Tampilkan postingan dengan label FIQIH..... Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH..... Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Desember 2013

Ahlul Kitab

Bismillahirrohmaanirrohim

Ahlul Kitab Menurut Imam Syafi’i
Istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab  suci. Jadi, Ahlul Kitab  berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah).

Dalam hal ini Imam Syafi’i (w. 204 H) menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab hanya terbatas pada dua golongan saja, yaitu  golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel. Sedangkan diluar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, menurut Imam Syafi’i, tidak termasuk Ahlul Kitab.

Imam Syafi’i  berargumen bahwa Nabi Musa a.s dan Isa a.s hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel (hal ini menunjukkan bahwa objek seruan Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s yang diutus hanya Bani Israel).  (Tafsir Imam Syafi’i , vol. II,hlm. 56 )

Adapun agama Majusi (Zoroaster) , menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam kategori Ahlu kitab (Al-Umm : Vol.V, hlm. 405 ).  Hal itu karena Majusi tidak diturunkan kepadanya Kitab, dan juga tidak mengikuti salah satu dari agama Yahudi maupun Nasrani. Dengan demikian, kaum  Muslim  tidak dihalalkan    menikmati makanan   sembelihan  orang-orang  Majusi,  dan  tidak dapat  pula mengawini wanita-wanita mereka, walaupun dalam masalah membayar jizyah ( pajak ), keudukan Majusi dan Ahlul Kitab dianggap sama.

Ini disebabkan adanya pengecualian secara khusus, sebagaimana terdapat dalam  hadist Nabi  saw yang  diriwayatkan  oleh imam Syafi’i, bahwa suatu ketika ditanyakan kepada Umar r.a. tentang perlakuan terhadap Majusi dalam masalah jizyah, Umar pun terdiam ( tawaquf ), sampai datang kepadanya Abdurrahman bin Auf, seraya bersaksi, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Perlakukanlah mereka ( kaum Majusi ) sama dengan perlakuan  terhadap Ahl Al-Kitab.”  Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: “tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak  juga  mengawini wanita  mereka.”  Hal ini juga dikuatkan oleh guru Imam Syafi’i yaitu Imam Malik  dalam  kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, hadis ke-42.

Jadi, tegas Imam Syafi’i. dapat disimpulkan  bahwa Ahlul Kitab hanya terbatas pada kedua golongan saja  yaitu Yahudi dan  Nasrani,  sementara Majusi (Zoroaster)  tidak termasuk di dalamnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh  firman Allah: “(Kami turunkan Al-Qur’an ini) agar  kamu (tidak) mengatakan bahwa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan  saja sebelum  kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS Al-An’am [6]: 156).

Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, istilah Ahlul Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai Ahli Kitab. Kaum Majusi, misalnya, meskipun mereka sudah dikenal pada masa Nabi SAW, tetapi mereka tidak disebut sebagai Ahlul Kitab. Namun, Rasulullah saw memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab.
Pendapat Imam Syafi’i senada dengan para ulama besar lainnya, seperti Thabary, al-Qurthuby (w. 671 H) yang  mengatakan bahwa tidak ada perbedaan bahwasannya Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab.  Pernyataan ini dipertegas juga oleh al-Baghawy (w. 516 H), Ibn Katsir (w. 774 H), dan al-Biqa’iy (w. 885 H) ketika menafsirkan QS al-Bayyinah:1, bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah Yahudi dan Nasrani.

Kajian tentang Ahul Kitab telah menyedot perhatian banyak ilmuwan Muslim, baik yang klasik maupun kontemporer. Salah satu kajian serius dilakukan oleh Dr. Muhammad Azizan Sabjan, dalam disertasinya di International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia yang berjudul The People of the Book and the People of a Dubious Bookin Islamic Religious Tradition.

Disertasi ini juga menyimpulkan, bahwa istilah Ahlul Kitab (the people of the book)  pada komunitas pengikut agama Yahudi dan Nasrani. Golongan ini ada dua jenis, yakni true believers yang sejatinya adalah Muslim, karena mereka mengimani kenabian Muhammad saw saat dakwah Nabi saw sampai pada mereka. Golongan lain adalah misbelievers. Inilah yang masuk kategori Ahlul Kitab. “As stressed by al-Ghazali, they are those of the Jews and Christians who are exercising corrupted form of religions.” (***)

Nah, sekarang tentang ahlul kitab, jaman sekarang kita tidak bisa nyebut orang agama lain sebagai ahlul kitab, karena , kita tau kalau injil yang ada pada jaman nabi Isa bukanlah injil yang ada sekarang.  Dalam Islam, injil adalah firman Allah sendiri, sedangkan injil yang ada di perjanjian baru ditulis sama murid Yesus, maaf ini kalau tidak salah, tapi yang saya ketahwi ada injil matius, lukas, yohanes, sama markus. saya tidak tau mana yang termasuk 12 murid mana yang bukan, tapi ya itulah intinya. Ada perbedaan pendapat antara Islam dan Kristen tentang injil, jadi yaa, para penganut Kristen saat ini bukanlah ahlul kitab :)

Yaa, sekian dulu aja deh :D  :) semoga bermanfaat bagi yang belom tau apa itu ahlul kitab sebenernya :) syukran lakum :)

http://rizkifebi.wordpress.com/2010/08/19/ahlul-kitab/

Senin, 16 Desember 2013

HUKUM MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA

Bismillahirrohmaanirrohim


A.       MUKADDIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian Alam. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah SWT semata. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarganya, para shahabat dan pengikutnya yang setia.
Dalam kehidupan masyarakat sering kita dengar mengenai ucapan/ klaim bahwa mengusap wajah setelah berdoa merupakan sesuatu hal yang diada-adakan (bid’ah). Hal itu menjadi suatu permasalahan tersendiri yang mana ada yang menerima pendapat tersebut, ada juga yang menolak.
Dalam risalah ringkas ini, penulis ingin memberikan beberapa dalil tentang bolehnya mengusap wajah setelah berdoa atau bahkan anjuran untuk mengusap wajah setelah berdoa.

B.     DALIL–DALIL HADITS TENTANG MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA
1.      Hadits
Hadits 1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihu wa salam telah bersabda:
 “Jika engkau berdoa kepada Allah meka berdoalah dengan telapak tangan, dan jangan berdoa dengan punggung tangan. Jika telah selesai, maka usaplah wajahmu dengan keduanya”.

Al Hafidz Al Bushairi dalam Zawaid Ibnu Majah (1/390) menyatakan bahwa hadits ini sejatinya dhoif, karena ada perowi yang bernama Sholih bin Hasan, akan tetapi ada syahid dari hadits Ibnu Umar.
Ini isyarat, bahwa hadits ini hasan. Sehingga Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram juga menghasankan hadits ini, beliau berakata,”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204)

Adapun Shalih bin Hasan tidak sendirian, beliau memiliki mutabik yaitu Isa bin Maimun. Mutab’ah ini dikeluarkan oleh Ishaq bin Rahweh dalam Musnadnya (dalam Nashbu Ar Rayah 3/52), juga Al Maruzi dalam Qiyam Al Lail (141).

Sedangkan syawahidnya adalah Hadits As Saib bin Kholad dan anaknya, Umar dan anaknya Abdullah, serta mursal Zuhri. Hadits As Saib bin Kholad atau anaknya diriwayatkan dalam Musnad Ahmad (4/221), Abu Dawud (1492) dan Thabrani dalam Al Kabir (22/241,242)
Hadits 2. Dari As Sa’ib bin Yazid dari ayahnya:”Bahwa sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika setelah selesai berdoa mengusap wajah dengan tangannya”.
Dalam hadits ini ada Hafsh bin Hashim yang majhul, juga ada Ibnu Luhai’ah yang terkenal dhoif. Akan tetapi hadits ini hasan karena beberapa sebab.

1.      Hafsh bin Hashim memiliki penguat (mutabik), dan ini termasuk hadits Ibnu Luhai’ah yang shahih, berikut penjelasannya:
1)      Hafsh bin Hashim bin Utbah, memang tidak diketahui, sehingga Ibnu Hajar dalam Tahdzib (2/420-421) menyatakan bahwa sebetulnya yang menempati posisi Hafsh adalah Habban bin Washi’. Beliau menilai bahwa Ibnu Luhai’ah yang salah menyebut nama dalam hal ini. Itu dikarenakan, dalam kitab-kitab sejarah tidak pernah disebutkan ada orang yang bernama Hafsh bin Hashim, juga tidak ada yang menyebutkan bahwa Bin Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh. Adapun Habban bin Wasik memang jelas-jelas menjadi syeikhnya Ibnu Luhai’ah dalam hadits ini dan dia tidak bermasalah karena termasuk rijal Muslim. Nah jika ini diterima, maka sudah tidak ada masalah dengan Hafsh, karena digantikan dengan Habban bin Washi’ yang termasuk rijal Muslim. Jika tidak diterima maka tetap ada perowi yang majhul, tapi posisi Habban menjadi sebagai mutabik atas Hafsh, sehingga tidak ada masalah juga.
2)      Ibnu Luhai’ah: Hadits Qutaibah Bin Sa’id yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Dalam Tahdzib Kamal (23/494), Imam Ahmad berkata kepada Qutaibah,”hadits-haditsmu yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Hal ini dikarenakan Qutaibah menulisnya dari buku Abdullah bin Wahab dan mendengarkannya dari Ibnu Luhai’ah. Dan hadits di atas termasuk hadits Qutaibah yang berasal dari Ibnu Luhai’ah. Dari sinilah hadits ini dinailai hasan.

Hadits 3. Dari Umar radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika mengangkat kedua tangnnya untuk berdoa, maka beliau tidak menariknya, hingga mengusap dengannya wajahnya.
Dikeluarkan oleh Tirmdzi (3386), Al Hakim (1/536), AT Thabrani dalam Ad Du’a’(212,213)Abnu Al Jauzi dalam ‘Ilal (1406)dan Abdul Ghani bin Sa’id Al Azdi dalam Idhah Al Isykal dan As Silafi dalam Mu’jam As Safar (41).
At Tirmidzi berkata : ”Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.” Sedangkan Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/253,254) menyatakan bahwa tidak boleh berhujjah dengannya (Hammad). Tentu, tidak boleh berhujah tidak menghalangi untuk mengambilnya sebagai syahid atau berhujjah sebagai mutaba’ah.

Sedangkan Abu Bakar Al Bazar (1/243) menyatakan: Dia layin hadits, dan haditsnya yang dhoif adalah hadits ini. Sedangkan Ibnu Ma’in mengatakan: Syeikh Shalih. Dzahabi dalam Mizan (1/598 ) dia dhoif menurut Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni, dan tidak meninggalkannya. Hafidz dalam At Taqrib (1503) menyatakan: “Dhoif”. Iraqi dalam Tahrij Ihya’ (1/350) juga mendhoifkan saja, juga Nawawi dalam Al Adzkar. Dan Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi memasukannya dalam An Nashihah fi Al Ad’iyah As Shahihah (14).
Dari paparan di atas, maka hadits tidak mutlak ditinggalkan, akan tetapi masih bisa diambil sebagai syahid, dan ini juga pendapat Hafidz Ibnu Hajar, hingga beliau menyatakan bahwa ”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204).


Dalil Hadist Mursal
Mursal Az Zuhri, yang dikeluarkan oleh Abdu Ar Razak dalam Mushanaf (2/247). Dari Ma’mar dari Az Zuhri, ia mengatakan:”Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat kedua tangannya di dada dalam doa, kemudian mengusapkan keduanya di wajah. Abdurrazak mengatakan,”Sepertinya aku melihat Ma’mar melakukannya, dan aku melakukan hal itu juga.
Ini adalah mursal yang shahih isnadnya, dan hujjah walau berdiri sendiri menurut jumhur, seperti Ibnu Musayyab, Malik, Abu Hanifah dan dalam riwayat termashur Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam ushul. Adapun Syafi’i tidak menerima mursal kecuali dengan didukung salah satu lima hal, yang juga ma’ruf dalam ilmu ushul. Dan mursal ini termasuk mursal yang memenuhi syarat Syafi’i, karena didukung oleh atsar sahabat.

2.      Atsar dari Shahabat
Berberapa atsar tentang masalah ini adalah atsar dengan sanad jayid yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad (609)



Juga atsar yang diriwayatkan oleh Abdu Ar Razak dalam Al Mushanaf (3256) bahwa Ibnu Juraij dan Yahya bin Sa’id menyatakan bahwa orang-orang sebelum mereka mengusap wajah setelah berdoa.
Jelas, maka orang-orang sebelum Ibnu Juraij dan Yahya adalah para sahabat dan kibar tabi’in. Sedangkan Al Marwazi menyebutkan dalam Qiyam Al Lail (236) tentang atsar dari Al Hasan Al Bashri, Abu Ka’ab Al Bashri serta Ishaq bin Rahweh dalam masalah ini. Tentang Atsar Al Hasan Al Bashri, Imam As Suyuthi menyatakan dalam Fadh Al Wi’a’ (101): “Isnadnya hasan”.

Dari sini, maka apa yang dikatakan Hafidz Ibnu Hajar, Hafidz Al Bushoiri dan Al Munawi bahwa hadits ini hasan sangat beralasan. Allahu’alam
(Diambil dari At Ta’rif (4/504-515), Cet.2, Dar Buhuts wa Ihya Turats Emirat)

C.    KESIMPULAN
Dari keterangan hadits dan atsar dari Shahabat tersebut, sangat jelas bahwa mengusap wajah setelah berdoa adalah boleh dan bukan sesuatu yang bid’ah

==============================
Refrensi :
http://ponpesdarulilmi.blogspot.com/p/hukum-mengusap-wajah-setelah-berdoa.html

Minggu, 15 Desember 2013

Khulu’ Cerai atau Fasakh?

Bismillahirrohmaanirrohim
Syariat islam menjadikan al-khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai atau fasakh (pembatalan akad nikah)?


Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat dalam beberapa pendapat:

Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak bain dan ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i dalam Qaul Jadid.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak raj’i. Ini adalah pandapat Ibnu Hazm.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah fasakh (penghapusan akad nikah) bukan talak. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang muhaddits (fuqaha’ hadits).
Syekhul Islam menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu’) adalah faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan pendapat mayoritas fuqaha’ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan ‘Ikrimah. [2]

Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut:

Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 229–230)

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali, kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,

فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]
Demikianlah yang dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.

Beliau pernah ditanya tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian, al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih) [4]

Dalil kedua, hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,

أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

“Beliau melakukan al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/275).

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.

Dalil ketiga, pernyataan Ibnu Abbas,

مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ

“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah talak.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, no. 11767) [5]

Dalil keempat, hal ini sesuai tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak) dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan sekali haid saja, seperti al-istibra’. [6]

Dalil kelima, asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:

Suami lebih berhak diterima rujuknya.
Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan suami-istri dengannya.
Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’. [7]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah [8], Ibnu al-Qayyim [9], asy-Syaukani [10], Syekh Muhammad bin Ibrahim [11], Syekh Abdurrahman as-Sa’di [12], serta Syekh al-Albani [13].

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu’ adalah fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisah istrinya dengan tebusan (al-khulu’) sebanyak beberapa kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.” [14]

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu’ tidak terhitung sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan tebusan bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafal dan susunan katanya.” [15]

Sedangkan Syekh al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.” [16]

Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini

Masalah al-khulu’ yang merupakan fasakh bukan talak akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekuensinya, di antaranya:

1. Tidak dianggap dalam hitungan talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu’ setelah melakukan dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut, walaupun al-khulu’nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan Syekhul Islam di atas.

2. Iddah atau masa menunggunya hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tang telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّتَهَا حَيْضَةً

“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu’) darinya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud, no. 2229)

Inilah pendapat Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

3. Al-Khulu’ diperbolehkan dalam setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli, karena al-khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan al-khulu’.

Demikianlah beberapa hukum berkenaan dengan al-khulu’, sebagai pelengkap pambahasan yang terdahulu. Mudah-mudahan bermanfaat.

==============================================================
Catatan kaki:

[1] Lihat: Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah, 5/473; Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir, 3/344–345.

[2] Majmu’ Fatawa: 23/289.

[3] Lihat at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir, 2/275; Taudhih al-Ahkam: 5/473; Shahih Fikih Sunnah: 3/3345.

[4] Dinukil dari Shahih Fikih Sunnah: 3/346.

[5] Ibid.

[6] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut, 5/179.

[7] Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 6/263.

[8] Majmu’ al-Fatawa: 23/289.

[9] Zad al-Ma’ad: 5/179.

[10] Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 129.

[11]Lihat: Taudhih al-Ahkam: 5/473.

[12] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA, 2/173.

[13] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[14] Majmu’ al-Fatawa: 23/290.

[15] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah: 2/173.

[16] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[17] Lihat: Shahih Fikih Sunnah: 3/360.

Referensi:1. Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA.
2. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah.
3. Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir.
4. Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut.
5. Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut.
6. At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir.
7. Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Jumat, 13 Desember 2013

Menghadiri Undangan Natal

Bismillahirrohmaanirrohim
Bolehkah seorang muslim menghadiri perayaan natal jika diundang? Atau mungkin ada acara natal bersama yang diadakan di lingkungan kantor, bolehkah dihadiri?

Perlu diketahui bahwa seorang muslim diharamkan loyal pada orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Di antara bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang adalah menghadiri perayaan mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

من مَرَّ ببلاد الأعاجم فصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حشر معهم يوم القيامة

“Siapa yang lewat di negeri asing, lalu ia meniru yang dilakukan oleh Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka hingga mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka“. Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Jadi, jelaslah tidak boleh menghadiri undangan non muslim berkenaan dengan hari raya mereka. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.



Referensi:

Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 11427: http://islamqa.com/ar/11427

@ Warak, Panggang, Gunungkidul, 9 Safar 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Selasa, 26 November 2013

Thalaq via surat, sms, bb atau sejenisnya.

Bismillahirrohmaanirrohim



Bagaimana hukumnya seseorang yang menuliskan lafadh thalaq misalnya ia menuliskan via sms, email atau surat “saya thalaq kamu”?

Jawaban.

Rincian hukum menulis lafadh thalaq adalah sebagai berikut:


Bila tidak ikut di lafadhkan maka hanya jatuh thalaqnya bila ia meniatkan untuk thalaq karena semata-mata menulis lafadh thalaq adalah kinayah thalaq yang memerlukan niat. Sedangkan bila tidak diniatkan apapun maka tidak jatuh thalaqnya.
Bila ketika menulisnya ia juga ikut melafadhkannya maka :


Jatuh thalaq bila tidak ada niat apapun atau berniat melakukan (insya`) thalaq.
Tidak jatuh bila ia bermaksud sekedar membaca tulian tersebut tanpa niat untuk mentalak istrinya.


Referensi:

Al-Mahalli `ala Minhaj jilid 3 hal 329 Cet. Haramain

(ولو كتب ناطق طلاقا) كأن كتب زوجتي طالق، (ولم ينوه فلغو) وتكون كتابته لتجربة القلم أو المداد أو غير ذلك، وفي وجه أن الكتابة صريحة كالعبارة يقع بها الطلاق، (وإن نواه فالأظهر وقوعه) لأن الكتابة طريق في إفهام المراد كالعبارة، وقد اقترنت بالنية والثاني لا يقع لأنها فعل والفعل لا يصلح كناية عن الطلاق، لو أخرجها من بيته ونوى الطلاق، وقطع قاطعون بالأول وآخرون بالثاني.

Nihayatul Muhtaj jilid 6 hal 436 Cet. Dar Kutub Ilmiyah


(ولو) (كتب ناطق) أو أخرس (طلاقا) (ولم ينوه فلغو) إذ لا لفظ ولا نية (وإن نواه) ومثله كل عقد وحل وغيرهما ما عدا النكاح ولم يتلفظ بما كتبه (فالأظهر وقوعه) لإفادتها حينئذ، وإن تلفظ به ولم ينوه عند التلفظ ولا الكتابة وقال إنما قصدت قراءة المكتوب فقط صدق بيمينه
(قوله: وقال إنما قصدت قراءة إلخ) بخلاف ما لو قصد الإنشاء أو أطلق،

Tuhfatul Muhtaj jilid 8 hal 22 Dar Fikr

(ولو كتب ناطق) أو أخرس (طلاقا، ولم ينوه فلغو) إذ لا لفظ ولا نية (وإن نواه) ومثله كل عقد وحل وغيرهما ما عدا النكاح ولم يتلفظ بما كتبه (فالأظهر وقوعه) لإفادتها حينئذ، وإن تلفظ به ولم ينوه عند التلفظ ولا الكتابة، وقال: إنما قصدت قراءة المكتوب فقط صدق بيمينه

Ref :
http://lbm.mudimesra.com

Senin, 30 September 2013

"Poligami???"

Bismillahirrohmaanirrohim


Rasanya semua sudah maklum apakah yang dikatakan poligami. Hukum asal poligami yang dipegang oleh jumhur Ulama’ adalah harus. Menurut Imam As- Syafi’e dalam kitab Al Fiqhul Manhaji menerangkan bahwa hukum asal poligami adalah harus(bukannya sunnah) tetapi walau bagaimanapun boleh berubah hukumnya mengikut situasi menjadi sunah, makruh, ataupun haram.

Poligami menjadi MAKRUH :

-apabila ia dilakukan hanya untuk bersenang senang,sedangkan si suami sendiri ragu akan kemampuan dirinya untuk berlaku adil terhadap isteri- isterinya daripada sudut nafkah lahir dan bathin.

Bukankah Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam pernah bersabda :

“Tinggalkanlah perkara yang meragukan kamu kepada perkara yang tidak meragukan kamu.”^^

Kemudian, poligami juga boleh menjadi SUNAH hukumnya apabila :

-suami memerlukan isteri yang lain misalnya bagi mendapatkan zuriat karena isterinya yang pertama mandul atau sakit, dan suami juga yakin bahwa dia mampu berlaku adil terhadap isteri- isterinya daripada sudut lahir dan batin, maka ketika ini tidak ada halangan baginya untuk berpoligami.^^

Seterusnya, poligami boleh menjadi HARAM apabila :

- si suami sendiri berasa yakin bahwa dirinya tidak akan mampu berlaku adil terhadap isteri- isterinya jika dia memutuskan untuk berpoligami. Niscaya, ketika ini haram baginya untuk berpoligami. Meskipun akad nikahnya nanti adalah sah di sisi syara’, si suami tetap menanggung dosa karena memberi kemudaratan kepada orang lain.

ADILNYA ALLAH Subhannahu Wa Ta'ala :

Walau bagaimanapun, Allah dengan sifatnya Yang Maha Adil amat memahami isi hati seorang wanita. Fitrah cinta, lazimnya dihiasi cemburu. Lantas, Allah tidak pernah memaksa golongan wanita untuk menerima poligami karena tidak boleh ada paksaan dalam urusan pernikahan.^^

Menurut Imam Al Ghazali rahimahullah dan beberapa ulama yang lain menegaskan bahwa dalam pernikahan, tidak ada paksaan.

Oleh krn itu, seorang wanita berhak menerima atau menolak untuk dimadu. Sekiranya sebelum menikah, seorang isteri khawatir dimadukan oleh suaminya, maka isteri boleh mengajukan syarat itu dalam perjanjian pernikahannya yang dikenali sebagai ta’liq.
Si suami hendaklah berpegang teguh dengan perjanjian itu, sekiranya tidak, hendaklah dia menceraikan isterinya. ^^

Ini perlu,karena hubungan keluarga hendaklah dibina atas dasar taqwa,keadilan, dan kedamaian.

Inilah lumrah cinta, tidak sanggup hidup bermadu kecuali dalam keadaan terpaksa.^^

Namun, saudara saudariku,

Penjelasan saya ini bukanlah untuk mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, jauh sekali,saya tidak berniat menghina,mencaci,mencela para golongan yang berpoligami.^^

Poligami akan menjadi suatu yang mulia di sisi Allah sekiranya rumah tangga yang dibina menumbuhkan mawaddah, rahmah, dan sakinah,
karena demikianlah tujuan pernikahan yang sebenarnya.

Akan tetapi,
Saya menjelaskan ini, agar kita mengambil pandangan mayoritas para ulama sedunia dalam soal poligami bahwa hukumnya adalah harus, tidak digalakkan dan tidak pula dilarang.

Insya Allah dengan menjadi golongan pertengahan,yaitu tidak memaksa golongan wanita menerima poligami dan tidak menentang poligami, maka segala rasa tidak puas hati terhadap hukum Allah yang Maha Adil dapat kita hapuskan sekaligus menolak tuduhan orientalis barat terhadap hukum poligami yang dikatakan menzalimi kaum wanita Islam terutamanya. Maha suci Allah Azza wa Jalla dari segala kezaliman.

Saudara-saudariku,

Poligami sebenarnya bukanlah syiar Islam dan tidak pula digalakkan namun tidak dapat dinafikan bahwa poligami menjadi penawar kepada beberapa masalah tertentu. Tetapi perlu juga diingat bahwa ia tidak boleh dianggap gampang/mudah,karena syaratnya sangat ketat yaitu : ADIL.

“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yatim bilamana kamu menikahinya, maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir kamu tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang sahaja atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” ( Al-Qur'an -Surah An- Nisa’:3).

Di sini, ingin saya sampaikan kisah mengenai Saidatina Fatimah r.a, puteri kesayangan Rasulullah shallallahu'Alaihi Wasallam berkenaan poligami.^^

Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari(3110) dan Muslim(2449) daripada hadits Al Miswar bin Makhramah, dia berkata, Sesungguhnya Ali bin Abi Talib meminang puteri Abu Jahal untuk dimadukan kepada Fatimah, maka aku mendengar Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada manusia berkenaan hal itu di atas mimbarnya, dan aku pada hari itu telah cukup umur(bermimpi), maka baginda berkata :
”Sesungguhnya Fatimah daripadaku, aku takut jika agamanya terfitnah(diuji). Kemudian baginda menyebut menantunya daripada Bani Abdul Syams dan baginda memujinya atas ikatan menantu itu. Baginda berkata :
“Dia berkata- kata kepadaku, dia jujur kepadaku, dan dia memenuhi janjinya kepadaku. Sesungguhnya aku tidak menghalalkan sesuatu yang haram, tetapi dengan nama Allah tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam dengan anak perempuan musuh Allah pada satu lelaki.”^^

Lalu dari hadits ini timbul beberapa persoalan, adakah Fatimah Az- Zahra sedang mementingkan dirinya ketika dia sendiri menolak untuk berpoligami?

Adakah Islam sebenarnya tidak mengiktiraf suara kaum wanita dalam soal poligami?

Bukankah Fatimah Az- Zahra adalah ketua bidadari syurga, wanita termulia, maka sudah tentu akhlaknya juga adalah akhlak wanita yang terbaik?

Imam Nawawi mensyarahkan hadits ini bahwa hal tidak berpoligami ini adalah untuk kepentingan akhiratnya,yaitu: supaya agama Fatimah tidak rusak karena cemburu.

Bagaimana yang dikatakan rusaknya agama karena cemburu?
Yaitu :
apabila seorang isteri semula menganggap Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak adil dalam urusannya, mewujudkan diskriminasi antara gender lelaki dan wanita, maka disebabkan itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala memberi kebebasan kepada kaum wanita untuk menerima poligami atau sebaliknya.^^

Saudara saudariku,
Hakikatnya, dalam soal poligami, Islam bukan sekedar mendengar keyakinan suami,tetapi,juga mendengar rasa hati seorang isteri untuk menghadapi ujian yang cukup berat ini.
Maka, seperti yang saya sebutkan sebelum ini menurut Imam Al Ghazali, sekiranya isteri berasa tidak mampu, maka dia tidak boleh dipaksa untuk menerima poligami.^^

Subhanallah, indahnya hidup bersama Islam ya saudara saudariku.

Singkat kata, ada pesan khusus dari saya yg dhaif ini utk para pria dan cowok.^^
sedikit titipan nasihat buat para pemuda atau suami yang masih belum berpoligami :

Saudaraku, berbahagialah dengan satu isteri. Jadikanlah rumah tangga yang dibina bukan sekedar baik untuk keluargamu sendiri bahkan menjadi tauladan untuk ummah di luar sana. Berikanlah kasih sayang dan didikan yang sempurna kepada isteri dan anak- anakmu serta komitelah dan sibukkanlah diri dalam urusan dakwah agar hidupmu berterusan dilimpahi rahmah.

Buat suami yang telah pun berpoligami, tidak ada salahnya untuk kamu berpoligami. Teruskanlah apa yang ada untuk mencipta rumah tangga yang dilimpahi mawaddah, rahmah, dan sakinah.
Biarlah isteri- isterimu merasa akrab satu dengan lainnya serta bahagia dengan keadilanmu, walau terkadang keadilan dalam soal hati dan perasaan itu tidak dapat dibagi rata dan seksama.

Buat para muslimah,
ketahuilah saudariku,
bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala itu amat adil terhadap semua hamba- hamba-Nya. Berbaik sangkalah kepada Allah dalam semua perkara termasuk hal poligami ini ya.jgn kotorin hatimu dgn kebencian atas poligami yg tertulis dalam A-Qur'an-Nya.

Akhir kata, saya hanyalah hamba yang lemah,dhoif, masih mencari teduhan kasih sayang Allah Azza wa Jalla.

Jika sy khilaf harap dimaafi. Semoga kita semua dapat berlapang dada antara satu sama lain.tanpa adanya perdebatan dan pertentangan.

Wassalam.

Sumber : facebook.com/faisal.rdalimunthe/posts/4822275895297

Sabtu, 14 September 2013

Keputusan Ulama tentang Hukum Bermazhab di Muktamar NU Ke-1

Bismillahirrohmaanirrohim
1. Hukum Bermazhab
Pertanyaan: Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab?
Jawaban: Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab yang tersohor dan aliran mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan).
Empat mazhab itu ialah:
a. Mazhab Hanafi
Yaitu mazhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H.).
b. Mazhab Maliki
Yaitu mazhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.).
c. Mazhab Syafi’i
Yaitu mazhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Gazza pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahun 204 H.).
d. Mazhab Hanbali
Yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 241 H.).
Keterangan, dari kitab:
1. al-Mizan al-Kubra [1]
كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ اْلآنَ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِى الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ.
Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti mazhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu mazhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang zaman sekarang ini.
2. Al-Fatawa al-Kubra [2]
وَبِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. وَقَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ.
Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu mazhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena mazhab-mazhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengkhususan hukum yang bersifat umum, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain.
3. Sullam al-Wushul [3]
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ“. وَلَمَّا انْدَرَسَتْ الْمَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ اْلأَرْبَعَةَ الَّتِى اِنْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اِتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ اْلأَعْظَمِ.
Nabi Saw. bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari mazhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.

----------------------------------------------------------------------

Catatan kaki:
[1] Abdul Wahhab Al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), Jilid IV, h. 307.
[3] Muhammad Bahith al-Muthi’i, Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul (Mesir, Bahrul Ulum, t.th.), jilid III, h. 921 dan jilid IV h. 580 dan 581. Hadits tersebut tercantum pada kitab ini di jilid III adalah sebagai dasar ijma’. Sedang yang tercantum di jilid IV merupakan kesimpulan tentang al-istifta’. Hadits di atas selengkapnya:
إِنَّ أُمَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اْلإِخْتِلاَفَ فَعَلَيكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan. Jika kamu melihat suatu perbedaan, maka wajib bagimu mengikuti al-sawad al-a’zham” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik). Ibarah ini terdapat pula pada kitab ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad karya Syekh Ahmad Waliyullah al-Dahlawi, Cairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1965 M, h. 13. Dapat dirujuk pula kepada pendapat Fakhruddin Muhammad al-Razi, al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408H/1988 M), Cet. Ke-1, Juz II, h. 535-540.

Sumber :http://wiki.aswajanu.com/Keputusan_Ulama_tentang_Hukum_Bermazhab_di_Muktamar_NU_Ke-1

Senin, 05 Agustus 2013

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

Bismillahirrohmaanirrohim


Saturday, 13 April 20130 komentar


Oleh: Syafieh.M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.

Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh  aliran yang  tidak   jauh   berbeda dengan aliran al-Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran   al-Asy'ariyah  berkembang di Basrah  maka aliran  al-Maturidiyah berkembang di Samargand.

Kota   tempat   aliran   ini   lahir   merupakan   salah   satu   kawasan   peradaban yang maju. menjadi  pusat  perkembangan  Mu'tazilah disamping  ditemukannya aliran Mujassimah. Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut  Adam Metz. juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang besar.[1] Al-Maturidi saat itu terlihat  dalam  banyak pertentangan dan  dialog setelah  melihat kenyataan berkurangnya pembelaan  terhadap   sunnah.   Hal   ini   dapat   dipahami   karena   teologi mayoritas   saat   itu   adalah  aliran  Mu'tazilah  yang    banyak   menyerang   golongan   ahli fiqih dan ahli hadits. Diperkuat lagi dengan unsur terokratis penguasa.

Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab  Mu'tazilah. Bahkan  al-Asy'ary  pada  awalnya  adalah  seorang  Mu'taziliy   namun  terdorong  oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah   ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah   wal   jama'ah.Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa keduanya pernah bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa

Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan Muktazilah.

Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamannya disokong oleh pemerintah.

B.       Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:

a.    Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”

b.     Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.

c.    Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”

d.    Al jama’ah  berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.[2]

Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu  yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.   (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) . baiklah penulis  kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;

“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”.

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,

“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”.  (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)

Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.

Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa jumlahnya? Bilangan 73  apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.

Bermacam-macam  firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,  berarti  apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka  asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana  wa alaihi ma alainaa.’

Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu  mereka  yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.
الفرقة النـاجية (kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa  dan jamaah.   tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.

Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.

Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.

Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.

Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.

C.      Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Asy’ari

1.      Riwayat Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[5] Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[6]

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

2.    Toko-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah

a.     Abu Hasan Al-Asy’ari

b.    Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)

c.    Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)

d.   Al-Ghazali (505 H = 1111 M)

e.    Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)

f.     Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)

3.    Metode Asy’ariah

Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).

Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.

Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.

Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.[7]

4.     Pandangan-pandangan asy’ariah

Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:

a.         Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.

b.        Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.

c.          Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.

d.        Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.

e.         Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

f.         Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.

g.         Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[8], sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.

Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.

Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.

Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[9] Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.

Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.

5.    Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari

Formulasi pemikiran Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di sisi lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt barang kali di pengaruhi teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn kullab). Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut ini:

Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).[10]

Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:

a.        Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di jelaskan secara alegoris.[11]

Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[12]

b.        Kebebasan dalam berkehendak (free will)

Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah  yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[14]

c.         Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.[15]

Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.[16]

d.        Qadimnya Al-Qur'an

Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:[19]

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)

e.         Melihat Allah

Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[20]

f.          Keadilan

Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.[21]

g.         Kedudukan orang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[22] Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[23]

6.     Penyebaran Akidah Asy-'ariyah

Akidah ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia

D.      Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Maturidi

1.    Definisi Aliran Maturidiyah

Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[24]

Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.

2.    Sejarah Aliran Al-Maturidi

Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[25]. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.

Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.

3.    Karya Aliran Al-Maturidi

a.       Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.

b.      Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.

     Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:

a.         Akhdzu Al Syara’i

b.          Al Jadal fi Ushul Al Fiqh

c.         Bayan wa Hum Al Mu’tazilah

d.        Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili

e.         Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz

f.          Al Rad ala Ushu Al Qaramathah

g.         Rad Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi

h.        Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi

i.           Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi

4.    Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya

Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.

Al-Badzawi   sendiri   mempunyai   beberapa   orang   murid,   yang   salah  satunya adalah Najm al-Din  Muhammad  al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.[26]

Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.

5.    Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi

a.        Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:

1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.

2.     Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu

3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[27]

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.

b.         Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.[28]

c.         Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d.        Sifat Tuhan

Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).

Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.

e.         Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.          Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[29]

g.        Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :

(1)          Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya

(2)          Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h.        Pelaku dosa besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad

i.          Pengutusan Rasul

Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[30]

6.    Golongan-Golongan Dalam Al-Maturidi

a.    Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)

Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung  ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan  asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.

Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa  janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.

b.    Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)

Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi  dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara  adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.

Aliran   Maturidiyah  Bukhara lebih dekat  kepada  Asy'ariyah  sedangkan   aliran Maturidiyah Samarkand   dalam   beberapa hal   lebih   dekat   kepada Mutazilah,terutama dalam  masalah  keterbukaan   terhadap peranan akal. [31]

Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang  bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup  dan berkembang dikalangan umat Islam.

7.    Pengaruh Al-Maturidi di dunia Islam

Aliran   al-Maturidiyah   ini  telah   meninggalkan   pengaruh   dalam dunia Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara akal dan dalil naqli,   pandangannya yang  bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang sifatnya juziy ke sesuatu yang kulliy. Aliran ini juga berusaha  menghubungkan antara fikir  dan  amal, mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama  kalam  namun  masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.

  Keistimewaan   yang   juga  dimiliki   al-Maturidiyah   bahwa   pengikutnya   dalam perselisihan   atau   perdebatan   tidak   sampai   saling   mengkafirkan   sebagaimana   yang pernah terjadi dikalangan Khawarij, Rawafidh dan Qadariyah.[32] Aliran mi selanjutnya banyak dianut oleh mazhab Hanafiyah.

E.       Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi

1.        Tentang sifat Tuhan

Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

2.         Tentang Perbuatan Manusia

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[33]

3.        Tentang Al-Quran

Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.

4.        Tentang Kewajiban Tuhan

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5.        Tentang Pelaku Dosa Besar

Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

6.        Tentang Janji Tuhan

Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.[34]

7.        Tentang Rupa Tuhan

Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus  Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:

Ø  Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

Ø  Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.

F.       Kesimpulan

Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.

Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa Tuhan, dan juga janji Tuhan.

Pokok-pokok ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran  al-Asy'ariyah  dalam merad pendapat-pendapat  Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka  atau dalam masalah cabang.

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim,  Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951

Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq, Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.t

Badawi, Abdurrahman, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984

Hamid, Jalal Muhammad Abd, Al-Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh, Beirut: Dar Al-Kitab, 1975

Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003

Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta:  aniuhnia Press, 2005

Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986

Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor, 1991

[1] Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta:  aniuhnia Press, 2005). hal. 24

[2] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187

[3]Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 120

[4] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497

[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam…., hal. 120

[6] Ibid

[7] Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara,Jakarta,1995,hlm.66

[8] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 124

[9] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results

[10] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 121

[11] Ibid

[12] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hal. 67-68

[13] Ibid.,hlm. 68

[14] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 122

[15] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan…, hal. 70

[16] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 115

[17] Ibid.,hlm.122.

[18] Harun Nasution,  Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 69

[19] Ibid

[20] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 123

[21] Ibid, hal. 124

[22] Ibid.,hlm.124

[23] Ibid

[24] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), hal. 167.

[25] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124

[26] Harun Nasution,  Teologi Islam…, hal. 70

[27] Ibid.,hlm.126

[28] Ibid.,hlm.127

[29] Ibid.,hlm.129

[30] Ibid, hal. 131-132

[31] Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU

[32] Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq  (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut:  t.th). hal, 28

[33] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam...,hal.127

[34] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results


Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html#ixzz2b8tNnd6P

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

Bismillahirrohmaanirrohim


Saturday, 13 April 20130 komentar


Oleh: Syafieh.M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.

Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh  aliran yang  tidak   jauh   berbeda dengan aliran al-Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran   al-Asy'ariyah  berkembang di Basrah  maka aliran  al-Maturidiyah berkembang di Samargand.

Kota   tempat   aliran   ini   lahir   merupakan   salah   satu   kawasan   peradaban yang maju. menjadi  pusat  perkembangan  Mu'tazilah disamping  ditemukannya aliran Mujassimah. Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut  Adam Metz. juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang besar.[1] Al-Maturidi saat itu terlihat  dalam  banyak pertentangan dan  dialog setelah  melihat kenyataan berkurangnya pembelaan  terhadap   sunnah.   Hal   ini   dapat   dipahami   karena   teologi mayoritas   saat   itu   adalah  aliran  Mu'tazilah  yang    banyak   menyerang   golongan   ahli fiqih dan ahli hadits. Diperkuat lagi dengan unsur terokratis penguasa.

Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab  Mu'tazilah. Bahkan  al-Asy'ary  pada  awalnya  adalah  seorang  Mu'taziliy   namun  terdorong  oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah   ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah   wal   jama'ah.Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa keduanya pernah bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa

Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan Muktazilah.

Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamannya disokong oleh pemerintah.

B.       Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:

a.    Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”

b.     Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.

c.    Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”

d.    Al jama’ah  berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.[2]

Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu  yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.   (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) . baiklah penulis  kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;

“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”.

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,

“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”.  (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)

Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.

Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa jumlahnya? Bilangan 73  apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.

Bermacam-macam  firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,  berarti  apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka  asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana  wa alaihi ma alainaa.’

Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu  mereka  yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.
الفرقة النـاجية (kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa  dan jamaah.   tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.

Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.

Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.

Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.

Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.

C.      Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Asy’ari

1.      Riwayat Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[5] Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[6]

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

2.    Toko-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah

a.     Abu Hasan Al-Asy’ari

b.    Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)

c.    Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)

d.   Al-Ghazali (505 H = 1111 M)

e.    Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)

f.     Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)

3.    Metode Asy’ariah

Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).

Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.

Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.

Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.[7]

4.     Pandangan-pandangan asy’ariah

Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:

a.         Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.

b.        Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.

c.          Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.

d.        Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.

e.         Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

f.         Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.

g.         Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[8], sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.

Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.

Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.

Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[9] Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.

Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.

5.    Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari

Formulasi pemikiran Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di sisi lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt barang kali di pengaruhi teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn kullab). Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut ini:

Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).[10]

Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:

a.        Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di jelaskan secara alegoris.[11]

Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[12]

b.        Kebebasan dalam berkehendak (free will)

Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah  yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[14]

c.         Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.[15]

Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.[16]

d.        Qadimnya Al-Qur'an

Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:[19]

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)

e.         Melihat Allah

Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[20]

f.          Keadilan

Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.[21]

g.         Kedudukan orang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[22] Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[23]

6.     Penyebaran Akidah Asy-'ariyah

Akidah ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia

D.      Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Maturidi

1.    Definisi Aliran Maturidiyah

Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[24]

Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.

2.    Sejarah Aliran Al-Maturidi

Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[25]. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.

Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.

3.    Karya Aliran Al-Maturidi

a.       Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.

b.      Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.

     Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:

a.         Akhdzu Al Syara’i

b.          Al Jadal fi Ushul Al Fiqh

c.         Bayan wa Hum Al Mu’tazilah

d.        Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili

e.         Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz

f.          Al Rad ala Ushu Al Qaramathah

g.         Rad Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi

h.        Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi

i.           Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi

4.    Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya

Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.

Al-Badzawi   sendiri   mempunyai   beberapa   orang   murid,   yang   salah  satunya adalah Najm al-Din  Muhammad  al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.[26]

Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.

5.    Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi

a.        Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:

1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.

2.     Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu

3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[27]

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.

b.         Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.[28]

c.         Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d.        Sifat Tuhan

Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).

Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.

e.         Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.          Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[29]

g.        Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :

(1)          Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya

(2)          Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h.        Pelaku dosa besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad

i.          Pengutusan Rasul

Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[30]

6.    Golongan-Golongan Dalam Al-Maturidi

a.    Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)

Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung  ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan  asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.

Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa  janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.

b.    Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)

Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi  dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara  adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.

Aliran   Maturidiyah  Bukhara lebih dekat  kepada  Asy'ariyah  sedangkan   aliran Maturidiyah Samarkand   dalam   beberapa hal   lebih   dekat   kepada Mutazilah,terutama dalam  masalah  keterbukaan   terhadap peranan akal. [31]

Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang  bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup  dan berkembang dikalangan umat Islam.

7.    Pengaruh Al-Maturidi di dunia Islam

Aliran   al-Maturidiyah   ini  telah   meninggalkan   pengaruh   dalam dunia Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara akal dan dalil naqli,   pandangannya yang  bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang sifatnya juziy ke sesuatu yang kulliy. Aliran ini juga berusaha  menghubungkan antara fikir  dan  amal, mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama  kalam  namun  masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.

  Keistimewaan   yang   juga  dimiliki   al-Maturidiyah   bahwa   pengikutnya   dalam perselisihan   atau   perdebatan   tidak   sampai   saling   mengkafirkan   sebagaimana   yang pernah terjadi dikalangan Khawarij, Rawafidh dan Qadariyah.[32] Aliran mi selanjutnya banyak dianut oleh mazhab Hanafiyah.

E.       Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi

1.        Tentang sifat Tuhan

Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

2.         Tentang Perbuatan Manusia

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[33]

3.        Tentang Al-Quran

Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.

4.        Tentang Kewajiban Tuhan

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5.        Tentang Pelaku Dosa Besar

Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

6.        Tentang Janji Tuhan

Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.[34]

7.        Tentang Rupa Tuhan

Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus  Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:

Ø  Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

Ø  Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.

F.       Kesimpulan

Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.

Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa Tuhan, dan juga janji Tuhan.

Pokok-pokok ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran  al-Asy'ariyah  dalam merad pendapat-pendapat  Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka  atau dalam masalah cabang.

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim,  Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951

Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq, Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.t

Badawi, Abdurrahman, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984

Hamid, Jalal Muhammad Abd, Al-Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh, Beirut: Dar Al-Kitab, 1975

Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003

Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta:  aniuhnia Press, 2005

Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986

Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor, 1991

[1] Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta:  aniuhnia Press, 2005). hal. 24

[2] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187

[3]Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 120

[4] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497

[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam…., hal. 120

[6] Ibid

[7] Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara,Jakarta,1995,hlm.66

[8] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 124

[9] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results

[10] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 121

[11] Ibid

[12] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hal. 67-68

[13] Ibid.,hlm. 68

[14] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 122

[15] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan…, hal. 70

[16] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 115

[17] Ibid.,hlm.122.

[18] Harun Nasution,  Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 69

[19] Ibid

[20] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 123

[21] Ibid, hal. 124

[22] Ibid.,hlm.124

[23] Ibid

[24] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), hal. 167.

[25] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124

[26] Harun Nasution,  Teologi Islam…, hal. 70

[27] Ibid.,hlm.126

[28] Ibid.,hlm.127

[29] Ibid.,hlm.129

[30] Ibid, hal. 131-132

[31] Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU

[32] Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq  (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut:  t.th). hal, 28

[33] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam...,hal.127

[34] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results


Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html#ixzz2b8tNnd6P

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...