Rabu, 30 Januari 2013

SANGGAN UNTUK ALBANI MENGENAI MAZHAB & TAQLID



KEWAJIBAN MENGIKUTI [TAQLID] PENDAPAT ULAMA MAZHAB [MUJTAHID]

Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra]). Ulama golongan ini berkata: “Sesungguhnya ilmu figih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.

Ulama yang melarang taqlid ini telah membikin heboh dunia Islam karena beliau telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti salah satu dari empat madzhab. Nama ulama yang melarang ini adalah Syekh Khajandi yang menulis dalam kitabnya Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Madzhabin Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. Beliau ini juga mengatakan bahwa orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat. Mereka ini telah memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt. dalam surat At-Taubah: 31: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surat Al-Kahfi: 103-104: “Katakanlah (wahai Muhammad); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya.” Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya sangat keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang oleh ulama-ulama pakar dunia. Syekh ini sama halnya dengan golongan wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka. Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi yang sangat berbahaya dan membingungkan ummat Islam yang di kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh ini yang mengarahkan sesat, bodoh perilaku orang yang bertaqlid terhadap salah satu dari imam empat itu, walaupn yang taqlid itu tergolong orang awam.

Setiap dalil yang di tulis oleh Syeikh Khajandi akan kami tulis jawabannya langsung menurut Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuti dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’ .

l. Syekh Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut ini:
Pertama; hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu!
Kedua; hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata: ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
Ketiga; hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting. Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh ini menegas- kan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidaklah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk mengikutinya.

Jawaban: Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti mengomentari ucapan Syeikh Khayandi di atas sebagai berikut: “Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah saw kepada orang arab badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya tidaklah kitab-kitab shohih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan hadits yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama beberapa hari. Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya. Maka diutuslah Khalid bin Walid ke Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang-orang yang sekelas (sederajad ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat. (Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah saw. Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih sedikit. Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat- istiadat yang tidak ada sebelumnya. Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini. Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel) mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh Khajandi itu bisa mengatakan; ‘Adapun madzhab-madzhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat, ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘. Ucapan Syeikh ini sama persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert dimana dengan sombong dan kasar mengatakan; ‘Figih Islam yang ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang istimerwa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah’. Rasulallah saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi kesepakat- an bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulallah saw pun menyetujui kesepakatan mereka itu. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa ketika Nabi saw mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau saw.bersabda: ‘Apa yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah’. Rasulallah saw. kembali bertanya; ‘Jika tidak ada dalam Kitabullah..?’. Mu’az menjawab:’Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah’. Rasulallah bertanya lagi: ‘Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…?’. Mu’az menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan saya tidak akan melebihkannya’. Mu’az berkata:’Rasulallahpun akhirnya menepuk-nepuk dada saya dan bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhai olehNya’. Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat. Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa madzhab-madzhab itu adalah ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikutinya? Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi yang hanya berargumentasi dengan beberapa dalil yang sudah kami kemukakan itu. Hukum Islam itu meluas dan mencakup hal-hal yang berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung melalui dilalah dhahirnya yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath. Mana saja diantara dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami hukum, maka itulah hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah tetap pada hukum tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun yang datang meminta fatwa kepadanya. Kalau benar bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulallah saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?

2. Syeikh Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah saw.

Jawaban: Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan tadi sebagai berikut: “Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw melalui haditsnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an dan hadits itu sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-qur’an dan hadits yang termasuk dalil-dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir dari keqath’iyyan (kepastian) dalil tersebut. Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan di atas maka pemahaman mereka yang termasuk mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam. Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..? Apakah jika pemahaman terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal diketika hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak akan pernah terjadi. Syeikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas memiliki persangkaan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan madzhab Rasulallah saw, dan kemunculannya hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah tersebut. Sebuah persangkaan yang sangat keterlaluan…!

3. Syeikh Khajandi berkata; Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran!

Jawaban: Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi berkata: Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur. Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan, maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari ucapan Syeikh yang gegabah. Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian masalah tersebut dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama kita.

Jadi walaupun masalah taqlid kepada salah satu madzhab diantara madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur nanti, bukanlah berarti dia harus disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan orang awam bertaqlid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis sebagaimana nanti akan diuraikan secara lebih rinci.
Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh ulama dan kaum muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur mereka.

Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa yang menjadi sasarannya hanya madzhab yang empat…? Apa bedanya madzhab imam yang empat ini dengan madzhab Zaid bin Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin ‘Abbas dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam? Apa perbedaan madzhab yang empat ini dengan madzhab ahlu al-ra’yi di Irak dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz dan pelopor berdiri- nya dua madzhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in yang terbaik? Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan madzhab-madzhab yang tersebut di atas adalah juga termasuk para mukallid…? Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan, bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasulallah saw....? Ataukah Syeikh ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari agama dan memecah-belah madzhab Rasulallah hanyalah madzhab yang empat itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan dapat berdampingan bersama madzhab Rasulallah saw…..? Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan terakhir di atas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling utamanya adalah satu kedustaan.

Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad
a. Firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya’: 7 yang artinya: “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”. Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaqlid kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah swt. dalam surat At-Taubah: 122 yang artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang). Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”. Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an jilid 8/293-294 diterangkan bahwa Allah swt. melarang manusia pergi berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah swt.
b. Ijma’ ulama bahwa para sahabat Nabi saw sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa.
Ibnu Khaldun berkata: ‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua: Ada yang termasuk mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang bertaqlid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti ketika menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti pasti menjelaskan dalil-dalil hukum itu. Rasulallah saw pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut, baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalahan yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, maka terhadap perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.
c. Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385 pada bab Taqlid dan Istifta’ bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaqlid, berkata sebagai berikut: “Kami berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa”.
d. Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata: ‘Ijma’ dimaksud adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in sebelum munculnya orang-orang yang menyimpang yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat, mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan para sahabat nabi yang bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.
e. Pada zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu
Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits. Diantara tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari.
Adapun tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi; ‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari. Antara tokoh-tokoh kedua madzhab di atas ini sering juga terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah bertaqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga perdebatan yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.
f. Syekh Abdullah Darras berkata: “Dalil logika untuk masalah ini adalah bahwa orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan caranya bersikap: Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taqlid. Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan hukum”. Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil,
maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur'an sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang yang mujtahid “.
Dalam hal ini As-Syatibi berkata: “Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam adalah seperti dalil-dalil syar’i bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi orang-orang awam yang taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena mereka tidak mampu mengambil pengertian dari Al Quran. Maka masalah meneliti dalil dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman: ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’ (Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.

Syekh Khajandi (dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat) telah menjadikan ucapan Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah sebagai dalil yang betul-betul telah mem- perkuat pendapatnya dan beliaupun tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan dari ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah demikian adanya. Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut di atas dan sanggahan/jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti terhadap ucapan Syeikh Khajandi.

1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’ seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukimin “. Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.

Jawaban: Terhadap kutipan tersebut, Dr. Sa’id Ramdhan mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata: “Ketahuilah! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “ Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.

2) Syeikh Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban: Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i. Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qawaa’idul Ahkam 11/135: “Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang taqlid kepada seorang imam (dalam satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian? Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni:
-a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan kebatalannya.
-b) Jika dua madzhab itu berdekatan (keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh pula berpindah-pindah. Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”. Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Qur’an maupun Hadits. Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi

3) Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qayyim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban: Syeikh Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul Qayyim akan berpendapat seperti yang tersebut di atas. Karena beliau (Ibnul Qayyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali.
Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168:Artinya: (“Rincian pendapat tentang taqlid dan pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni taqlid yang haram terdiri dari tiga macam: a). Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taqlid kepada nenek moyang. b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak. c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang ditaqlid”.
Kemudian Ibnul Qayyim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taqlid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut). Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qayyim yang panjang lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah berkisar pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul Qayyim mengatakan sebagai berikut: “Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela orang-orang kafir yang taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl: 43) yakni para ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka). Ayat An-Nahl: 43 ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama. maksud pernyataan Ibnul Qayyim di atas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini adalah taqlid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah namun sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia taqlid kepada orang yang lebih alim darinya, maka taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.

Pembelaan Nashiruddin al-Albani (wahabi) pada Syeikh Khajandi Pendapat Syekh Khajandi tersebut di atas mengenai pengharamannya untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang tersebut di atas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani dan dibela mati-matian, suatu hal yang meng- herankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain karena Syeikh Khajandi ini sepaham dan satu kelompok golongan dengannya dan al-Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.

I. Al-Albani mengatakan: “Sanggahan dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi itu tidak benar. Dia (Albani) pembela Syeikh Khajandi ini mengatakan juga bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab tertentu”

Jawaban: Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qayyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21: “Agama, figh dan ilmu tersebar ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Bahkan dalam sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama. Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi madzhab kedua imam tersebut.

II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini:
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”. Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ di atas adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud, Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “. Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama”. Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.

Jawaban: Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan takwil agar tetap dikesankan berada di atas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya bahwasanya seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah wafat. Dan karena dia seorang muslim maka haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhan (bersangka baik) kepadanya. Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhan kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albaniakan dibantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan!!. Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arabi seper empat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan mereka (para sufi)! Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II c di atas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap membantahnya. Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan, kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini mengatakan bahwa Ibnul Qayyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234 telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu.

Ibnul Qayyim berkata:  “(Faidah ke 48): Apabila seseorang memiliki dua kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil). Bila makna yang dikandung oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomendasi lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang), maka dia tidaklah boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadits itu “.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata:  “Semua yang dibicarakan di atas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih, kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah swt.: ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’ (An-Nahl:43) “.

III. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar. Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang di atas namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini. Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan ini [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata: “Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah: ‘Ketahuilah bahwa kaum muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu madzhab tertentu.

Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Quutul Qulub mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas mujtahidin tidaklah mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw.. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “. Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi!!. Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazmin: “Ibnu Hazmin berkata: ‘ Taqlid itu haram dan seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”. Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban: Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin bukanlah seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini: “Ketahuilah! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri. “ Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata: “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan: ‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalil mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu masalah”. Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalam Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah saw. dan mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah.

Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham mereka. Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu dicela oleh golongan ini. Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya mereka tidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah!

IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut: “Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara; Pertama, ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.

Jawaban: Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’. Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 3 halaman 253 guna melihat bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya. Berikut keterangannya: “(Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah memperhatikan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya “.
Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.

Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar: “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagai- mana anda sendiri telah melihatnya?
Bagaimana seorang muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid?

ALLAHUMMA IHDINA ILA SHIRATHAL MUSTAQIM

REF :http://acehislamiccentre.blogspot.com/

Sabtu, 26 Januari 2013

PROBLEM UTAMA


Said Aqil: Ketidakidealan Sistem Pendidikan Indonesia Sekarang

Posted By admin on August 22nd, 2011
Jakarta, NU Online 
Pemerintah berencana mengalokasikan 20% anggaran di APBN tahun 2012 mendatang untuk dunia pendidikan. Namun di mata Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, hal tersebut tak akan banyak membuahkan hasil positif, mengingat sistem pendidikan yang dianggap tak ideal.
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih dikelola secara terpisah. Pendidikan umum di bawah arahan Kementerian Pendidikan Nasional, sementara pendidikan berlatar belakang agama tumbuh dikelola oleh Kementerian Agama. 
“Sistem pendidikan kita ini tidak ideal. Kalau tetap dibiarkan itu akan sangat berbahaya,” seru Kang Said, demikian Kiai Said biasa disapa, saat ditemui NU Online di Kantor PBNU, Senin, 22 Agustus 2011. Pernyataan  yang sama juga sempat disampaikan Kang Said saat menjadi pembicaradi kampus Universitas Lampung (Unila), pertengahan pekan lalu.
Menurut Kang Said, terjadinya dualisme pengelolaan pendidikan akan menjadikanoutput anak didik yang memiliki pola fikir berbeda. Anak didik yang yang mengenyam pendidikan umum dimungkinkan kurang memahami ajaran agama, apabila tak mempelajarinya di tempat terpisah. Sementara anak didik yang bersekolah di sekolahan berlatar belakang agama, hampir dapat dipastikan minim penguasaan pendidikan umum.
“Saya katakan tadi, itu kalau dibiarkan akan sangat berbahaya.  Padahal standar minimal orang Islam, dimanapun dia dulunya bersekolah adalah mengenal sirah nabawiyyah (sejarah-sejarah nabi), bica baca tulis Al Quran dan Hadist. Tapi kenyataan yang ada saat ini,  anak-anak keluaran ITB kalau tidak mau belajar mengaji sendiri, dia akan sangat kesulitan memahami agamanya sendiri,” beber Kang Said tegas.
Sebagai masukan Kang Said mencontohkan sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara Timur Tengah, dimana pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Di hampir semua sekolah yang memiliki latar belakang agama, mata pelajaran umum tetap diajarkan.
Untuk di Indonesia, Kang Said juga mengatakan, Kementerian Pendidikan Nasional saat ini sebenarnya sudah mulai menyisipkan pendidikan umum di sekolah berlatar belakang agama, semisal dibukanya sekolah kejuruan di pondok pesantren. Meski demikian itu dianggap belum menjadi solusi utama, mengingat penerapannya yang belum secara luas.
“Bisa dikatakan itu solusi jangka pendek. Harus diusahakan lagi solusi jangka panjangnya, bagaimana pendidikan bisa dijalankan dengan baik, dengan output anak didik yang tetap berkualitas,” pungkas Kang Said.

Minggu, 20 Januari 2013

HIKMAH KE DUA



"Kalau laki2 setia hanya sama istrinya tidak bisa berbagi cinta kepada yg lain atau tidak niat berbagi kpd wanita yang halal baginya maka laki laki itu tidak normal salah satu dari dua hal di bawah ini" :1.Tidak Normal agamanya atau2.Tidak Normal kelelaki2an nnya"Atau bahkan ia termasuk pada kedua itu...



Dasar pernyataan diatas adalah sbb :

PERTAMA


"Tidak Normal agamanya"



A.Tidak membaca Al-quran & hadits

Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Anehnya para penentang poligami baik pria maupun wanita, mayoritas mereka tidak mengerti tata cara wudhu dan sholat yang benar, tapi dalam masalah poligami, mereka merasa sebagai ulama besar!!” 62). Perkataan beliau ini, kiranya cukup menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang menentang poligami tersebut, hendaknya mereka lebih banyak dan lebih dalam mempelajari ajaran agama Allah kemudian mengamalkannya sampai mereka menyadari bahwa sesungguhnya aturan Allah akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

B.Tidak Memahami kehendak keduanya.

C.Tidak membaca kaisah orang orang - orang soleh mengenainya

D.Tidak memahami kehendak Alloh secara umum

E.Mendahulukan logika daripada wahyu.


KEDUA 



Saya hanya mendapatkan suatu dalil

1. Ayat al-quran menemukan 1 ayat Q.S.Annisa : 34 ,sbb :"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka"

Disebutkan dalam kitab Tafsir Attahrir wattanwir ( التحرير والتنوير),sbb :

 وفضلهم به على النساء ، كما فضلهم عليهن بالرسالة والنبوة والخلافة والملك والإمارة وولاية الحكم والجهاد وغير ذلك ، وجعل"" الرجال قوامين على النساء ساعين في مصالحهن ، يدأبون في أسباب معيشتهن ، ويركبون الأخطار ، يجوبون القفار ، ويعرضون أنفسهم لكل بلية ومحنة في مصالح الزوجات

 Artinya :(Pernyataan ) Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) adalah sebagaimana  AllohTa'ala melebihkan laki --laki dalam urusan Dakwah, kenabian,perkhilafahan , kerajaan,perhukumanan ,perjihadan dan lain sebaginya ,Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (dimana)para lelaki berusaha dengan sungguh - sungguh dalam kemshlahatann para wanita , nafka buat mereka , perlindungan (dari marabahaya) , menghindarkan kemiskinan mereka dan para lelaki itu dapat merintangi mereka dari segala macam bencana untuk kebaikan para istri.

Coba Anda perhatikan kata :"dan lain sbagainya "itu maksudnya kalau diteruskan adalah kemampuan berstubuh kpd beberapa wanita dalam suatu waktu secara bergilir sebagi bentuk standarisasi kenormalan seks laki -laki, Pernyataan saya diatas didukung oleh tulisan ibnul qoyyuum rahimahullohta'ala sbb :

قال ابن القيم في إعلام الموقعين عند ذكر الحكمة في إباحة التعدد للرجل دون المرأة " وأما قول القائل: إن شهوة المرأة تزيد على شهوة الرجل فليس كما قال، والشهوة منبعها الحرارة، وأين حرارة الأنثى من حرارة الذكر، ولكن المرأة ـ لفراغها وبطالتها وعدم معاناتها لما يشغلها عن أمر شهوتها وقضاء وطرها ـ يغمرها سلطان الشهوة ويستولي عليها، ولا يجد عندها ما يعارضه، بل يصادف قلباً فارغاً ونفساً خالية فيتمكن منها كل التمكن، فيظن الظان أن شهوتها أضعاف شهوة الرجل، وليس كذلك. ومما يدل على هذا أن الرجل إذا جامع امرأته أمكنه أن يجامع غيرها في الحال، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يطوف على نسائه في الليلة الواحدة، وطاف سليمان على تسعين امرأة في ليلة. ومعلوم أن الرجل له عند كل امرأة شهوة وحرارة باعثة على الوطء، والمرأة إذا قضى الرجل وطره فترت شهوتها، وانكسرت نفسها، ولم تطلب قضاءها من غيره في ذلك الحين، فتطابقت حكمه القدر والشرع والخلق والأمر". والله أعلم. 

Artinya : Ibnu qoyuum rahimahullohu ta'ala berkata  dalam kitab "ilamul-Mauqi'ani sewaktu beliau menyinggung persoalan hikmahnya dibolehkan Ta'addu (poligami )bagi laki laki bukan poliandri :"Adapaun pernyataan orang yang berkata bahwa :<<syahwat wanita itu melebihi syahwat laki laki >> ,pernyataan ini tidak sebagamana yang dikatakannya bahwa : "central syahwat itu ada pada keinginanan yang kuat/gelora,nah...dimanakah (perbedaan )syahwat wanita dengan syahwat laki laki?? sedangkan wanita selalu diselubungi oleh kekeuatan syahwat  - disamping waktu kosongnya ,tidak adanya perhatian ketika sibuk dalam urusan syahwatnya dan menunaikan keperluannya - maka wanita selalu diselubungi oleh kekuatan & kepemilkan syahwat,tidak mempunyai filter yang dapat menghalanginya ,bahkan biasanya selalu saja pengaruh kekuatan syahwat tersebut memboncengi  wanita itu pada waktu kosongnya dan kesendiriannya (akhirnya )pengaruh itu betul menduduki wanita tersebut' lantas orang menyangka bahwa syahwat  wanita itu berlipat ganda daripada syahwat laki laki ,padahal tidaklah seperti itu ,hal ini berdasarkan (kenyataan / bukti nyata sebagai bantahan atas pernyataan diatas ) bahwa jika seorang laki laki meneyetubuhi wanitanya / istrinya maka adanya kemungkinan (bagi yga normal kelaki-lakiannya ) untuk menyetubuhi istrinya yang lain pada waktu bersamaan ( secara bergilir ,dikisahkan bahwa )biasanya Nabishallallohu'alaihiwasallam menggilir istrinya dalam 1 malam saja ,sedangkan Nabi sulaiman 'alaihis salam perna memnggilir 90 istrinya dalam 1 malam,dan perlu dikmlumi  bahwa laki laki itu mempunyai suatu syahwat (yang berbeda )pada masing - masing individu istrinya yang mendorong untuk melampiaskan syahwatnya, sedangkan wanita jika sudah disetubuhi suaminya maka redalah gejolak syawatnya ,lemas dan tidak bersemangat lagi,tidak minta lagi untuk disetubuhi pada waktu itu ,oleh karenanya ( dengan kenyataan ini ) maka dapat disesuaikan dengan Hikmah - hikmah Allohta'ala ,syariat, taqdir,ciptaan dan urusanNya ,wallohu'alam .

2.Perhatikan kata Syaikh Muhammad Asy Syanqithi sbb :"Seorang wanita terkadang mengalami sakit, haid dan nifas. Sedangkan seorang lelaki selalu siap untuk menjadi penyebab bertambahnya umat ini. Dengan adanya syariat poligami ini, tentunya manfaat ini tidak akan hilang sia-sia. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445)"

Pernyataan "Sedangkan seorang lelaki selalu siap untuk menjadi penyebab bertambahnya umat ini. "sudah cukup menjadi pendukung statmen diatas.

3.Katanya lagi :Poligami merupakan cara efektif menundukkan pandangan, memelihara kehormatan dan memperbanyak keturunan. Kami tambahkan, betapa telah terbaliknya pandangan banyk orang sekarang ini, banyak wanita yang lebih rela suaminya berbuat zina dari pada berpoligami, Laa haula wa laa quwwata illa billah.Menjaga kaum laki-laki dan wanita dari berbagai keburukan dan penyimpangan.

Pernyataan "Redaksi yang ketiga inipun ditujukan buat laki laki  untuk mendukung statmen diatas,sebab peraktek kerusakan secara dhohir selalu dimulai dari fihak laki laki ,maka Alloh memberi jalan hal ini melalui poligami,inilah yang lumrah,ini menunjukkan standarisasi kerakter seks laki laki.Apa yang saya tulis diadatas dikuatkan juga oleh seorang ilmuwan yang terkenal ,perhatikan no 4 berikut ini :

4.Tujuh Perbedaan Seks Pria dan Wanita Ketika Tua.
A. Setelah menginjak usia 30 tahun, seorang pria masih akan aktif secara seksual selama 35 tahun, sementara wanita akan aktif selama 30 tahun lagi.
B. Perbedaan seksualitas antara pria dan wanita paling mencolok adalah ketika keduanya berada pada usia 75 dan 85 tahun. Pria yang masih aktif secara seksual di usia tersebut sebanyak 38,9 persen sedangkan wanita sebanyak 16,8 persen.
C. Para peneliti juga menemukan bahwa orang yang lebih sehat ketika muda akan aktif secara seksual lebih lama ketika tua. Pria lebih aktif dalam masalah seksualitas dibanding wanita untuk sebagian besar hidupnya.
D. Secara keseluruhan, pria lebih mungkin untuk aktif secara seksual, memiliki kehidupan seks yang berkualitas dan tertarik pada seks daripada wanita.
E. Prevalensi aktivitas seksual pria di usia menengah terus menurun dari waktu ke waktu, dan penurunannya lebih drastis pada wanita.
F. Sementara itu, minat pada seks stabil untuk pria sepanjang hidupnya, tetapi pada wanita akan menurun secara signifikan di pertengahan usia 60 tahun.
G. Kepuasan seksual pada wanita menurun dikarenakan masalah kekeringan vagina atau nyeri selama hubungan seksual.
Peneliti mengatakan kesenjangan antara pria dan wanita dalam masalah seksualitas memang besar, tetapi dapat saling memperkecil perbedaan tersebut dengan menciptakan kemitraan seksual yang baik diantara pasangan.(oleh :Stacy Tessler Lindau, MD dan Natalia Gavrilova, PhD  secara online di BMJ,Diterbitkan Pada June 21, 2012.).

5.Adapun argumen saya sendiri adalah bahwa dunia ini adalah sample atau contoh akhirat dalam segi tempat yakni tempat kebahagiaan dan tempat kebinasaan ,misalnya dineraka ada api ,binatang buas ,ular ,palu besi,timah mendidih , orang yang dipenjara,dipukul ,disiksa dsb.....didunia pun ada contoh -contohnya sebagai gambarannya....,demikian juga halnya disorga ,disorga ada rumah ,kebun-kebun ,sungai yang indah,taman - taman bunga ,cangkir yang cantik,buah -buahan istri -istri yang molek dan menggiurkan,silaturrahami sesama ahli sorga,makan ,minum ,cinta , cemburu , poligami , pesetubuhan dsb...maka diduniapun ada contoh -contohnya walaupun tidak seperti yang disorga hal ini dicipakan oleh Alloht'ala sebagai contoh dan gambaran bagi manusia agar mudah memahami keadaan akhirat.
Nah...khususunya poligami serta hubungannya dengan keadaan karekater cinta masing - masing jenis tidak dikecualiakan ,didunia ini ia merupakan sample akhirat....silahkan anda renungkan pernyataan saya yang lemah ini.

Demikianlah kiranya dalil - dalil naqliy & akliy yang menjadi penyokong bagi statmen diatas.

Mengenai masalah ini memang perlu saya jelaskan lantaran banyaknya pemikiran yang salah dalam menyikapi masalah kareter cinta tersebut maka perlulah saya menjelaskannya sesuai dengan kemampuan saya yang lemah ini walaupu munkin ada tuduhan bagi saya bahwa saya termasuk orang yang suka menggembor -gemborkannya.

Adapun mengenai masalah hukumnya sepengetahuan saya adalah bervariasi seperti halnya nikah ,mencari nafkah dsb...... , wallohu'lam...

Adapun mengenai masalah hukum poligami sepengetahuan saya adalah bervariasi seperti halnya nikah ,mencari nafkah dsb...... , wallohu'lam...Insya Alloh akan dijelaskan dilain waktu.

Penyusun : Ahmad hikam Ibnu sunny

Refrensi :
1.(Umdah Tafsir I/458-460 seperti dikutip majalah Al Furqon Edisi 6 1428 H, halaman 62).2.www.konsultasisyariah.com/mengapa-allah-mengizinkan-poligami 3.www.islamweb.net/
4.http://palingseru.com/10755/7-perbedaan-seks-pria-dan-wanita-ketika-tua

Senin, 14 Januari 2013

بسم الله الرحمن الرحيم

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
 Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(Al-Hasyer :ayat :7)

ُEntah itu masuk akal ataupun tidak masuk akal,bahkan bertentangan dengan logika sekalipun....kalau itu memang bersal dari AllohTa'ala dan Rasulnya mengapa mesti ragu -ragu??? kalau kita masih ragu -ragu juga perintah - peinatah atau pernyataan Alloh didalam Al-quran  itu apa gunanya kita beriman kepadaNya??apa gunanya kita mempercayainya sebagai tuhan yang maha suci dari semua kesalahan? apa gunanya kita mempercayainya sebagai tuhan yang maha sempurna lagi maha bijaksana,kalu saja kita berani mengutak - ngati kebijakan Allop Ta'ala itu sam artinya kita lebih bijak dari yag maha bijak ykni AllohTa'ala.

Adapun cantoh yang tidak masuk akal misalnya :
Kisah Nabi Nus dan para pengikutnya membikin kapal ditengah padang sahara yang jauh dari laut atau pun sungai besar , dimana mereka diolok - olok oleh kaumnya sendiri,saya khawatir jangan - jangan kalau kita hidup pada saat itu ,ikut menyaksikan proyek pembuatan kapal kita juag akan menjadi salah satu provokator dalam mengejek dan memperolok -olok mereka.

 Adapun cantoh yang bertentangan  akal dsn fitrsh manusiawi misalnya :
Kisah Nabi Ibrahim as menyembelih anaknya sendiri yakni Nabi Ismail as ,betapa tidak?? Nabi Ibrahim as emninggalkan Siti Hajar dirtengah padang pasir yang berbatu - batu sebagi tetangga dekatnya bertahun - tahun ditempat yag gersang kering kerontang,siti hajar hanya dibekali sekantung korma,ada riwayat mengatakan  siti hajar ditinggalkan ditempat itu selama 12 tahun ,pertanyaannya
1.Jika anda sebagai istrinya atau ortau kandung siti hajar,saudaranya apa tanggapan anda??
2,Jika anda sebagai tetangnya yakni bertetangga dengan Pak Nabi Ibrohim apa tanggapan anda mengenai kelakuan Pak Nabi Ibrohim tersebut??
3.Jika anda sekiranya Pak Nabi Ibrahim itu masuk koran TV dalam taayangan INSERT apa komentar anada mengenai keluarga pak Nabi Ibrahim  ???
4,Jika anda sebagai calon korbannya apa yang anda lakukan??

Ketahwilah Fungsi akal hanyalah untuk  mengatur yang bukan menjadi kebijakan AllohTa'laa ,tidakalah sepatutnya seorang muslim untuk membijaki AllohTa'ala

Penulis Ahmad hikam suni





Sabtu, 12 Januari 2013

ISTRI NABI NUH


PELAJARAN DARI SEKELUMIT TULISAN
YANG TERCECER DI BLOGGER

kisah kedurhakaan istri nabi nuh as
tulisan ini dimuat di majalah hidayah edisi 57 april 2006

Allah membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar; istri Nuh dan istri Luth, mereka adalah istri dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang saleh. Tetapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya). Maka mereka tiada berdaya suatu apapun terhadap Allah. Kepada mereka dikatakan, "Masuklah kamu ke dalam neraka jahanam bersama orang yang masuk (ke dalamnya)” (QS. At-Tahrim [66]: 10).

Hari masih pagi. Wanita itu bangun, dan segera bergegas ke dapur. Di pagi yang sunyi itu, dia ingin membuat makanan. Ternyata tak cukup lama pekerjaan dapur itu menyita waktunya. Setelah itu, dia segera melangkah keluar. Dengan pelan, dia berjalan, takut kalau-kalau seisi rumah mendengar langkahnya. Tetapi, saat tangannya meraih daun pintu, anaknya yang masih muda tiba-tiba menegur, "Sepagi ini, ibu mau ke mana…?"

Sang ibu, yang tidak lain adalah istri Nabi Nuh, kaget. Dengan muka pucat, dia segera memberikan isyarat agar anaknya --yang bernama Kan`an-- untuk tidak bersuara keras. "Aku mau ke Makbad Besar (tempat peribadatan penyembahan berhala). Lupakah anakku, bahwa hari ini adalah hari raya tuhan-tuhan kita?"

Si anak tersenyum seraya berkata, "Ibu berbuat yang terbaik. Nanti saya menyusul. Ibu tahu khan… kalau ayah tidak senang melihat kita pergi ke sana?"

Istri Nabi Nuh lalu berangkat. Sesampai di sana, ia segera mempersembahkan makanan dan berdoa. Selesai berdoa, istri Nabi Nuh menengok dan mendapati putranya sudah ada di sana. Waktu berlalu dengan cepat, upacara penyembahan itu pun akhirnya usai. Istri Nabi Nuh kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, ia diberitahu oleh anaknya, "Wahai ibu, tahukah apa yang sedang dilakukan ayah?"

"Apa yang dia perbuat, wahai anakku?"

"Ayah menyeru orang-orang di pasar dan sekelilingnya untuk bertakwa kepada Allah"

Istri Nuh memadang Kan`an, seraya berkata, "Kalau begitu ayahmu tak menghendaki kita menyembah tuhan-tuhan yang memberi rezeki dan memelihara kita."

Sepanjang perjalanan berikutnya, keduanya lebih banyak membisu. Dalam hati, sudah kuat keingkaran ibu dan anak itu untuk tak menganut ajaran yang dibawakan Nabi Nuh.

***

Malam tiba. Nabi Nuh pulang ke rumah dengan rasa letih, meletakkan tongkatnya di dinding dan kemudian duduk. Istrinya tiba-tiba mendekat seraya berkata, "Mengapa engkau terlambat pulang sampai selarut ini?"

"Aku harus menyampaikan risalah dari Allah."

"Risalah apakah itu?"

Nabi Nuh menjawab tegas, "Risalah agar manusia menyembah Allah dan meninggalkan berhala."

"Kamu telah bertahun-tahun hidup bersama kami," sahut istri Nabi Nuh, "Tapi kenapa kini berselsisih paham dengan apa yang disembah oleh kaummu?"

"Allah memilihku untuk menjalankan tugas ini. Karena itulah, sekarang kumpulkanlah anak-anak kita, aku akan menunjukkan tentang yang kubawa ini, sebagaimana aku menyeru kepada orang lain," perintah Nabi Nuh kepada istrinya.

Namun istri Nabi Nuh diam seribu bahasa. Sementara Kan`an datang, mengambil tempat duduk di sampingnya. Dia berkata kepada ayahnya, Nuh," Anak-anakmu sedang tidur. Tundalah hal itu sampai besuk pagi!"

"Kalau begitu, tidak ada salahnya aku menyampaikan hal ini kepada kalian berdua lebih dahulu."

"Mengapa ayah tergesa-gesa dengan hal ini?" ucap Kan`an.

"Tidurlah sampai besok pagi!" sahut istri Nabi Nuh.

"Tidak!" kata Nabi Nuh, "Aku harus melaksanakan tanggung jawabku terhadap Allah. Sebab kalian berdua adalah ahli baitku dan aku harus menjadi orang yang menyeru kalian berdua untuk pertama kali."

Kan`an memandang ibunya. Sang ibu pun juga memandang kepadanya seraya berkata kepada Nabi Nuh, "Kami tak akan meninggalkan agama nenek moyang kami."

Perdebatan antara Nabi Nuh dan keduanya akhirnya terjadi. Anak-anak Nuh yang lain akhirnya terbangun dikarenakan terusik. Mereka bangkit dan menghampiri ketiganya. Sang ibu dengan segera berkata, "Ayahmu menghendaki kita agar meninggalkan tuhan-tuhan yang kita sembah dan memerintahkan kita untuk menyembah Tuhan yang telah mengutusnya......"

"Siapakah Tuhanmu itu, wahai ayah?" tanya anak-anak itu kepada Nabi Nuh.

"Dia adalah Pencipta langit dan bumi. Dia pula yang memberi rezeki, mematikan semua manusia di hari perhitunan (kiamat)..." jawab Nabi Nuh.

"Lantas di manakah Dia itu berada ayah? Apakah Ia berada di Makbad besar bersama tuhan-tuhan yang biasa kami sembah?" tanya salah seorang di antaranya.

"Anak-anakku" kata Nabi Nuh, "Sesungguhnya Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dia adalah Pencipta ruang dan waktu itu sendiri. Dia tak dapat dilihat oleh mata kita."

"Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Dia itu ada?" tanya yang lain.

Nabi Nuh dengan tegas menjawabnya, "Dari tanda-tanda kekuasaan-Nya atas segala sesuatu; dari ciptaan-Nya; dari langit yang ditinggikan-Nya tanpa tiang; dari bumi yang dihamparkan-Nya, dan di dalamnya terdapat sungai-sungai dan lautan; dari hujan yang tercurah dari langit dan menumbuhkan tanaman yang menghidupi manusia dan hewan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan hewan-hewan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan mematikan mereka; yang semua itu ada di hadapan kita."

Setelah mendengar perkataan Nabi Nuh itu, anak-anaknya serentak berkata, "Allah telah melapangkan hati kami untuk menerima kebaikan yang ayah serukan..."

Betapa terperanjatnya istri Nabi Nuh tatkala mendengar pengakuan anak-anaknya. Ia segera bangkit dan menghampiri Kan`an. Lalu, berkata lantang kepada suaminya, "Telah rusak akal dari anak-anakmu dengan seruan itu. Tuhan kami akan mengutukmu…"

***

Alih-alih istri Nabi Nuh cuma ingkar akan apa yang dibawa oleh Nabi Nuh, melainkan juga mencoba menghalang-halangi dakwah suaminya. Setiap kali ada tetangga yang datang mau menjadi pengikut Nabi Nuh, dan meminta pendapatnya, justru dia menyarankan mereka untuk pulang seraya berkata, "Sekiranya seruan Nuh itu baik, niscaya aku dan Kan`an akan mengikutinya."

Bulan berlalu dan tahun pun bergulir. Istri Nabi Nuh bukan semakin condong kepada ajaran Nabi Nuh, melainkan semakin menunjukkan penentangannya. Sampai dia dengan sengit berkata, "Tidak ada yang mengikutimu, kecuali hanya beberapa gelintir orang miskin. Niscaya bukan karena kemiskinan yang mereka derita, sekiranya tak mungkin mereka mengikutimu. Bukankah ini menjadi bukti bahwa seruanmu itu bathil? Orang mengolok-olokmu, Nuh. Maka, sebaiknya kamu menghentikan seruanmu itu...!"

Tapi Nabi Nuh tak putus asa. Ia memikul semua penderitaan itu dan kejahatan orang-orang yang merintanginya. Bertahun-tahun Nabi Nuh berdakwah, memang tidaklah lebih dari seratus orang yang mengikutinya. Meski demikian, Nabi Nuh tetap sabar dan selalu berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam maka seruanku itu hanya membuat mereka lari (dari kebenaran). " (QS. Nuh [71]: 5-6).

Allah lalu memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera.

***

Suatu hari, istri Nabi Nuh melihat suaminya mendatangkan kayu-kayu dan menyuruh kepada pengikutnya untuk meletakkan kayu-kayu itu di tengah kota. Padahal, kota itu jauh dari laut dan sungai. Tak ayal, istri Nabi Nuh bertanya heran, "Apa yang akan engkau perbuat dengan kayu-kayu itu, wahai Nuh?"

"Aku akan membuat sebuah bahtera," jawab Nabi Nuh

Mendengar jawaban Nabi Nuh, istrinya mencibir, "Mengapa engkau membuat bahtera sedang di sini tidak ada lautan atau sungai yang dapat melayarkannya?"

Nabi Nuh menjawab, "Bahtera ini akan berlayar ketika datang perintah dari Allah."

"Bagaimanakah orang-orang yang berakal akan menyanggahnya bahwa hal ini bisa terjadi?"

"Nanti kamu akan melihat bahwa hal itu akan terjadi."

Seraya melangkah, istri Nuh berucap sinis, "Akankah bahtera ini nanti berlayar di atas pasir?"

"Bukan," jawab Nuh, "Sebab air bah akan menenggelamkan bumi dan orang-orang yang menentang kami. Sedang orang-orang yang mengikutiku akan selamat di atas bahtera..."

***

Kabar akan pembuatan bahtera itu cepat tersiar. Segera kaumnya datang ke tengah kota, mengolok-oloknya. Seorang berkomentar, "Apa ini wahai Nuh, nyata sekali bahwa kamu akan datang dengan membawa bahtera kepada kami di sini, sehingga kami bisa naik bahtera yang kamu buat di atas padang pasir yang tandus."

Yang lain dengan sengit mengolok-olok, "Nuh, apakah kamu akan menyuruh pengikutmu untuk datang kepadamu dengan membawa timba-timba yang penuh dengan air untuk kemudian dituangkan ke bawah bahtera ini sehingga engkau dapat membuat kolam yang di atasnya bahteramu akan berlayar?"

Suara tawa mereka segera menggema, dan disusul yang lain, "Hal itu tentu saja akan memakan waktu bertahun-tahun, tahukah kamu akan semua itu Nuh?"

"Dan air itu tentu akan di serap pasir sebelum bahteramu bisa berlayar...." ledek yang lain lagi.

Tawa mereka kembali membuncah. Nabi Nuh tidak membalas olokan mereka, kecuali hanya berucap, "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejek kamu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa oleh azab yang kelak (QS. Hud [11]: 38-39)

Bulan berganti, tahun pun berlalu. Nabi Nuh dan pengikutnya, akhirnya menyelesaikan pembuatan bahtera itu. Namun ejekan yang datang dari kaumnya tak henti-henti melayang kepadanya. Apalagi, istri Nuh selalu memberi tahu mereka akan penderitaan yang ditanggung Nabi Nuh. Akibatnya, mereka kian senang dan bertambah gembira.

***

Suatu hari, istri Nabi Nuh tiba-tiba terbangun oleh suatu yang menggelisahkan hati. Ia segera bangkit dan menjumpai Nabi Nuh yang sedang mengumpulkan setiap dari jenis hewan dan burung, masing-masing sepasang. "Apa yang kamu lakukan dan akan kamu bawa ke mana hewan-hewan dan burung-burung itu? Akankah pengikutmu akan memakan hewan dan burung-burung itu sementara kami tak akan memakan apa-apa?" tanya istrinya.

"Ini bukan untuk pengikutku. Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk membawa hewan-hewan dan burung-burung itu di bahtera!" jawab Nabi Nuh.

Dengan panik, istri Nabi Nuh bertanya lagi, "Bagaimanakah Tuhanmu memerintahkan semua ini?"

"Kelak akan kubawa setiap pasang binatang dan semua pengikutku di dalam bahtera, tentunya dengan kebenaran yang diperintahkan oleh Allah kepadaku..."

Istri Nabi Nuh tidak juga diam, "Apakah yang akan kamu lakukan dengan bahtera itu? Apakah kalian akan meninggalkan rumah dan hidup bersama hewan-hewan dan burung-burung itu?"

"Kelak air bah akan datang, kemudian menenggelamkan segala sesuatu dan tidak akan ada yang selamat kecuali siapa yang naik dalam bahteraku untuk kemudian memulai kehidupan di dunia baru yang muncul dengan fajar keimanan."

Istri Nabi Nuh tiba-tiba merasa ketakutan. Ucapan Nabi Nuh bahkan membuatnya tak berkutik untuk membantah. Namun jiwanya telah tertutup, keras seperti batu. Dia tetap menekan perasaan takut itu, lalu pergi memberi tahu kepada kaumnya tentang rencana Nabi Nuh itu. Maka, bertambah keraslah ejekan mereka kepada Nabi Nuh.

***

Apa yang diperintahkan oleh Allah kepada nabinya adalah satu kebenaran yang harus dipercaya. Karena itu, janji Allah yang disampaikan kepada Nabi Nuh itu tidaklah bohong dan janji itu akhirnya benar terjadi. Air bah (banjir) datang. Maka terperanjatlah mereka. Pintu-pintu langit terbuka dan mencurahkan air hujan ke bumi sehingga membuat mereka semua pontang-panting. Kelabakan.

Sementara itu, bahtera Nabi Nuh berlayar di atas air, tanpa istri Nabi Nuh dan putranya, Kan`an. Sebab keduanya telah menolak ketika Nabi Nuh memerintahkan agar ikut bersama. Nabi Nuh memanggil anaknya, sedang dia berada di tempat terpencil, “Hai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah bersama orang-orang yang kafir.”

Dengan sombong, dia malah berkata ketus, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air bah.

“Tidak ada Pelindung hari ini dari ketetapan Allah selain siapa yang dirahmati.” (QS. Hud 43).

Firman Allah itu benar. Air bah itu ternyata terlalu besar, gunung pun tenggelam. Maka, tenggelamlah Kan`an dan istri Nuh digulung gelombang yang air bah dahsyat. Kisah tenggelamnya istri Nuh dan putranya, Kan`an itu dikisahkan Allah di dalam al-Qur`an. Ada pesan yang bisa dipetik dari kisah di atas itu, sekiranya sangat jelas; peringatan bagi seluruh kaum mukminin bahwa petunjuk Allah itu kadang-kadang terasa lebih jauh meskipun bagi orang yang paling dekat dengan pemberi petunjuk itu sendiri. Istri Nuh menjadi bukti nyata akan hal itu. Walau dia dekat dengan Nabi Nuh, bahkan termasuk istrinya, namun ternyata petunjuk Allah itu jauh darinya. Demikian juga dengan anak Nabi Nuh, Kan`an.

Dalam kaitan dengan istri Nabi Nuh itu, Allah berfirman dalam al-Qur`an, "Allah membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar; istri Nuh dan istri Luth, mereka adalah istri dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang saleh. Tetapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya). Maka mereka tiada berdaya suatu apapun terhadap Allah. Kepada mereka dikatakan, "Masuklah kamu ke dalam neraka jahanam bersama orang yang masuk (ke dalamnya)" (QS. At-Tahrim [66]: 10).

Semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah di atas.

DIPOSKAN OLEH N. MURSIDI DI 05:56

Kamis, 10 Januari 2013

BIODATA TOKOH ULAMA



Syeikh Abu Al Faydh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al Fadany Al Makky Musnid Ad-Dunya. 




Seikh Yasin dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis, karya beliau mencapai ratusan, sehingga Al-`Allamah Sayyid Saqqaf bin Muhammad As-Saqqaf seorang ulama Hadhramaut memuji syeikh Yasin dengan sebutan ‘’Suyuthy Zamanih” (Imam Suyuthy pada zamannya) lantaran karyanya yang demikian banyak.

Sejumlah murid dan peneliti kini mulai berusaha menginventasrisir, mengkodifikasi, dan menerbitkan karya-karya tersebut. Kabarnya hingga saat ini baru sebanyak 97 kitab diantaranya sembilah tentang ilmu hadits, 25 kitab tentang ilmu fiqh dan ushul fiqh, 36 kitab tentang ilmu falak, dan sisanya cabang ilmu-ilmu yang lain
Sebagian kitab syeikh Yasin tersebut dijadikan rujukan dan pelajaran di beberapa tempat lembaga pendidikan islam seperti pesantren, madrasah majles ilmu dan perguruan tinggi baik di Asia tenggara maupun di Timur Tengah. Bahkan kitab beliau Fawaid Al Janiyah dijadikan materi silabus mata kuliah Ushul Fiqh di Fakultas Syari`ah Al Azhar. Agaknya, sebagaimana diakui oleh kalangan para ulama yang mengetahui kadar keilmuan beliau, faktor susunan bahasa yang tinggi dan sistematis serta isinya yang padatlah yang menjadikan karya syeikh Yasin dijadikan oleh para ulama dan pelajar sebagai rujukan.

Karya beliau yang terdiri dari kitab fiqh, hadits, balaghah, tarekh, falak, sanad serta dalam cabang ilmu yang lain antara lain:
1. Ad Durr al-Mandhud fi syarh Sunan Abi Daud
2. Fath al-`Allam Syarh Bulughul Maram
3. Syarh Jauhar Tsamin fi arba`in Haditsan min Ahadits Sayyidil Mursalin lil `Ajluny
4. Syarh al-Musalsal bil `iratith Thahirah
5. Bulghah Al Mustaq fi ilm Isytiqaq
6. Tasnif as-Sama`i fi Mukhtashar ilm al-Wadha`
7. Hasyiah `ala Risalah Hajar Zadah fi Ilmi Wadha`
8. Idhah an-Nur al-Lami` syarh al-Kawkab as-Sathi`
9. Hasyiah `ala al-Asybah wan Nadha-ir fi Furu` Fiqh asy-Syafii lis Suyuthy
10. Bughyah Musytaq Syarah al-Luma` Abi Ishaq
11. Ta`liqat `ala Luma` Abi Ishaq asy-Syirazy fi Ilmi Ushul
12. Hasyiah `ala at-Talaththuf Fi Ushul Fiqh
13. Hasyiah `ala al-Qawaid al-Kubra li al-`Izz bin Abd as-Salam
14. Tatmim ad-Dukhul Ta`liqat `ala Madkhal al-Wushul ila `ilm al-Ushul
15. Ta`liqat `ala Syarh Mandhumah az-zamzamy fi Ushul at-Tafsir
16. Taqrir al-Maslak liman arada `ilmi Falak
17. Al-Khamaliyah Syarh mutawasith `ala Tsamarat al-Wasilah
18. Ar-Riyadh Nadhrah Syarh Nadhm al-Alaliy al-Muntatsirah fil Maqulat al-`Asyrah
19. Syarah `ala Risalah al-Adhud fil wadha`
20. Tastnif as-Sami` mukhtashar fi Ilm al-Wadh`i
21. Syarah `ala Mandhumah Zubad li Ibni Ruslan fil Fiqh Syafii
22. Kaukab al-Anwar fi asma-i an-Nujum as-Samawiyah
23. Al-Mukhtashar al-Muhazzab fi istikhraj al-Auqat wal Qiblat bil Rubu` al-Mujayyab
24. Manhal al-Ifadah Hawasyi `ala Risalah Adab al-Bahts wa al-Munadharah li Thasy Kubra Zadah
25. Ad-Durar an-Nadhid Hasyiah `ala Kitab at-Tamhid lil Asnawi Fi Ushul Fiqh asy-Syafii
26. Nail al-Ma`mul Hasyiah `ala Ghayatul wushul `ala Lubb al-Ushul
27. Al-Fawaid al-Janiyyah Hasyiah `ala al-Qawaid al-Fiqhiyyah
28. Janiyy ats-Tsamar Syarah Manzumah Manazil Qamar
29. Thabaqat asy-Syafi`yyah al-Kubra
30. Thabaqat asy-Syafi`yyah al-Sughra
31. Thabaqat Ulama al-Ushul wa al-Qawa`id al-Fiqhiyyah
32. Thabaqat `Ulama al-Falak wa al-Miqat
33. Thabaqat Masyahir an-Nuhah wa Tasalsul Ahkzihim
34. Al-Mawahib al-Jazilah Syarh Stamrah al-Wasilah fi al-Falak
35. Al-Fawaid al-Jamilah Syarh Kabir `ala Tsamarah al-Wasilah
36. Husn ash-Shiqayah Syarah Kitab Durus al-Balaghah
37. Risalah fi ilm al-Mantiq
38. Ittihaf al-Khallan Taudhih Tuhfat al-Bayan fi ilm al-Bayan
39. Ar-Risalah al-Bayaniyyah `ala Thariqat as-Sual wa al-Jawab
40. Tanwir Bashirah bi Thuruq al-Isnad asy-Shahirah
41. Al-Qawl al-Jamil bi Ijazah as-Sayyid Ibrahim bin Aqil
42. Al-Isyadat fi Asanid Kutub an-Nahwiyyah wa ash-sharfiyyah 
43. Al-`Ujalah fi al-Hadits al-Mustaltsal
44. Asma al-Ghayah fi Asanid asy-syeikh Ibrahim al-Hazazmi fi al-Qira-ah
45. Asanid al-Kutub al-Haditsiyyah as-Sab`ah
46. Al-`Iqd al-fard min Jawahir al-Asanid 
47. Ithaf al-Bararah bi Ahadits al-Kutub al-Haditsiyyah al-`Asyrah
48. Ithaf al-Mustafid bin Nur al-Asanid
49. Qurrah al-`Ayn fi Asanid A`lam al-Haramain
50. Ithaf uli al-Himam al-`Aliyyah bi al-Kalam `ala al-Hadits al-Musalsal a-Awwaliyah
51. Al-Waraqat fi Majmu`ah al-Musalsalat wa al-Awa`il wa Asanid al-`Aliyyah
52. Ad-Durr al-farid min Durar al-Asanid 
53. Al-Muqtathaf min ithaf al-Kabir bi Makky
54. Ikhthiyar wa Ikhtishar Riyadh Ahli Jannah min Atsar Ahli as-Sunnah li `Abd al-Baqi al-Ba`li al-Hanbali
55. Arba`un Haditsan min Arba`in Kitan `an Arba`in `an Arba`in Syaikhan
56. Arba`un al-Buldaniyyah Arba`un Haditsan `an Arba`ina `an Arba`ina Baladan
57. Arba`un Haditsan Mutsaltsal bi an-Nuhad ila al-Jalal as-Suyuthy 
58. Al-Salasil al-Mukhtarah bi Ijazah al-Mu`arrikh as-sayyid Muhammad bin Muhammad Ziyarah
59. Fath ar-Rabb al-Majid fima li Asyyakhy min Fara`id al-Ijazah wa al-Asanid
60. Silsilah al-Wushlah Majmu`ah Mukhatarah min al-hadits al-Mustalsal
61. Al-faydh al-Rahmany bi Ijazati Samahah al-Allamah al-Kabir Muhammad Taqi al-`utsmany
62. Nihayah al-mathlab fi `ulumi al-Isnad wa al-Adab
63. Ad-Durar an-Nadhir wa ar-Rawdh an-Nazhir fi Majmu` al-Ijazah bi-Tsabat al-Amir
64. Al-`Ujalah al-Makkiyah 
65. Al-Waraqat `ala al-Jawahir ats-Tsamin fi al-Arba`in Haditsan min al-Hadits Sayyid al-Mursalin
66. Ta`liqat ala Kifayah al-Mustafiq li asy-Syaikh Mahfudh at-Turmusy
67. Tahqiq al-Jami` al-Hawi fi Marmiyat al-Syarqawy
68. Ittihaf at-Thalib as-sirry bil Asanid ila al-Wajih al-Kuzbari (sanad tokoh)
69. Asanid al-Faqih Ahmad bin Hajar al-Haitamy al-makky
70. Faydh ar-Rahman fi Tarjamah wa Asanid asy-syeikh Khalifah bin Hamd an-Nabhan
71. Al-Waslu ar-Rati fi Asanid Syihab Ahmad al-Mukhallaty
72. Faydh al-Muhaimin fi Tarjamah wa Asanid as-Sayyid Muhsin
73. Madmah al-wujdan fi Asandi asy-Syaikh Umar Hamdan
74. Faidh al-Ilah al-`Aliy fi Asanid `abdil Baqi al-Ba`ly al-Hanbaly
75. Al-Maslak al-Jaliyy fi Tarjamah wa Asanid asy-Syeikh Muhammad `Aly
76. Ithaf al-Ikhwan bi Ikhtishar majmad a-Wujdan
77. Ittihaf al-Ikhwan bi Ikhtishar Madmah al-wujdan fi Asandi asy-Syaikh Umar Hamdan
78. Ittihaf as-Samir bi Awham ma fi tsabat al-Amir
79. Ijazah as-Sayyid Muhammad `Alawy al-Maliky
80. Ijazah asy-Syeikh Aiman Suwaid
81. al-Irsyad as-Sawiyyah fi Asanid al-Kutub an-Nahwiyyah wa ash-Sharfiyyah
82. Bughyatul al-Muris fi Ilm al-Asanid
83. Ta`liqat `ala al-Awail as-Sunbuliyyah
84. Ta`liqat `ala al-Awail al-`Ajluniyyah
85. Ta`liqat `ala Tsabat ay-Syanwany
86. Ta`liqat `ala Tsabat asy-Syibrazy
87. Ta`liqat `ala Tsabat al-Kuzbari al-Hafid
88. Ta`liqat `ala Husn al-Wafa li ikhwan ash-Shafa
89. ad-Durr an-Natsir fi Ittishal bi Tsabat al-Amir
90. ar-Raudh al-Fa-ih wa Bughyah al-`Adi wa ar-Raih bi Ijazah al-Ustad Muhammad Riyadh al-Malih
91. al-`Ujlah fi Ahadits al-Mutsaltsalah
92. al-`Iqdul Farid min Jawahir al-Asanid
93. Uqud al-Lujain fi Ijazah Syeikh Ismail Zain
94. Faidh al-Bari bi Ijazah al-Wajih as-Sayyid `Abdur Rahman al-Anbari
95. Faiydh al-Mabdi bi Ijazah asy-Syeikh Muhammad `Audh az-Zabidy
96. al-Kawakib ad-Darary fi Ijazah Mahmud bin Sa`id al-Qahiri
97. al-Kawakib as-Siyarah fi Asanid al-Mukhtarah
98. Masjarah bi Asanid al-Fiqh asy-Syafii
99. al-Muqtathif min Ittihaf al-Akabir bi Asanid al-Mufti Abdul Qadir
100. al-Mawahib al-Jazilah wa al-`Uqud al-Jamilah fi Ijazah al-`Allamah al-Bahhatsah al-Musyarik asy-Syeikh Abi Yahya Zakaria bin Abdullah Bila
101. an-Nafhat al-Maskiyyah fi Asanid al-Makkiyah
102. Nahj as-Salamah fi Ijazah ash-Shafi Ahmad Salamah
103. al-Wafi bi zaily Tazkar al-Mushafi bi Ijazah Syeikh Abdullah al-Jarafi
104. al-Washl ar-Ratibi fi Tarjamah wa Asanid Syihab Ahmad al-Mukhallati
105. al-Washl as-Sami bi Ijazah Sayyid Muhammad al-Hasyimy. 
106. Dll

Semua kitab beliau dari no. 40 merupakan kitab dalam bidang ilmu sanad.

Setelah sekian lama membaktikan dirinya dalam pengembangan ilmu agama, Hadhratus Syeikh Al `Allamah Abu Al-Fayd Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-fadany Al-Makky berpulang ke hadhiratNya pada hari jumat shubuh 27 Dzulhijjah 1410 H/20 Juli 1990 M dalam usia 75 tahun. Dalam waktu singkat berita wafatnya beliau segera menyebar luas. Orangpun berdatangan berduyun-duyun untuk berta`ziyah. Roman wajah beliau ketika wafat tampak berseri-seri dan tersenyum. Setelah dishalati usai shalat jum`at jasad beliau dimakamkan di pemakaman Ma`la. Beliau meninggalkan empat orang putra; Arafat, Fadh, Ridha dan Nizar.

Pujian Para Ulama

Kealiman dan kepakaran Syeikh Yasin diakui oleh banyak para ulama dari seluruh penjuru dunia. Baik oleh para ulama semasa beliau maupun pada masa sesudahnya. Sayyid Abdul Aziz Al-Ghumary yang tak lain adalah satu satu guru beliau memuji dan menjuluki Syeikh Yasin sebagai kebanggan ulama Haramain dan sebagai Muhaddits terkemuka.

Dalam muqaddimah Kitab Fawaid Janiyyah kita akan temukan beberapa pujian ulama besar antara lain Syeikh Ismail Usman Zain al-Makky, Syeikh Abdullah bin Zaid al-Maghriby az-Zabidy (ulama Zabid, Yaman, tahun 1315 H – 1389 H) beliau merasa ta`jub dan kagum dengan kitab Fawaid Janiyyah, Sayyid Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdur Rahman al-Ahdal (Mufti Murawa`ah-Yaman, 1307 H-1372 H). Secara khusus beliau menyusun sebuah syair panjang yang memuji SyeikhYasin diantara bait syair itu berbunyi:

انـت فــى عـلم والمعــانى فريـد         وبـعــقد الفـخار انـت الــوحيد
لــك عـز قــد اشـرقت بعـــــــلاه        شمس فضل لها الضياء يـريد
عــــــــــلوم ابـدعـتـها بـمــفـهـوم       بحـــلاهـا تـــتوج المســــتـفـيد
عصـــت فيــها عــلى فــرائد در        فـى نــحو الـحسـان هم العقود
سـائرات كالشمس فى كــل قـطر       مشرقات والـجهل منـها يـبـيـد
من يضـاهى هـذا المـقام المــعلى       ان هــذا عـــن غــيـره لــعــيـد
واذا انــتـمــى انـــاس لأصــــــل       انـت لـلســعـد اذ نسـبـت حفيد

Engkau tak ada taranya dalam ilmu dan hakikat
Dengan membangun keyajaan 
Engkaulah satu-satunya yang jaya……

Begitu pula DR. Syeikh Yusuf Abdur Razaq dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo memuji Syeikh Yasin dengan salah satu syair beliau yang panjang.
Syeikh Fadhl bin Muhammad `Audh Bafadhal at-Tarimy (ulama Tarim-Yaman) juga memuji beliau dan kitab karangan beliau Fawaid al-Janniyyah dalam syairnya sebagai sebuah kitab yang dipenuhi permata.
Syeikh Sayyid Saqaf bin Muhammad as-Saqqaf (ulama Yaman, 1373H) juga memuji Fawaid al-Janiyyah beliau dalam sebuah syair beliau. Bahkan beliau menjuluki Syeikh Yasin sebagai, Suyuthi Zamanihi (Imam Suyuthi pada zamannya)

Selain itu, pujian kepada beliau juga datang dari ulama Negri India Syeikh Muhammad Abdul Hadi, serta ulama Seuwun, Yaman, Sayyid Ali bin Syeikh Balfaqih `Alawy dan juga dari ulama besar Negri Makkah Sayyid Alawy bin Abbas al-Maliky, ayahanda Abuya Abuya Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas al-Maliky al-Hasany.

Pujian tersebut bukan hanya datang dari ulama Ahlus sunnah, DR. Abdul Wahab bin Sulaiman, seorang dosen Dirasah `Ulya Universitas Ummul Qura Madinah yang merupakan tokoh wahaby dalam kitabnya yang berjudul Madinah al-Jawahir ats-Tsaminah menyebutkan Syeikh Yasin, Mudir Madratsah `Ulum Diniyah sebagai seorang muhaddits, faqih, dan salah satu ulama besar yang patut diperhitungkan.
Semoga Allah melimpahkan manfaat dan barakah ilmu beliau kepada kita semua, dan semoga Allah melahirkan kembali Syeikh Yasin al-Fadni yang lain untuk umat muslim saat ini.

Sumber.

1. Majalah AlKisah no.02/Tahun X/23 Januari-5 Februari 2012
2. Majalah AlKisah no. 01/Tahun VI/31 Desember 2007-13 Januari 2008
3. Muqaddimah kitab Al-Fawaid al-Janiyyah cet. Dar Fikr
4. Syeikh muhammad yasin al-fadani (1916 – 1990) dan ketokohannya dalam ilmu riwayah al-hadith, makalah dalam Seminar Serantau Ilmuan Hadith Dalam Peradaban di Alam Melayu oleh Mohd. Khafidz bin Soroni Mohd. Norzi bin Nasir
5. http://www.makkawi.com/Articles/Show.aspx?ID=323
6. dll

Dihimpun dengan mengharap barakah dan doa yang Mulia Al-`Allamah Syeikh Muhammad Yasin al-Fadany Musnid ad-Dunya oleh Ibnu Ali, Santri LPI Mudi Mesra, Samalanga, Kab. Bireun. Aceh, Indonesia.

Posted: 10 Dec 2012 10:04 PM PST
Kitab-kitab Karya Syeikh Yasin.


Selesai di tulis di waktu dhuha, 27 Muharram 1434 H/ 11-12-2012 M
Lajnah Bahtsul Masail Lembaga Pendidikan Islam Mahadal Ulum Diniyah Islamiah. Alamat: Jln. Iskandar Muda, Desa Mediun Jok, Mesjid Raya, Samalanga, bireuen, Aceh jeumpa. Email: lbm@mudimesra.com Web:lbm.mudimesra.com

Rabu, 09 Januari 2013

PERRBADAAN ANTAR DAKWAH DENGAN MENGAJAR(TAKLIM )


PERRBADAAN ANTAR DAKWAH DENGAN MENGAJAR(TAKLIM )

Hampir - hampir kedua hal sulit dibedakan bahkan nyaris tidak sedikit alim ulama yang menetap dipesantre - pesantren di indonesia ataupun luar negeri tidak dapat membedakan kedua hal ini,ketahuilah bahwa :
1.Dakwah tidak harus orang alim / ulama atau ia belajar terlebih dahulu memperoleh gelar  S1 S2 teler dsb....
perhatikan Kisah  Dakwahnya Nabi saw kepada Abubakar,sebagaimana disebutkan dalam Al-Bidayah .3/29 dari Aisyah r.ha,dimana setelah beliau masuk Islam ,keosokan harinya beliau membawa beberapa temannya masuk islam dihadapan Nabisaw,abu bakar tidak dilarang dengan kata-kata "hai abu bakar kamu belum pantas menjadi da'i sebab ilmu kamu belum sampai"abu bakar tidak disuruh untuk sekolah dulu ngambil ini dan itu.
Sederhana sajalah....sebagai suatu contoh :
A.Seorang kakek - kakek mengatakan kepada temennya yang sebaya dengan diri :begini Pa marilah kita mempersiapkan perjalan untuk akhirat apalagi kita sama - sama sudah bau tanah. iya enggak?,atau....
B.Seorang istri berkata kepada suami dan anaknya : "tutuplah dulu televisinya inikan sudah aza.
nah pertanyaannya untuk ungkapan diatas  apakah seorang perlu belajar dipesantren terlebih dahulu? hai orang -orang wahabi apakah ayat " (وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر)"
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
 (Q.S.Al-asri : 3) & ayat {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ}[adzdzariyat:55] Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.
ini hanya untuk ulama???berfikirlah.....
Adapun mengajar haruslah orang alim sesuai dengan bidangnya masing - masing.
2.Dakwah tidak boleh diberi gaji sedangkan mengajar boleh digaji perhatikan ayat dibawah ini :
A.( وما أسألكم عليه من أجر إن اجري إلا على رب العالمين  )
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam[Q.S.Assy'aro.:145]
B.(تبعوا من لا يسألكم أجرا وهم مهتدون) [Q.S.Yasin :21] Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
 sedangkan hukum menerima gajih bagi seorang guru atau ustaz tidak mengapa Jika status gaji tersebut adalah kompensasi dari meluangkan waktu untuk mengajar tahfizh Alquran, . Para pakar fikih generasi belakangan membolehkan para imam masjid dan muadzin tetap, serta guru mengajarkan ilmu agama ataupun yang mengajarkan Alquran untuk menerima gaji, karena telah meluangkan waktu untuk menjadi imam dan beradzan serta meluangkan waktu untuk mengajar, bukan sebagai upah karena telah mengerjakan shalat, beradzan, dan mengajarkan ilmu agama,ini tulisan Ust. Aris Munandar, S.S., M.PI.sedangkan saya sendiri pernah mendengar dari Asysyeikh Sa'ad andahlawiy semoga Alloh menjaga keduanya.
3.Sasaran dakwah bisanya belum siap lahir batinnya oleh sebab itu kadang - kadang mereka bahkan kerap kali mereka mendapat hinaan atau perlakuann yang tidak layak,sebaliknya mengajar sasarnya dapat dipastikan sudah mempunya persiapan lahir dan batin,misalnya kalau ini para santri ia akan membawa kitab ,buku pensil dsb....sebagai bentuk kesiapan lahir batinnya,kalau orang umum mereka akan bersedia duduk mndengarkan sang penceramah bahakn mereka akan menyiapkan air minum buat sang penceramah sebagai bentuk kesiapan lahir batin mereka,nah anda perhatikannlah semua keterangan saya ini.....

Penulis Ahmad hikam

Renungan Iman

URUSAN IMAN HARUSLAH ORANG LAPANGAN BUKAN TIORI


Syarat menjadi petani haruslah orang lapangan,demikian pula pelaut,tentara dsb......
kalau sekedar membaca buku tentang pertanian,kelautan ,ketentaraan dsb ini hanyalah tiori,kalau buku itu sudah tamat kita sepakat dia bukanlah petani  pelaut,tentara yg tulen melainkan hnya sekedar mengetahwi ilmu pertanian,kelautan ,ketentaraan dsb
DEMIKIANLAH HALNYA JUGA URUSAN IMAN HARUS ORG LAPANGAN...... NABI NUH,IBRAHIM,MUSA,ISA ,124RIBU PARA NABI YG DITUTUP OLEH PENGHULU PARA NABI YAKN NABI MUHAMMAD SHOLAWATULLOH 'ALA NABIYYINA WA 'ALAIHIM DALAM URUSAN IMAN MEREKA ADALAH ORG LAPANGAN.....
PARA SHABAT & TABIIN MEREKA ORG LAPANGAN DALAM URUSAN IMAN..........
kitab iman yang mana saja kita tamatkan tetaplah hal itu sebatas tiori.

Tapi sedikit sekali diantara kita yang menyadari sehingga orang alim sekalipun.

Penulis Ibnu suni


Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...