Senin, 05 Agustus 2013

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI

Bismillahirrohmaanirrohim


Saturday, 13 April 20130 komentar


Oleh: Syafieh.M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.

Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh  aliran yang  tidak   jauh   berbeda dengan aliran al-Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran   al-Asy'ariyah  berkembang di Basrah  maka aliran  al-Maturidiyah berkembang di Samargand.

Kota   tempat   aliran   ini   lahir   merupakan   salah   satu   kawasan   peradaban yang maju. menjadi  pusat  perkembangan  Mu'tazilah disamping  ditemukannya aliran Mujassimah. Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut  Adam Metz. juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang besar.[1] Al-Maturidi saat itu terlihat  dalam  banyak pertentangan dan  dialog setelah  melihat kenyataan berkurangnya pembelaan  terhadap   sunnah.   Hal   ini   dapat   dipahami   karena   teologi mayoritas   saat   itu   adalah  aliran  Mu'tazilah  yang    banyak   menyerang   golongan   ahli fiqih dan ahli hadits. Diperkuat lagi dengan unsur terokratis penguasa.

Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab  Mu'tazilah. Bahkan  al-Asy'ary  pada  awalnya  adalah  seorang  Mu'taziliy   namun  terdorong  oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah   ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah   wal   jama'ah.Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa keduanya pernah bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa

Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan Muktazilah.

Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamannya disokong oleh pemerintah.

B.       Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata:

a.    Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”

b.     Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.

c.    Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”

d.    Al jama’ah  berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.[2]

Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu  yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.   (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) . baiklah penulis  kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;

“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”.

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,

“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”.  (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)

Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.

Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa jumlahnya? Bilangan 73  apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.

Bermacam-macam  firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,  berarti  apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka  asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana  wa alaihi ma alainaa.’

Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu  mereka  yang tidak persis sesuai dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.
الفرقة النـاجية (kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (ماأناعليه وأصحـابه ) yang mungkin berada di berbagai tempat, masa  dan jamaah.   tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.

Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.

Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.

Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.

Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.

C.      Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Asy’ari

1.      Riwayat Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,[3] seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.[5] Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.[6]

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

2.    Toko-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah

a.     Abu Hasan Al-Asy’ari

b.    Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)

c.    Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)

d.   Al-Ghazali (505 H = 1111 M)

e.    Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)

f.     Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)

3.    Metode Asy’ariah

Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).

Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.

Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.

Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.[7]

4.     Pandangan-pandangan asy’ariah

Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:

a.         Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.

b.        Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.

c.          Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.

d.        Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.

e.         Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

f.         Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.

g.         Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[8], sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.

Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.

Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.

Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[9] Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.

Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.

5.    Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari

Formulasi pemikiran Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di sisi lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt barang kali di pengaruhi teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn kullab). Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut ini:

Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).[10]

Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:

a.        Tuhan dan sifat-sifatnya

Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di jelaskan secara alegoris.[11]

Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[12]

b.        Kebebasan dalam berkehendak (free will)

Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah  yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[13] Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[14]

c.         Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.[15]

Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.[16]

d.        Qadimnya Al-Qur'an

Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim[17]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.[18] Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:[19]

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)

e.         Melihat Allah

Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[20]

f.          Keadilan

Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.[21]

g.         Kedudukan orang berdosa

Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[22] Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[23]

6.     Penyebaran Akidah Asy-'ariyah

Akidah ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia

D.      Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Maturidi

1.    Definisi Aliran Maturidiyah

Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[24]

Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.

2.    Sejarah Aliran Al-Maturidi

Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[25]. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.

Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.

3.    Karya Aliran Al-Maturidi

a.       Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.

b.      Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.

     Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:

a.         Akhdzu Al Syara’i

b.          Al Jadal fi Ushul Al Fiqh

c.         Bayan wa Hum Al Mu’tazilah

d.        Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili

e.         Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz

f.          Al Rad ala Ushu Al Qaramathah

g.         Rad Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi

h.        Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi

i.           Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi

4.    Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya

Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.

Al-Badzawi   sendiri   mempunyai   beberapa   orang   murid,   yang   salah  satunya adalah Najm al-Din  Muhammad  al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.[26]

Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.

5.    Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi

a.        Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:

1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.

2.     Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu

3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[27]

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.

b.         Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.[28]

c.         Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d.        Sifat Tuhan

Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).

Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.

e.         Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.          Kalam Tuhan

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[29]

g.        Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :

(1)          Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya

(2)          Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h.        Pelaku dosa besar

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad

i.          Pengutusan Rasul

Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.

Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[30]

6.    Golongan-Golongan Dalam Al-Maturidi

a.    Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)

Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung  ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan  asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.

Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa  janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.

b.    Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)

Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi  dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara  adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.

Aliran   Maturidiyah  Bukhara lebih dekat  kepada  Asy'ariyah  sedangkan   aliran Maturidiyah Samarkand   dalam   beberapa hal   lebih   dekat   kepada Mutazilah,terutama dalam  masalah  keterbukaan   terhadap peranan akal. [31]

Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang  bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup  dan berkembang dikalangan umat Islam.

7.    Pengaruh Al-Maturidi di dunia Islam

Aliran   al-Maturidiyah   ini  telah   meninggalkan   pengaruh   dalam dunia Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara akal dan dalil naqli,   pandangannya yang  bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang sifatnya juziy ke sesuatu yang kulliy. Aliran ini juga berusaha  menghubungkan antara fikir  dan  amal, mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama  kalam  namun  masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.

  Keistimewaan   yang   juga  dimiliki   al-Maturidiyah   bahwa   pengikutnya   dalam perselisihan   atau   perdebatan   tidak   sampai   saling   mengkafirkan   sebagaimana   yang pernah terjadi dikalangan Khawarij, Rawafidh dan Qadariyah.[32] Aliran mi selanjutnya banyak dianut oleh mazhab Hanafiyah.

E.       Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi

1.        Tentang sifat Tuhan

Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

2.         Tentang Perbuatan Manusia

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[33]

3.        Tentang Al-Quran

Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.

4.        Tentang Kewajiban Tuhan

Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5.        Tentang Pelaku Dosa Besar

Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

6.        Tentang Janji Tuhan

Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.[34]

7.        Tentang Rupa Tuhan

Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus  Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:

Ø  Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

Ø  Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.

F.       Kesimpulan

Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.

Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa Tuhan, dan juga janji Tuhan.

Pokok-pokok ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran  al-Asy'ariyah  dalam merad pendapat-pendapat  Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka  atau dalam masalah cabang.

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim,  Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951

Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq, Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.t

Badawi, Abdurrahman, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984

Hamid, Jalal Muhammad Abd, Al-Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh, Beirut: Dar Al-Kitab, 1975

Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003

Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta:  aniuhnia Press, 2005

Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986

Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor, 1991

[1] Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta:  aniuhnia Press, 2005). hal. 24

[2] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187

[3]Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 120

[4] Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin, (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497

[5] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam…., hal. 120

[6] Ibid

[7] Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara,Jakarta,1995,hlm.66

[8] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 124

[9] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results

[10] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 121

[11] Ibid

[12] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hal. 67-68

[13] Ibid.,hlm. 68

[14] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 122

[15] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan…, hal. 70

[16] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 115

[17] Ibid.,hlm.122.

[18] Harun Nasution,  Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 69

[19] Ibid

[20] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 123

[21] Ibid, hal. 124

[22] Ibid.,hlm.124

[23] Ibid

[24] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), hal. 167.

[25] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124

[26] Harun Nasution,  Teologi Islam…, hal. 70

[27] Ibid.,hlm.126

[28] Ibid.,hlm.127

[29] Ibid.,hlm.129

[30] Ibid, hal. 131-132

[31] Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU

[32] Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq  (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut:  t.th). hal, 28

[33] Abdul Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam...,hal.127

[34] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results


Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html#ixzz2b8tNnd6P

Sabtu, 03 Agustus 2013

Bagaimana Cara Berdoa ketika Sujud?

Bismillahirrohmaanirrohim

Dalam salah satu artikel seperti berikut ini :

Bagaimana Cara Berdoa ketika Sujud?

Jawabannya :
Sebelumnya perlu saya tegaskan bahwa benar kita dilarang membaca ayat Al-Quran ketika ruku dan sujud. Begitu pula dengan keterangan bahwa berdoa saat sujud memiliki peluang sangat besar untuk dikabulkan

Karena itu, Rasululloh SAW menganjurkan agar banyak berdoa ketika sujud. Hal ini sesuai dengan sabda beliau dalam hadits berikut. 

”Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang untuk membaca Al-Quran di saat ruku atau sujud. Adapun ruku maka agungkanlah Allah azza wa jalla di dalamnya sedangkan sujud maka berupayalah untuk berdoa maka tentu kalian akan dikabulkan.” (H.R. Muslim). 

Dalam keterangan lain disebutkan, ”Hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika dia bersujud, maka perbanyaklah doa.” (H.R. Muslim)

Mengenai bolehkah berdoa ketika sujud dengan redaksi ayat Al-Quran, sebagian besar para ulama membolehkannya. Imam Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits tersebut di atas dengan mengatakan bahwa,

”Kalaupun seseorang membaca surat selain surat Al-Fatihah sewaktu ruku atau sujud, maka hukumnya adalah makruh dan tidaklah membatalkan shalat.” 

Sementara Imam Hanafi menyaratkan bagi orang yang bermaksud berdoa di saat sujudnya dengan redaksi doa dari ayat Al-Quran dengan tidak meniatkannya untuk membaca Al-Quran.

Secara logika kebahasaan, tentu terdapat perbedaan antara membaca dan berdoa. Konteks seseorang saat membaca tentu berbeda dengan saat berdoa. 

Karena itu, tidak ada masalah berdoa ketika sujud dengan redaksi doa yang diambil dari ayat Al-Quran.

Mengenai berdo’a dengan bahasa sendiri di saat sujud, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama melarangnya, karena shalat hendaknya dilakukan sama persis seperti yang dicontohkan Rasulullah dalam segala hal, termasuk doa-doa yang dipanjatkan. Berdoa dengan bahasa doa sendiri akan membatalkan shalat.

Sebagian ulama yang lain menganggap bahwa berdoa dengan bahasa sendiri tidak menjadi persoalan selama tidak melanggar etika berdoa. Suatu ketika, Rasulullah mendengar seorang sahabat mengubah redaksi doa yang biasa dicontohkan Rasulullah SAW dan beliau tidak melarang tetapi justru memujinya. 

Memang, sahabat tersebut berbahasa Arab sehingga teks doa yang diubah tidak begitu kentara. Ini menunjukkan bahwa boleh-boleh saja menyampaikan doa dalam shalat (sujud) dengan bahasa sendiri selama isi dan susunan kalimatnya santun dan tidak menyimpang. 

Bagaimanapun, tentu berdoa dengan teks ayat Al-Quran dan hadits dinilai paling utama. Namun, ada kalanya sesuatu yang diinginkan tidak terangkum dalam doa teks doa yang ada atau sebagian orang kesusahan menghafal redaksi doa tertentu. 

Dalam hal ini, Islam tidak memberatkan umatnya. Kalau memang dalam keadaan terpaksa dan dibutuhkan, silahkan berdoa dengan bahasa sendiri selama tetap memperhatikan adab dan etika berdoa. 

Saya sendiri penyusun (suniy Ahmad) mengambil pendapat yang pertama,bagi orang yang tidak dapat berbahasa arab hendaklah melakukan hal-hal berikut ini :
1.Jika berdoa dengan bahasa selain arab berdolah didalam hati saja dengan keyakinan bahwa Alloh maha mendengar.

2.Jika kita ingin berdoa pelajarilah doa - doa yang berbahasa arab yang sesuai dengan permasalahan masing - masing.

wallohu'alam


------------------------------------------------------------------------------------------
Ref :  www.percikaniman.org/

Kamis, 01 Agustus 2013

IMAM ZAINAL ABIDIN BIN ABDURRAUF ALMANAWI

Bismillahirrohmaanirrohim



Luthfi Bashori

Beliau berasal dari Mesir, di saat usia 7 tahun beliau sudah berhasil menyelesaikan hafalan Alquran seluruhnya. Setelah usai mendalami hafalan Alquran, dalam usia murahiq (menjelang baligh) beliau lantas belajar memperdalam keilmuan syariat agama Islam dengan berbagai fak, hingga di masa dewasa beliau menjadi tokoh ulama yang mumpuni. Setelah lama menggeluti ilmu syariat agama Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, pada akhirnya beliau terjun dalam bidang thariqat atau mendalami ilmu tasawwuf.

Pada usia senja, beliau lebih banyak berkhalwat (menyendiri) untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana diriwayatkan, hampir setiap orang yang sempat menengok Imam Zainal Abidin Almanawi di masa tuanya, maka selalu saja beliau ditemukan sedang dalam keadaan shalat atau duduk berdzikir kepada Allah.

Hampir setiap malam, beliau tidak menbiarkan matanya terpejam dalam tidur yang pulas, melainkan hati dan lisannya dipergunakan untuk berdzikir mengingat Allah, bahkan tidak jarang dalam sehari semalam beliau hanya sekali berwudhu wajib, yang dipergunakan untuk beribadah selama sehari semalam. Ini pertanda beliau benar-benar jarang tertidur lelap.

Karena kesungguhan beliau dalam mempelajari ilmu syariat agamanya Allah, serta giatnya dalam bermujahadah dan beribadah kepada Allah dengan mendalami thariqat dan praktek tasawwuf, maka Allah berkenan memberikan keistimewaan-keistimewaan khusus kepada beliau, yaitu berupa karamah sebagai tanda kewalian (kekasih Allah).

Karamah Imam Zainal Abidin antara lain, seringkali di saat beliau duduk berdzikir, tiba-tiba didatangi oleh Nabi SAW secara langsung. Hal ini sesuai dengan hadits shahih, Nabi SAW bersabda yang artinya: Barang siapa yang telah melihatku dalam mimpinya, maka di saat akan meninggal dunia, ia akan bertemu aku secara langsung.

Di saat usia Imam Zainal abidin masih tergolong muda belia, nama beliau sudah banyak dikenal di kalangan para wali kekasih Allah. Bahkan tidak jarang arwah para wali itu datang kepada beliau dan mengajak  berdiskusi seputar urusan alam barzakh.

Suatu saat, Imam Zainal Abidin berziarah ke makam Imam Syafi`i, tiba-tiba beliau mendengar suara Imam Syafi`i  dari dalam makam dan mengajak berdiskusi keagamaan.

Di saat yang lain, ketika beliau berziarah ke makam Imam Syafi`i, mata beliau melihat secara langsung bahwa dari atas qubah makam Imam Syafi`i itu tampak seperti mengalir dua mata air dan dua burung merpati. Pada pangkal satu mata air itu dihinggapi seekor merpati berwarna putih dan yang lainya dihinggapi merpati berwarna hijau. Sedangkan di atas makam kuburan Imam Syafi`i, tampak kakek beliau yang sudan meninggal dunia bernama Almarhum Assyaraf Yahya Almanawi  sedang duduk berziarah kepada Imam Syafi`i.

Imam Zainal Abidin dikenal sebagai seorang wali yang diberi karamah oleh Allah dapat berkomunikasi  secara baik dengan dunia arwah para shalihin yang telah meninggal dunia. Bahkan suatu hari  ada seorang ulama yang bermimpi melihat alam barzakh. Di alam barzakh tersebut terdapat sebuah cahaya yang berbentuk manusia atau manusia yang berbentuk cahaya. Secara spontan, sang ulama ini bertanya : Siapa gerangan orang itu ? Tiba-tiba sang ulama itu mendengar suara yang menjawab: Dia adalah Imam Zainal Abidin Almanawi.

Alaa inna auliyaa-allahi laa khaufun `alahim yalaahum yahzanuun
(ketahuilah bahwa bagi  para wali Allah itu tiada rasa takut dan tiada rasa kekhawatiran)

(disarikan dari kitab Karamatul Aulia, karangan Syeikh Yusuf bin Ismail Annabhani).

http://tinta168.blogspot.com/2012/06/kemuliaan-imam-zainal-abidin-abdurrauf.html

Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) : Mengkritik aqidah tajsim ad-zahabi dan ibnu taimiyah

Bismillahirrohmaanirrohim
Al-Imâm Tajuddin as-Subki (w 771 H) dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan bahwa adz-Dzahabi (w 748 H) memiliki sifat sinis terhadap al-Imâm al-Asy’ari. Adz-Dzahabi sama sekali tidak apresiatif, bahkan selalu memojokan faham-faham al-Imâm al-Asy’ari dalam berbagi kesempatan. Perlakuan adz-Dzahabi dalam meremehkan al-Imâm al-Asy’ari ini sebagimana ia tuangkan dalam karyanya sendiri; Târîkh adz-Dzahabi. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menempatkannya secara proporsional sesuai keagungannya.
Al-Imâm Tajuddin as-Subki mengatakan bahwa adz-Dzahabi memiliki kebencian yang sangat besar terhadap al-Imâm al-Asy’ari, hanya saja ia tidak sanggup untuk mengungkapkan itu semua karena takut diserang balik oleh Ahl al-Haq dari para pemuka Ahlussunnah. Di sisi lain adz-Dzahabi juga tidak sabar untuk mendiamkan ajaran-ajaran al-Imâm al-Asy’ari yang menurutnya sebagai ajaran yang tidak benar. Dalam menuliskan biografi al-Imâm al-Asy’ari, adz-Dzahabi tidak banyak berkomentar, di akhir tulisannya ia hanya berkata: “Barangsiapa yang ingin mengenal lebih jauh tantang al-Asy’ari maka silahkan untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî karya Abu al-Qasim Ibn Asakir”[1]. Yang lebih mengherankan lagi di akhir tulisan itu kemudian adz-Dzahabi menuliskan ungkapan doa sebagai berikut:
“Ya Allah, matikanlah kami di dalam Sunnah Nabi-Mu dan masukan kami ke surga-Mu. Jadikanlah jiwa-jiwa kami ini tenang. Kami mencintai para wali-Mu karena-Mu, dan kami membenci para musuh-Mu karena-Mu. Kami meminta ampun kepada-Mu bagi hamba-hamba-Mu yang telah melakukan maksiat. Jadikan kami mengamalkan ayat-ayat muhkamât dari kitab-Mu dan beriman dengan ayat-ayat mutsyâbihât-nya. Dan jadikan kami sebagai orang-orang yang mensifati-Mu sebagaimana Engkau mensifati diri-Mu sendiri”[2].
Simak tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam mengomentari tulisan adz-Dzahabi di atas:
“Dari sini nyata bagimu bahwa adz-Dzahabi ini sangat aneh dan mengherankan. Engkau melihat sendiri bagaimana sikap orang miskin ini, dia benar-benar seorang yang celaka. Saya telah mengatakan berulang-ulang bahwa adz-Dzahabi ini sebenarnya guru saya, dan saya banyak mengambil ilmu hadits darinya, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti, dan karenanya saya wajib menjelaskan kebenaran ini. Maka saya katakan: “Wahai adz-Dzahabi, orang sepertimu bagaimana mungkin hanya menyuruh orang lain untuk membaca kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî sementara engkau sendiri malalaikan pujian terhadap Syaikh al-Asy’ari?! Padahal engkau sama sekali tidak meninggalkan nama seorangpun dari kaum Mujassimah kecuali engkau menuliskan biografinya secara langkap. Bahkan bukumu itu sampai menyebut-nyebut biografi beberapa orang dari madzhab Hanbali yang datang belakangan dan tidak memiliki kapasitas memadai secara keilmuan. Semua itu engkau tuliskan biografinya dengan sangat rinci dan lengkap. Lantas apakah engkau tidak mampu untuk menuliskan biografi Syaikh al-Asy’ari secara proporsional?! Padahal derajat Syaikh al-Asy’ari berada jauh ribuan tingkat di atas orang-orang mujasim yang engkau tuliskan itu?! Tidak lain ini adalah hawa nafsu dan kebencian yang telah mencapai puncaknya. Aku bersumpah demi Allah, engkau melakukan ini tidak lain hanya karena engkau tidak senang nama al-Asy’ari disebut-sebut dengan segala kebaikannya. Dan di sisi lain engkau tidak mampu untuk mengungkapkan kepada orang-orang Islam akan apa yang ada dalam hatimu dari kebencian kepada Syaikh al-Asy’ari, karena engkau sadar bila kebencian itu engkau ungkapkan seutuhnya maka engkau akan berhadapan dengan kekuatan seluruh orang Islam.
Sementara itu doamu yang engkau ungkapkan di akhir tulisan biografi Syaikh yang sangat ringkas itu, adakah kalimat-kalimat itu pada tempatnya wahai orang miskin?! Kemudian ungkapanmu “…dan jadikanlah kami orang-orang yang membenci musuh-musuh-Mu” adalah tidak lain karena manurutmu Syaikh al-Asy’ari adalah musuh Allah, dan engkau benar-benar sangat membencinya. Kelak nanti engkau akan berdiri di hadapan hukum Allah untuk bertanggung jawab terhadap Syaikh, sementara semua ulama dari empat madzhab, orang-orang saleh dari kaum sufi, dan para pemuka Huffâzh al-hadîts berada di dalam barisan Syaikh al-Asy’ari. Engkau kelak saat itu akan merangkak dalam kegelapan akidah tajsîm, yang engkau mengaku-aku telah bebas dari akidah sesat tersebut, padahal engkau adalah orang terdepan dalam menyeru kepada akidah sesat tersebut. Engkau mengaku ahli dalam masalah Ilmu Tauhid, padahal engkau sama sekali tidak memahaminya walaupun hanya seukuran atom atau seukuran tipisnya kulit biji kurma sekalipun. Aku katakan bagimu: “Siapakah sebenarnya yang mensifati Allah sesuai dengan keagungan-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya sendiri?! Adakah orang itu yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti dirimu?! Ataukah yang benar-benar memahami bahwa “Allah tidak menyerupai apapun dari segala makhluk-Nya” (QS. As-Syura: 11)?!”. Sebenarnya, secara khusus bagiku tidak harus banyak bicara dalam masalah ini, namun demikian hal ini harus saya sampaikan.
Dalam penulisan biografi Syaikh al-Asy’ari sebagaimana anda tahu sendiri, bahwa sebenarnya tidak akan cukup dengan hanya dituangkan dalam beberapa lembar saja. Dalam kitab yang saya tulis ini, saya juga memerintahkan kepada para pembaca yang ingin mengenal lebih jauh tentang Syaikh al-Asy’ari untuk merujuk kepada kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî (karya al-Hâfizh Ibn Asakir). Namun anjuran saya ini berbeda dengan anjuran adz-Dzahabi. Saya menganjurkan anda untuk membaca Tabyîn Kadzib al-Muftarî agar anda benar-benar mengenal sosok al-Asy’ari dan mengetahui keagungan serta bertambah kecintaan kepadanya, sementara adz-Dzahabi menganjurkan hal tersebut tidak lain hanya untuk menutup mata anda, karena sebenarnya dia telah bosan dengan menyebut-nyebut kebaikan orang-orangnya sendiri yang tidak senang kepada Syaikh al-Asy’ari”[3].
Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm Tajuddin as-Subki dalam penulisan biografi al-Hâfizh Ahmad ibn Shaleh al-Mishri menuliskan kaedah yang sangat berharga dalam metode penilaian al-jarh (Klaim negatif terhadap orang lain). Kesimpulannya ialah bahwa apa bila seseorang melakukan al-jarh terhadap orang lain yang memiliki amal saleh lebih banyak dari pada perbuatan maksiatnya, dan orang-orang yang memujinya lebih banyak dari pada yang mencacinya, serta orang-orang yang menilai positif baginya (al-Muzakkûn) lebih banyak dari pada yang menilai negatif atasnya (al-Jârihûn), maka penilaian orang ini tidak dapat diterima, sekalipun ia punya penjelasan dalam penilainnya tersebut. Terlebih lagi apa bila orang yang menilai al-jarh ini berlandaskan karena panatisme madzhab, atau karena kecemburuan masalah duniawi dan lainnya. Kemudian pada akhir tulisan kaedah al-jarh ini, al-Imâm Tajuddin as-Subki menuliskan:
“… dan adz-Dzahabi ini adalah guru kami. Dari sisi ini ia adalah seorang yang memiliki ilmu dan memiliki sikap teguh dalam beragama. Hanya saja dia memiliki kebencian berlebihan terhadap para ulama Ahlussunnah. Karena itu adz-Dzahabi ini tidak boleh dijadikan sandaran”.
Masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga mengutip tulisan al-Imâm al-Hâfizh Shalahuddin Khalil ibn Kaikaldi al-Ala-i dalam penilainnya terhadap adz-Dzahabi, sebagai berikut:
“Al-Hâfizh asy-Syaikh Syamsuddin adz-Dzahabi tidak saya ragukan dalam keteguhan beragamanya, sikap wara’-nya, dan ketelitiannya dalam memilih berbagai pendapat dari orang lain. Hanya saja dia adalah orang yang berlebihan dalam memegang teguh madzhab itsbât dan dia sangat benci terhadap takwil hingga ia melalaikan akidah tanzîh. Sikapnya ini telah memberikan pengaruh besar terhadap tabi’atnya, hingga ia berpaling dari Ahl at-Tanzîh dan sangat cenderung kapada Ahl al-Itsbât. Jika ia menuliskan biografi seseorang yang berasal dari Ahl al-Itsbât maka dengan panjang lebar ia akan mengungkapkan segala kebaikan yang ada pada diri orang tersebut, walaupun kebaikan-kebiakan itu hanya sebatas prasangka saja ia tetap akan menyebut-nyebutnya dan bahkan akan melebih-lebihkannya, dan terhadap segala kesalahan dan aib orang ini ia akan berpura-pura melalaikannya dan menutup mata, atau bahkan ia akan membela orang tersebut. Namun apa bila yang ia menuliskan biografi seorang yang ia anggap tidak sepaham dengannya, seperti Imam al-Haramain, al-Imâm al-Ghazali, dan lainnya maka sama sekali ia tidak mengungkapkannya secara proporsional, sebaliknya ia akan menuliskan nama-nama orang yang mencaci-maki dan menyerangnya. Ungkapan-ungkapan cacian tersebut bahkan seringkali ia tulis berulang-ulang untuk ia tampakkan itu semua dengan nyata, bahkan ia meyakini bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan cacian semacam itu sebagai bagian dari agama. Di sini ia benar-benar berpaling dari segala kebaikan para ulama agung tersebut, dan karena itu dengan sengaja pula ia tidak menuliskan kebaikan-kebaikan mereka. Sementara bila ia menemukan cacat kecil saja pada diri mereka maka ia tidak akan melewatkannya. Perlakuan ini pula yang ia lakukan terhadap para ulama yang hidup semasa dengan kami. Dalam menuliskan biografi para ulama tersebut jika ia tidak mampu secara terus terang mengungkapkan cacian atas diri mereka (karena takut diserang balik) maka ia akan menuliskan ungkapan “Allâh Yushlihuh” (semoga Allah menjadikan dia seorang yang lurus), atau semacamnya. Ini semua tidak lain adalah karena akidah dia yang berbeda dengan mereka”[4].
Setelah mengutip pernyataan al-Hâfizh al-Ala-i di atas, al-Imâm Tajuddin as-Subki lalu menuliskan komentar berikut:
“Sebenarnya, keadaan guru kita adz-Dzahabi ini lebih parah dari pada apa yang digambarkan oleh al-Hâfizh al-Ala-i. Benar, dia adalah syaikh kita dan guru kita, hanya saja kebenaran lebih berhak untuk diikuti dari pada dirinya. Ia memiliki panatisme yang berlebihan hingga mencapai batas yang tercela. Saya khawatir atas dirinya di hari kiamat nanti bahwa ia akan dituntut oleh mayoritas ulama Islam dan para Imam yang telah membawa syari’at Rasulullah kepada kita, karena sesungguhnya mayoritas mereka adalah kaum Asy’ariyyah. Sementara adz-Dzahabi apa bila ia menemukan seorang yang bermadzhab Asy’ari maka ia tidak akan tinggal diam untuk mencelanya. Yang saya yakini bahwa para ulama Asy’ariyyah tersebut, walaupun yang paling rendah di antara mereka di hari kiamat nanti kelak akan menjadi musuh-musuhnya. Hanya kepada Allah kita berharap agar bebannya diringankan, semoga Allah memberi ilham kepada para ulama tersebut untuk memaafkannya, juga semoga Allah memberikan syafa’at mereka baginya. Sementara itu, para ulama yang semasa dengan kami mengatakan bahwa semua pendapat yang berasal dari dirinya tidak boleh di anggap dan tidak boleh dijadikan sandaran”[5].
Pada bagian lain, masih dalam kitab Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, al-Imâm Tajuddin as-Subki juga menuliskan sebagai berikut:
“Adapun kitab at-Târîkh karya guru kami; adz-Dzahabi, semoga Allah memberikan ampunan kepadanya, sekalipun sebuah karya yang bagus dan menyeluruh, namun di dalamnya penuh dengan panatisme berlebihan, semoga Allah memaafkannya. Di dalamnya ia telah banyak mencaci-maki para ahli agama, yaitu mencaci maki kaum sufi, padahal mereka itu adalah orang-orang saleh. Ia juga banyak menjelekan para Imam terkemuka dari kalangan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi. Ia memiliki kebencian yang berlebihan terhadap kaum Asy’ariyyah. Sementara terhadap kaum Mujassimah ia memiliki kecenderungan bahkan ia memuji-muji mereka. Walau demikian ia tetap salah seorang Hâfizh terkemuka dan Imam yang agung. Jika sejarawan (Mu’arrikh) sekelas adz-Dzahabi saja memiliki kecenderungan panatisme madzhab berlebihan hingga batas seperti ini, maka bagaimana lagi dengan para sejarawan yang berada jauh di bawah tingkatan adz-Dzahabi?! Karena itu pendapat kami ialah bahwa penilaian al-Jarh (cacian) dan al-Madh (pujian) dari seorang sejarawan tidak boleh diterima kecuali apa bila terpenuhi syarat-syarat yang telah dinyatakan oleh Imam agung umat ini (Habr al-Ummah), yaitu ayahanda kami (al-Imâm Taqiyuddin as-Subki), semoga rahmat Allah selalu tercurah atasnya”.
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya karyanya berjudul Qam’u al-Mu’âridl Bi Nushrah Ibn Fâridl menuliskan sebagai berikut:
“Anda jangan merasa heran dengan sikap sinis adz-Dzahabi. Sungguh adz-Dzahabi ini memiliki sikap benci dan sangat sinis terhadap al-Imâm Fakhruddin ar-Razi, padalah ar-Razi adalah seorang Imam yang agung. Bahkan ia juga sangat sinis terhadap Imam yang lebih agung dari pada Fakhruddin ar-Razi, yaitu kepada al-Imâm Abu Thalib al-Makki; penulis kitab Qût al-Qulûb. Bahkan lebih dari pada itu, ia juga sangat sinis dan sangat benci terhadap al-Imâm yang lebih tinggi lagi derajatnya dari pada Abu Thalib al-Makki, yaitu kepada al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Padahal siapa yang tidak kenal al-Asy’ari?! Namanya harum semerbak di seluruh penjuru bumi. Sikap buruk adz-Dzahabi ini ia tulis sendiri dalam karya-karyanya, seperti al-Mîzân, at-Târikh, dan Siyar A’lâm an-Nubalâ’. Adakah anda akan menerima penilaian buruk adz-Dzahabi ini terhadap para ulama agung tersebut?! Demi Allah sekali-kali jangan, anda jangan pernah menerima penilaian adz-Dzahabi ini. Sebaliknya anda harus menempatkan derajat para Imam agung tersebut secara proporsional sesuai dengan derajat mereka masing-masing”[6].
Asy-Syaikh al-Imâm Ibn al-Wardi dalam kitab Târîkh Ibn al-Wardi pada bagian akhir dari juz ke dua dalam penulisan biografi adz-Dzahabi mengatakan bahwa di akhir hayatnya adz-Dzahabi bersegera menyelesaikan kitab Târîkh-nya. Dalam kitab at-Târîkh ini adz-Dzahabi menuliskan biografi para ulama terkemuka di daratan Damaskus dan lainnya. Metode penulisan yag dipakai adalah dengan bertumpu kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara mereka dari masa ke masa. Hanya saja buku ini kemudian berisi sinisme terhadap beberapa orang ulama terkemuka[7].
Saya Abou Fateh, penulis buku yang lemah ini, –sama sekali bukan untuk tujuan mensejajarkan diri dengan para ulama di atas dalam menilai adz-Dzahabi, tapi hanya untuk saling mengingatkan di antara kita–, menambahkan:
“Al-Hâfizh Syamsuddin adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Kebanyakan apa yang diajarkan oleh Ibn Taimiyah telah benar-benar diserap olehnya, tidak terkecuali dalam masalah akidah. Salah satu karya adz-Dzahabi yang sekarang ini merupakan salah satu rujukan utama kaum Wahhabiyyah dalam menetapkan akidah tasybîh mereka adalah sebuah buku berjudul “al-‘Uluww Li al-‘Aliyy al-‘Azhîm”. Buku ini wajib dihindari dan dijauhkan dari orang-orang yang lemah di dalam masalah akidah. Karena ternyata, –dan ini yang membuat miris penulis–, tidak sedikit di antara generasi muda kita sekarang yang terlena dengan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dan faham-faham Wahhabiyyah hingga menjadikan buku adz-Dzahabi ini sebagai salah satu rujukan dalam menetapkan akidah tasybîh mereka. Hasbunallâh.
***************** footnote ********************
[1] Târîkh adz-Dzahabi.
[2] Ibid.
[3] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 3, h. 352-354
[4] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 185.
[5] Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 1, h. 190 dalam penyebutan biografi Ahmad ibn Shaleh al-Mishri.
[6] Lihat ar-Raf’u Wa at-Takmîl Fî al-Jarh Wa at-Ta’dîl, h. 319-320 karya asy-Syaikh Abd al-Hayy al-Laknawi mengutip dari risalah Qam’u al-Mu’âridl karya al-Hâfizh as-Suyuthi. Tidak sedikit para ulama dalam karya mereka masing-masing menuliskan sikap buruk adz-Dzahabi ini terhadap al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, kaum Asy’ariyyah, dan secara khusus kebenciannya terhadap kaum sufi, di antaranya salah seorang sufi terkemuka al-Imâm Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani dengan karyanya berjudul Mir’âh al-Janân Wa ‘Ibrah al-Yaqzhân, dan al-Imâm Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dengan karyanya berjudul al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fî Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, termasuk beberapa karya yang telah kita sebutkan di atas.
[7] Lihat Barâ’ah al-Asy’ariyyîn mengutip dari Târîkh Ibn al-Wardi, j. 2, h. 13


Ref ::salafytobat.wordpress.com/

Rabu, 31 Juli 2013

NOMA JENIS PENYAKIT YANG LEBIH GANAS DARI AIDS

Bismillahirrohmaanirrohim
 Istilah NOMA mungkin masih asing terdengar. Ini merupakan salah satu jenis penyakit parah yang sedang merebak di Nigeria. Wajah dari para korban lama-kelamaan akan habis digerogoti oleh penyakit tersebut.
"Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan gizi akut dan biasanya dialami oleh orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi rendah," ujar Victoria Nkong selaku koordinator kampanye melawan penyakit NOMA, seperti dilansir Urbanpostng, Rabu (31/7/2013).

NOMA, Penyakit yang Lebih Kejam Ketimbang AIDS
Ilustrasi Noma
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mengalami penyakit NOMA terlebih dahulu merasa sakit pada bagian dalam mulutnya. Lama-kelamaan penyakit ini dapat semakin parah. Bagian wajahlah yang menjadi sasaran utamanya. Daging Anda akan digerogoti oleh gangren. Bila dibiarkan begitu saja, gangren dapat memakan organ jantung dan bagian vital lain dalam tubuh yang pastinya sangat membahayakan jiwa.

Sebuah studi yang telah dilakukan dua tahun terakhir mengungkapkan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 126.000 penduduk Nigeria meninggal dunia akibat terserang penyakit NOMA
"Bila dibandingkan dengan AIDS, jenis penyakit ini dapat membunuh Anda lebih cepat. Sudah ada banyak korban berjatuhan. Namun, banyak juga yang belum tahu mengenai penyakit ini, termasuk para praktisi medis di Nigeria. Hal ini sungguh mengkhawatirkan. Mereka menganggap hal itu terjadi akibat kutukan setan," terangnya.

Nkong menekankan bahwa keberadaan penyakit NOMA mendesak para penderitanya untuk segera mendapatkan pengobatan, termasuk operasi. Bila penyakit ini masih pada tahap awal, pengobatan bisa didapatkan dengan harga yang lebih murah, yaitu dengan menggunakan obat antibiotik. Namun, jika penanganannya lambat, seluruh wajah dapat habis dan mengharuskan para korbannya menjalani operasi korektif yang sangat mahal.

"Oleh karena itu, sangat penting bagi mereka untuk melakukan pemeriksaan dan tes yang tepat agar penyakit ini dapat diatasi sebelum sampai ke tahap yang lebih parah," lanjutnya.

Liputan6.com, Harare 

TIDAK BOLEH MENTAATI SESEORANG DALAM RANGKA BERMAKSIAT KEPADA SANG KHOLIK

Bismillahirrohmaanirrohim

 لاَ طَاعَةَ ( لَبَشَرٍ ) فَيٍ مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

          “Tiada kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada Allah I. Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (13/203 Fath), Imam Muslim (6/15), Imam Abu Dawud (2625), Imam Nasa’i (12/187), Ath-Thayalisi (109) dan Imam Ahmad (1/93) dari Ali radiallahu anhu:

          “Bahwa Rasulullah e mengirim bala tentara dan menunjuk seseorang untuk memimpin mereka. Lalu orang itu menyulut api dan berkata: “Masuklah kalian ke dalamnya.” Ada di antara mereka yang ingin masuk, tetapi yang lain berkata, “Kami akan benar-benar lari darinya.” Hal itu kemudian dilaporkan kepada Baginda Rasul e, lalu beliau bersabda kepada mereka yang akan masuk ke dalam api: “Jika kalian masuk ke dalamnya, maka kalian akan seperti itu selamanya hingga datang hari kiamat.” Sedangkan kepada yang lain beliau bersabda: “(Kemudian rawi menyebutkan sabda Nabi di atas).” Tambahan itu milik Ath-Thayalisi, sedangkan susunan kalimat selebihnya yaitu milik Imam Muslim.”

Oleh sebab itu jika atasanmu ,ortumu ,suamimu menyuruhmu membuat sesuatu yang menyalahi atauran agama jangang sekali- kali mentaatinya walau kamu disumpah atau didoakan olehnya ,atau bahkan misalnya ortu berkata "kalau kamu tidak melaksankannya (yakni maksiat itu)ku haromkan air susuku yang perna kamu minum waktu kamu masih bayi"

Wallohu'alam....

Penulis Suniy Ahmad


Senin, 29 Juli 2013

(Unik)Pemandanga Unik Saat Siput Babi Melepasi Seekor Katak

Bismillahirrohmaanirrohim

 
Menakjubkan! Saat Siput Babi Melepasi Seekor Katak (6 Foto)
Shah | July 11, 2013 | 0 Comments

Menakjubkan! Saat Siput Babi Melepasi Seekor Katak (6 Foto) | Melihat saat siput babi bergerak memang memenatkan. Ini kerana pergerakan siput dikatakan di antara paling lambat di dunia. Namun begitu, siput juga mampu bergerak ke satu tempat-tempat sama ada dalam keadaan menegak mahupun senget. Gambar di bawah ini pula merupakan satu gelagat seekor siput babi yang sedang cuba merentasi seekor katak yang sedang tidur. Tidak pasti berapa lamakah yang diambil olehnya untuk berjaya melepasi katak tersebut. Jom kita saksikan di bawah ini.
katak1

katak2

katak3

katak4

katak5

katak6

Beberapa masalah sekitar Haidh

Bismillahirrohmaanirrohim

Para Ibu yang terhormat disini kami akan menjawab permasalahan Anda dalam urusan Haidh yang lebih dari kebiasaan, terlebih dahulu saya tuliskan ibarat dari kitab At-Tadzhib syarah dari kitab matan Al-Ghoyah wat Taqrib sebagai berikut:

فَالحَيْضُ هُوَ الدَمُ الخاَرِجُ مِن فَرْجِ المَرْأَةِ عَلَى سَبِيِل الصِّحَّةِ مِنْ غَيْرِ سَبَبِ الوِلاَدَةِ وَلَونُهُ أسْوَدُ مُحْتَدِمٌ لَذَّاعٌ

Haid itu adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita berdasarkan jalan kesehatan, tanpa sebab melahirkan. Dan warnanya kehitam-hitaman, terasa panas dan diikuti mual-mual pada perut.

رَوَى أبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُبَيْسٍ أنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُ e: إذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإنَّهُ دَمٌ أسْوَدُ يُعْرَفُ فَإذَا كَانَ ذَلِكَ فَأمْسِكِى عَنْ الصَّلاةِ فَإِذَا كَانَ الأَخَرُ فَتَوَضَئِ فَإنَّما هُوَ عِرْقٌ.

Imam Abu Dawud dan lainnya telah meriwayatkan dari Fatimah binti Abi Hubaisy, bahwa dia sedang istihadlah (pendarahan karena penyakit) kemudian Nabi Muhammad saw bersabda kepadanya:?Jika darah haid maka darah itu kehitam-hitaman yang telah dikenal para wanita. Jika darah itu demikian, maka tahanlah dirimu dari melakukan salat dan jika warna tidak demikian maka berwudlulah dan bersalatlah, karena darah tersebut adalah cucuran darah.?

وَأَقَلُّ الحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَأكْثَرُه خَمْسَةَ عَشَرَ يَوُمًا وغَالِبُهُ سِتٌّ اَو سَبْعٌ.

Haid itu paling sedikit adalah sehari semalam, dan paling lama adalah lima belas hari sedang umumnya adalah enam atau tujuh hari.

Berdasarkan dalil diatas, maka dapat kita ketahui bahwa:
1.Darah yang keluar lebih dari 15 hari meskipun warnanya kecoklat-coklatan umpamanya, maka yang lima belas hari dihukumi darah haid, sedang selebihnya dihukumi darah istihadlah/penyakit.

2.Tidak semua darah yang keluar dari kemaluan wanita dihukumi darah haid, terutama yang berwarna merah atau kuning jambon.

3.Jika darah yang keluar itu adalah darah haid (warna kehitaman atau kecoklatan, keluar terasa panas dan terkadang diikuti perut terasa mual dan tidak lebih dari lima belas hari), maka Anda tidak boleh melakukan salat, dan otomatis puasa yang Anda lakukan menjadi batal.

4.Jika darah itu keluar kurang dari 15 hari dari masa suci, maka darah tersebut hukumnya adalah darah istihadlah, sebab masa suci itu paling sedikit 15 hari.

5.Bila masa keluar darah selama 15 hari itu dihitung kurang dari 24 jam (sehari semalam), maka hukumnya adalah darah istihadlah.

6.Jika yang keluar itu darah haid, maka setelah suci (berhenti), Anda wajib mandi besar dari haid (bukan mandi junub, karena mandi junub bagi wanita itu antara lain setelah bersenggama) dengan niat sebagai berikut:?saya berniat mandi untuk menghilangkan hadast besar dari haid fardhan lillahi taala.?
Untuk darah yang keluar selain darah haid, maka Anda tidak perlu mandi, tetapi cukup membersihkan darah (cebok-jw) lalu memakai kain pembalut saja, kemudian wudlu dan melakukan salat. Setiap melakukan salat, kain pembalut harus diganti setelah membersihkan darah dan berwudlu.

7.Jika ikut KB dengan cara suntik yang Anda ikuti berakibat masa haid Anda tidak teratur, sebaiknya Anda pindah ke cara lainnya. Misalnya dengan memakai susuk atau minum pil kalau memang tidak membawa akibat yang negatif, asal jangan dengan memakai spiral, karena memakai spiral ini pemasangannya masih dipandang haram oleh para ulama.

Wallohu'alam

Penyusun suni Ahmad

Ref :putralawe.blogspot.com/

Jumat, 26 Juli 2013

Ibnu Sahnun

Bismillahirrohmaanirrohim



Manuskrip kitab Adab Al-Mu'allimun karya Ibnu Sahnun

Ibnu Sahnun ialah seorang ulama’ ahli fiqh dan pendidik yang ahli. Dia dilahirkan pada 202 H. Nama penuhnya ialah Muhammad bin Sahnun. Sejak kecil, Ibn Sahnun sudah menunjukan kecerdasannya dalam belajar.

Ayahnya, Abi Said Sahnun, merupakan guru pertamanya dan sangat memahami watak dan keperibadian Ibn Sahnun. Dia belajar al-Quran dengannya dan berbahas dengan ayahnya. Dalam usia muda beliau telah menelaah beberapa buku karangan ayahnya.  Perhatian ayahnya terlihat dari yang ditulis beliau kepada gurunya ketika ingin menghantar Ibn Sahnun ke Kuttab (sekolah al-Quran). Ayahnya benar-benar mempersiapkan Ibn Sahnun secara intelektual dan akademik. Selain itu keadaan sosial di kawasan-kawasan Qairawan pada saat Ibn Sahnun lahir, sangat menunjang pengembaraan intelektualnya.

Abad ke-2 H, wilayah Afrika utara sangat terkenal di seluruh dunia akan kemajuan ilmu pengetahuannya. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya ilmuwan dari wilayah timur yang berhijrah ke barat, iaitu Maghribi, Qairawan, Andalusia, dan lain-lain.

Buku-buku pengetahuan banyak ditulis dan diterbitkan, universiti memainkan peranan utamanya dalam pencarian ilmu pengetahuan, institut/sekolah teknik dan vokasional banyak didirikan yang mengajar perubatan, matematik, kimia, bahasa, seni rupa, astronomi dan terjemahan.

Ramai ulama’ menyanjungi Ibnu Sahnun. Dia dikenali dengan sifat zuhud, warak rendah hati disamping menguasai ilmu fiqh dan agama. Ibnu Sahnun juga tidak melupakan bidang penulisan dalam berbagai ilmu, dia seorang yang banyak menulis dan mengarang dalam semua bidang ilmu yang kesemuanya hampir mencecah 200 buah buku. Walau bagaimanapun hanya dua buah buku karya Ibnu sahnun yang sampai ke tangan kita pada hari ini, iaitu kitab Adab Al-Muallimin dan kitab Ajwibah.
Adab al-Mu’allimin Karya Terkenal Ibnu Sahnun

Karya Ibnu Sahnun Adab Al-Muallimin adalah buku pertama yang dikenal dalam pendidikan Islam dan banyak dikutip oleh para tokoh pendidikan Islam sesudahnya seperti Al-Qabisi dan dijadikan rujukan utama oleh Ahmad Fu’ad Al Ahwani dalam bukunya.

Pemikiran-pemikiran Ibnu Sahnun dalam kitab tersebut telah menjelaskan berlangsungnya pendidikan Islam di ‘al-Kuttab’ mirip dengan Madrasah Ibtidaiyah (rendah) saat ini, berpandukan kepada al-Quran dan as-Sunnah.

Adanya pemahaman di tengah masyarakat, bahawa pendidikan Islam adalah pendidikan yang hanya mementingkan kepada akhirat semata-mata tanpa mementingkan dunia sama sekali. Sebagai renungan penulis buku ini menyatakan mengenai perbincangan pendidikan Islam dan tokoh-tokohnya yang telah lama terabai, apalagi ketika barat mencengkamkan kakinya di negeri-negeri Islam.

Hasilnya idea-idea pendidikan barat lebih dominan dan berperanan menggantikan pendidikan Islam, yang terkadang tidak ada hubungannya dengan ajaran-ajaran Islam bahkan bercanggah sama sekali. Ibnu Sahnun telah berjaya melahirkan gagasan-gagasan besar dalam bidang Pendidikan Islam yang masih releven sehingga hari ini.

Pemikiran Ibnu Sahnun tetang pendidikan Islam terhimpun dalam buku pertamanya iaitu kitab Adab al-Mu’allimin (Adab Para Pendidik) yang telah direalisasikan dan dilaksanakannya di al-Kuttab. Ianya bertujuan untuk  melahirkan lulusan al-Kuttab yang memahami dan mendalami agama di samping memiliki wawasan yang luas dan menguasai ilmu-ilmu keduniaan dan kemahiran. Pemikirannya lebih cenderung kepada al-Tarbiyyah al-Fiqhiyyah (pendidikan yang bercorak fiqh) dengan maksud memberikan penekanan kepada ilmu-ilmu agama.

Ibnu Sahnun telah memberikan perhatian terhadap pendidikan yang berlangsung di Kuttab dengan memberikan beberapa penekanan terhadap unsur-unsur penting dalam dunia persekolahan seperti disiplin anak didik, pengendalian bilik darjah, peranan ketua darjah dan kaedah pengajaran. Sistem pendidikan dalam bentuk sekolah telah wujud di zamannya dan bertebaran di seluruh negeri Maghribi.
Pandangan Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran oleh Ibnu Sahnun

Sumbangan Ibn Sahnun bagi pendidikan sangatlah banyak terutama dalam hal metodologi pengetahuan dan penyelidikan. Dia merupakan ilmuwan muslim pertama yang merangka teori pendidikan. Berkat bukunya yang berjudul Adab al-Mu’allimun (Adab Seorang Pendidik), maka sejak saat itu pendidikan menjadi disiplin ilmu tersendiri kerana buku tersebut merupakan buku pertama yang membahas secara khusus mengenai teori pengajaran dan pembelajaran. Ibn Sahnun mampu mengintegrasikan isu pendidikan yang berbeza-beza yang berkaitan dengan ibu bapa, ahli akademik, komuniti, pemimpin dan para pendidik yang peduli pada masanya.

Ibnu Sahnun menaruh perhatian mendalam terhadap peranan guru dalam pendidikan. Dia tidak menafikan peranan elemen pendidikan yang lain, tetapi baginya, guru merupakan elemen terpenting yang harus diprioritikan kerana guru merupakan wakil orang tua. Guru harus mencurahkan segenap perhatiannya kepada murid dan harus terlibat secara penuh walau tetap harus memperhatikan batas-batasnya agar murid tidak merasa dikawal secara ketat oleh guru. Oleh kerana itu kesejahteraan guru harus sangat diperhatikan sehingga mereka tidak perlu mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi keperluan hidupnya.

Dia membuat kelayakan yang harus dipenuhi seseorang apabila ingin menjadi profesion seorang guru seperti kelayakan akademik, hafal al-Quran dan mampu membacanya dengan baik, mempunyai pemahaman tentang fiqh Islam, tatabahasa arab, kaligrafi dan lain-lain. Selain itu seorang guru harus mempunyai perilaku Islami, jujur, soleh, bertanggung jawab terhadap anak didiknya bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat nanti. Seorang guru harus mempelajari psikologi anak murid dan melayan setiap anak dengan istimewa dan tidak melakukan kekerasan terhadap anak murid secara fizikal ataupun mental dengan kata-kata kasar dan kejam. Ibn Sahnun berpendapat pelaksanaan disiplin bagi pelajar tidak bermula dengan hukuman fizikal. Walaupun demikian dia tidak mengharamkan penggunaannya tetapi menetapkan saiz dan kesan dari alat yang dibenarkan untuk digunakan dalam hukuman fizikal serta frekuensinya.

Dalam hal pengurusan kelas, Ibn Sahnun memberi kebebasan bagi guru agar tidak terpaku dengan aktiviti di dalam kelas. Guru mengajak anak didiknya beraktiviti di luar kelas, berinteraksi dengan persekitaran dan alam sekitar serta memantau perilaku mereka di tengah masyarakat. Guru harus mempersiapkan bahan-bahan pengajaran dan peralatan penunjang kegiatan belajar mengajar sebelum memulakan pelajarannya. Menurutnya, seorang guru tidak boleh memerintahkan murid membawakan bahan-bahan yang dia lupa persiapkan ke dalam kelas. Menurut Ibnu Sahnun, penunjuk kejayaan seorang guru boleh dengan mudah dilihat dari tingkat pemahaman seorang pelajar terhadap mata pelajaran.

Ibn Sahnun memberi pandangannya mengenai kurikulum belajar anak. Dia menggabungkan pelajaran al-Quran dengan amalan langsung dari teks yang telah dipelajari. Guru harus menunjukan kepada anak bagaimana mempersiapkan diri ketika solat waktu terutama ketika mereka telah mencapai usia tujuh tahun, seperti membersihkan diri sendiri, berwudhu dan bagaimana solat dengan khusyuk. Pengajaran solat waktu semestinya dapat membantu pelajar memahami ibadah wajib dan sunnah dan mampu beribadah dengan penuh pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Taala.

Al-Quran merupakan pengetahuan yang wajib dipelajari bagi setiap pelajar. Dalam pengajaran al-Quran hendaknya diajarkan akar kata serta asal katanya sehingga dapat memberikan gambaran secara menyeluruh kepada pelajar dan bukan pemahanan separa. Guru harus mengajar pengetahuan tambahan di antaranya matematik, puisi, bahasa arab, pidato dan sejarah. Ibn Sahnun membuka pintu seluas-luasnya bagi guru dan orang tua untuk mengajarkan apa saja kepada anak sepanjang hal tersebut dapat membantu perkembangan mental, sosial dan pendidikannya.

Selain itu, salah satu kemahiran penting yang lain yang dicadangkan oleh Ibn Sahnun untuk dipelajari adalah seni berpidato sehingga pelajar mampu melakukan debat dan menunjukan pandangan berbeza dan mendedahkan ideanya melalui bukti dan contoh yang ada. Hal tersebut disahkan oleh Ibn khaldun. Menurutnya, terjadinya penurunan kemampuan sains dan akademik di kawasan-kawasan Ifriqiah (dan wilayah Afrika yang lain), Maghribi dan (Sepanyol) kerana guru tidak mengajarkan seni berpidato sehingga pelajar hanya mampu menghafal dan mengulangi apa yang mereka tahu.
Aku Tidak Merasakannya

Dalam kitab Tartibul Madarik disebutkan, al-Maliki mengatakan:
Muhammad ibnu Sahnun pernah memiliki hamba sahaya wanita yang bernama Ummu Quddam. Suatu saat, ia berada di rumah Ibnu Sahnun seharian, sedang dia saat itu sedang sibuk mengarang kitab sampai malam. 
Ketika waktu makan datang, Ummu Quddam meminta agar Ibnu Sahnun istirehat untuk makan. Namun, Ibnu Sahnun menjawab, “Aku masih sibuk.”Akhirnya, kerana tidak kunjung memakan makanan yang dihidangkannya, Ummu Quddam pun menyuapinya dan dia terus mengarang kitab. Dan tidak terasa, azan solat Subuh pun berkumandang. Ibnu Sahnun berkata, “Semalam aku telah mengabaikanmu, Ummu Quddam. Sekarang, berikan apa yang ada padamu.” Ummu Quddam menjawab, “Demi Allah, aku sudah menyuapimu.” Ibnu Sahnun menjawab, “Tapi, kenapa aku tidak merasakannya?”
Kematiannya


Ibnu Sahnun meninggal dunia pada 261 H/875 M.

http://tajdidjiwa.blogspot.com/

Senin, 22 Juli 2013

Memakai peci menurut syariat Islam

Bismillahirrohmaanirrohim

Dibawah ini saya akan menjelaskan hukum memakai peci menurut syariat Islam
Diantaranya : Ibn Umar ra jika berwudhu ia mengangkat pecinya dan membasahi rambutnya (Sunanul Kubra oleh Imam Albaihaqi)

Dari Said bin Abdillah bin Dhirar ra berkata : Aku melihat anas bin Malik keluar dari kakus dengan peci putihnya, lalu mengusap pecinya. (Mushannif Ibn Abdurrazzaq)

Berkata Hisyam bin Urwah ra, kulihat Zubair ra melakukan tawaf dan ia memakai peci (Akhbar Makkah oleh Imam Al Faakihiy)

Khalid bin Walid ra dalam peperangan Yarmuk, lalu ia mencari cari pecinya, dan tidak kunjung jumpa, maka peperangan berlangsung dan ia terus mencari pecinya hingga ia menemukannya, dan peci itu sudah usang, ia berkata : Aku hadir saat Rasul saw mencukur rambutnya, dan kutaruh sehelai rambut beliau saw dipeci ini, dan sejak itu aku selalu menang dalam peperangan (Ma'jamul Kabir oleh Imam Attabraniy)

Rasul saw menceritakan kemuliaan dan tingkatan para syuhada, lalu beliau mengangkat kepala beliau saw dan terjatuh peci beliau saw dari kepalanya (Musnad Ahmad dan Sunan Imam Tirmidziy)

berikut hadits bahwa Rasul saw memakai imamah (sorban di kepala:

1. dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain).

2. dari Ibnul Mughirah ra, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw mengusap kedua khuffnya, dan depan wajahnya, dan atas surbannya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

3. para sahabat sujud diatas Surban dan kopyahnya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).

4. Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

Dan masih belasan hadits shahih meriwayatkan tentang surban ini, mengenai hadits hadits dhoif yg mereka katakan tentang kemuliaan surban, seandainya kesemua hadits itu tidak ada, cukuplah hadits Nabi saw : "Barangsiapa yg tak menyukai sunnahku maka ia bukan golongangku" (Shahih Bukhari).

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,


Wallahu a'lam

Penyusun Suniy Ahmad

Ref : carauntuk.com/

Sabtu, 20 Juli 2013

Jokowi-Ahok Akan Bedah Rumah Kumuh Warga Jakarta

Jokowi-Ahok Akan Bedah Rumah Kumuh Warga Jakarta

Oleh Andi Muttya Keteng
Posted: 21/07/2013 10:30

Jokowi-Ahok Akan Bedah Rumah Kumuh Warga Jakarta












Gubernur Jakarta Joko Widodo dan Wakilnya Basuki Tjahaja (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta : Warga Jakarta yang tinggal di rumah kumuh boleh berbahagia. Sebab Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta atas instruksi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan melakukan bedah rumah kumuh di 5 kotamadya Jakarta tahun 2013 ini.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI tentang Penataan Kampung Kumuh Tersebar di 5 Wilayah Kota, penataan kampung kumuh yang merupakan janji Jokowi-Ahok ini akan dilakukan pada 27 titik di 5 kotamadya Jakarta.

27 Lokasi tersebut, yaitu, untuk Jakarta Pusat penataan, dilakukan di Petojo, Kemayoran, Galur, Tanah Tinggi, Karang Anyar, Bungur, Cempaka Putih, Kebon Sirih, Bendungan Hilir, dan Utan Panjang. Kawasan Jakarta Barat, kampung deret akan dibangun di Tambora, Kali Anyer, dan Kapuk.

Untuk wilayah Jakarta Utara, penataan kampung kumuh dilaksanakan di Tanjung Priok, Semper Barat, Tugu Utara, Cilincing, Pejagalan, Marunda, dan Pademangan Timur.

Lalu, di Jakarta Selatan, bedah rumah kumuh akan dilaksanakan di Petogogan, Gandaria, dan Pasar Minggu. Di Jakarta Timur, kampung kumuh yang ditata nantinya berlokasi di Klender, Jatinegara, Cipinang Besar Selatan, dan Pisangan Timur.

Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta, Yonathan Pasodung, menyatakan, pihaknya sedang melakukan survei kepemilikan hunian pada 27 lokasi yang ditetapkan sebagai deret penataan kampung (kampung deret).

"Rumah-rumah itu kan by name by address. Jadi tidak boleh salah menyalurkan bantuan sosial untuk rumahnya. Dilakukan survei, itu rumah siapa dan alamatnya di mana," kata Yonathan saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (21/7/2013).

Kemudian, hasil dari survei tersebut akan dievaluasi oleh tim evaluasi walikota di masing-masing wilayah. Setelah itu walikota mengeluarkan surat penerimaan bantuan sosial dalam bentuk 1 nama untuk 1 alamat.

Yonathan mengatakan, dalam pelaksanaan penataan kampung kumuh itu, 5 suku dinas perumahan setiap wilayah akan mengerjakan sarana umum, seperti perbaikan jalan, saluran air, dan pelebaran jalan.

Sedangkan untuk penataan rumah akan dilakukan sendiri oleh si pemilik rumah. Pemprov DKI nantinya hanya memberikan bantuan sosial berupa dana yang disesuaikan dengan luas bangunan.

"Warga akan serentak memperbaki rumahnya. Sifatnya renovasi bukan pembangunan rumah. Ya, seperti bedah rumah. Tujuannya untuk penataan kampung dari kumuh menjadi tidak kumuh. Kita lagi data rumah yang akan direnovasi," jelas Yonathan.

Mengenai anggaran, Dinas Perumahan DKI akan melakukan pengukuran luas rumah warga terlebih dulu. Bila luasnya di bawah 36 meter, bantuan sosial yang diberikan ke warga sebesar Rp 1,5 juta per meter atau totalnya Rp 54 juta per rumah. (Riz/Yus)


http://news.liputan6.com/

Rusia "pulangkan" tikus dan kadal air dari luar angkasa

Bismillahirrohmaanirrohim


Minggu, 19 Mei 2013 22:34 WIB | 8362 
Moskow (ANTARA News) - Kapsul buatan Rusia berisi 45 tikus dan 15 kadal air serta sejumlah hewan kecil lain tiba di bumi pada Minggu setelah menjalani tugas ke luar angkasa selama satu bulan.

Data dari misi tersebut diharapkan mampu mewujudkan penerbangan manusia ke planet Mars pada suatu saat nanti.

Pusat Kendali Misi Rusia mengatakan kapsul yang bernama Bion-M itu mendarat dengan mulus berkat bantuan sistem parasut khusus di wilayah Orenburg Rusia, yang berjarak sekitar 1.200 kilometer di tenggara Moskow.

Kapsul itu juga membawa siput dan tikus gurun serta sejumlah tanaman dan tumbuhan mikro. Tidak ada keterangan tentang berapa banyak hewan yang bertahan hidup setelah menjalani misi itu.


Kepala Departemen Pusat Riset Antariksa TsSKB-Progress, Valery Abrashkin, mengatakan bahwa misi tersebut dimulai pada April guna mempelajari bagaimana cara tubuh bekerja dalam beradaptasi di lingkungan yang kurang gravitasi.

Laboratorium riset lapangan telah dipasang di dekat tempat kapsul tersebut mendarat guna memeriksa bagaimana respon hewan-hewan itu setelah menjalani penerbangan ke antariksa dan kembali ke Bumi.

Para ilmuwan mengatakan hewan-hewan itu diperlukan karena mereka merupakan subjek dari percobaan yang tidak mungkin dilakukan terhadap manusia yang saat ini bekerja di Stasiun Antariksa Internasional (ISS).

Mereka menjelaskan bahwa menempatkan sebuah penampungan hewan kecil di ISS selama sebulan akan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan bagi para pekerja di sana.

Kapsul Bion-M itu telah melintasi orbit pada jarak 575 kilometer di atas Bumi.

Rusia telah lama berambisi untuk mengirimkan misi ke Mars dan kini menargetkan tahun 2030 sebagai tahun pembangunan pangkalan di Bulan untuk penerbangan ke planet merah itu.

Tetapi beberapa masalah belakangan ini, termasuk kegagalan memalukan pengiriman satelit penelitian Moskow ke Mars tahun lalu, telah membuat program luar angkasa Rusia semakin dipertanyakan kelanjutannya, demikian AFP. (P012/B002)
Editor: Tasrief Tarmizi

COPYRIGHT © 2013

http://www.antaranews.com

Apakah Ilham Itu

Bismillahirrohmaanirrohim

pengertian ilham Apakah Ilham Itu? Dalam Al-Qur’an disebutkan dalam bentuk fi’il madhi (kata kerja lampau) yaitu dalam QS Asy-Syams 7-8 : “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, lalu IA meng-ILHAM-kan kepadanya jalan keburukan dan ketaqwaannya.” Dalam Al-Mu’jam [2] disebutkan makna ayat tersebut : “ALLAH menanamkan dalam jiwa itu perasaan yang dapat membedakan antara kesesatan dan petunjuk.” Makna ini didasarkan oleh riwayat mufassir terdahulu seperti Mujahid dll tentang makna ayat ini. Mungkin dimasa sekarang orang biasa menyebutnya sebagai dhamir (hati nurani). Di dalam kamus Al-Muhith, disebutkan: “ALLAH mengilhamkan padanya kebaikan, yaitu IA mengajarkannya kepadanya.” Adapun pen-syarah kitab Al-Muhith yaitu Az-Zubaidi [3] mengatakan: “Ilham ialah apa-apa yang diletakkan dalam hati dalam bentuk yang melimpah dan khusus dengan sesuatu yang datangnya dari ALLAH atau dari para Malaikat.” Dikatakan pula: “Meletakkan sesuatu di dalam hati, yang karenanya hati menjadi tentram dan hal itu dikhususkan oleh ALLAH bagi para hamba yang dikehendaki-NYA.” Di dalam Lisanul Arab [4] disebutkan: “Ilham ialah bahwa ALLAH menanamkan di dalam jiwa seseorang sesuatu yang dapat mendorongnya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan ia termasuk jenis wahyu yang dengannya ALLAH mengkhususkan siapa saja yang dikehendaki-NYA diantara hamba-hamba-NYA.” Di dalam Syarh Aqidah Nasafiyyah [5] disebutkan: “Ilham adalah menanamkan sesuatu dalam hati secara melimpah.” Sedangkan di dalam At-Ta’rifat [6] dikatakan: “Ilham adalah apa yang ditanamkan di dalam hati dengan cara yang melimpah.” Sementara di dalam An-Nihayah [7] dikatakan : “Ilham ialah bahwa ALLAH meletakkan di dalam jiwa seseorang perintah yang membangkitkannya untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dan hal itu termasuk jenis wahyu yang dikhususkan oleh ALLAH kepada siapa saja yang dikehendaki-NYA diantara para hamba-NYA.” Sementara itu dalam bab had-da-tsa ia menyitir sebuah hadits shahih [8]: “Sungguh telah ada pada ummat-ummat terdahulu para muhaddatsun, dan jika ada seseorang dari ummatku, maka ia adalah Umar bin Khattab.” Kemudian ia berkata [9]: “Penafsiran dari hadits ini ialah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang diberikan ilham & orang yang diberikan ilham adalah orang yang dalam dirinya diletakkan sesuatu lalu dengannya ia diberi tahu tentang suatu perkiraan atau suatu firasat. Hal ini semacam sesuatu yang dikhususkan oleh ALLAH kepada siapa saja yang dikehendaki-NYA dari para hamba yang dipilih-NYA, misalnya Umar, seolah-olah disampaikan pembicaraan kepada mereka lalu mereka mengatakannya.” Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa: Ilham adalah penyampaian suatu makna, pikiran atau hakikat di dalam jiwa atau hati – terserah mau dinamakan apa saja – secara melimpah. Maksudnya ALLAH SWT menciptakan padanya ilmu dharuri yang ia tidak dapat menolaknya, yaitu bukan dengan cara dipelajari akan tetapi dilimpahkan ke dalam jiwanya bukan karena kemauannya. Perbedaan ilham dan tahdits menurut Imam Ibnul Qayyim [10] bahwa tahdits sifatnya lebih khusus dari ilham, berdasarkan hadits Bukhari tentang Umar ra di atas, sehingga setiap tahdits adalah ilham tapi tidak setiap ilham adalah tahdits. Seorang mu’min (manusia yang mukallaf) akan diberikan ilham sesuai taraf keimanannya kepada ALLAH SWT, seperti disebutkan dalam ayat-ayat: وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa: Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS Al-Qashshash, 28/7) وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آَمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آَمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ “Dan (ingatlah), ketika AKU ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)”. (QS Al-Ma’idah, 5/111) Dan bisa juga diberikan kepada makhluk yang tidak mukallaf, sebagaimana dalam firman-NYA yang lain; وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ “Dan RABB-mu mewahyukan kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia.” (QS An-Nahl, 16/68) Ilham, Kasyaf, Mimpi, dan Firasat Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Syari’at Kesepakatan para ulama ushul bahwa ilham, firasat, mimpi dan kasyaf, semuanya itu adalah bukan hujjah syari’at baik dalam masalah amal dan ibadah apalagi dalam masalah i’tiqad (aqidah). Para ulama ushuluddin dan ushul fiqh telah ijma’ dalam masalah ini, mereka menolak orang yang menganggapnya sebagai hujjah dan menolak segala sesuatu yang didasarkan kepadanya. An-Nasafi [11] berkata: “Menurut ahlul-haqq ilham itu bukanlah salah satu sebab dari sebab-sebab untuk mengetahui kebenaran sesuatu.” Imam Abu Zaid ad-Dabusi salah seorang ulama Hanafiyyah berkata : “Ijma’ ulama bahwa ilham tidak boleh diamalkan, kecuali jika pada hal yang mubah yang tidak terdapat sama sekali dalil syari’ah tentangnya. Jadi bolehnya mengamalkan ilham terikat dengan 2 hal: 1) Hendaklah tidak ada dalil syari’ah dalam masalah tersebut, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan dalil-dalil lain yang diperselisihkan. 2) Hendaknya hal itu dalam hal-hal yang mubah, sedangkan dalam masalah yang wajib, haram, makruh dan sunnah maka tidak dapat disandarkan kepada ilham seorang mulhim maupun kasyaf seorang kasyif.” Imam Asy-Syathibi [12] lebih rinci berkata: “Di antara contohnya jika seorang Hakim yang telah mendengar kesaksian 2 orang saksi yang adil, lalu Hakim tersebut bermimpi Nabi SAW berkata bahwa kedua saksi itu tidak adil, maka mimpi itu harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip syariat. Demikian pula jika seseorang mendapat kasyaf atau firasat bahwa air yang akan dipakainya berwudhu’ adalah najis, padahal berdasar fakta air tersebut tidak najis, maka iapun tidak boleh meninggalkan air itu dalam keadaan apapun. Semua ini didasarkan dalil shahih dari nabi SAW: عَنْ زَيْنَبَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ مِنْهُ Dari Zainab ra dari Ummu Salamah ra: Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara padaku, dan boleh jadi sebagian kalian lebih pandai berargumentasi dibanding yang lain, maka aku putuskan perkaranya sesuai dengan apa yang kudengar darinya… [13]” Demikianlah – lanjut Imam Asy-Syathibi rahimahuLLAAH – bahwa RasuluLLAAH SAW mengambil keputusan berdasarkan bukti & fakta dan memerintahkan kita juga berbuat demikian, padahal banyak hal-hal yang beliau telah lebih dulu mengetahui permasalahannya ataupun hakikat kebatilannya, tapi beliau SAW tidak menghukumi kecuali berdasar bukti dan fakta, bukan berdasar hakikat yang telah beliau SAW ketahui sebelumnya [14].” Sebagai contoh, Nabi SAW mengetahui rahasia orang-orang munafiq berdasarkan apa yang telah dibukakan ALLAH SWT padanya, tapi beliau SAW tetap menghukumi mereka berdasarkan lahiriah mereka dan baru bersikap tegas dan meluruskan jika telah ada pelanggaran terang-terangan dari mereka. Bahkan ketika para sahabat ra (yang juga telah membaca gelagat ketidakberesan isi hati para munafiqin tersebut berdasarkan firasat -pen) ingin memperlakukan orang-orang munafiq tersebut seperti orang kafir, maka Nabi SAW bersabda: “Aku kuatir manusia akan berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” Demikianlah, beliau SAW tetap memperlakukan mereka seperti yang lainnya, berdasarkan zhahir dan bukan berdasarkan batin dan hal yang ghaib, maka kita tidak diperintah untuk membelah hati manusia untuk mengetahui hakikatnya. Jika terhadap firasat seorang mu’min saja tidak dapat menjadi hujjah syar’iyyah untuk menetapkan benar dan salah, halal dan haram, bahkan sekedar hukum makruh dan sunnah, apalagi berbagai kisah khurafat yang dituturkan oleh seorang kafir musyrik yang dipakai untuk menentukan kebenaran aqidah?! Inna liLLAAHi wa inna ilayhi raji’uun… Fa’tabiruu ya Ulil Abshaar… WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab… Catatan Kaki: [1] Disarikan dr kitab Syaikh Al-Qaradhawi berjudul Mauqif al-Islam minal Ilham wal Kasyf war Ru’a wa minat Tama’imi wal Kahanah war Ruqa’, Maktabah Wahbah, 1415-H, Al-Qahirah Mishr. [2] Al-Mu’jam Alfaazhil Qur’anil Karim, Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah [3] Tajul Arus, bab (Khat) [4] Lisanul Arab, bab (Khat), definisi ini diambil dari kitab An-Nihayah, yang disusun oleh Ibnul Atsir [5] Syarh al-’Aqa’idun Nasafiyyah, At-Taftazani, beserta kedua hasyiyyah-nya, hal. 41, Musthafa Al-Halabi [6] At-Ta’rifat, Al-Jurjani, hal. 57, Tahqiq oleh DR AbduRRAHMAN ‘Umairah, Alamul Kutub Bairut [7] An-Nihayah fii Ghariibil Hadiitsi wal Atsar, Ibnul Atsir, bab La-ha-ma, IV/282, Isa Al-Halabi [8] HR Bukhari, XI/288 no. 3210 & Muslim, XII/118 no. 4411 [9] An-Nihayah, I/350 [10] Madaarijus Saalikiin, I/44-45 [11] Al-Aqa’idun Nasafiyyah, beserta syarh-nya, hal. 41, Musthafa Al-Halabi [12] Al-Muwaafaqaat, Asy-Syathibi, II/266-268 [13] HR Muslim, bab “Menghukumi dengan Zhahirnya dan Memutuskan dengan Hujjah”, IX/102 no. 3231; hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, IX/176 no. 2483.

Original Post at: http://hadis-rasullullah.blogspot.com/2012/05/pengertian-ilham.html

REF :http://hadis-rasullullah.blogspot.com/

Tiga Jenis Do'a

Bismillahirrohmaanirrohim


Tiga Jenis Do'a
Menurut Syek Akkbar  Muhyidin Ibnu Arabi, permintaan kepada Allah itu ada tiga macam: dengan ucapan (billafdi), dengan tindakan (bil hal) dan dengan isti'dad (kesiapan). Menurut Ibnu Arabi, ketiganya adalah merupakan tiga jenis do'a kepada Allah. Nah, sekarang bagaimana mengatur posisinya?

Menurutnya, ketika kita punya hajat kepada Allah, yang harus didahulkukan adalah berdoa dengan hal (tindakan) . Lalu kemudian disusul dengan persiapan (isti'dad). Baru terakhir dengan lisan. Meminta dengan lisan inilah yang secara konvesi disebut do'a. Meski berdo'a dengan lisan harus disimpan di akhir ikhtiar, tapi derajatnya sangat tinggi. Berdoa dengan lisan merupakan puncak tertinggi kerohanian.

Sebagai ilustrasi, penulis gambarkan sebagai berikut. Misalnya kita bercita-cita ke Mekkah (haji). Pertama yang mesti dilakukan adalah bekerja. Dagang, buruh, tani, dll. Ini yang dimaksud berdo'a dengan tindakan. Kedua, ita menabung. Misalnya kita habiskan  rokok 2 bungkus perhari, seharga 20.000. Lalu yang sebungkus kita tabung. Hasail tabungan itu dalam setahun mencapai 3.600.000. Itu artinya cukup untuk DP haji. Maka dalam jangka 10 tahun kita sudah bisa ke Mekkah. Proses nabung ini dinamakan dengan isti'dad.

Yang seringkali di kalangan  masyarakat, mengartikan doa sebatas pada lisan. Implikasinya, seorang muslim menjadi pemalas dan pengangan-angan. Kurang rajin bekerja. Pada menurut Ibnu Arabi, sesengguhnya berdoa dengan lisan tidak punya dampak (la atsaro laha). Padahal yang semestinya adalah berdoa terlebnioh dahulu denmgan tindakan dan kesiapan, baru berdoa dengan lisan. Kalau kita sebatas pada lisan, kita tidak lebih berangan-angan (Ibnu Arabi, Fushus al-Hikam hal. 202).
 
Ref  :http://kimsinstitute.blogspot.com/

Jumat, 19 Juli 2013

Ibnu Taymiyah membungkam wahabi albani : Bolehnya Dzikir menggunakan Tasbih (batu /simpul tali)

Bismillahirrohmaanirrohim

Perbedaan Pendapat Antara Ibn Taymiyyah yang Memandang Baik Penggunaan Tasbih dan al-Albani yang Memandangnya sebagai Bid'ah Sesat



tasbih

Masalah ini termasuk masalah-masalah cabang (furu- 'iyyah) dan bukan termasuk masalah-masalah prinsip akidah (ushul). Saya ingin mengetengahkannya dalam risalah kecil ini. Hal tersebut agar pandangan para penuntut ilmu tertuju pada satu hal, yaitu bahwa sebagaimana pandangan Ibn Taymiyyah, al-Albani dan para propagandis salafi yang lain berbeda pendapat dalam pokok-pokok akidah, mereka juga berbeda pendapat dalam cabang masalah-masalah fiqih. Dengan demikian, setelah itu kita tidak tahu mengapa al-Albani memerangi, memusuhi, mencela, dan me­mandang sesat setiap orang yang bertentangan dengannya dalam masalah apa pun, baik yang kecil maupun yang besar dan berpura-pura lupa pada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah akidah yang terjadi di antara dirinya dan Ibn Taymiyyah. Apa yang mbungkamnya dari penilaian sesat terhadap Ibn Taimiyah sebagaimana menilai sesat lawan-lawannya yang lain dan tidak bersikap ramah kepada mereka seperti sikap ramah kepada Ibn Taymiy­yah yang merupakan sesama aktivis wahabi dan lain-lain. Apakah itusadalah uang yang kem- bali dari proses-proses perniagaan di beberapa negeri yang merindukan Ibn Taymiyyah dan memandangnya sebagai pemimpin para pemimpin, atau apa?

Apakah al-Albani kehilangan keberanian ilmiah dan etika untuk berbicara tentang Ibn Taymiyyah sebagaimana dia berbicara tentang lawan-lawannya yang lain?

Masalah Tasbih

Dalam al-Fatawa (22: 506), Ibn Taymiyyah berkata dalam teks berikut:

"Menghitung tasbih dengan jari adalah Sunnah. Nabi saw berkata kepada kaum perempuan, 'Bertasbihlah dan berhitunglah dengan jari kareni jari itu akan ditanya dan dijadikan bisa bicara.' Adapun menghitungnya dengan biji, kerikil, dan sebagainya adalah baik. Di antara para sahabat, ada yang melakukan hal itu. Nabi saw pernah melihat Ummul mu’minin bertasbih dengan kerikil dan beliau membiarkannya. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah juga bertasbih dengan kerikil."

"Tentang bertasbih dengan benda-benda yang diuntai, dia berkata bahwa itu adalah baik, tidak makruh."

(Kesimpulannya) jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.

As-Syaukani, dalam bukunya Naylul-Awthar:

berkata dalam teks berikut: "Dua hadis yang lain yakni hadis dari Sayyidah Shafiyah dan Sa'ad menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji dan kerikil. Demikian pula dengan tasbih, karena tidak ada perbedaan. Ini berdasarkan tidak adanya larangan Nabi saw. kepada dua perempuan yang melakukan hal tersebut. Menunjuk­kan pada sesuatu yang lebih utama tidak bertentangan dengan bolehnya."

Penolakan Keras Nashiruddin Al-Albani terhadap Tasbih

Al-Albani menganggap tasbih sebagai bid'ah mungkar dan menyebut orang yang menulis buku tentang kesunnahannya adalah termasuk bagian dari mereka. Hal itu dapat Anda temukan dalam ucapan dan takhrij al-Albani terhadap hadits: "Sebaik-baik yang mengingatkan adalah tasbih…" pada jilid 1 bukunya adh-Dhaif (1: 110-117, cetakan lama, dan 1: 184-193 cetakan baru):

“berdzikir dengan biji-bijian tasbih adalah bid’ah/ sesat”

Silakan dipikirkan! Ibn Taimiyah yang merupakan soko guru Wahabi menganggap baik pemakaian tasbih namun al-Albani yang sesama Wahabi menolak keras dengan menganggap berdzikir dengan tasbih adalah bid'ah sesat. Na'udzubillah!. Begitulah dimana-mana yang namanya ajaran sesat itu selalu tidak luput dari kontradiksi, termasuk ulama-ulama (wahabi)-nya sendiri.

Lalu bagaimana Ibn Taymiyyah dan asy-Syaukani tidak disesatkan oleh al-Albani saja?, sementara ulama terkini yang mengatakan kesunnahannya dianggap termasuk ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu? Mengapa ada pemihakan?



Dikutip oleh Tim Sarkub (www.sarkub)
dari al-Maktabah at-Takhashshushiyyah li Radd 'ala al-Wahhabiyah karya Syaikh Hasan Ali Saqqaf

Perang Dunia III

Bismillahirrohmaanirrohim

*Tolong Jangan di abaikan postingan Ini, Karena isi postingan ini sungguh sangat penting untuk masa depan kita semua*
Stockholm - Swedia, Para hacker-hacker TOP Dunia yang PRO dan Membantu sebuah situs kontroversial Wikileaks dalam Mengumpulkan Data-data Intelijen Israel Akhirnya Menemukan Fakta Yang Sangat Membuat Umat Manusia di Dunia harus Waspada.

Isi Data Artikel Tersebut Sebagai Berikut :

"Untuk Pentagon, kami Telah Siap Untuk Memulai Pecahnya Perang Dunia ke-3, Pertama Langkah kita untuk Memicunya adalah dengan Menyerang Iran, Kedua Memprovokasi Korut dan Korsel, Ketiga Memprovokasi India dengan Pakistan,dan terakhir Kita Hancurkan Masjid AL-Aq'sha Lewat Bawah Tanah agar nanti bisa di bangun Haikal Sulaiman untuk di Tempati oleh Sang Juru Selamat kita si mata satu dalam rangka memerintah dunia dan Mempersiapkan diri dari Perlawanan Pasukan panji hitam yang nanti di pimpin oleh 2 orang yaitu Al-Mahdi dan Isa bin Maryam''. (Secara Tidak langsung membenarkan ISLAM, Karena munculnya Imam Mahdi dan Nabi Isa akan turun ke bumi")

Ok admin sediakan versi bahasa inggris :
"For the Pentagon, we are ready to begin World War-3, First Steps we are to trigger it is by attacking Iran, Provoke Both : North and South Korea, Third : Provoking India with Pakistan, and last we destroy Masjid AL-Aq'sha Through the Underground that the future can get up to the Temple of Solomon occupied by our Saviour's eye in order to rule the world and of the Resistance forces Prepare a black banner that later led by two of the Al-Mahdi and Isa bin Maryam"

Rusia pernah membenarkan bahwa perang dunia III Tidak lama lagi dan bukan Tidak mungkin 2-3 Tahun kedepan. Kabarnya Israel sedang berlatih dan bisa dibilang Latihan Militer terbesar demi menyerang Iran.. Tak lain untuk meletuskan perang dunia III. Banyak pihak membenarkan bahwa Perang Dunia III Lebih 'dahsyat' ketimbang perang dunia I ataupun II Kenapa ? Karena Umat Muslim bisa dibilang melawan semua agama, itu maksimalnya, minimal kita akan dipertemukan dengan Zionis Yahudi (baca : Illuminati - Zionist)

Kalau memang Perang Dunia Ketiga akan benar- benar terjadi maka kemungkinan akan menjadi peperangan yang sangat dahsyat melebihi Perang Dunia Pertama ataupun kedua. Bagaimana tidak, perang antara Yahudi dan Islam akan melibatkan hampir seluruh negara di dunia, karena sudah menyangkut pada masalah agama (hampir sama seperti Perang Salib).

Untuk pertama kalinya juga akan menggunakan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal. Israel yang akan selalu didukung oleh sekutu abadinya yaitu AS juga akan mendapat dukungan dari negara kuat seperti Inggris, Jerman dan Italia, Kanada, Australia dan Perancis selain itu juga mendapat dukungan dari sebagian golongan kiri negara-negara Arab dan negara di Asia seperti, Jepang, Korea selatan. Mereka semua akan berhadapan dengan Palestina, Negara anggota OKI dan Liga Arab seperti Arab Saudi, Mesir, Yaman, Pakistan, UEA, Irak, Bahrain dan dukungan dari negara-negara Afrika seperti Tunisia, Aljazair, Libya dan lain-lain. Diharapkan juga Indonesia yang memiliki militer yang cukup kuat ikut berada di blok ini (GAK TAU PEMERINTAH KITA MAU GAK) Negara kuat lain seperti Rusia dan Cina dan Negara yang anti AS seperti Iran, Kuba, Venezuela kemungkinan besar tidak akan secara langsung ikut dalam peperangan, namun akan menunggu untuk masuk ke dalam salah satu blok atau berada pada blok yang baru (netral). Wallahua'lam bishshowab.

Seperti dua perang sebelumnya, perang ini akan melibatkan negara yang diduga kuat berusaha untuk memenangkan dominasi atas dunia. Pada Perang Dunia I, negara ini adalah Jerman. Dalam Perang Dunia II, itu Jerman lagi, bersama dengan Jepang. Tapi di perang terakhir, maka tidak lain adalah AMERIKA SERIKAT.

Apakah Amerika ? Lebih tepatnya admin akan berbicara Zionis yang mendorong Amerika"

Zionis dan banyak para pendukungnya menginginkan kalian percaya terhadap sesuatu yang terburuk, karena mereka ingin menyeret Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia III yang akan merusak negaranya sendiri. Rusia, Cina dan bahkan Pakistan telah mengatakan bahwa mereka akan mendukung Iran.

Sementara itu mengapa Pakistan dibolehkan untuk memiliki senjata nuklir tapi tidak kepada Iran? Mengapa Israel dibolehkan untuk memiliki lebih dari 200 hulu ledak nuklir? Tapi kita tahu bahwa Senjata Pemusnah Massal (WMD) hanyalah merupakan sebuah alasan pembenar untuk melakukan agresi dan perang. Irak merupakan sebuah bukti.

Kita (UMAT MUSLIM) bisa saja menganggapnya perang armageddon.. atau PERANG AKHIR ZAMAN.. atau SAAT YANG TEPAT UNTUK JIHAD.

Perang Armageddon adalah peristiwa pertama sebagai permulaan dari serentetan huru-hara di akhir zaman, pertempuran ini adalah adalah perang penghancuran dan nuklir yang akan memusnahkan sebagian besar senjata-senjata strategis. Setelah itu, alat-alat dan senjata yang dipakai dalam peperangan selanjutnya adalah pedang, panah, dan kuda.

Hal tersebut tidaklah aneh untuk terjadi, karena sudah menjadi Sunnatullah sejak dari kebudayaan-kebudayaan zaman dulu akan adanya kehancuran setelah kejayaan, dan kejatuhan setelah ketinggian. Sedangkan kebudayaan abad ke-20 telah mencapai puncak kreasi dan inovasi dunia, bahkan orang-orang mulai sibuk bicara tentang perang bintang.

Maha Suci Allah, tiada yang akan terjadi setelah puncak ketinggian kecuali kejatuhan dan kehancuran. Armageddon akan berkecamuk di bumi Palestina di mana di sana akan bertemu kumpulan-kumpulan pasukan raksasa.

Penulis :Patih Bathik Madrim
Ref      :http://bathikmadrim.pun.bz/

Kamis, 11 Juli 2013

Masalah solat salat witir 3 rakaat

Bismillahirrohmaanirrohim

Pertanyaan:
Dalam salat witir 3 rakaat, saya perhatikan di masyarakat ada 3 cara dalam pelaksanaannya.

Ketiga rakaat salat witir itu disambung tanpa terlebih dahulu bertasyahhud setelah rakaat kedua. Jadi hanya satu kali pada rakaat ketiga (terakhir) kemudian membaca salam.
Ketiga rakaat salat witir itu disambung seperti cara diatas, tetapi setelah mendapat dua rakaat, mereka terlebih dahulu bertasyahhud kemudian melanjutkan ke rakaat yang ketiga.
Setelah mendapat dua rakaat, mereka bertasyahhud lalu membaca salam, kemudian melanjutkan satu rakaat lagi. Setelah selesai tasyahhud mereka membaca salam.
Dari ketiga cara tersebut, mana yang terbaik untuk kita lakukan?
-
Jawaban:
Dalam pelaksanaan salat witir 3 rakaat, kita diperbolehkan melakukannya dengan memilih salah satu cara tersebut diatas, sebab semuanya memiliki dasar dari Rasulullah Saw.
Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah berkata:

"Dan salat witir itu boleh dilakukan dengan dua rakaat, lalu dilanjutkan satu rakaat lagi dengan tasyahhud dan salam. Sebagaimana boleh dilakukan keseluruhannya dengan dua kali tasyahhud dan satu kali salam. Ia menyambungnya antara rakaat yang satu dengan yang lainnya tanpa bertasyahhud melainkan pada rakaat sebelum terakhir, lalu ia melanjutkan satu rakaat lagi yang terakhir, dan setelah tasyahhud lalu salam. Dan boleh pula dilakukan keseluruhan dengan satu kali tasyahhud dan satu kali salam pada rakaat terakhir. Semuanya itu boleh dan ada dasarnya dari Nabi Saw." (Fiqhus Sunnah, Juz I, halaman 164)
Mengenai cara yang terbaik dari ketiga cara tersebut, para fuqaha memberikan fatwa dan penjelasannya antara lain:

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan:
"Menurut beberapa pendapat para ulama, berkenaan dengan orang yang melaksanakan salat witir 3 rakaat - apakah rakaat yang kedua dipisahkan dengan rakaat yang ketiga melalui baca salam terlebih dahulu? Sebenarnya kami pernah menyinggung perbedaan di antara sahabat-sahabat kami tentang cara terbaik melakukan salat tersebut. Menurut pandangan kami (mazhab Syafii), pendapat yang lebih cocok (shahih) dan utama yaitu dengan cara memisahkannya. Dan itu adalah pendapatnya Ibnu Umar, Mu'adz Al-Qari, Abdullah bin 'Iyasy bin Abi Rabiah, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ishak dan Imam Abu Tsaur." (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz IV, halaman 24)
Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu'in, halaman 31 berfatwa:
Bagi orang yang salat witirnya lebih dari satu rakaat boleh memisah diantara setiap dua rakaat dengan salam dan dia itu lebih utama daripada menyambungnya dengan satu kali tasyahhud atau dua kali tasyahhud pada dua rakaat terakhir.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Nihayatuz Zain, halaman 102, secara tegas berfatwa:
"Dan menyambung dengan satu kali tasyahhud lebih utama daripada menyambung dengan dua kali tasyahhud, untuk membedakan antara salat witir dengan salat Magrib. Melakukan dua kali tasyahhud (dalam salat witir yang tiga rakaat), dapat menyerupai salat magrib secara garis besarnya. Memisah itu lebih utama daripada menyambung karena ada tambahan amal padanya."
Dalam kitab Nailul Authar karangan Imam Asy-Syaukani terdapat sebuah riwayat sebagai berikut:
"Imam Thahawi mendapat riwayat dari Ibnu Umar, bahwa dia memisahkan antara rakaat yang genap dan yang ganjil dengan salam, dan dia pernah memberitakan bahwa Nabi Saw. juga melakukan yang demikian. Sanad hadisnya kuat," (Nailul Authar, juz III, halaman 40)
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa ketiga cara pelaksanaan salat witir yang 3 rakaat tersebut, walaupun pada dasarnya kita boleh melakukan salah satunya, namun cara terbaik ialah cara yang telah diterangkan pada bagian (c), yakni setelah mendapat dua rakaat, bertasyahhud lalu membaca salam. Kemudian melanjutkan satu rakaat lagi; setelah selesai tasyahhud, lalu membaca salam lagi.

Ada sebagian ulama yang berpendapat makruh melakukan salat witir tiga rakaat dengan cara disambung yakni setelah mendapat dua rakaat, bertasyahhud, lalu melanjutkan rakaat ketiga tanpa diselingi salam.
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"Janganlah kamu salat witir tiga rakaat yang menyerupai salat magrib." (Riwayat Imam Daruquthni, dari Abu Hurairah, dan ia berkata, "Para perawis hadis tersebut orang-orang kepercayaan.")

Hadis tersebut dapat kita baca dalam kitab-kitab hadis berikut:

Muntaqal Akhbar, Juz I, halaman 529, karangan Imam Majduddin Ibnu Taimiyah Al-Harrani
Nailul Authar, Juz III, halaman 42, karangan Imam Asy-Syaukani
Irsyadus Sari Syarah Sahih Bukhari, Juz II, halaman 229, karangan Imam Syihabuddin Al-Qasthalani
Diambil dari buku "Umat Bertanya Ulama Menjawab" tulisan dari KH.Drs.Ahmad Dimyathi Badruzzaman, dosen Fakultas Dakwah STIDA Al-Hamidiyah

http://www.alhamidiyah.com/?v=fatwa&baca=11

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...