Minggu, 15 Desember 2013

Khulu’ Cerai atau Fasakh?

Bismillahirrohmaanirrohim
Syariat islam menjadikan al-khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai atau fasakh (pembatalan akad nikah)?


Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat dalam beberapa pendapat:

Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak bain dan ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i dalam Qaul Jadid.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak raj’i. Ini adalah pandapat Ibnu Hazm.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah fasakh (penghapusan akad nikah) bukan talak. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang muhaddits (fuqaha’ hadits).
Syekhul Islam menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu’) adalah faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan pendapat mayoritas fuqaha’ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan ‘Ikrimah. [2]

Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut:

Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 229–230)

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali, kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,

فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]
Demikianlah yang dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.

Beliau pernah ditanya tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian, al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih) [4]

Dalil kedua, hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,

أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

“Beliau melakukan al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/275).

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.

Dalil ketiga, pernyataan Ibnu Abbas,

مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ

“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah talak.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, no. 11767) [5]

Dalil keempat, hal ini sesuai tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak) dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan sekali haid saja, seperti al-istibra’. [6]

Dalil kelima, asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:

Suami lebih berhak diterima rujuknya.
Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan suami-istri dengannya.
Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’. [7]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah [8], Ibnu al-Qayyim [9], asy-Syaukani [10], Syekh Muhammad bin Ibrahim [11], Syekh Abdurrahman as-Sa’di [12], serta Syekh al-Albani [13].

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu’ adalah fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisah istrinya dengan tebusan (al-khulu’) sebanyak beberapa kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.” [14]

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu’ tidak terhitung sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan tebusan bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafal dan susunan katanya.” [15]

Sedangkan Syekh al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.” [16]

Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini

Masalah al-khulu’ yang merupakan fasakh bukan talak akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekuensinya, di antaranya:

1. Tidak dianggap dalam hitungan talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu’ setelah melakukan dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut, walaupun al-khulu’nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan Syekhul Islam di atas.

2. Iddah atau masa menunggunya hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tang telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّتَهَا حَيْضَةً

“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu’) darinya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud, no. 2229)

Inilah pendapat Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

3. Al-Khulu’ diperbolehkan dalam setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli, karena al-khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan al-khulu’.

Demikianlah beberapa hukum berkenaan dengan al-khulu’, sebagai pelengkap pambahasan yang terdahulu. Mudah-mudahan bermanfaat.

==============================================================
Catatan kaki:

[1] Lihat: Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah, 5/473; Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir, 3/344–345.

[2] Majmu’ Fatawa: 23/289.

[3] Lihat at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir, 2/275; Taudhih al-Ahkam: 5/473; Shahih Fikih Sunnah: 3/3345.

[4] Dinukil dari Shahih Fikih Sunnah: 3/346.

[5] Ibid.

[6] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut, 5/179.

[7] Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 6/263.

[8] Majmu’ al-Fatawa: 23/289.

[9] Zad al-Ma’ad: 5/179.

[10] Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 129.

[11]Lihat: Taudhih al-Ahkam: 5/473.

[12] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA, 2/173.

[13] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[14] Majmu’ al-Fatawa: 23/290.

[15] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah: 2/173.

[16] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[17] Lihat: Shahih Fikih Sunnah: 3/360.

Referensi:1. Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA.
2. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah.
3. Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir.
4. Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut.
5. Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut.
6. At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir.
7. Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Jumat, 13 Desember 2013

Menghadiri Undangan Natal

Bismillahirrohmaanirrohim
Bolehkah seorang muslim menghadiri perayaan natal jika diundang? Atau mungkin ada acara natal bersama yang diadakan di lingkungan kantor, bolehkah dihadiri?

Perlu diketahui bahwa seorang muslim diharamkan loyal pada orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Di antara bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang adalah menghadiri perayaan mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

من مَرَّ ببلاد الأعاجم فصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حشر معهم يوم القيامة

“Siapa yang lewat di negeri asing, lalu ia meniru yang dilakukan oleh Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka hingga mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka“. Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Jadi, jelaslah tidak boleh menghadiri undangan non muslim berkenaan dengan hari raya mereka. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.



Referensi:

Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 11427: http://islamqa.com/ar/11427

@ Warak, Panggang, Gunungkidul, 9 Safar 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kamis, 12 Desember 2013

حكام الضرائب والجمارك في الفقه الإسلامي / HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM

Bismillahirrohmaanirrohim

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc

Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya berdasarkan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Di antara larangan Allah ialah melakukan kezhaliman kepada sesama manusia dengan mengambil harta benda mereka tanpa hak, seperti mencuri, korupsi, memakan harta riba, mewajibkan bayar pajak bagi seluruh masyarakat terutama kaum muslimin, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, dalam edisi kali ini kami akan menjelaskan tentang hukum pajak menurut pandangan Islam, bagaimana kaum muslimin menyikapinya, dan syarat-syarat dibolehkannya pemungutan pajak. Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat.

A. DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-Maks, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202).

Menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.” (Lihat Syifa’ul Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi hal.275).

Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah diantaranya adalah :
a. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam)
b. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam)
c. al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam)

B. BEBERAPA JENIS PAJAK DI ZAMAN SEKARANG:
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai, diantaranya ialah:
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
- Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.

C. HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM:
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).

Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)

3) Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).

4) Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hal. 715-716)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung diantaranya ialah, “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.” (Lihat Syarah Shahih Muslim XI/202 oleh Imam Nawawi).

5) Hadits Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” (HR. Abu Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dho’if oleh syaikh Al-Albani)
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam adz-Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan selainnya.

6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.” (Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31)

7) Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan, “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.

Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al-Juwaini di dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337, dan selainnya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan antara: (a) Pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya.
Point-point dalam group (a) di atas, bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga.

2) Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan dengan iman kepada Allah dan hari Kiamat, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.

3) Ayat Al-Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat Al-Ma’un, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat riya’.

4) Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Mashalih Mursalah” (atas dasar kepentingan), atau kaidah ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah ‘lebih memilih mudharat yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang menimpa manusia secara umum’. Kas Negara yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh.

5) Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran (QS. 9:41, 49:51, 61:11, dll). Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.

6) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tatar, seraya berkata: “Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam berjihad melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent) menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).

Kesimpulan Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).

Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).

Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata, “Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan muslim) hendak menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul mal kaum muslimin (kas Negara) jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupinya, dan tidak boleh baginya mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika di dalam baitul mal tidak ada harta yang mencukupi penyiapan pasukan perang, maka dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada mereka (orang-orang kaya agar membayar pajak, pent) sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.” (Lihat As-Sair Al-Kabir beserta syarahnya I/139).

D. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK:
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
Kedua: Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Ketiga: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak.
Keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
Kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
Keenam: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Ketujuh: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)

E. APAKAH PAJAK DI ZAMAN INI SESUAI DENGAN SYARIAH ISLAM?
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.

Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam bish-Showab.

F. BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan dengan suatu kemaksiatan. Adapun jika penguasa memerintahkan rakyatnya dengan suatu kemaksiatan maka rakyat (kaum muslimin) dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840).

Akan tetapi, bagaimana sikap kaum muslimin jika penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam keadaan demikian kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa. Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada umatnya:

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan: “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).” (Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)

Demikian penjelasan kami tentang hukum pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan kekurangan maka itu datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika benar, maka ini datangnya dari Allah Ta’ala semata. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi 17 Volume 2 / Juni 2011]

Sabtu, 07 Desember 2013

Kabar Islam: Opspek apa Memperkosa?

Kabar Islam: Opspek apa Memperkosa?: Ini Opspek apa Memperkosa? Kok siswa senior pria menindihi siswa juniornya? Ini di tempat ramai. Bagaimana jika di tempat sepi? ...

Bismillahirrohmaanirrohim
INIKAH HASIL DIDIKAN SMA SMP INDONESIA?????????????????????????????????????????????????????
JAWAB!!!! PENTES AJA.....NEGARA INI BOBROOKK.......,
ANDA SUKA ??? KLO IYA ANDA JUGA PELAKUNYA.....DAN BERHAK MENDAPAT DOSA WALAU ANDA TIDAK HADIR DISITUUU....


SILAHKAN BACA....


Ini Opspek apa Memperkosa?
Kok siswa senior pria menindihi siswa juniornya?
Ini di tempat ramai.
Bagaimana jika di tempat sepi?
Tak heran jika siswa SMP berani beradegan mesum berulang-kali sementara teman2nya yang lain memvideokannya dan menyebarnya.
Sepertinya moral sebagian siswa dan para guru kita sudah pada hancur. Jauh dari ajaran Islam.
Sementara sebagian "dai" kerjanya sibuk mempermasalahkan bid'ah (yang menurut jumhur ulama bukan bid'ah dan kata bid'ah tak ada di dalam Al Qur'an). Sehingga hal-hal yang seperti ini malah terabaikan.
Bagi para orang tua murid sebaiknya tidak mengizinkan putrinya untuk mengikuti Opspek. Toh para guru dan kepala sekolah juga tidak bertanggung-jawab.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [Al Israa’ 32]

Mendekati zina itu artinya melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan kita berzina seperti kegiatan yang membangkitkan nafsu syahwat (membaca buku-buku porno, melihat gambar-gambar porno, atau menonton video-video porno. Begitu pula dengan menatap wanita yang bukan muhrimnya sehingga nafsunya bangkit atau pergi ke tempat disko atau dugem di night club/klub malam di mana para pria dan wanita yang bukan muhrim bercampur bersama.

“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)

Tapi yg lebih parah dari itu sudah terjadi di negeri ini: Siswa SMP Perkosa Siswi Perempuan?

http://infoindonesiakita.com/2013/12/06/adegan-mesum-perkosaan-di-smp-4-jakarta-pusat

Tapi opspek memang mengerikan. Di ITN Malang ada yg tewas. Smentara yg putri harus mengelus dan mengoral singkong yg dibentuk seperti kemaluan pria:http://www.kaskus.co.id/thread/5296e530c3cb17e35e000103

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2010/11/24/jangan-dekati-zina/

Sumber:

Selasa, 26 November 2013

Thalaq via surat, sms, bb atau sejenisnya.

Bismillahirrohmaanirrohim



Bagaimana hukumnya seseorang yang menuliskan lafadh thalaq misalnya ia menuliskan via sms, email atau surat “saya thalaq kamu”?

Jawaban.

Rincian hukum menulis lafadh thalaq adalah sebagai berikut:


Bila tidak ikut di lafadhkan maka hanya jatuh thalaqnya bila ia meniatkan untuk thalaq karena semata-mata menulis lafadh thalaq adalah kinayah thalaq yang memerlukan niat. Sedangkan bila tidak diniatkan apapun maka tidak jatuh thalaqnya.
Bila ketika menulisnya ia juga ikut melafadhkannya maka :


Jatuh thalaq bila tidak ada niat apapun atau berniat melakukan (insya`) thalaq.
Tidak jatuh bila ia bermaksud sekedar membaca tulian tersebut tanpa niat untuk mentalak istrinya.


Referensi:

Al-Mahalli `ala Minhaj jilid 3 hal 329 Cet. Haramain

(ولو كتب ناطق طلاقا) كأن كتب زوجتي طالق، (ولم ينوه فلغو) وتكون كتابته لتجربة القلم أو المداد أو غير ذلك، وفي وجه أن الكتابة صريحة كالعبارة يقع بها الطلاق، (وإن نواه فالأظهر وقوعه) لأن الكتابة طريق في إفهام المراد كالعبارة، وقد اقترنت بالنية والثاني لا يقع لأنها فعل والفعل لا يصلح كناية عن الطلاق، لو أخرجها من بيته ونوى الطلاق، وقطع قاطعون بالأول وآخرون بالثاني.

Nihayatul Muhtaj jilid 6 hal 436 Cet. Dar Kutub Ilmiyah


(ولو) (كتب ناطق) أو أخرس (طلاقا) (ولم ينوه فلغو) إذ لا لفظ ولا نية (وإن نواه) ومثله كل عقد وحل وغيرهما ما عدا النكاح ولم يتلفظ بما كتبه (فالأظهر وقوعه) لإفادتها حينئذ، وإن تلفظ به ولم ينوه عند التلفظ ولا الكتابة وقال إنما قصدت قراءة المكتوب فقط صدق بيمينه
(قوله: وقال إنما قصدت قراءة إلخ) بخلاف ما لو قصد الإنشاء أو أطلق،

Tuhfatul Muhtaj jilid 8 hal 22 Dar Fikr

(ولو كتب ناطق) أو أخرس (طلاقا، ولم ينوه فلغو) إذ لا لفظ ولا نية (وإن نواه) ومثله كل عقد وحل وغيرهما ما عدا النكاح ولم يتلفظ بما كتبه (فالأظهر وقوعه) لإفادتها حينئذ، وإن تلفظ به ولم ينوه عند التلفظ ولا الكتابة، وقال: إنما قصدت قراءة المكتوب فقط صدق بيمينه

Ref :
http://lbm.mudimesra.com

Sabtu, 23 November 2013

Kata-kata bijak ...... yang kocak!!


1. Uang bukanlah segalanya.
Masih ada Mastercard dan Visa.

2. Kita seharusnya menyukai binatang.
Mereka rasanya lezat.

3. Hematlah air.
Mandilah di bawah shower bersama kekasih kita.

4. Di belakang setiap pria sukses ada seorang wanita hebat.
Di belakang setiap pria yang tidak sukses ada dua.

5. Cintailah tetangga.
Tetapi jangan sampai tertangkap basah.

6. Orang bijaksana tidak menikah.
Setelah menikah mereka menjadi bijak sana dan bijak sini.

7. Cinta itu photogenic.
Dia memerlukan tempat gelap untuk berkembang.

8. Pakaian itu adalah pagar pelindung.
Pagar seharusnya melindungi tanpa menghalangi pemandangan yang indah.

9. Semakin banyak belajar, semakin banyak yang kita tahu.
Semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang kita lupa.
Semakin banyak yang kita lupa, semakin sedikit yang kita tahu.
Jadi kenapa kita sibuk belajar ?

10. Masa depan tergantung pada impian kamu.
Maka pergilah tidur saja sekarang !

11. Berlatih membuat kita menjadi sempurna,
tapi tidak ada manusia yang sempurna,
jadi buat apa kita susah payah berlatih?

12. belajar buat kita pinter
pinter buat kita sukses
sukses buat kita kaya
kaya buat kita sombong
sombong di benci oleh tuhan
MAKANYA KITA GA USAH BELAJAR!!..

13. Banyak Hapal = Banyak Lupa
Sedikit Hapal = Sedikit Lupa
jadi mending, Ga Hapal = Ga da yg Lupa .. ga da yg d ingetin

14. belajar itu pake buku, buku itu dari kertas, kertas dari kayu..
mari kita dukung anti global warming dengan tidak belajar menggunakan buku,..

15. wanita cantik bukan menjadi jaminan kehidupan kita menyenangkan
apalagi yang jelek....hahahaha.

Jumat, 22 November 2013

Hukum Onani, Bahaya, Akibat, Dampak dan Efeknya.

Bismillahirrohmaanirrohim

Apa hukum onani atau masturbasi, bahaya, akibat, dampak, maupun efeknya menurut Agama Islam? Dalam pembahasan ini tidak bermaksud untuk memaparkan perbedaan-perbedaan pendapat ulama di dalam masalah-masalah fikih tentang hukum melakukan kebiasaan onani atau masturbasi. Akan tetapi terpaksa memaparkan perbedaan-perbedaan perdapat tersebut. Sebab, kalau seandainya kita pergi untuk melihat dan mendengar atau membaca pendapat yang lain maka terkadang para pemuda mengalami pertentangan dengan dirinya sendiri. Hal itulah yang menyebabkan mengapa perlu memaparkan pendapat-pendapat itu dan kemudian mentarjih pendapat yang paling kuat, sehingga para pemuda itu mendapat kejelasan tentang masalah yang dihadapinya.

Harapan lainnya adalah dapat memberikan pemahaman kepada para pemuda bahwa agama Islam tidak hanya mengambil satu pendapat saja, akan tetapi di sana terdapat perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah yang furu' (cabang). Selain itu juga kami akan memberikan pemahaman kepada mereka beberapa nash Al-qur'an  yang berbicara tentang masalah itu. Dan hal itu menjadi kemudahan yang datangnya dari Allah Azza wa jalla bagi umat Nabi Muhammad dan sebagai bukti adanya semangat agama yang sesuai bagi semua zaman dan tempat.

Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat:

"Pada prinsipnya masturbasi atau onani hukumnya adalah haram. Hal itu apabila dilakukan untuk mengikuti dorongan nafsu syahwatnya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Akan tetapi, apabila dorongan nafsu syahwat seorang laki-laki itu telah memuncak dan kemudian dia melakukan onani dengan tujuan untuk menenangkan gejolak nafsunya, maka hukumnya tidak berdosa. Bahkan mereka berpendapat bahwa onani itu wajib baginya apabila seseorang itu takut terjatuh dalam perbuatan zina. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi: "Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya."

Ulama Hanabilah berpendapat:

"Onani itu hukumnya haram, kecuali apabila dia takut berbuat zina (karena dorongan nafsu seksnya yang kuat) sedangkan dia belum memiliki istri atau dia belum mampu menikah. Maka, hal itu tidak berdosa baginya.”

Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat:

"Onani itu hukumnya mutlak haram. Dalam mengharamkan perbuatan itu mereka beralasan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam keadaan bagaimanapun kecuali dengan cara yang dihalalkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala."

Ibnu Hazm berpendapat:

"Onani itu hukumnya makruh. Alasannya, karena menyentuh kemaluan dengan tangan kiri -tidak lebih dari itu- dibolehkan, kecuali dengan sengaja untuk mengeluarkan mani maka menjadi haram. Hal itu tidak diharamkan berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,

"Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. " (Qs. A1 An'aam (6): 119)

Dan yang telah dijelaskan keharamannya itu bukanlah perbuatan ini. Dan dia berpendapat bahwa kemakruhan perbuatan onani adalah karena perbuatan ini bukan termasuk akhlak yang mulia."

Setelah memaparkan pendapat-pendapat yang masyhur di dalam masalah ini, maka sudah seharusnya kita mengetahui bahwa pendapat itu pokok-pokok yang disepakati secara syara' bahwa setiap yang membahayakan dirinya adalah haram. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Janganlah berbuat bahaya dan janganlah membalas bahaya.

Dan juga berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala, "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. " (Qs. A1 Baqarah (2): 195)

Dari pendapat-pendapat di atas, maka kita dapat melakukan pembahasan secara mendalam tentang kejelekan-kejelekan kebiasaan ini. Kita dapat menemukan bahwa kebiasaan ini mengarahkan kepada perbuatan yang mendatangkan kemadharatan bagi dirinya sendiri. Di antara kemadharatan kebiasaan.ini adalah sebagai berikut:

Pertama: menghancurkan kemampuan pemuda dan melupakan kewajiban-kewajibannya. Kebiasaan itu juga menjadikan dirinya menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk mencari rangsangan-rangsangan yang berasal dari gambar-gambar tidak pantas, film-film tidak pantas bahkan sampai kepada majalah-majalah yang tidak pantas. Semua ini seperti kayu-kayu baker yang diletakkan di atas api agar lebih menyala.

Kedua: ketika seorang pemuda itu sedang melakukan onani maka dapat mcngobarkan khayalan. Hal itu karena dia mengkhayalkan barang-barang yang dapat membangkitkan dorongan seksual. Dengan demikian dapat mcnyebabkan kelelahan pada sel-sel syaraf.

Ketiga: Onani dapat menyebabkan ketidak-puasan ketika melakukan hubungan seksual secara alami, justru akan membuat dirinya mengalami ketergantungan untuk melakukan kebiasaan jelek itu. Pemuda yang melakukan kebiasaan itu tak ubahnya seperti orang yang kehausan kemudian dia meminum air garam, semakin banyak dia minum air garam itu, maka dia akan semakin haus.

Keempat: ketergantungan melakukan kebiatan onani ini terkadang menjadikannya dirinya terikat dengan kecanduan di dalam sel-sel saraf. Dengan demikian dia akan kembali melakukan hal itu dengan cara yang salah di dalam melakukan hubungan seksualitas. Dan selanjutnya, kebiasaan ini akan mempengaruhi masa depannya dalam berhubungan dengan istrinya. Dan hal ini juga akan terjadi pada seorang pemudi yang melakukan masturbasi. Seorang pemudi yang melakukan masturbasi atau onani dapat terkena radang pada kandungan dan sebagian besar pada alat pembuangan. Selain itu juga dapat menyebabkan hilangnya keperawanannya.

Kelima: kesibukan pemuda dengan urusan seksual semacam ini akan menguasai pikirannya, yaitu dengan gambar yang tidak alami. Hal itu akan membuat dirinya menyimpang dan berpikir untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan seks dalam bentuk lain yang lebih memuaskan. Adapun cara Islam untuk mengatasi masalah-masalah ini adalah dengan menerapkan saddu adz-dzari'ah (menutup pintu) dan jalan yang mengantarkan kepada bencana dan kehancuran.

Inilah bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kebiasan onani atau masturbasi yang telah kami paparkan kepada anda. Itu adalah hukuman terhina yang membahayakan jiwa dan tubuh. Dan kita dapat melihat secara sempurna pengharaman syar'i terhadap perbuatan itu.

Dan sebelum kami mengarahkan perhatian anda kepada dalil-dalil syar'i yang menguatkan pendapat madzhab yang berpendapat bahwa: perbuatan ini haram, kami ingin mengarahkan pandangan pemuda kita bahwa keharaman perbuatan onani atau mansturbasi ini tidak sekeras seperti keharaman zina dan homoseksual. Hal itu karena bahaya yang ditimbulkan oleh kebiasaan onani atau masturbasi itu hanya (sebatas pada dirinya sendiri, sedangkan zina dan homoseksual, bahayanya itu tidak hanya pada dirinya sendiri, akan tetapi berimbas juga kepada masyarakat umum. Selain itu juga, kekejian onani dan masturbasi itu tidak menyerang dalam mencemarkan akhlak seperti zina dan homoseksual. Akan tetapi, pengaruh perbuatan kebiasaan onani dan masturbasi ini lebih ringan. Dengan demikian perbuatan itu tidak dinamakan perbuatan zina atau homoseksual, melainkan hanya dinamakan onani atau masturbasi (bersenang-senang dengan tangan untuk mendapatkan kenikmatan seksual).

Seharusnya, bagi para pemuda yang didorong oleh syaithan untuk melakukan kebiasan-kebiasaan itu, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak sel-sel syaraf atau pertarungan melawan jiwanya sendiri. Akan tetapi, sebaiknya dia mau kembali kepada Allah untuk bertaubat dan meminta ampun serta mau mempelajari sebab-sebab yang mengantarkan seseorang terjerumus dalam kebiasan yang keji ini -sebagaimana akan kami jelaskan selanjutnya- sehingga tidak meninggalkan di dalam dirinya pengaruh-pengaruh jelek apapun.

Sekarang, sampailah kita kepada dalil syar'iyah yang menentramkan hati dan menenangkan jiwa serta yang mengutakan pendapat yang diikuti oleh orang-orang yang mengharamkan perbuatan yang tidak mulia ini, meskipun kami juga telah memaparkan pendapat madzhab-madzhab yang luwes (membolehkan) bagi orang yang takut atau berada dalam posisi sulit dalam menghadapi kejahatan zina. Dan madharatnya itu ditentukan dengan frekuensi sering atau tidaknya dia melakukan kebiasaan itu.

1. Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Al-Qur'an surat A1 Mu'minuun,

"Sesunggubnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (Qs. Al Mu’minun (23):1-7)

Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa menjaga kemaluan adalah wajib, kecuali kepada istri dan budak yang berada di dalam jaminannya. Barang siapa yang melampiaskan syahwatnya dengan jalan yang tidak disebutkan di atas, maka dia di anggap orang yang melampaui batas yang telah ditetapkan oleb Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan akan hal itu.

2. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman dalam suart An-Nuur,

"Katakanlah kepada orang laki-lakiyang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelikara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. " Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, hecuali yang (biasa) nampak daripadanya. "(Qs. An-Nuur (24): 30-31)

Lihatlah bagaimana Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam ayat-ayat di atas memerintahkan kepada orang-orang mu'min untuk menahan pandangannya. Dan di sini juga, terdapat anjuran yang sama untuk menjaga kemaluan secara menyeluruh. Ini berarti tidak diragukan lagi bahwa menjaga kemaluan dari bentuk penyimpangan seksual apapun, termasuk di dalamnya adalah kebiasaan onani atau mastubasi adalah wajib dijaga. Dan Allah tidak akan pernah lupa.

Dan kita juga akan menemukan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam surat yang sama, "Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri )nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. " (Qs. An-Nuur (24): 33)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah Tabaraka wa Ta'ala menuntut kepada orang yang belum mampu untuk menikah agar menjaga dirinya dan menjaga nama baiknya serta jangan sekali-kali mendekati perbuatan seksual apapun sampai Allah mencukupkannya dengan karunia yang diberikan-Nya. Selain itu, Allah menuntut kepada mereka untuk melakukan hubungan seksual melalui cara yang alamiah, yaitu menikah.

3. Di antara dalil yang menguatkan pemahaman yang kita ikuti ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaknya dia melakukan puasa, Karena puasa itu dapat menjadi benteng baginya." (Muttafaq 'Alaih)

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa obat yang tidak ada tandingannya dalam mendayagunakan kemampuan seksualitas tanpa menimbulkan komplikasi dalam fisik maupun jiwa adalah anjuran kepada para pemuda untuk menikah jika dia sudah mampu. Dan bagi orang yang belum mampu melakukannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan hendaknya dia melakukan onani atau masturbasi. Akan tetapi beliau mengarahkan pemuda kepada penanggulan pasti yang dapat memalingkan keinginannya. Dengan demikian maka kamu akan dapat mengendalikan hawa nafsu, menghubungkan pemuda dengan Tuhannya Azza wa Jalla dan meringankan tekanan insting seksualitasnya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Maka hendaknya dia melakukan puasa, karena puasa dapat menjadi benteng bagi dirinya."

Dan hendaklah kalian mengingat pemuda yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin melakukan perbuatan zina, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan kepadanya untuk melakukan onani guna meringankan tekanan hawa nafsunya? Sekali-kali tidak akan pernah terjadi, akan tetapi justru beliau memberikan cara penanggulangan secara kejiwaan yang menganggap bahwa perbuatan zina adalah suatu perbuatan yang sangat dibenci. Adapun adanya sebab-sebab yang sangat mendesak untuk melakukannya mungkin Rasulullah membolehkan baginya untuk melakukan onani. Oleh karena itu kita dapat memahami bahwa hukum  perbuatan onani atau masturbasi itu haram.

Dan yang terakhir, mari kita simak sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Apa yang saya benci adalah yang dilihat oleh manusia dan dirimu, maka janganlah engkau melakukannya sendiri apabila engkau sendirian."

Ref :
http://islamiwiki.blogspot.com/

Aneh tapi Nyata Bayi muncul dari dalam tanah

Bismillahirrohmaanirrohim

www.anehdidunia.com
Aneh tapi Nyata  Bayi muncul dari dalam tanah, ini benar-benar cerita nyata dan bukan cerita isapan jempol untuk menarik pembaca. Mungkin anda menyimpulkan bahwa bayi tersebut adalah bayi jadi-jadian, bayi ajaib atau bayi yang di buang oleh orang tuanya karena berasal dari hubungan gelap mereka.

Ketika di temukanpun bayi ini memunculkan banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang bayi muncul dari dalam tanah? Mungkinkah bumi melahirkan seorang anak manusia secara nyata? Berikut ini ceritanya. Seperti yang dilansr TakasihTahu.

www.anehdidunia.com
Kisah ini terjadi di Bangladesh.Suatu sore seorang lelaki melintas pada sebuah jalan yang rusak dan telah porak poranda di gerus ganasnya banjir di kota Bangladesh. Secara tidak sadar telinganya menangkap suara tangisan bayi, menurut lelaki ini suara bayi tersebut adalah sebuah keanehan karena disekitar tempat tersebut sudah tidak lagi di temukan rumah, karena bangunan-bangunan di daerah tersebut sudah rata dengan tanah. Yang membuat pria ini semakin penuh tanda tanya adalah suara tersebut seolah-olah berasal dari dalam tanah.

www.anehdidunia.com

Tidak menunggu lama pria tersebut langsung mencari sumber suara bayi yang sepertinya berasal dari dalam tanah. Sahabat anehdidunia.com alangkah terkejutnya pria ini ketika melihat pemandangan ganjil di depan matanya, seorang bayi mungil masih merah ada di antara belahan lumpur bekas banjir dan seperti muncul dari dalam tanah.

www.anehdidunia.com

Masyarakat setempat ketika itu diliputi berbagai macam pertanyaan, bagaimana mungkin bayi muncul dari dalam tanah. Akhirnya salah seorang warga menemukan sebuah ide yang didasari oleh perkiraannya. dia memperkirakan bayi tersebut lahir dari perempuan korban banjir yang belum lama menimpa daerah tersebut. Ide penggalian tempat di temukannya bayi tadipun muncul, ternyata benar di tempat tersebut di temukan mayat yang di kenali oleh masyarakat setempat sebagai perempuan yang hampir melahirkan sebelum terjadinya bencana banjir di tempat tersebut. Saat mayat di temukan, pada mayat wanita malang ini masih terdapat tanda-tanda seperti orang baru melahirkan. 

www.anehdidunia.com


Sungguh menyedihkan sahabat jelajahunik.us, lahir di dunia dengan keadaan yang tidak tepat tanpa kasih sayang orang tua aslinya.  semoga anak tersebut mendapat kasih sayang dan menjadi anak yang pemberani dan menjalani kehidupan di dunia ini.

Ref:
1.http://www.jelajahunik.us/
2.http://www.anehdidunia.com/
3.http://unic29.com/

Rabu, 13 November 2013

Raja Saudi Keturunan Yahudi

Bismillahirrohmaanirrohim
Sejumlah kesaksian yang meyakinkan bahawa, keluarga Saud merupakan keturunan Yahudi dapat dibuktikan dengan fakta-fakta berikut:
Pada tahun 1960-an, pemancar radio ‘Sawtul Arab’ di Kaherah, Mesir dan pemancar radio di San’a, Yaman, membuktikan bahawa nenek moyang keluarga Saud adalah dari keturunan Yahudi. Bahkan Raja Faisal tidak boleh menyanggah kenyataan itu ketika memberitahu kepada ‘The Washington Post’ pada tanggal 17 Sept 1969 dengan menyatakan bahawa, “kami (keluarga Saud) adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhan kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia adalah merupakan sumber awal Yahudi dan nenek moyangnya, lalu menyebar keseluruh dunia”.
Pernyataan ini keluar dari lisan Raja Faisal As-Saud bin Abdul Aziz. Hafez Wahabi, penasihat Hukum Keluarga Kerajaan Saudi menyebutkan didalam bukunya yang berjudul ‘Semenanjung Arabia’ bahawa Raja Abdul Aziz yang mati pada tahun 1953 mengatakan : “ pesan kami (pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi (pihak lawan) dari suku-suku Arab, datukku, Saud Awal menceritakan saat menawan sejumlah Sheikh dari suku Mathir dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk meminta membebaskan semua tawanannya. Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya, kemudian memalukan mereka dan menurunkan nyali para penengah (orang yang ingin membuat rundingan) dengan cara mengundang mereka ke jamuan makan. Makanan yang disediakan adalah daging manusia yang sudah dimasak, potongan kepala tawanan diletakkan diatas piring”.
Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan daging saudara mereka sendiri. Kerana mereka menolak untuk memakannya, Saud Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itulah kejahatan yang sangat mengerikan yang dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sendiri sebagai raja kepada rakyat yang tidak berdosa kerana kesalahan mereka menentang terhadap kebengisannya dan memerintah dengan sewenang-wenangnya.
Hafez Wahabi selanjutnya menyatakan bahawa, berkaitan dengan kisah berdarah nyata yang menimpa Sheikh suku Mathir dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz As-Saud, iaitu Faisal Ad-Darwis. Diceritakan kisah (pembunuhan Ad-Darwis) itu kepada utusan suku Mathir dengan maksud untuk mencegah mereka untuk tidak meminta pembebasan pimpinan mereka. Jika tidak, akan diperlakukan sama. Dia bunuh Sheikh Faisal Darwis dan darahnya dipakai untuk berwudhu’ sebelum dia solat.
Kesalahan Faisal Darwis waktu itu hanya kerana dia mengkritik Raja Abdul Aziz As-Saud. Ketika Raja menandatangani dokumen yang disiapkan pengusa Inggeris pada tahun 1922 sebagai penyataan memberikan Palestin kepada Yahudi. Tandatangannya dibubuhkan dalam sebuah konferensi di Al-Qir tahun 1922.
Sistem regim keluarga Yahudi (keluarga Saud) dulu dan sekarang masih tetap sama. Tujuannya untuk merampas kekayaan Negara, merompak, memalsukan, melakukan semua jenis kekejaman, ketidak adilan, serangan dan penghinaan, yang kesemuanya itu dilakukan sesuai dengan ajaran kelompok Wahabi yang membolehkan memenggal kepala orang yang menentang ajarannya.
Sikap apatis Negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, khususnya Arab Saudi, mengundang kecurigaan umat Islam. Bagimana mungkin mereka bungkam menyaksikan pembantaian saudara Muslim yang berlangsung di depan matanya, dilakukan oleh musuh abadi zionis Israel la’natullah? Penelitian dan Penelusuran seorang Mohammad Shakher, yang akhirnya dibunuh oleh rezim Saudi karena temuannya yang menggemparkan, agaknya menuntun kita menemukan jawabnya.
Shakher menulis buku berjudul ‘Ali Saud min Aina wa Ila Aina?’ membongkar apa di balik bungkamnya penguasa Khadimul Haramaian setiapkali berhadapan dengan konflik Palestina-Israel. Buku ini juga menemukan fakta baru, mengenai asal muasal Dinasti Saudi. Bagaimanakah runut garis genealoginya? Benarkah mereka berasal dari trah Anza Bin Wael, keturunan Yahudi militan?
Informasi buku ini mencekam sekaligus mencengangkan. Sulit dipercaya, sebuah dinasti yang bernaung di bawah kerajaan Islam Saudiyah bisa melakukan kebiadaban iblis dengan melakukan pembakaran masjid sekaligus membunuh jamaah shalat yang berada di dalamnya. Jika isi buku yang terbit 3 Rabi’ul Awal 1401 H (1981 M) ini ‘terpaksa’ dipercaya, karena faktanya yang jelas, maka kejahatan Kerajaan Saudi Arabia terhadap kabilah Arab dahulu, persis seperti kebuasan zionis Israel membantai rakyat Muslim di Jalur Gaza.
Melacak Asal Dinasti Saudi Dalam silsilah resmi kerajaan Saudi Arabia disebutkan, bahwa Dinasti Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di “Ad-Dir’iyah”, terletak di sebelah barat laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia.
Negara ini mengaku memikul tanggung jawab dakwah menuju kemurnian Tauhid kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mencegah prilaku bid’ah dan khurafat, kembali kepada ajaran para Salafus Shalih dan berpegang teguh kepada dasar-dasar agama Islam yang lurus. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M.
Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, ketika beliau merebut kembali kota Riyad yang merupakan ibukota bersejarah kerajaan ini.
Semenjak itulah Raja Abdul Aziz mulai bekerja dan membangun serta mewujudkan kesatuan sebuah wilayah terbesar dalam sejarah Arab modern, yaitu ketika berhasil mengembalikan suasana keamanan dan ketenteraman ke bagian terbesar wilayah Jazirah Arabia, serta menyatukan seluruh wilayahnya yang luas ke dalam sebuah negara modern yang kuat yang dikenal dengan nama Kerajaan Saudi Arabia. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam, menebar keamanan dan ketenteraman ke seluruh penjuru negeri kerajaan yang sangat luas, mengamankan perjalanan haji ke Baitullah, memberikan perhatian kepada ilmu dan para ulama, dan membangun hubungan luar negeri untuk merealisasikan tujuan-tujuan solidaritas Islam dan memperkuat tali persaudaraan di antara seluruh bangsa arab dan kaum Muslimin serta sikap saling memahami dan menghormati dengan seluruh masyarakat dunia.
Di atas prinsip inilah, para putra beliau sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd, dan Pelayan Dua Kota Suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz.
Dinasti Sa’udi Trah Yahudi
Namun, di masa yang jauh sebelumnya, di Najd tahun 851 H. Sekumpulan pria dari Bani Al Masalikh, yaitu trah dari Kaum Anza, yang membentuk sebuah kelompok dagang (korporasi) yang bergerak di bidang bisnis gandum dan jagung dan bahan makananan lain dari Irak, dan membawanya kembali ke Najd. Direktur korporasi ini bernama Sahmi bin Hathlool. Kelompok dagang ini melakukan aktifitas bisnis mereka sampai ke Basra, di sana mereka berjumpa dengan seorang pedagang gandum Yahudi bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe,
Ketika sedang terjadi proses tawar menawar, Si Yahudi itu bertanya kepada kafilah dagang itu. “Dari manakah anda berasal?” Mereka menjawab, ”Dari Kaum Anza, kami adalah keluarga Bani Al-Masalikh.” Setelah mendengar nama itu, orang Yahudi itu menjadi gembira, dan mengaku bahwa dirinya juga berasal dari kaum keluarga yang sama, tetapi terpaksa tinggal di Bashra, Irak. Karena persengketaan keluarga antara bapaknya dan ahli keluarga kaum Anza.
Setelah itu, Mordakhai kemudian menyuruh budaknya untuk menaikkan keranjang-keranjang berisi gandum, kurma dan makanan lain ke atas pundak unta-unta milik kabilah itu. Hal ini adalah sebuah ungkapan penghormatan bagi para saudagar Bani Al Masalikh itu, dan menunjukkan kegembiraannya karena berjumpa saudara tuanya di Irak. Bagi pedagang Yahudi itu, para kafilah dagang merupakan sumber pendapatan, dan relasi bisnis. Mardakhai adalah saudagar kaya raya yang sejatinya adalah keturunan Yahudi yang bersembunyi di balik roman wajah Arab dari kabilah Al-Masalikh.
Ketika rombongan itu hendak bertolak ke Najd, saudagar Yahudi itu minta diizinkan untuk ikut bersama mereka, kerana sudah lama dia ingin pergi ke tanah asal mereka Najd. Setelah mendengar permintaan lelaki Yahudi itu, kafilah dagang suku Anza itu pun amat berbesar hati dan menyambutnya dengan gembira.
Pedagang Yahudi yang sedang taqiyyah alias nyamar itu tiba di Najd dengan pedati-pedatinya. Di Najd, dia mulai melancarkan aksi propaganda tentang sejatinya siapa dirinya melalui sahabat-sahabat, kolega dagang dan teman barunya dari keturunan Bani Al-Masalikh tadi. Setelah itu, disekitar Mordakhai, berkumpullah para pendukung dan penduduk Najd. Tetapi tanpa disangka, dia berhadapan dengan seorang ulama yang menentang doktrin dan fahamnya. Dialah Syaikh Shaleh Salman Abdullah Al-Tamimi, seorang ulama kharimatik dari distrik Al-Qasem. Daerah-daerah yang menjadi lokasi disseminasi dakwahnya sepanjang distrik Najd, Yaman, dan Hijaz.
Oleh karena suatu alasan tertentu, si Yahudi Mordakhai itu -yang menurunkan Keluarga Saud itu- berpindah dari Al Qasem ke Al Ihsa. Di sana, dia merubah namanya dari Mordakhai menjadi Markhan bin Ibrahim Musa. Kemudian dia pindah dan menitip di sebuah tempat bernama Dir’iya yang berdekatan dengan Al-Qateef. Di sana, dia memaklumatkan propaganda dustanya, bahwa perisai Nabi Saw telah direbut sebagai barang rampasan oleh seorang pagan (musyrikin) pada waktu Perang Uhud antara Arab Musyrikin dan Kaum Muslimin. Katanya, “Perisai itu telah dijual oleh Arab musyrikin kepada kabilah kaum Yahudi bernama Banu Qunaiqa’ yang menyimpannya sebagai harta karun.”
Selanjutnya dia mengukuhkan lagi posisinya di kalangan Arab Badwi melalui cerita-cerita dusta yang menyatakan bagaimana Kaum Yahudi di Tanah Arab sangat berpengaruh dan berhak mendapatkan penghormatan tinggi Akhirnya, dia diberi suatu rumah untuk menetap di Dlir’iya, yang berdekatan Al-Qatef. Dia berkeinginan mengembangkan daerah ini sebagai pusat Teluk Persia. Dia kemudian mendapatkan ide untuk menjadikannya sebagai tapak atau batu loncatan guna mendirikan kerajaan Yahudi di tanah Arab. Untuk memuluskan cita-citanya itu, dia mendekati kaum Arab Badwi untuk menguatkan posisinya, kemudian secara perlahan, dia mensohorkan dirinya sebagai raja kepada mereka.
Kabilah Ajaman dan Kabilah Bani Khaled, yang merupakan penduduk asli Dlir’iya menjadi risau akan sepak terjang dan rencana busuk keturunan Yahudi itu. Mereka berencana menantang untuk berdebat dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Mereka menangkap saudagar Yahudi itu dan menawannya, namun berhasil meloloskan diri.
Saudagar keturunan Yahudi bernama Mordakhai itu mencari suaka di sebuah ladang bernama Al-Malibed Gushaiba yang berdekatan dengan Al Arid, sekarang bernama Riyadh. Disana dia meminta suaka kepada pemilik kebun tersebut untuk menyembunyikan dan melindunginya. Tuan kebun itu sangat simpati lalu memberikannya tempat untuk berlindung. Tetapi tidak sampai sebulan tinggal di rumah pemilik kebun, kemudian Yahudi itu secara biadab membantai tuan pelindungnya bersama seluruh keluarganya.
Sungguh bengis, air susu dibalas dengan air aki campur tuba. Mordakhai memang pandai beralibi, dia katakan bahwa mereka semua telah dibunuh oleh pencuri yang menggarong rumahnya. Dia juga berpura-pura bahwa dia telah membeli kebun tersebut dari tuan tanah sebelum terjadinya pembantaian tersebut. Setelah merampas tanah tersebut, dia menamakannya Al-Dlir’iya, sebuah nama yang sama dengan tempat darimana ia terusir dan sudah ditinggalkannya.
Keturunan Yahudi bernama Mordakhai itu dengan cepat mendirikan sebuah markas dan ajang rendezvous bernama “Madaffa” di atas tanah yang dirampasnya itu. Di markas ini dia mengumpulkan para pendekar dan jawara propaganda (kaum munafik) yang selanjutnya mereka menjadi ujung tombak propaganda dustanya. Mereka mengatakan bahwa Mordakhai adalah Syaikh-nya orang-orang keturunan Arab yang disegani. Dia menabuh genderang perang terhadap Syaiikh Shaleh Salman Abdulla Al-Tamimi, musuh tradisinya. Akhirnya, Syeikh Shaleh Salman terbunuh di tangan anak buah Mordakhai di Masjid Al-Zalafi.
Mordakhai berhasil dan puas hati dengan aksi-aksinya. Dia berhasil menjadikan Dlir’iya sebagai pusat kekuasaannya. Di tempat ini, dia mengamalkan poligami, mengawini puluhan gadis, melahirkan banyak anak yang kemudian dia beri nama dengan nama-nama Arab.
Walhasil, kaum kerabatnya semakin bertambah dan berhasil menghegemoni daerah Dlir’iya di bawah bendera Dinasti Saud. Mereka acapkali melakukan tindak kriminal, menggalang beragam konspirasi untuk menguasai semenanjung Arab. Mereka melakukan aksi perampasan dan penggarongan tanah dan ladang penduduk setempat, membunuh setiap orang yang mencoba menentang rencana jahat mereka. Dengan beragam cara dan muslihat mereka melancarkan aksinya. Memberikan suap, memberikan iming-iming wanita dan gratifikasi uang kepada para pejabat berpengaruh di kawasan itu. Bahkan, mereka “menutup mulut” dan “membelenggu tangan” para sejarawan yang mencoba menyingkap sejarah hitam dan merunut asal garis trah keturunan mereka kepada kabilah Rabi’a, Anza dan Al-Masalikh.
Sekte Wahabi
Seorang munafik jaman kiwari bernama Muhammad Amin Al-Tamimi – Direktur/Manager Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi, menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk Keluarga Yahudi ini (Keluarga Saudi), menghubungkan garis keturunan mereka kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagai imbalan pekerjaannnya itu, ia menerima imbalan sebesar 35.000 (Tiga Puluh Lima Ribu) Pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo pada tahun 1362 H atau 1943 M. Nama Duta Besar Saudi Arabia itu adalah Ibrahim Al-Fadel.
Seperti disebutkan di atas, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai), yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab melahirkan banyak anak, saat ini pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya, dan mereka bertaut kepada warisan perkimpoian itu.
Salah seorang anak Mordakhai bernama Al-Maqaran, (Yahudi: Mack-Ren) mempunyai anak bernama Muhammad, dan anak yang lainnya bernama Sa’ud, dari keturunan Sa’ud inilah Dinasti Saudi saat ini berasal.
Keturunan Saud (Keluarga Saud) memulai melakukan kampanye pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan dalih mereka murtad, mengkhianati agama Islam, meninggalkan ajaran-ajaran Al-Quran, dan keluarga Saud membantai mereka atas nama Islam.
Rakyat yang mencoba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang Negara ini akan di tembak mati dan dipenggal kepalanya.
Di dalam buku sejarah Keluarga Saudi halaman 98-101, penulis pribadi sejarah keluarga Saudi menyatakan bahwa Dinasti Saudi menganggap semua penduduk Najd menghina Tuhan. Oleh karena itu darah mereka halal, harta-bendanya dirampas, wanita-wanitanya dijadikan selir, tidak seorang Muslim pun yang dianggap benar, kecuali pengikut sekte Muhammad bin Abdul Wahab (yang aslinya juga keturunan Yahudi Turki).
Doktrin Wahabi memberikan otoritas kepada Keluarga Saudi untuk menghancurkan perkampungan dan penduduknya, termasuk anak-anak dan memperkosa wanitanya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan anak-anak, kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan dengan ajarannya yang kejam (brutal doctrin ) untuk merampas semua harta kekayaan milik orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran agama karena tidak mengikuti ajaran Wahabi.
Keluarga Yahudi yang jahat dan mengerikan ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama sekte agama palsu mereka (sekte Wahhabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk menaburkan benih-benih teror di dalam hati penduduk di kota-kota dan desa-desa. Pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama semenanjung Arabia dengan nama keluarga mereka, menjadi Saudi Arabia, seolah-olah seluruh wilayah itu milik pribadi mereka, dan penduduknya sebagai bujang atau budak mereka, bekerja keras siang dan malam untuk kesenangan tuannya, yaitu Keluarga Saudi.
Mereka dengan sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri itu seperti miliknya pribadi. Bila ada rakyat biasa mengemukakan penentangannya atas kekuasaan sewenang-wenang Dinasti Yahudi ini, dia akan di hukum pancung di lapangan terbuka. Seorang putri anggota keluarga kerajaan Saudi beserta rombongannya sekali tempo mengunjungi Florida, Amerika Serikat, dia menyewa 90 (sembilan pukuh) Suite rooms di Grand Hotel dengan harga $1 juta semalamnya. Rakyat yang mencoba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang Negara ini akan di tembak mati dan dipenggal kepalanya.
Raja Faisal Al-Saud tidak bisa menyanggah bahwa keluarganya adalah keluarga Yahudi ketika memberitahukan kepada The Washington Post pada tanggal 17 September 1969, dengan menyatakan bahwa: “Kami, Keluarga Saudi adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhannya kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia merupakan sumber awal Yahudi dan nenek-moyangnya, dari sana menyebar ke seluruh dunia”.
Wallahua’lam bis sowab.

Ref :
1.http://datahakekat.blogspot.com/2013/04/raja-saudi-keturunan-yahudi.html
2.http://datahakekat.blogspot.com/2013/04/dinasti-saud-dari-manakah-asalnya.html
3.https://www.dropbox.com/s/re2k0nuvqvrq27b/DINASTI%20SAUD%20-%20DARI%20MANAKAH%20ASALNYA%20MEREKA%20INI.doc

>> ABDULLAH DARI ARAB
4.http://datahakekat.blogspot.com/2013/04/abdullah-dari-arab-saudi.html


5.https://www.dropbox.com/s/ib9x7mt6xwj6d80/Abdullah%20dari%20Arab%20Saudi.doc

Jumat, 18 Oktober 2013

Hadits: Sodomi Terhadap Istri Tidak Diperbolehkan

Bismillahirrohmaanirrohim
Sodomi adalah sebuah penyimpangan seksual menyetubuhi melalui dubur. Apa Hukum Sodomi terhadap istri sendiri menurut agama islam? Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, "Allah Azza wa Jalla tidak akan melihat kepada seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya melalui duburnya." (Hadits riwayat Baihaqi)

Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,

islam+dan+sodomi"Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki atau mendatangi perempuan melalui duburnya." (Hadits riwayat At-Turmudzi).

Hal itu diungkapkan agar kamu dapat melihat bagaimana agama Islam memuliakan dan menjaga perasaan kaum perempuan, dan juga agar kamu dapat mengetahui bagaimana agama Yahudi menjadikan perempuan sebagai seorang yang sia-sia tidak ada nilainya sama sekali.

islam+dan+sodomi
Seperti apa yang dikatakan A1 Hakham Yahana, "Sesungguhnya, melakukan sodomi dengan istri itu tidak diperbolehkan. Dia memaparkan hal itu dengan dua pendapat: Sesungguhnya, hukum syar'i tidak mengharamkan hal ini. Bahkan dia mengatakan, ajaran Yahudi tidak menyalahkan orang melakukan sodomi, meskipun berbuat bersama istrinya dengan cara apapun, karena sudah adanya ikatan perkawinan. Dan istri baginya berkaitan dengan masalah bersenang-senang dengannya tak ubahnya seperti sepotong daging yang dibeli dari penjual daging di pasar dan kemudian dia dapat memakannya, mungkin memakannya dengan direbus atau dipanggang sesuai dengan seleranya."

Rabu, 16 Oktober 2013

Alasan Dilarang Menaruh Handphone di Saku Celana

Bismillahirrohmaanirrohim



Siapa yang tidak kenal dengan nama yang satu ini. sekarang handphone sudah menjadi kebutuhan primer bagi kaum muda bahkan kalangan anak-anak sudah bisa memakai handphone layaknya orang dewasa.
(sedikit curhat) Admin dulu waktu pertama kali punya handphone ( ber antena dan layar hitam putih, kalau ada SMS mesti nunggu kata-kata yang ada di SMS itu jalan sendiri baru bisa dibaca) kelas 1 SMA, itu juga 1 handphone untuk sekeluarga ( 7 Orang). Ga kebayang dulu rasanya gimana, ada dengar suara handphone bukan cuma satu yang datang tapi 3 atau 4 orang..hehehe…maklum dulu masih gaptek-gapteknya teknologi, jadi 1 handhone bisa jadi rebutan sekeluarga, bahkan bisa satu desa. :) Tapi sekarang tidak seperti dulu lagi, kalau dulu 1 Handphone untuk 7 orang, sekarang 1 orang bisa bawa 3 sampai 4 Handphone.
Sesuai judul diatas, admin akan menjelaskan mengapa kita tidak boleh menaruh Handphone di saku celana?
Yang Pertama (Pria): Tahukah kamu kalau handphone itu menghasilkan radiasi yang sangat besar apalagi sewaktu baterai tinggal sedikit?

Handphone walaupun tidak menerima panggilan telephon atau pesan singkat, dia akan terus menghasilkan paparan medan elektrostatik & elektromagnetik yang sangat tinggi.
Apa hubungannya dengan saku celana kita? (pertanyaan yang bagus)

berikut jawabnya: ketika handphone ditaruh dalam saku celana dan berdekatan dengan (maaf) alat kelamin (khusus pria), sinar radiasi yang berada pada handphone ini akan diserap oleh sel-sel sperma yang berada pada tubuh kita. Radiasi inilah yang dapat membuat sel sperma kita menjadi tidak normal lagi atau dengan kata lain sulit mencapai sel telur.

Ketika handphone tersebut menyala, maka radiasi handphone menimbulkan hawa panas yang mengeluarkan frekuensi tinggi yang dapat menyerap sel-sel tubuh kita sehingga sel-sel yang ada didalam tubuh meningkat pula, akibatnya sel sperma tidak produktif lagi.

Yang Kedua (Wanita): Ada yang tahu bahaya untuk wanita menaruh handphone disaku?

“Wanita kan tidak punya sel sperma, jadi tidak apa-apa menaruh handphone dicelana”. hehehe… Sebenarnya ini pernyataan benar juga, admin sempat bingung menulis untuk yang wanita. Selidik punya selidik ternyata wanita kerap sekali mengabaikan hal-hal yang kecil, walaupun itu sekedar mengantungi sebuah handphone. Sebelum melanjutkan untuk yang wanita marilah kita sejenak melakukan eksperimen, berikut bahan-bahannya:
1. 1 Telur segar
2. 2 handphone (yang pastinya diantara salah satunya harus ada pulsa ya)
3. Sediakan charger handphonenya
Sekarang lakukan pengujian:
perhatikan gambar:

Pertama, awali saling telepon antara dua handphone dan biarkan selama sekitar 65 menitan.
kedua, perhatikan menit ke-15, telur masih dalam keadaan seperti biasa.
Ketiga, menit ke-25 telur akan mulai memanas.
Keempat, menit ke-45 telur akan sangat panas.
Kelima, menit ke-65 sajikan telur yang anda masak dengan handphone tadi dengan nasi hangat. hehehe…
Kembali ke permasalahan yang diatas, memang wanita tidak mempunyai sel sprema yang dapat dirusak oleh radiasi handphone akan tetapi ternyata radiasi lebih pintar dari kita, dia merusak hasil sperma pada tubuh wanita. Coba bayangkan, telur saja bisa masak selama 1 jam lebih sedikit, bisa anda bayangkan jika wanita hamil memegang handphone selama seharian penuh??? Bayangkan juga jika anda menelepon sampai berjam-jam, apa jadinya dengan otak kita nantinya??? Wallahualam, semuanya hanya Yang diAtas yang mengatur segalanya.
Sekian dari admin, semoga artikel ini bermanfaat bagi semuanya. Jika ada komentar, kritik atau saran silahkan tinggalkan pesan dibawah ini.
Terima kasih.



Sumber: http://akusayangibu.com/mulai-sekarang-berhentilah-taruh-handphone-di-saku-celana/

Kamis, 03 Oktober 2013

BAHAYANYA VAKSINASI ANAK SAAT INI?

Bismillahirrohmaanirrohim

Wahai ummat Islam waspadalah, inilah sebab dan alasan kenapa bayi dan anak-anak kita tidak boleh imunisasi..
Qodarulloh, setelah mencari-cari informasi, bukan hanya ilmu tentang baik atau buruk sebenarnya vaksinasi tersebut, saya justru mendapatkan lebih, tentang indikasi kuat adanya konspirasi Yahudi –lagi-lagi Yahudi Laknatulloh- di balik program vaksinasi ini. Berikut saya ringkaskan artikel “Imunisasi, Siasat Yahudi Lumpuhkan Generasi” dalam Tabloid Bekam pada edisi yang mengangkat Imunisasi sebagai topik utamanya. Semoga bermanfaat.

Apa itu Imunisasi/Vaksinasi?

Bila bibit penyakit penderita TBC, Hepatitis, Meningitis, HIV, Campak, Polio atau penyakit lainnya yang menyarang di tubuh seseorang diambil lantas diolah sedemikian rupa entah dengan istilah dilemahkan atau dilumpuhkan, kemudian bibit penyakit tersebut diperbanyak lalu disuntikkan ke tubuh Anda atau anak Anda! Apakah dengan sukarela Anda menerimanya? Aksi memasukkan bibit penyakit inilah yang akrab disebut vaksinasi atau imunisasi.

Vaksin berasal dari kata vaccinia penyebab infeksi cacar pada sapi. Secara umum, vaksin adalah suatu bahan yang diyakini dapat melindungi orang dari penyakit. Vaksinasi adalah usaha merangsang daya tahan tubuh dengan memasukkan bibit penyakit yang dilemahkan dan diproses dengan bahan lain.

Sebenarnya vaksinasi atau imunisasi tidak ada hubungannya dengan peningkatan daya tahan tubuh mengingat fungsinya hanya sebagai perangsang sejauh mana daya tahan tubuh seseorang. Padahal daya tahan tubuh/sistem imunitas perlu dilatih berulang-ulang agar selalu siap bila ada mikroorganisme masuk ke tubuh.

“Maka dari itu, yang kita dengar vaksin harus disuntikkan berkali-kali, bila tidak tubuh tidak membentuk sistem imunitasnya. Namun, pada kenyataannya walaupun telah diimunisasi, tetap saja masih banyak yang terkena penyakit. Kenapa ini bisa terjadi, kemungkinan karena kesalahan cara mem-vaksin, penyimpanannya, atau karena vaksin memang tidak efektif.” ungkap dr. Agus Rahmadi, pengasuh Klinik Sehat.

“Sebenarnya vaksin diberikan hanya untuk jaga-jaga (preventif)/belum tentu terjadi. Apakah dengan alasan jaga-jaga, kesehatan justru harus dikorbankan (dipertaruhkan)? Belum lagi vaksin banyak menggunakan unsur haram. Kenapa tidak dengan tahnik, konsumsi madu, dan habbatussauda yang telah terbukti meningkatkan sistem imunitas?”, lanjutnya.

Sejarah Vaksin

Vaksinasi sesungguhnya adalah salah satu dari sekian banyak perilaku keji Yahudi dalam usaha mereka untuk menguasai dunia dengan menyebarkan racun/kuman pembunuh kepada bangsa lain, terutama kaum muslimin.

Diungkapkan dalam Deadly Mist, vaksin dijadikan senjata biologis pemusnah massal sistematis oleh zionis dan kroninya sejak abad ke-18, diawali oleh Jenderal Jeffrer Amherst yang menghabisi suku Indian dengan menyebarkan kuman dan penyakit yang disisipkan dalam selimut dan handuk yang dibagikan ke suku tersebut.

Pada abad ke-19, serum/kuman, virus, dan materi berbahaya lainnya dijadikan senjata senjata biologi dalam peperangan atau pemusnahan massal serta penyebaran racun yang menghancurkan otak dan sistem saraf pusat.

Pada abad ke-20, vaksin modern dikelola oleh Flextner Brothers, yang penelitiannya tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh keluarga Rockefeller yang merupakan salah satu keluarga paling berpengaruh di dunia dan bagian dari Zionis International yang memprakasai pendirian WHO dan lembaga dunia lainnya.

Singkatnya, dari data historis, vaksinasi merupakan bagian dari strategi dan misi “pengendalian” jumlah penduduk oleh Zionisme International dalam rangka menggapai misi New World OrderI. Mereka meraup dua keuntungan sekaligus, “pengendalian” jumlah penduduk dan menuai keuntungan yang besar.

Vaksin dan Kepentingan Bisnis

Boleh jadi pula niat busuk Yahudi dalam program vaksinasi ini senada dengan teori bila ingin senjata laku, maka ciptakan perang. Dalam hal ini bila ingin obat laku, ciptakan penyakit! Dengan strategi ini, Yahudi berusaha membuat bangsa lain menderita sekaligus menguras isi kantongnya dengan alasan kesehatan. Sasaran vaksin adalah negara-negara berkembang yaitu Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Yang mengambil keuntungan adalah negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Adanya kepentingan bisnis dan siasat merusak kesehatan manusia di balik imunisasi ini semakin mudah dipahami apalagi bila dicermati bahwa imunisasi/vaksinasi merupakan perbuatan yang membingungkan dan sulit dipahami dan diterima akal sehat serta bertentangan dengan aturan Islam.

Permasalahan Vaksin Lainnya

Vaksin yang selama ini dikembangkan adalah salah satu produk farmasi, dimana kehalalan produk-produk farmasi sendiri dikritisi oleh Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim. Ketus MUI pun menegaskan bahwa hukum mengkonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum mengkonsumsi makanan, yakni harus halal. Bahkan boleh jadi, bila dikaji, pemberian vaksin juga bertentangan dengan aturan Badan POM RI yang tidak memberikan izin edar produk yang bersumber dari bahan tertentu.

Penggunaan bahan haram dalam pembuatan vaksin pun diakui oleh produsen vaksin terbesar di Indonesia, PT. Biofarma, seperti pernah diungkapkan oleh Drs. Iskandar, Apt., MM., ketika menjabat Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Biofarma bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV).

Sementara Kepala Divisi Produksi vaksin virus PT. Biofarma, Drs. Dori Ugiyadi mengatakan, “Di Biofarma, kita menggunakan sel ginjal monyet untuk produksi vaksin polio dan sel embrio ayam untuk produksi vaksin campak.”

Logika Vaksin

Bayi yang baru lahir dianugerahi oleh Allah tubuh yang sempurna, lengkap dengan sistem kekebalan tubuh. Bayi yang belum tahu apa-apa, belum mengenal selain tangis dan tawa, makan/minum, dan tidur tentu tak mampu menolak apa pun yang duimasukkan ke tubuhnya. Ayah ibu lah yang memilah dan memilih apa yang terbaik untuk ditelen atau dimasukkan ke tubuh buah hatinya.

Mungkinkah orang tua membiarkan begitu saja ragam racun ditelan dan bersarang di pembuluh darah dan organ-organ tubuh anak kesayangannya? Di sisi lain, mungkinkah racun merupakan media yang tepat untuk menjaga kesehatan? Bayangkan pula bila racun tersebut berasal dari babi, bangkai, darah dan nanah! Mungkinkah seseorang yang karena hanya ingin menguji daya tahan tubuhnya harus menelah bahan-bahan haram dan berbahaya?

Bukankah vaksinasi hanya menambah orang yang terinfeksi penyakit dan terjadinya penyebaran penyakit di daerah/negara tertentu padahal sebelumnya aman-aman saja?

Hentikan Vaksin!

Setelah merenungkan agenda busuk Yahudi serta dampak buruk vaksin, cukup banyak tenaga medis yang menghentikan dan menentang vaksinasi, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Bidan Emma, menghentikan program imunisasi di kliniknya karena tidak ingin men-dzolimi bayi dan masyarakat dengan memasukkan barang-barang haram dan membahayakan kesehatan. Menurutnya, semisal vaksin hepatitis B membuat organ-organ tubuh bayi terutama liver menjadi sangat terpaksa merespon virus-virus dan zat kimia sehingga memungkinkan terjadinya kelemahan liver untuk tahap kehidupan berikutnya.

Dr. Fadilah Supari saat menjabat sebagai Menteri Kesehatan secara terang-terangan mendesak kajian ulang mengenai kebaradaan Namru 2 (Naval Mediacal Research Unit), proyek riset militer AS dalam masalah vasin. Selain itu, dia juga menentang proyek jual beli virus flu burung dan bisnis-bisnis kotor Amerika lainnya.

Siti Fadilah, anggota Dewan Penasihat Presiden, mengamati adanya konspirasi AS dan WHO dalam mengembangkan senjata biologis virus flu burung sehingga ia dinilai “membuka kedok” WHO yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang merugikan negara-negara miskin.

Bahkan Amerika Serikat sendiri telah mendirikan The Vaccine Adverse Events Reporting Sistem (VAERS) yang mencatat berbagai reaksi buruk yang disebabkan oleh berbagai program vaksinasi. Menurut laporan VAERS, tercatat 244.424 kasus, dengan 2.866 kasus berujung kematian sejak tahun 1999-2002.

Demikan pula masyarakat di AS, Kanada, dan beberapa negara Eropa seperti Inngris, Perancis, dan Belanda telah membatalkan beberapa program vaksinasi.

***

Demikian tulisan ringkas ini semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Sebenarnya masih banyak hal-hal penting lainnya yang mungkin terlewat tidak saya tuliskan di sini, seperti kisah-kisah nyata tentang anak-anak yang justru tumbuh lebih sehat tanpa imunisasi dan sebaliknya, kisah tentang tragedi yang terjadi akibat imunisasi pada bayi, dsb.

Setelah membaca informasi-informasi tersebut juga informasi dari artikel-artikel di internet, saya bertekad tidak akan memberikan vaksinsasi kepada anak-anak saya nanti, insyaAllahu Ta`ala. Semoga Allah melindungi kita semua. Allohu Ta`ala A`lam.

----------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://estehmanishangatnggakpakegula.blogspot.com/

Rujukan:
silakan baca buku:
1. Imunisasi, Dampak & Konspirasi; Solusi Sehat ala Rasulallah SAW, yang ditulis oleh Hj. Ummu Salamah, SH., Hajjam.
2. Deadly Mist, Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia, oleh Jerry D. Gray.

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...