Tampilkan postingan dengan label FIQIH..... Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH..... Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Juli 2013

Beberapa masalah sekitar Haidh

Bismillahirrohmaanirrohim

Para Ibu yang terhormat disini kami akan menjawab permasalahan Anda dalam urusan Haidh yang lebih dari kebiasaan, terlebih dahulu saya tuliskan ibarat dari kitab At-Tadzhib syarah dari kitab matan Al-Ghoyah wat Taqrib sebagai berikut:

فَالحَيْضُ هُوَ الدَمُ الخاَرِجُ مِن فَرْجِ المَرْأَةِ عَلَى سَبِيِل الصِّحَّةِ مِنْ غَيْرِ سَبَبِ الوِلاَدَةِ وَلَونُهُ أسْوَدُ مُحْتَدِمٌ لَذَّاعٌ

Haid itu adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita berdasarkan jalan kesehatan, tanpa sebab melahirkan. Dan warnanya kehitam-hitaman, terasa panas dan diikuti mual-mual pada perut.

رَوَى أبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُبَيْسٍ أنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُ e: إذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإنَّهُ دَمٌ أسْوَدُ يُعْرَفُ فَإذَا كَانَ ذَلِكَ فَأمْسِكِى عَنْ الصَّلاةِ فَإِذَا كَانَ الأَخَرُ فَتَوَضَئِ فَإنَّما هُوَ عِرْقٌ.

Imam Abu Dawud dan lainnya telah meriwayatkan dari Fatimah binti Abi Hubaisy, bahwa dia sedang istihadlah (pendarahan karena penyakit) kemudian Nabi Muhammad saw bersabda kepadanya:?Jika darah haid maka darah itu kehitam-hitaman yang telah dikenal para wanita. Jika darah itu demikian, maka tahanlah dirimu dari melakukan salat dan jika warna tidak demikian maka berwudlulah dan bersalatlah, karena darah tersebut adalah cucuran darah.?

وَأَقَلُّ الحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَأكْثَرُه خَمْسَةَ عَشَرَ يَوُمًا وغَالِبُهُ سِتٌّ اَو سَبْعٌ.

Haid itu paling sedikit adalah sehari semalam, dan paling lama adalah lima belas hari sedang umumnya adalah enam atau tujuh hari.

Berdasarkan dalil diatas, maka dapat kita ketahui bahwa:
1.Darah yang keluar lebih dari 15 hari meskipun warnanya kecoklat-coklatan umpamanya, maka yang lima belas hari dihukumi darah haid, sedang selebihnya dihukumi darah istihadlah/penyakit.

2.Tidak semua darah yang keluar dari kemaluan wanita dihukumi darah haid, terutama yang berwarna merah atau kuning jambon.

3.Jika darah yang keluar itu adalah darah haid (warna kehitaman atau kecoklatan, keluar terasa panas dan terkadang diikuti perut terasa mual dan tidak lebih dari lima belas hari), maka Anda tidak boleh melakukan salat, dan otomatis puasa yang Anda lakukan menjadi batal.

4.Jika darah itu keluar kurang dari 15 hari dari masa suci, maka darah tersebut hukumnya adalah darah istihadlah, sebab masa suci itu paling sedikit 15 hari.

5.Bila masa keluar darah selama 15 hari itu dihitung kurang dari 24 jam (sehari semalam), maka hukumnya adalah darah istihadlah.

6.Jika yang keluar itu darah haid, maka setelah suci (berhenti), Anda wajib mandi besar dari haid (bukan mandi junub, karena mandi junub bagi wanita itu antara lain setelah bersenggama) dengan niat sebagai berikut:?saya berniat mandi untuk menghilangkan hadast besar dari haid fardhan lillahi taala.?
Untuk darah yang keluar selain darah haid, maka Anda tidak perlu mandi, tetapi cukup membersihkan darah (cebok-jw) lalu memakai kain pembalut saja, kemudian wudlu dan melakukan salat. Setiap melakukan salat, kain pembalut harus diganti setelah membersihkan darah dan berwudlu.

7.Jika ikut KB dengan cara suntik yang Anda ikuti berakibat masa haid Anda tidak teratur, sebaiknya Anda pindah ke cara lainnya. Misalnya dengan memakai susuk atau minum pil kalau memang tidak membawa akibat yang negatif, asal jangan dengan memakai spiral, karena memakai spiral ini pemasangannya masih dipandang haram oleh para ulama.

Wallohu'alam

Penyusun suni Ahmad

Ref :putralawe.blogspot.com/

Senin, 22 Juli 2013

Memakai peci menurut syariat Islam

Bismillahirrohmaanirrohim

Dibawah ini saya akan menjelaskan hukum memakai peci menurut syariat Islam
Diantaranya : Ibn Umar ra jika berwudhu ia mengangkat pecinya dan membasahi rambutnya (Sunanul Kubra oleh Imam Albaihaqi)

Dari Said bin Abdillah bin Dhirar ra berkata : Aku melihat anas bin Malik keluar dari kakus dengan peci putihnya, lalu mengusap pecinya. (Mushannif Ibn Abdurrazzaq)

Berkata Hisyam bin Urwah ra, kulihat Zubair ra melakukan tawaf dan ia memakai peci (Akhbar Makkah oleh Imam Al Faakihiy)

Khalid bin Walid ra dalam peperangan Yarmuk, lalu ia mencari cari pecinya, dan tidak kunjung jumpa, maka peperangan berlangsung dan ia terus mencari pecinya hingga ia menemukannya, dan peci itu sudah usang, ia berkata : Aku hadir saat Rasul saw mencukur rambutnya, dan kutaruh sehelai rambut beliau saw dipeci ini, dan sejak itu aku selalu menang dalam peperangan (Ma'jamul Kabir oleh Imam Attabraniy)

Rasul saw menceritakan kemuliaan dan tingkatan para syuhada, lalu beliau mengangkat kepala beliau saw dan terjatuh peci beliau saw dari kepalanya (Musnad Ahmad dan Sunan Imam Tirmidziy)

berikut hadits bahwa Rasul saw memakai imamah (sorban di kepala:

1. dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain).

2. dari Ibnul Mughirah ra, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw mengusap kedua khuffnya, dan depan wajahnya, dan atas surbannya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

3. para sahabat sujud diatas Surban dan kopyahnya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).

4. Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

Dan masih belasan hadits shahih meriwayatkan tentang surban ini, mengenai hadits hadits dhoif yg mereka katakan tentang kemuliaan surban, seandainya kesemua hadits itu tidak ada, cukuplah hadits Nabi saw : "Barangsiapa yg tak menyukai sunnahku maka ia bukan golongangku" (Shahih Bukhari).

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,


Wallahu a'lam

Penyusun Suniy Ahmad

Ref : carauntuk.com/

Sabtu, 20 Juli 2013

Apakah Ilham Itu

Bismillahirrohmaanirrohim

pengertian ilham Apakah Ilham Itu? Dalam Al-Qur’an disebutkan dalam bentuk fi’il madhi (kata kerja lampau) yaitu dalam QS Asy-Syams 7-8 : “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, lalu IA meng-ILHAM-kan kepadanya jalan keburukan dan ketaqwaannya.” Dalam Al-Mu’jam [2] disebutkan makna ayat tersebut : “ALLAH menanamkan dalam jiwa itu perasaan yang dapat membedakan antara kesesatan dan petunjuk.” Makna ini didasarkan oleh riwayat mufassir terdahulu seperti Mujahid dll tentang makna ayat ini. Mungkin dimasa sekarang orang biasa menyebutnya sebagai dhamir (hati nurani). Di dalam kamus Al-Muhith, disebutkan: “ALLAH mengilhamkan padanya kebaikan, yaitu IA mengajarkannya kepadanya.” Adapun pen-syarah kitab Al-Muhith yaitu Az-Zubaidi [3] mengatakan: “Ilham ialah apa-apa yang diletakkan dalam hati dalam bentuk yang melimpah dan khusus dengan sesuatu yang datangnya dari ALLAH atau dari para Malaikat.” Dikatakan pula: “Meletakkan sesuatu di dalam hati, yang karenanya hati menjadi tentram dan hal itu dikhususkan oleh ALLAH bagi para hamba yang dikehendaki-NYA.” Di dalam Lisanul Arab [4] disebutkan: “Ilham ialah bahwa ALLAH menanamkan di dalam jiwa seseorang sesuatu yang dapat mendorongnya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan ia termasuk jenis wahyu yang dengannya ALLAH mengkhususkan siapa saja yang dikehendaki-NYA diantara hamba-hamba-NYA.” Di dalam Syarh Aqidah Nasafiyyah [5] disebutkan: “Ilham adalah menanamkan sesuatu dalam hati secara melimpah.” Sedangkan di dalam At-Ta’rifat [6] dikatakan: “Ilham adalah apa yang ditanamkan di dalam hati dengan cara yang melimpah.” Sementara di dalam An-Nihayah [7] dikatakan : “Ilham ialah bahwa ALLAH meletakkan di dalam jiwa seseorang perintah yang membangkitkannya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dan hal itu termasuk jenis wahyu yang dikhususkan oleh ALLAH kepada siapa saja yang dikehendaki-NYA diantara para hamba-NYA.” Sementara itu dalam bab had-da-tsa ia menyitir sebuah hadits shahih [8]: “Sungguh telah ada pada ummat-ummat terdahulu para muhaddatsun, dan jika ada seseorang dari ummatku, maka ia adalah Umar bin Khattab.” Kemudian ia berkata [9]: “Penafsiran dari hadits ini ialah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang diberikan ilham & orang yang diberikan ilham adalah orang yang dalam dirinya diletakkan sesuatu lalu dengannya ia diberi tahu tentang suatu perkiraan atau suatu firasat. Hal ini semacam sesuatu yang dikhususkan oleh ALLAH kepada siapa saja yang dikehendaki-NYA dari para hamba yang dipilih-NYA, misalnya Umar, seolah-olah disampaikan pembicaraan kepada mereka lalu mereka mengatakannya.” Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa: Ilham adalah penyampaian suatu makna, pikiran atau hakikat di dalam jiwa atau hati – terserah mau dinamakan apa saja – secara melimpah. Maksudnya ALLAH SWT menciptakan padanya ilmu dharuri yang ia tidak dapat menolaknya, yaitu bukan dengan cara dipelajari akan tetapi dilimpahkan ke dalam jiwanya bukan karena kemauannya. Perbedaan ilham dan tahdits menurut Imam Ibnul Qayyim [10] bahwa tahdits sifatnya lebih khusus dari ilham, berdasarkan hadits Bukhari tentang Umar ra di atas, sehingga setiap tahdits adalah ilham tapi tidak setiap ilham adalah tahdits. Seorang mu’min (manusia yang mukallaf) akan diberikan ilham sesuai taraf keimanannya kepada ALLAH SWT, seperti disebutkan dalam ayat-ayat: وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa: Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS Al-Qashshash, 28/7) وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آَمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آَمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ “Dan (ingatlah), ketika AKU ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)”. (QS Al-Ma’idah, 5/111) Dan bisa juga diberikan kepada makhluk yang tidak mukallaf, sebagaimana dalam firman-NYA yang lain; وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ “Dan RABB-mu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia.” (QS An-Nahl, 16/68) Ilham, Kasyaf, Mimpi, dan Firasat Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Syari’at Kesepakatan para ulama ushul bahwa ilham, firasat, mimpi dan kasyaf, semuanya itu adalah bukan hujjah syari’at baik dalam masalah amal dan ibadah apalagi dalam masalah i’tiqad (aqidah). Para ulama ushuluddin dan ushul fiqh telah ijma’ dalam masalah ini, mereka menolak orang yang menganggapnya sebagai hujjah dan menolak segala sesuatu yang didasarkan kepadanya. An-Nasafi [11] berkata: “Menurut ahlul-haqq ilham itu bukanlah salah satu sebab dari sebab-sebab untuk mengetahui kebenaran sesuatu.” Imam Abu Zaid ad-Dabusi salah seorang ulama Hanafiyyah berkata : “Ijma’ ulama bahwa ilham tidak boleh diamalkan, kecuali jika pada hal yang mubah yang tidak terdapat sama sekali dalil syari’ah tentangnya. Jadi bolehnya mengamalkan ilham terikat dengan 2 hal: 1) Hendaklah tidak ada dalil syari’ah dalam masalah tersebut, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil lain yang diperselisihkan. 2) Hendaknya hal itu dalam hal-hal yang mubah, sedangkan dalam masalah yang wajib, haram, makruh dan sunnah maka tidak dapat disandarkan kepada ilham seorang mulhim maupun kasyaf seorang kasyif.” Imam Asy-Syathibi [12] lebih rinci berkata: “Di antara contohnya jika seorang Hakim yang telah mendengar kesaksian 2 orang saksi yang adil, lalu Hakim tersebut bermimpi Nabi SAW berkata bahwa kedua saksi itu tidak adil, maka mimpi itu harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip syariat. Demikian pula jika seseorang mendapat kasyaf atau firasat bahwa air yang akan dipakainya berwudhu’ adalah najis, padahal berdasar fakta air tersebut tidak najis, maka iapun tidak boleh meninggalkan air itu dalam keadaan apapun. Semua ini didasarkan dalil shahih dari nabi SAW: عَنْ زَيْنَبَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ مِنْهُ Dari Zainab ra dari Ummu Salamah ra: Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara padaku, dan boleh jadi sebagian kalian lebih pandai berargumentasi dibanding yang lain, maka aku putuskan perkaranya sesuai dengan apa yang kudengar darinya… [13]” Demikianlah – lanjut Imam Asy-Syathibi rahimahuLLAAH – bahwa RasuluLLAAH SAW mengambil keputusan berdasarkan bukti & fakta dan memerintahkan kita juga berbuat demikian, padahal banyak hal-hal yang beliau telah lebih dulu mengetahui permasalahannya ataupun hakikat kebatilannya, tapi beliau SAW tidak menghukumi kecuali berdasar bukti dan fakta, bukan berdasar hakikat yang telah beliau SAW ketahui sebelumnya [14].” Sebagai contoh, Nabi SAW mengetahui rahasia orang-orang munafiq berdasarkan apa yang telah dibukakan ALLAH SWT padanya, tapi beliau SAW tetap menghukumi mereka berdasarkan lahiriah mereka dan baru bersikap tegas dan meluruskan jika telah ada pelanggaran terang-terangan dari mereka. Bahkan ketika para sahabat ra (yang juga telah membaca gelagat ketidakberesan isi hati para munafiqin tersebut berdasarkan firasat -pen) ingin memperlakukan orang-orang munafiq tersebut seperti orang kafir, maka Nabi SAW bersabda: “Aku kuatir manusia akan berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” Demikianlah, beliau SAW tetap memperlakukan mereka seperti yang lainnya, berdasarkan zhahir dan bukan berdasarkan batin dan hal yang ghaib, maka kita tidak diperintah untuk membelah hati manusia untuk mengetahui hakikatnya. Jika terhadap firasat seorang mu’min saja tidak dapat menjadi hujjah syar’iyyah untuk menetapkan benar dan salah, halal dan haram, bahkan sekedar hukum makruh dan sunnah, apalagi berbagai kisah khurafat yang dituturkan oleh seorang kafir musyrik yang dipakai untuk menentukan kebenaran aqidah?! Inna liLLAAHi wa inna ilayhi raji’uun… Fa’tabiruu ya Ulil Abshaar… WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab… Catatan Kaki: [1] Disarikan dr kitab Syaikh Al-Qaradhawi berjudul Mauqif al-Islam minal Ilham wal Kasyf war Ru’a wa minat Tama’imi wal Kahanah war Ruqa’, Maktabah Wahbah, 1415-H, Al-Qahirah Mishr. [2] Al-Mu’jam Alfaazhil Qur’anil Karim, Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah [3] Tajul Arus, bab (Khat) [4] Lisanul Arab, bab (Khat), definisi ini diambil dari kitab An-Nihayah, yang disusun oleh Ibnul Atsir [5] Syarh al-’Aqa’idun Nasafiyyah, At-Taftazani, beserta kedua hasyiyyah-nya, hal. 41, Musthafa Al-Halabi [6] At-Ta’rifat, Al-Jurjani, hal. 57, Tahqiq oleh DR AbduRRAHMAN ‘Umairah, Alamul Kutub Bairut [7] An-Nihayah fii Ghariibil Hadiitsi wal Atsar, Ibnul Atsir, bab La-ha-ma, IV/282, Isa Al-Halabi [8] HR Bukhari, XI/288 no. 3210 & Muslim, XII/118 no. 4411 [9] An-Nihayah, I/350 [10] Madaarijus Saalikiin, I/44-45 [11] Al-Aqa’idun Nasafiyyah, beserta syarh-nya, hal. 41, Musthafa Al-Halabi [12] Al-Muwaafaqaat, Asy-Syathibi, II/266-268 [13] HR Muslim, bab “Menghukumi dengan Zhahirnya dan Memutuskan dengan Hujjah”, IX/102 no. 3231; hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, IX/176 no. 2483.

Original Post at: http://hadis-rasullullah.blogspot.com/2012/05/pengertian-ilham.html

REF :http://hadis-rasullullah.blogspot.com/

Kamis, 11 Juli 2013

Masalah solat salat witir 3 rakaat

Bismillahirrohmaanirrohim

Pertanyaan:
Dalam salat witir 3 rakaat, saya perhatikan di masyarakat ada 3 cara dalam pelaksanaannya.

Ketiga rakaat salat witir itu disambung tanpa terlebih dahulu bertasyahhud setelah rakaat kedua. Jadi hanya satu kali pada rakaat ketiga (terakhir) kemudian membaca salam.
Ketiga rakaat salat witir itu disambung seperti cara diatas, tetapi setelah mendapat dua rakaat, mereka terlebih dahulu bertasyahhud kemudian melanjutkan ke rakaat yang ketiga.
Setelah mendapat dua rakaat, mereka bertasyahhud lalu membaca salam, kemudian melanjutkan satu rakaat lagi. Setelah selesai tasyahhud mereka membaca salam.
Dari ketiga cara tersebut, mana yang terbaik untuk kita lakukan?
-
Jawaban:
Dalam pelaksanaan salat witir 3 rakaat, kita diperbolehkan melakukannya dengan memilih salah satu cara tersebut diatas, sebab semuanya memiliki dasar dari Rasulullah Saw.
Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah berkata:

"Dan salat witir itu boleh dilakukan dengan dua rakaat, lalu dilanjutkan satu rakaat lagi dengan tasyahhud dan salam. Sebagaimana boleh dilakukan keseluruhannya dengan dua kali tasyahhud dan satu kali salam. Ia menyambungnya antara rakaat yang satu dengan yang lainnya tanpa bertasyahhud melainkan pada rakaat sebelum terakhir, lalu ia melanjutkan satu rakaat lagi yang terakhir, dan setelah tasyahhud lalu salam. Dan boleh pula dilakukan keseluruhan dengan satu kali tasyahhud dan satu kali salam pada rakaat terakhir. Semuanya itu boleh dan ada dasarnya dari Nabi Saw." (Fiqhus Sunnah, Juz I, halaman 164)
Mengenai cara yang terbaik dari ketiga cara tersebut, para fuqaha memberikan fatwa dan penjelasannya antara lain:

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan:
"Menurut beberapa pendapat para ulama, berkenaan dengan orang yang melaksanakan salat witir 3 rakaat - apakah rakaat yang kedua dipisahkan dengan rakaat yang ketiga melalui baca salam terlebih dahulu? Sebenarnya kami pernah menyinggung perbedaan di antara sahabat-sahabat kami tentang cara terbaik melakukan salat tersebut. Menurut pandangan kami (mazhab Syafii), pendapat yang lebih cocok (shahih) dan utama yaitu dengan cara memisahkannya. Dan itu adalah pendapatnya Ibnu Umar, Mu'adz Al-Qari, Abdullah bin 'Iyasy bin Abi Rabiah, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ishak dan Imam Abu Tsaur." (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz IV, halaman 24)
Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu'in, halaman 31 berfatwa:
Bagi orang yang salat witirnya lebih dari satu rakaat boleh memisah diantara setiap dua rakaat dengan salam dan dia itu lebih utama daripada menyambungnya dengan satu kali tasyahhud atau dua kali tasyahhud pada dua rakaat terakhir.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Nihayatuz Zain, halaman 102, secara tegas berfatwa:
"Dan menyambung dengan satu kali tasyahhud lebih utama daripada menyambung dengan dua kali tasyahhud, untuk membedakan antara salat witir dengan salat Magrib. Melakukan dua kali tasyahhud (dalam salat witir yang tiga rakaat), dapat menyerupai salat magrib secara garis besarnya. Memisah itu lebih utama daripada menyambung karena ada tambahan amal padanya."
Dalam kitab Nailul Authar karangan Imam Asy-Syaukani terdapat sebuah riwayat sebagai berikut:
"Imam Thahawi mendapat riwayat dari Ibnu Umar, bahwa dia memisahkan antara rakaat yang genap dan yang ganjil dengan salam, dan dia pernah memberitakan bahwa Nabi Saw. juga melakukan yang demikian. Sanad hadisnya kuat," (Nailul Authar, juz III, halaman 40)
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa ketiga cara pelaksanaan salat witir yang 3 rakaat tersebut, walaupun pada dasarnya kita boleh melakukan salah satunya, namun cara terbaik ialah cara yang telah diterangkan pada bagian (c), yakni setelah mendapat dua rakaat, bertasyahhud lalu membaca salam. Kemudian melanjutkan satu rakaat lagi; setelah selesai tasyahhud, lalu membaca salam lagi.

Ada sebagian ulama yang berpendapat makruh melakukan salat witir tiga rakaat dengan cara disambung yakni setelah mendapat dua rakaat, bertasyahhud, lalu melanjutkan rakaat ketiga tanpa diselingi salam.
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"Janganlah kamu salat witir tiga rakaat yang menyerupai salat magrib." (Riwayat Imam Daruquthni, dari Abu Hurairah, dan ia berkata, "Para perawis hadis tersebut orang-orang kepercayaan.")

Hadis tersebut dapat kita baca dalam kitab-kitab hadis berikut:

Muntaqal Akhbar, Juz I, halaman 529, karangan Imam Majduddin Ibnu Taimiyah Al-Harrani
Nailul Authar, Juz III, halaman 42, karangan Imam Asy-Syaukani
Irsyadus Sari Syarah Sahih Bukhari, Juz II, halaman 229, karangan Imam Syihabuddin Al-Qasthalani
Diambil dari buku "Umat Bertanya Ulama Menjawab" tulisan dari KH.Drs.Ahmad Dimyathi Badruzzaman, dosen Fakultas Dakwah STIDA Al-Hamidiyah

http://www.alhamidiyah.com/?v=fatwa&baca=11

Minggu, 30 Juni 2013

HUKUM ZAKAT KEPADA ORANG TUA ,ANAK SENDIRI ATAU KEPADA KELURGA

Bismillahirrohmaanirrohim

Bolehkah anak memberikan zakat kepada orang tuanya dan sebaliknya orangtua memberikan zakat kepada anaknya ?

Dalam masalah ini, perlu dirinci terlebih dahulu :

Keadaan Pertama : Orang tua hidupnya berada dalam tanggungan anaknya, tinggal di rumah anaknya, makan dan minum dengan biaya anaknya. Dalam keadaan seperti ini seorang anak tidak boleh membayar zakat kepada kedua orang tuanya.

Berkata Ibnu Qudamah ( al Mughni : 2/ 269 ) : “ Seseorang tidak boleh memberikan zakat kepada kedua orang tuanya dan tidak pula kepada anaknya. Berkata Ibnu Mundzir : “ Para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada kedua orang tua dalam keadaan anaknya  berkewajiban memberikan nafkah kepada mereka. Karena dalam keadaan seperti ini zakat akan menggugurkan kewajiban nafkah kepada mereka, dan manfaatnya akan kembali kepada anak yang memberikan. “

Keadaan Kedua : Kedua orang tua hidup sendiri secara mandiri, menempati rumah sendiri, dan mereka mempunyai pekerjaan dan pendapatan, tetapi hidupnya pas-pasan. Dalam keadaan seperti ini dibolehkan anaknya memberikan zakat kepada keduanya, karena anak tersebut tidak ada kewajiban memberikan nafkah kepada orang tuanya.

Begitu juga jika kedua orang tuanya mempunyai hutang yang melilit mereka, dan tidak mampu membayarnya, maka dalam keadaan seperti ini, seorang anak boleh memberikan zakat kepada kedua orang tuanya, karena seorang anak tidak ada kewajiban membayar hutang orang tuanya . Begitu juga, jika orang tua adalah seorang mujahid yang berperang di jalan Allah, atau seorang muallaf, maka anaknya boleh memberikan zakat kepadanya, karena sifat-sifat tersebut. ( Adil Azzazi, Tamam al-Minnah, 2/ 301 )

Keadaan Ketiga : seorang anak memberikan zakat kepada lembaga zakat, dan secara kebetulan orang tuanya yang miskin menerima zakat anaknya tersebut melalui lembaga amil zakat, maka dalam keadaan ini zakat anaknya sah, walaupun diterima oleh orang tuanya sendiri.

Dalilnya adalah hadist Ma'an bin Yazid radhiyallahu 'anhu:

وَكَانَ أَبِي يَزِيدُ أَخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

“ Suatu hari bapakku, Yazid mengeluarkan dinar untuk dishadaqahkan ( dizakatkan ), lalu dia meletakkannya di samping seseorang yang berada di masjid. Kemudian aku datang, aku ambil dan aku bawa kepadanya, lalu bapakku berkata,: "Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju". Lalu masalah ini aku adukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka Beliau berkata,: "Bagimu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid, sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma'an".( HR Bukhari )

Walaupun hadist di atas berkenaan dengan sedekah atau zakat bapak kepada anaknya, tetapi juga berlaku bagi sebaliknya ketika anak memberikan sedekah atau zakat kepada bapaknya.

Adapun hukum orang tua memberikan zakat kepada anaknya dirinci juga menjadi tiga keadaan seperti di atas :

Keadaan Pertama : Orang tua yang mempunyai anak yang masih dalam tanggungannya, dia tinggal di rumah orang tuanya, makan dan minum atas biaya orang tuanya, maka orang tua dalam hal ini tidak boleh memberikan zakatnya kepada anaknya tersebut.

Keadaan Kedua : Orang tua mempunyai anak yang sudah dewasa, bahkan sudah menikah dan dikaruniai beberapa keturunan. Tetapi kehidupan anaknya ini dalam keadaan pas-pasan, pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, dia dan keluarganya hidup dengan mengontrak rumah yang sangat sederhana.

Dalam keadaan seperti ini, orang tuanya boleh memberikan zakat kepada anaknya tersebut, karena dia tidak ada kewajiban lagi memberikan nafkah kepadanya dan anaknya hidup bukan atas tanggungannya. Berkata Ibnu Taimiyah ( Majmu’ Fatawa ( 5/373 ) : “ Dibolehkan memberikan zakat kepada kedua orang tua dan atasnya, begitu juga kepada anaknya dan keturunannya , jika mereka fakir miskin, jika sang pemberi zakat tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. “

Keadaan Ketiga : orang tua memberikan zakat kepada lembaga amil zakat,  dan secara kebetulan orang tuanya yang miskin menerima zakat anaknya tersebut melalui lembaga amil zakat, maka dalam keadaan ini zakat anaknya sah, walaupun diterima oleh orang tuanya sendiri, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Ma’an bin Yazid di atas. Wallahu A’lam.

Penulis :Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
Bekasi, 22 Ramadhan 1433 H/ 11 Agustus 2012 M

Ref :ahmadzain.com


Kamis, 21 Maret 2013

PENGERTIAN SOLAT FAJAR & ISYROQ

SOLAT FAJAR
 "Solat fajar itu sama dengan solat qobliah subuh hanya nama lain saja"

عن عائشة عن النبي قال (( ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها )). رواه مسلم. وفي رواية (( لهما أحب إلي من الدنيا جميعاً ))

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dua raka’at Shalat Fajr lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” [HR. Muslim] dalam riwayat lain dengan lafazh : “Sungguh kedua raka’at tersebut lebih aku cintai daripada dunia semuanya.”.

Dikisahkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْر

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan satu shalat sunnah pun yang lebih beliau jaga dalam melaksanakannya melebihi dua rakaat shalat sunnah subuh.” (HR Bukhari 1093 dan Muslim 1191)

Penjelasan :

Shalat Fajr : yakni Shalat Sunnah Rawatib Qabliyah Shubuh.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “ Ketika safar (perjalanan), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap rutin dan teratur mengerjakan shalat sunnah fajar dan shalat witir melebihi shalat-shalat sunnah yang lainnya. Tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaksankan shalat sunnah  rawatib selain dua shalat tersebut selama beliau melakukan safar (Zaadul Ma’ad I/315)

lebih baik dari pada dunia : yakni lebih baik daripada perhiasan dunia. Ada juga yang berpendapat maknanya : lebih baik daripada menginfakkan harta dunia di jalan Allah. Makna pertama lebih tepat.

SOLAT ISYROQ

"Hadits sholat isyroq/ syuruq/ thulu dan keutamaannya
Sholat ini dinamakan shalat isyroq atau syuruq atau thulu’. Dinamakan demikian karena pelaksanaannya berkaitan dengan waktu
matahari terbit (mulai memancarkan sinarnya).
Guru syeikh Abdul halim pernah menjelaskan bahwa isyrok itu mazhabnya Imam Ahnaf yakni Hanafi,setelah saya perhatikan beberapa kitab mazhab syafii memang tidak ada istilah solat isyroq dalam kitab kitab itu,saya lebih cendarung dengan pedapat berikut ini : shalat sunnah Isyroq merupakan bagian dari shalat sunnah Dhuha / awal dhuha. Jika shalat Dhuha itu dikerjakan di awal waktu ketika matahari terbit dan setinggi tombak, maka ini disebut shalat Isyroq. Jika dikerjakan di akhir atau pertengahan waktu, maka ini disebut shalat Dhuha. Karena para ulama mengatakan bahwa waktu shalat Dhuha adalah mulai dari matahari setinggi tombak hingga mendekati waktu zawal (matahari mulai bergeser ke barat),ini adalah fatwanya syeikh Utsaimin ra.h yang diterjemahkan oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.
Hukum sholat isyroq/syuruq adalah sunnah.
Keutamaannya: orang yang melaksanakannya diberi pahala oleh allah seperti pahala haji dan umroh dengan sempurna.

Salah satu dalil yang menunjukkan keutamaan ini adalah hadits-hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

Dari anas bin malik radhiyallahu anhu, ia berkata: rasulullah
bersabda: “barangsiapa mengerjakan shalat shubuh berjamaah, lalu dia duduk berdzikir sampai matahari terbit, kemudian mengerjakan shalat
dua rakaat, maka ia akan mendapatkan pahala haji dan umrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “sempurna, sempurna, sempurna (pahalanya, pent).” (hr. At-tirmidzi ii/481 no.586)

Pelaksanaanya adalah sbb :
Shalat isyraq merupakan hal yg sunnah, dilakukan saat terbitnya matahari, para fuqaha memperkirakannya adalah 1.45 menit (105 menit) setelah adzan subuh maka masuklah waktu isyraq dan berakhirlah waktu subuh, maka bila adzan subuh pk 4.00 tepat misalnya, maka isyraq adalah pk 5.45 menit. Sabda rasulullah saw : “barangsiapa yg shalat subuh lalu duduk berdzikir hingga terbitnya matahari (isyraq) maka baginya pahala bagaikan pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna” (hr imam tirmidziy hadits no.586) "
Wallohu'lam..

Penulis  Ibnu Sunniy

Jumat, 15 Maret 2013

AL- AUL

Bismillahirrohmanirrohim

Secara bahasa al-aul artinya "bertambah". Sedang dalam fiqih mawaris, al-aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak daripada asal masalahnya sehingga asal masalahny harus ditambah / diubah.
Contoh penghitungan pada masalah aul :
1. Ahli waris terdiri dari suami dan 2 orang saudara perempuan kandung. Bagian masing-masingnya adalah :
Bagian suami 1/2 dan dua saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalahnya adalah 6.
Suami = 1/2 x 6 = 3
2 saudara pr = 2/3 x 6 = 4
jumlah bagian saham = 7
Iklan Rumah Online
Dalam kasus seperti ini, asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7, ini berarti tidak cocok. Agar harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris dengan adil, maka asal masalah dinaikan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya adalah :
Suami = 3/7 x harta warisan
2 saudara pr = 4/7 x harta warisan

2. Ahli waris terdiri dari istri, ibu, 2 saudara perempuan kandung dan seorang saudara seibu. Harta peninggalan Rp. 180 Juta, Bagian masing-masingnya adalah :
Maka hasilnya :
Istri memperoleh 1/4, ibu memperoleh 1/6, 2 saudara perempuan kandung memperoleh 2/3 dan saudara seibu memperoleh 1/6. Asal masalahnya 12.
Istri = 1/4 x 12 = 3
Ibu = 1/6 x 12 = 2
2 saudara pr = 2/3 x 12 = 8
Sdr ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah =15

Asal masalahnya 12, sedangkan jumlah bagian 15, maka asal masalah dinaikan menjadi 15. Cara penghitungan akhirnya :
Istri = 3/15 x 180 Juta = 36 Juta
Ibu = 2/15 x 180 Juta = 24 Juta
2 sdr kandung = 8/15 x 180 Juta = 96 Juta
Sdr seibu = 2/15 x 180 Juta = 24 Juta
Jumlah = 180 Juta
Dapatkan :
Iklan Mobil Bekas Online
Iklan Rumah Online
Belum punya jodoh ? ikuti :
Kontak Jodoh Online
Artikel berhubungan :
- Masalah al-radd

Sumber :http://kitab-fiqih.blogspot.com

Rabu, 27 Februari 2013

6 PERASAAN yang bisa MENIPU DIRI



1. Merasa DEKAT dengan Allah, padahal
JARANG melakukan ke-TAAT-an. 

2. Merasa sudah banyak PAHALA,
Padahal JARANG untuk BERAMAL.

3. Merasa menjadi Kekasih Allah,
padahal sering MELANGGAR ketentuan-
NYA.

4. Merasa selalu bersama orang-orang
yang TAAT, padahal ketika bergaul
sering berbuat MAKSIAT.

5. Merasa mudah mendapat AMPUNAN,
namun terus menerus melakukan DOSA
tanpa Penyesalan.

6. Merasa dirindu taman-taman SURGA,
namun amalan sehari-hari bagai
menyemai benih NERAKA.

Semoga kita semua dilindungi dari
perasaan sombong dan selalu merasa
kurang dalam beramal. Aamiin.

Selasa, 12 Februari 2013

Hukum Menyentuh Al Qur'an Tanpa Berwudhu


Bolehkah kita menyentuh Al Qur'an tanpa berwudhu terlebih dahulu? Dalam artikel ini akan dibahas beberapa pendapat para ulama tentang hukum Menyetuh Al Qur'an tanpa berwudhu terlebih dahulu. Secara garis besar, ada dua pendapat ulama tentang hukum memegang Al Qur'an tanpa berwudhu terlebih dahulu.

Pendapat Pertama:
Menyentuh Mushaf Al Qur'an hendaknya dalam keadaan suci (berwudhu) yang merujuk pada QS. Al Waaqiah : 79 yang berbunyi: "Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan." Pendapat pertama menafsirkan kata "menyentuh" pada ayat di atas adalah menyentuh dengan tangan. Dhamir (kata ganti) "hu" kembali pada Al Qur'an (mushaf) dan "yang disucikan" dalam ayat tersebut adalah suci dari hadas dan najis. Sehingga ditariklah kesimpulan bahwa menyentuh Al Qur'an harus dalam keadaan suci dari hadas (besar dan kecil) dan najis, dengan kata lain harus berwudhu.

Pendapat Kedua:
Sementara pendapat tetap merujuk pada ayat Al Waaqia ayat 79 dengan penafsiran bahwa Dhamir (kata ganti) "hu" kembali pada Al Qur'an yang ada di lauh mahfudz dan "yang disucikan" dalam ayat tersebut adalah "para malaikat" dan "para rosul". Sehingga, "menyentuh" dalam ayat tersebut bukan persentuhan biasa, melainkan sesuatu ghaib, yang tidak dapat dijangkau oleh indra manusia.

Tidak ada hadist yang dapat menunjang kedua pendapat tersebut, kecuali satu atau dua hadist yang diriwayatkan oleh Malik, yang kedudukannya lemah yang berbunyi, "Hendaklah tidak menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci". Hadist ini mursal (sanadnya tidak sampai kepada Rosulullah SAW)
Ketiadaan hadist yang kuat untuk mendukung kedua pendapat di atas bukanlah persoalan utama. Seandainya masalah ini penting, tentulah Rosulullah sendiri yang akan memberika petunjuk kepada para sahabatnya sehingga banyak hadist yang muncul. Yang terpenting, kita selalu mempelajari dan mengamalkan kandungan Al Qur'an baik dalam keadaan wudhu atau tidak. Tapi lebih baik juga jika kita memegang Al Qur'an dalam keadaan suci dari hadas dan najis, karena bagaimanapun Al Qur'an berisi firman-firman Allah yang dinilai suci untuk orang muslim. Hanya Allah yang Maha Tahu.

Rabu, 06 Februari 2013

Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi

Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi
Beliau lahir di Basrah pada tahun 972 M Ia dididik di pertama di Basrah , setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia belajar Fiqh (yurisprudensi Islam) dari ahli hukum Abu al-Wahid al -Simari. Dia kemudian pergi ke Baghdad untuk studi lanjutan di bawah Syeikh Abd al-Hamid dan Abdallah al-Baqi. kemahiran-Nya dalam yurisprudensi Etika, ilmu politik dan sastra terbukti bermanfaat dalam mengamankan karir terhormat baginya. Setelah pengangkatan pertama sebagai Qadhi (Hakim), dia secara bertahap dipromosikan ke kantor yang lebih tinggi, sampai ia menjadi Ketua Mahkamah Agung di Baghdad. Abbasiyah Khalifah al-Qaim bi Amr Allah mengangkatnya sebagai duta nya keliling dan mengirimnya ke sejumlah negara sebagai kepala misi khusus. Dalam kapasitas ini ia memainkan peran penting dalam membangun hubungan yang harmonis antara kekhalifahan Abbasiyah menurun dan kekuatan meningkatnya Buwahids dan Seljukes. Dia disukai dengan hadiah yang kaya dan upeti oleh Sultan sebagian besar waktu. Dia masih di Baghdad ketika itu diambil alih oleh Buwahids. Al-Mawardi meninggal pada 1058 C.E.

Al-Mawardi adalah seorang ahli hukum besar, mohaddith, sosiolog dan ahli di bidang Ilmu Politik. Dia adalah seorang ahli hukum di sekolah Fiqh dan bukunya Al-Hawi pada prinsip-prinsip yurisprudensi yang diselenggarakan di bereputasi tinggi.

Kontribusinya dalam ilmu politik dan sosiologi terdiri dari sejumlah buku monumental, yang paling terkenal di antaranya adalah Kitab al-Ahkam al-Sultania, Qanun al-Wazarah, dan Kitab Nasihat al-Mulk. Buku-buku membahas prinsip-prinsip ilmu politik, dengan referensi khusus dengan fungsi dan tugas khalifah, menteri utama, menteri lainnya, hubungan antara berbagai elemen masyarakat dan sktor dan langkah-langkah untuk memperkuat pemerintah dan memastikan kemenangan dalam perang. Dua dari buku-buku ini, al-Ahkam al-Sultania dan Qanun al-Wazarah telah dipublikasikan dan juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ia dianggap sebagai penulis / pendukung dari 'Doktrin Kebutuhan' dalam ilmu politik. Dengan demikian ia mendukung sebuah kekhalifahan yang kuat dan kekuasaan terbatas putus asa didelegasikan kepada Gubernur, yang cenderung untuk membuat kekacauan. Di sisi lain, ia telah menetapkan prinsip-prinsip yang jelas untuk pemilihan khalifah dan kualitas dari pemilih, kepala di antaranya adalah pencapaian tingkat tingkat intelektual dan kemurnian karakter.

Dalam etika, ia menulis Kitab al-Aadab Dunya wa al-Din, yang menjadi buku populer pada subjek dan masih dibaca di beberapa negara Islam.

Al-Mawardi telah dianggap sebagai salah satu pemikir paling terkenal dalam ilmu politik di abad pertengahan. karya aslinya mempengaruhi perkembangan ilmu ini, bersama dengan ilmu sosiologi, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Khaldun.


Sumber:
1.http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2093749-biografi-abu-al-hasan-al/
2. http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2093749-biografi-abu-al-hasan-al/#ixzz2K8Lj9WEu

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...