Tampilkan postingan dengan label PENELASA BEBERAPA AYAT aL-QURAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENELASA BEBERAPA AYAT aL-QURAN. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Juli 2014

Bahayanya Al-quran ditafsirkan sendiri menurut akalnya saja

Bismillahirrohmaanirrohim
Memang sudah disabdakan Nabi Muhammad SAW akan banyaknya di akhir zaman orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan sembarangan, sesuai pendapat sendiri saja. Tanpa memiliki kemampuan di bidangnya, tanpa mengetahui kaitannya dengan hadits-hadits Nabi, kaitan ayat dengan ayat. Terkadang ditafsirkan disesuaikan dengan ajaran kelompok mereka, didoktrin dari pendahulu-pendahulu mereka tanpa memandang pendapat para ahli sebelumnya. Seolah pendapat merekalah yang paling benar.

Nabi SAW bersabda :


مَنْ فَسَّرَ اْلقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ


“Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).

Tetapi sayangnya, banyak yang tertipu dengan para penafsir gadungan ini. Mereka menyatakan pengajian mereka adalah benar karena masih menggunakan Al Qur’an dan Hadits. Padahal sudah banyak terbukti banyaknya ajaran-ajaran baru di akhir zaman ini yang menggunakan Al Qur’an dan Hadits sesuai nafsunya saja, sesuai pendapatnya saja. Bukankah para teroris juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Ahmadiyah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Syi’ah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Sebagai muslim yang ingin meniti jalan lurus sebaiknya kita mengetahui syarat-syarat menafsirkan Al-Qur’an / Firman Allah jadi tidak bisa sembarang menafsirkan sendiri atau dengan akal, walaupun benar tapi telah mendapatkan dosa karena tidak sesuai ajaran Rasulullah SAW, berikut ini tentang beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:

1. Sehat Aqidah

Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan
objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
Tentang kekuatan dan kedudukanhadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat

Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in

Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya

Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.

8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.
Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

9. Pemahaman yang Mendalam

Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.

Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.

dizaman akhir ini banyak aliran-aliran sesat sebagai akibat menafsirkan Al-Qur'an tanpa ilmu yang memadai , oleh karena itu berhati-hatilah dengan pengajian yang hanya mengajarkan Al Qur’an melalui terjemahan, carilah pengajian Al Qur’an yang menggunakan kitab-kitab Tafsir yang diakui kebenarannya seperti kitab tafsir Qurtubi, Thobari, Ibnu Katsir, Jalalain dan lain-lain. Pengajian Tafsir Al Qur’an itu pengajarnya harus mengerti Bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Balagoh, Ma’ani, Badi’, Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, pendapat para sahabat dan para ulama.

Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat, Lc
=======================================
Sumber :http://dulrohman.blogspot.com/



Rabu, 25 Juni 2014

Makna Taat pada Ulil Amri dalam QS. An-Nisa: 59

Bismillahirrohmaanirrohim


Oleh: Dani Hamdani

Alloh berfirman :

Apa makna QS. An-Nisa: 59 tersebut?
Apa makna taat kepada Allah, kepada Rasul SAW, dan kepada Ulil Amri dalam ayat tersebut?
Apakah suatu keharusan (baca: mutlak) taat kepada Ulil Amri?
Apa makna ‘Ulil Amri’ dalam ayat tersebut?
Apakah makna ‘Ulil Amri’ merupakan satu-satunya pemimpin dalam satu jamaah tertentu?
Allah berfirman:


Yaa ayyuhalladziina aamanuu athii’ullaha wa athii’urrasuula wa uulil amri minkum, fain tanaaza’tum fii syai-in farudduuhu ilallaha warrasuuli inkuntum tu-minuuna billahi walyaumil aakhiri, dzalika khairun wa-ahsanu ta-wiila.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Tentang Ayat Ini
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata tentang firman-Nya, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu.” Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adi, ketika diutus oleh Rasulullah di dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruh jama’ah kecuali Ibnu Majah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata: “Rasulullah SAW mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata, ‘Bukanlah Rasulullah SAW memerintahkan kalian untuk mentaatiku?’ Mereka menjawab, ‘Betul.’ Dia berkata lagi, ‘Kumpulkanlah untukku kayu bakar oleh kalian.’ Kemudian ia meminta api, lalu ia membakrnya, dan ia berkata, ‘Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya.’ Maka seorang pemuda diantara mereka berkata. ‘Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah SAW dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasullah SAW. Jika beliau perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah.’ Lalu mereka kembali kepada Rasulullah SAW dan mengabarkan tentang hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda kepada mereka, ‘Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf.” (HR. Bukhari-Muslim dari hadits Al-A’masy)
Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW sudah memberi batasan kepada kita, bahwasannya ketaatan hanya pada yang ma’ruf, dan bukannya pada yang tidak ma’ruf.
Makna Ulil Amri
‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas bahwa, “Wa uulil amri minkum” (Dan Ulil Amri di antara kamu), maknanya adalah ahli fiqh dan ahli agama. Sedangkan menurut Mujahid, ‘Atha, Al-Hasan Bashri dan Abul ‘Aliyah-begitu pula Ibnu Qayyim Al-Jauziyah-, bermakna ulama. Ibnu Katsir menambahkan, “Yang jelas bahwa Ulil Amri itu umum mencakup setiap pemegang urusan, baik umara maupun ulama.”
Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in mengatakan, “Allah SWT memerintahkan manusia agar taat kepada Ulil Amri, dan Ulil Amri itu tidak lain adalah ulama, akan tetapi diartikan juga sebagai umara (pemerintah/tokoh formal masyarakat).”
Jadi, tidaklah benar ‘Ulil Amri’ bermakna satu-satunya pemimimpin dalam satu jamaah tertentu.
Ibnu Katsir berkata, “Ayat di atas (QS. An-Nisa: 59) adalah perintah untuk mentaati ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman, ‘Taatlah kepada Allah,’ yaitu ikutilah Kitab-Nya (Al-Qur’an), ‘Dan taatlah kepada Rasul,’ yaitu peganglah Sunnahnya, ‘Dan Ulil Amri di antara kamu,’ yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena, tidak berlaku ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah.”
Artinya taat kepada Ulil Amri ada batasannya, berbeda dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang merupakan sesuatu yang mutlak.
Larangan Taqlid pada Ulil Amri
Ibnu Qayyim meneruskan dalam kitabnya tersebut, bahwasannya makna taat kepada Ulil Amri adalah bertaqlid kepada apa yang mereka fatwakan. Akan tetapi hal yang tidak dimengerti oleh orang-orang yang taqlid adalah bahwa Ulil Amri-seharusnya-hanya ditaati apabila tidak keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Para ulama dalam hal ini hanya berfungsi sebagai mediator (penyampai perintah dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat), sementara Umara memegang peranan sebagai fasilitator demi kelancarannya. oleh karena itu, ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di bagian mana dalam ayat ini yang menunjukkan prioritas pendapat para ulama atas Sunnah Rasulullah SAW, dan anjuran untuk bertaqlid kepada pendapat-pendapat itu?
Ibnu Qayyim meneruskan, bahwa sesungguhnya ayat yang membicarakan tentang ketaatan kepada Ulil Amri adalah alasan yang paling kuat untuk membantah dan memperjelas kekeliruan taqlid. Kekeliruan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama, perintah taat kepada Allah adalah perintah untuk melakukan segala apa yang diperintahkannya, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.
Kedua, Ketaatan kepada Rasul SAW. Dua bentuk ketaatan ini tidak akan dapat ditunaikan oleh seorang hamba kecuali dengan mengenal dan tahu persis apa yang diperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mengetahui perintah-perintah Allah dan hanya bertaqlid kepada Ulil Amri, niscaya ia tidak mungkin mewujudkan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, Di dalam sebuah riwayat ditemukan larangan untuk bertaqlid kepada Ulil Amri, sebagaimana terdapat dalam riwayat yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan lain-lain dari kalangan sahabat. Teks riwayat itu telah kita ketahui dari 4 Imam besar Al-Matbu’ (yang diikuti).
Keempat, Allah SWT berfirman, “Apabila kalian berselisih dalam sebuah urusan, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), sekiranya kalian beriman kepada-Nya dan kepada hari kiamat.” (QS. An-Nisa: 59)
Ayat ini dengan tegas menyalahkan taqlid dan melarang untuk mengembalikan perselisihan pada pendapat seseorang atau pandangan satu madzhab tertentu.
Wallahu a-lam.

=============================
http://danihamdani.wordpress.com/

Kamis, 13 Juni 2013

Asal Usul Pembagian 3 Tauhid


Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran: 102]
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
 
Tauhid terbagi menjadi 3:
Tauhid rububiyyah,
Uluhiyyah,
Asma’ wa sifat
Berdasarkan istiqra’ (penelitian menyeluruh) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3: Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab. (Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur Rayah- Riyadh)
 
Diantara dalil-dalil tauhid rububiyyah (pengesaan Allah dalam penciptaan, pembagian rezeki, dan pengaturan alam):
Firman Allah ta’ala:
(اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ)(الزمر:62)
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu.” (Qs. 39: 62)
Dan firman Allah ta’ala:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ) (هود:6
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. 11:6)
Dan firman Allah ta’ala:
(قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ) (يونس:31
Artinya: Katakanlah:”Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka menjawab: “Allah.” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Qs. 10:31)
 
Diantara dalil-dalil tauhid uluhiyyah (pengesaan Allah di dalam ibadah):
Firman Allah ta’alaa:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.الفاتحة:5
Artinya: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Qs. 1:5)
Dan firman Allah ta’alaa:
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَهُ دِينِي.الزمر:14
Artinya: Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (Qs. 39:14)
Dan firman Allah ta’alaa:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ.الزمر:64
Artinya: Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” (Qs. 39:64)
Diantara dalil-dalil tauhid asma’ wa sifat (pengesaan Allah di dalam nama-namanya yang husna (yang terbaik) dan sifat-sifat-Nya yang tinggi):
Firman Allah ta’ala:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيّاً مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى.الاسراء: من الآية110
Artinya: “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).”
Dan firman Allah ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.الشورى: من الآية11
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11)
Dan firman Allah ta’alaa:
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.النحل: من الآية60
Artinya: “Dan Allah mempunyai permisalan yang paling tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. 16:60)
Terkumpul 3 jenis tauhid ini di dalam sebuah firman Allah:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً .مريم:65
Artinya: “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah).” (Qs. 19:65)
 
Tauhid rububiyyah tercantum dalam firman-Nya:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
(Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya).”

Tauhid uluhiyyah tercantum dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ
“Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya). “

Tauhid Asma’ wa Sifat tercantum dalam firman-Nya:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“(Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah))?”

Kami sebutkan disini diantara ulama-ulama yang menyebutkan pembagian ini baik secara jelas maupun dengan isyarat.
1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy (wafat th. 321), di dalam muqaddimah kitab beliau Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah. Beliau berkata:
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله إن الله واحد لا شريك له ، و لا شيء مثله ، و لا شيء يعجزه ، و لا إله غيره
Artinya: “Kami mengatakan di dalam pengesaan kepada Allah dengan meyakini: bahwa Allah satu tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang melemahkan-Nya, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya.”: Ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang melemahkan-Nya.”: Ini termasuk tauhid Rububiyyah.
Perkataan beliau: “Dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya.”: Ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky (wafat th. 386 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75 (cet. Darul Gharb Al-Islamy). Beliau mengatakan:
من ذلك : الإيمان بالقلب و النطق باللسان بأن الله إله واحد لا إله غيره ، و لا شبيه له و لا نظير، … ، خالقا لكل شيء ، ألا هو رب العباد و رب أعمالهم والمقدر لحركاتهم و آجالهم
Artinya: “Termasuk diantaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan dengan lisan bahwasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa dengan-Nya dan tidak ada tandingan-Nya.”
Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hamba-Nya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka.”
Perkataan beliau: “Sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia.”: Ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan tidak ada tandingan-Nya”: Ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.
Perkataan beliau: “Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hamba-Nya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka.” : Ini termasuk tauhid Rubiyyah.
3. Ibnu Baththah Al-’Akbary (wafat th. 387 H), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah (5 / 475)
وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه
Artinya: Dan yang demikian itu karena pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepada-Nya ada 3 perkara:
Pertama: Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah (kekuasaan Allah) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua: Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah (keesaan Allah dalam peribadatan) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang musyrik yang mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Ketiga: Hendaklah meyakini bahwasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang harus Dia miliki, seperti ilmu, qudrah (kekuasaan), hikmah (kebijaksanaan), dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitab-Nya.
4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi (wafat th. 520 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk (1/1), beliau berkata:
وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى
Artinya: Dan aku bersaksi atas rububiyyah-Nya dan uluhiyyah-Nya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
5. Al-Qurthuby (wafat th. 671 H), di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafdzul jalalah (الله) di dalam Al-Fatihah:
فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية، المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.
Artinya: Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah), yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berkuasa), yang sendiri dengan keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya.
6. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy (wafat th. 1393 H) di dalam Adhwaul Bayan (3/111-112), ketika menafsirkan ayat:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً) (الاسراء:9)
7. Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, diantaranya dalam kitab beliau Kaifa Nuhaqqiqu At-Tauhid (hal. 18-28).
8. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, diantaranya dalam Fatawa Arkanil Islam (hal. 9-17)
9. Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbad Al-Badr (pengajar di Masjid Nabawy), diantaranya dalam muqaddimah ta’liq beliau terhadap kitab Tathhir ul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad karangan Ash-Shan’any dan kitab Syarhush Shudur fi Tahrim Raf’il Qubur karangan Asy-Syaukany (hal. 12-20)
10 Syeikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, di dalam kitab beliau At-Tanbihat As-Saniyyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 14)
11. Syeikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, di dalam kitab beliau Al-Mukhtashar Al-Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid. Kitab ini adalah bantahan atas orang yang mengingkari pembagian tauhid.
12. Dan lain-lain.
Wallahu ta’ala a’lam.
Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...