiknya pengikut kedua pendapat tersebut saling menghargai karena masing-masing mempunyai landasan dalil yan
g diyakini.

      Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
 “Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

puasa tarwiyah puasa arafah

      Imam Nawawi berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”

       Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi SAW. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari Muslim).

عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Dari Maimunah RA, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi SAW berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

      Semoga penjelasan artikel mengenai Pengertian, Niat, Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah bermanfaat

============================================
Sumber :
http://al-badar.net/

Kamis, 11 September 2014

Perbedaan Mani,mazi dan wadi

Bismillahirrohmaanirrohim

Bagi kalangan pesantren 3 macam cairan yang keluar dari kemaluan ini sudah sangat jelas perbedaannya. Namun bagi masyarakat terkadang masih sangat awam dengan ketiga permasalahan ini, padahal hal ini merupakan sesuatu yang harus diketahui oleh tiap insan, karena menyangkut dengan suci atau tidak yang berakibat kepada sah shalat atau tidak.

Mani:
Mani atau sperma adalah cairan yang keluar dari lubang kemaluan/qubul ketika rangsangan syahwat memuncak, baik karena berhubungan badan, onani ataupun menghayal dll. Ciri-cirinya adalah antara lain:
Berwarna putih kental, namun kadang-kadang juga berwarna lain seperti kuning bahkan ada yang berwarna merah, atau
Keluar dengan disertai memancar/tadafu`
Terasa nikmat ketika keluar
Berbau adonan tepung ketika basah dan telur putih ketika kering
Setelah keluar mani badan akan sedikit terasa lemah

Apabila ditemukan pada satu cairan yang keluar dari lubang qubul dengan salah satu sifat diatas maka dihukumi sebagai mani. Mani hanya diperdapatkan pada orang yang telah baligh, sehingga bila keluar cairan pada anak-anak yang berusia belum mungkin baligh (dibawah 9 tahun) maka tidak dihukumi sebagai mani.

Hukum dari keluar mani adalah orang tersebut akan dihukumi berhadats besar, maka untuk dapat melaksanakan shalat, membaca al-quran atau menetap dalam masjid harus terlebih dahulu mandi wajib. Selain itu cairan mani tidak dihukumi najis, sehingga pakaian yang berlumuran mani sah digunakan untuk shalat.

Dalam satu hadist disebutkan:
عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ

Bahwasanya aku dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah SAW, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.”  (HR. Muslim)

Mazi:
Mazi adalah cairan yang berwarna putih bersih, bening, atau agak kuning namun licin. Biasanya ia keluar ketika awal-awal bangkit syahwat dan belum mencapai puncaknya, biasanya cairan mazi tidak berbau. Seringkali mazi keluar tanpa terasa. Mazi banyak keluar pada kaum wanita terutama ketika mereka bangkit syahwat. Dalam satu hadist Shahihain disebutkan:

عن على قال : كنت رجلا مذاء فكنت أستحيى أن أسأل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لمكان ابنته فأمرت المقداد بن الأسود فسأله فقال يغسل ذكره ويتوضأ

“Dari Ali ra, beliau berkata: saya adalah laki-laki yang banyak mazi, maka saya merasa malu bertanya kepada Rasulullah SAW karena posisi anak beliau (Fathimah, istri Saidina Ali) maka saya perintahkan Miqdad bin Aswad maka iapun bertanya kepada Rasulullah, maka jawab Rasulullah: basuhlah zakar dan berwudhuk”.(H.R Imam Bukhary dan Muslim).

Wadi:
Wadi adalah cairan putih yang keruh kental yang keluar biasanya setelah buang air kecil ataupun ketika mengangkat beban yang berat. Wadi tidak hanya diperdapatkan pada orang dewasa tetapi juga didapati pada anak-anak.

Hukum bagi orang yang keluar mazi dan wadi tidak diwajibkan mandi, namun cairan mazi dan wadi tergolong dalam najis, sehingga wajib dibasuh/disucikan.

Walaupun telah ada beberapa sifat yang bisa membedakan mani, mazi ataupun wadi, namun dilapangan kadang-kadang kita temukan cairan yang kadang-kadang kita ragu dalam menentukannya, apakah mani atau bukan. Biasanya hal ini terjadi ketika tertidur, pada pagi harinya ditemukan cairan sedangkan semalam ia tidak merasakan apapun ketika cairan tersebut keluar sedangkan baunya juga tidak mendekati bau mani. Maka dalam kondisi demikian ia boleh memutuskan salah satu, cairan tersebut mani maka ia wajib mandi wajib dan pakaiannya tidak dihukumi bernajis ataupun mazi maka tidak tidak wajib mandi tetapi wajib mennyucikan pakaiannya karena mazi dihukumi bernajis. Namun walaupun demikian, yang lebih aman adalah ihtiyadh/waspada dengan cara mandi karena kemungkinan iatu adalah mani dan juga menyucikan pakaian yang terkena cairan tersebut karena kemungkinan itu mazi.

Referensi:
Hasyiah I`anatuth Thalibin 1 hal 83-85 Cet. Haramain
Hasyiah Syarqawy `ala Tahrir jili 1 hal 115 Cet.
Haramain Hasyiah Syarqawy `ala Tahrir jili 1 hal 76 Cet. Haramain

Sumber :
http://lbm.mudimesra.com/2012/09/perbedaan-manimazi-dan-wadi.html

Minggu, 20 Juli 2014

ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI DARI SUAMINYA

Bismillahirrohmaanirrohim


Masalah ,292: ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI (KHULU’) DARI SUAMINYA

Dijawab oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

Tanya:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Assalamualaikum, mohon penjelasannya, alasan apa yg membolehkan seorg istri agar bs cerai dr suaminya ? Syukron

Jawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bismillah. Di dalam agama Islam, pada dasarnya seorang istri dilarang minta cerai (khulu’) dari suaminya kecuali jika didasari dengan alasan2 yg dibenarkan syariat Islam. Diantara alasan2 yg syar’i tsb adalah sbb: 

1. Suami murtad (keluar dr agama Islam n masuk ke agama lain).
2. Suami berbuat kekufuran atau kemusyrikan kpd Allah dengan berbagai macam n bentuknya. Dan telah ditegakkan hujjah atau disampaikan nasehat kepadanya agar bertaubat darinya tapi tidak mendengar n menerima.
3. Suami melarang n menghalangi istri utk melaksanakan kewajiban2 agama, spt kewajiban sholat 5 waktu, kewajiban zakat, memakai hijab syar’I yg menutupi auratnya, menuntut ilmu syar’I yg hukumnya fardhu ‘ain, dsb.
4. Suami memerintahkan n memaksa istri berbuat dosa n maksiat kpd Allah.
5. Suami Berakidah n bermanhaj sesat n menyesatkan dari agama Allah yg lurus n haq. Spt ia menganut paham Syi’ah, Ahmadiyah, ingkar sunnah, dsb.
6. Suami bersikap kasar n keras, serta tidak sayang kpd istri, n akhlaknya buruk.
7. Suami menolak n berpaling dari agama Islam, tidak mau mempelajarinya, n tidak taat n tunduk terhadap aturan2nya.
8. Suami tidak mampu memberikan nafkah wajib bagi istri, baik nafkah lahir maupun “bathin”. Atau suami tidak fertiL, sehingga tdk bisa memberikan keturunan.
9. Istri merasa benci n sdh tidak nyaman hidup brsama suaminya, bukan karena agama n akhlak suami yg baik, tapi karena khawatir tidak bisa memenuhi hak-haknya.
10. Dan alasan2 Lainnya yg syar’i.

Dengan adanya salah satu alasan dari alasan2 ini, maka sang istri boleh minta cerai (khulu’) dari suaminya. Tentunya hal ini dilakukan setelah memberikan nasehat kpdanya secara langsung maupun dengan minta bantuan orang lain yg dianggap mampu menasehatinya n menyingkap kerancuan n kesesatannya. N jg stlh mempertimbangkan antara sisi Maslahat (kebaikan) n mafsadat (kerusakan).

Adapun minta cerai tanpa alasan syar’i maka hukumnya haram n trmasuk dosa besar. Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عَنْ ثَوْبَانَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ “.

Dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wanita mana saja yg minta cerai (khulu’) dari suaminya tanpa alasan yg benar (syar’i) , maka diharamkan baginya mencium bau harum Surga.”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.2055. Dan dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani rahimahullah di dlm Shohih Sunan Ibnu Majah).

Demikian jawaban yg dpt kami sampaikan. Smg mudah dipahami n mnjdi tambahan ilmu yg bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab. Wabillahi at-Taufiq.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber :
http://abufawaz.wordpress.com/2013/02/13/alasan-alasan-syari-yang-membolehkan-seorang-istri-minta-cerai-dari-suaminya/
BlackBerry Majlis Hadits, chat room Tanya Jawab. PIN: 2987565B)

Sabtu, 05 Juli 2014

Bahayanya Al-quran ditafsirkan sendiri menurut akalnya saja

Bismillahirrohmaanirrohim
Memang sudah disabdakan Nabi Muhammad SAW akan banyaknya di akhir zaman orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan sembarangan, sesuai pendapat sendiri saja. Tanpa memiliki kemampuan di bidangnya, tanpa mengetahui kaitannya dengan hadits-hadits Nabi, kaitan ayat dengan ayat. Terkadang ditafsirkan disesuaikan dengan ajaran kelompok mereka, didoktrin dari pendahulu-pendahulu mereka tanpa memandang pendapat para ahli sebelumnya. Seolah pendapat merekalah yang paling benar.

Nabi SAW bersabda :


مَنْ فَسَّرَ اْلقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ


“Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).

Tetapi sayangnya, banyak yang tertipu dengan para penafsir gadungan ini. Mereka menyatakan pengajian mereka adalah benar karena masih menggunakan Al Qur’an dan Hadits. Padahal sudah banyak terbukti banyaknya ajaran-ajaran baru di akhir zaman ini yang menggunakan Al Qur’an dan Hadits sesuai nafsunya saja, sesuai pendapatnya saja. Bukankah para teroris juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Ahmadiyah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Syi’ah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Sebagai muslim yang ingin meniti jalan lurus sebaiknya kita mengetahui syarat-syarat menafsirkan Al-Qur’an / Firman Allah jadi tidak bisa sembarang menafsirkan sendiri atau dengan akal, walaupun benar tapi telah mendapatkan dosa karena tidak sesuai ajaran Rasulullah SAW, berikut ini tentang beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:

1. Sehat Aqidah

Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan
objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
Tentang kekuatan dan kedudukanhadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat

Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in

Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya

Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.

8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.
Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

9. Pemahaman yang Mendalam

Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.

Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.

dizaman akhir ini banyak aliran-aliran sesat sebagai akibat menafsirkan Al-Qur'an tanpa ilmu yang memadai , oleh karena itu berhati-hatilah dengan pengajian yang hanya mengajarkan Al Qur’an melalui terjemahan, carilah pengajian Al Qur’an yang menggunakan kitab-kitab Tafsir yang diakui kebenarannya seperti kitab tafsir Qurtubi, Thobari, Ibnu Katsir, Jalalain dan lain-lain. Pengajian Tafsir Al Qur’an itu pengajarnya harus mengerti Bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Balagoh, Ma’ani, Badi’, Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, pendapat para sahabat dan para ulama.

Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat, Lc
=======================================
Sumber :http://dulrohman.blogspot.com/



Jumat, 04 Juli 2014

Bismillahirrohmaanirrohim
Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.

Kisah-kisah Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam:

1. Kisah yang dibenarkan oleh Islam, maka hal tersebut adaah haq. Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayaAtkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami, pent.) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

2. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dista, maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

3. Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya, maka kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ (Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”

Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)

Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya.

Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

Sikap Ulama tentang Kisah-kisah Israiliyat

Para ulama terutama ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam menyikapi berita-berita israiliyat, mereka terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini dengan menyebutkan sanad-sanadnya dan berpandangan bahwa dengan menyebutkan sanad-sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Di antara mereka adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullaahu.

2. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah israiliyat dan kebanyakan tanpa menyertakan sanadnya, maka ibarat (mereka) adalah pencari kayu bakar di malam hari.[1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaahu berkomentar tentang kitab Tafsir Al-Baghawi rahimahullaahu: “Itu adalah ringkasan dari Tafsir Ats-Tsa’labi, hanya saja Al-Baghawi menjaga tafsirnya dari hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan pemikiran-pemikiran yang bid’ah.” Sedangkan Syaikhul Islam rahimahullâhu mengomentari tentang Tsa’labi bahwa dia adalah pencari kayu bakar di malam hari karena Tsa’labi menukilkan semua yang dia dapati dari kitab-kitab tafsir baik shahih, dha’if ataupun maudhu’.

3. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu dhaif atau mungkar. Contohnya Ibnu Katsir.

4. Di antara mereka ada yang berlebihan dalam menolak kisah-kisah israiliyat dan sama sekali tidak menyebutkan dalam kitab tafsir Al-Qur’an-nya. Contohnya Muhammad Rasyid Ridha.

Footnote:

[1] Ini bahasa kiasan yang sering dipakai ulama kita bagi seorang yang menempuh langkah atau bicara asal-asalan yang akan membahayakan dirinya, sebab malam gelap boleh jadi dia mengambil ular sedangkan dikiranya kayu bakar, wallahu a’lam, ed.

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaahu

(Dinukil dari أصول في التفسير karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, Lc., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 89-92, untuk http://almuslimah.co.nr)
==============================
Sumber :http://almuslimah.wordpress.com/

Kamis, 12 Juni 2014

7 Macam Persahabatan, Hanya 1 Sampai Akhirat.

Bismillahirrohmaanirrohim


Beberapa Ragam Hubungan Persahabatan

1. "Ta'aruffan" persahabatan yang terjalin karena pernah berkenalan secara kebetulan, seperti pernah bertemu di kereta api, halte, rumah sakit, kantor pos, ATM, dan lainnya.

2. "Taariiihan" persahabatan yang terjalin karena faktor sejarah, misalnya teman sekampung, satu almamater, pernah kost bersama, diklat bersama, dan sebagainya.

3. "Ahammiyyatan" persahabatan yang terjalin karena faktor kepentingan tertentu, seperti bisnis, politik, boleh jadi juga karena ada maunya dan sebagainya.

4. "Faarihan" persahabatan yang terjalin karena faktor hobbi, seperti teman futsal, badminton, berburu, memancing, dan sebagainya.

5. "Amalan" persahabatan yang terjalin karena seprofesi, misalnya sama-sama guru, dokter dan sebagainya.

6. "Aduwwan" sahabat tetapi musuh, depan seolah baik tetapi sebenarnya hatinya penuh benci, menunggu, mengincar kejatuhan sahabatnya, "Bila kamu memperoleh ni'mat, ia benci, bila kamu tertimpa musibah, ia senang..." (QS 3:120).Rasulullah mengajarkan doa", Allahumma ya Allah selamatkanlah hamba dari sahabat yg bila melihat kebaikanku ia sembunyi tetapi bila melihat keburukanku ia sebarkan",

7. "Hubban Iimaanan", sebuah ikatan persahabat yang lahir batin, tulus saling cinta dan sayang karena ALLAH, saling menolong, menasehati, menutupi aib sahabatnya, memberi hadiah, bahkan diam-diam dipenghujung malam, ia doakan sahabatnya. Boleh jadi ia tidak bertemu tetapi ia cinta sahabatnya karena Allah Ta'ala.

Dari ke 7 macam persahabatan diatas, 1 - 6 akan sirna di Akhirat. yang tersisa hanya ikatan persahabatan yang ke 7, persahabatan yang dilakukan karena Allah (QS 49:10), "Teman-teman akrab pada hari itu (Qiyamat) menjadi musuh bagi yang lain kecuali persahabatan karena Ketaqwaan" (QS 43:67).

Wallahu a'lam bishshawab
https://www.facebook.com/notes/assyifaul-azkiya/persahabatan-abadi/338437159641991?comment_id=338451416307232&offset=0&total_comments=15&notif_t=note_reply

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...