Senin, 16 Desember 2013

HUKUM MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA

Bismillahirrohmaanirrohim


A.       MUKADDIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian Alam. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah SWT semata. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarganya, para shahabat dan pengikutnya yang setia.
Dalam kehidupan masyarakat sering kita dengar mengenai ucapan/ klaim bahwa mengusap wajah setelah berdoa merupakan sesuatu hal yang diada-adakan (bid’ah). Hal itu menjadi suatu permasalahan tersendiri yang mana ada yang menerima pendapat tersebut, ada juga yang menolak.
Dalam risalah ringkas ini, penulis ingin memberikan beberapa dalil tentang bolehnya mengusap wajah setelah berdoa atau bahkan anjuran untuk mengusap wajah setelah berdoa.

B.     DALIL–DALIL HADITS TENTANG MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA
1.      Hadits
Hadits 1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihu wa salam telah bersabda:
 “Jika engkau berdoa kepada Allah meka berdoalah dengan telapak tangan, dan jangan berdoa dengan punggung tangan. Jika telah selesai, maka usaplah wajahmu dengan keduanya”.

Al Hafidz Al Bushairi dalam Zawaid Ibnu Majah (1/390) menyatakan bahwa hadits ini sejatinya dhoif, karena ada perowi yang bernama Sholih bin Hasan, akan tetapi ada syahid dari hadits Ibnu Umar.
Ini isyarat, bahwa hadits ini hasan. Sehingga Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram juga menghasankan hadits ini, beliau berakata,”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204)

Adapun Shalih bin Hasan tidak sendirian, beliau memiliki mutabik yaitu Isa bin Maimun. Mutab’ah ini dikeluarkan oleh Ishaq bin Rahweh dalam Musnadnya (dalam Nashbu Ar Rayah 3/52), juga Al Maruzi dalam Qiyam Al Lail (141).

Sedangkan syawahidnya adalah Hadits As Saib bin Kholad dan anaknya, Umar dan anaknya Abdullah, serta mursal Zuhri. Hadits As Saib bin Kholad atau anaknya diriwayatkan dalam Musnad Ahmad (4/221), Abu Dawud (1492) dan Thabrani dalam Al Kabir (22/241,242)
Hadits 2. Dari As Sa’ib bin Yazid dari ayahnya:”Bahwa sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika setelah selesai berdoa mengusap wajah dengan tangannya”.
Dalam hadits ini ada Hafsh bin Hashim yang majhul, juga ada Ibnu Luhai’ah yang terkenal dhoif. Akan tetapi hadits ini hasan karena beberapa sebab.

1.      Hafsh bin Hashim memiliki penguat (mutabik), dan ini termasuk hadits Ibnu Luhai’ah yang shahih, berikut penjelasannya:
1)      Hafsh bin Hashim bin Utbah, memang tidak diketahui, sehingga Ibnu Hajar dalam Tahdzib (2/420-421) menyatakan bahwa sebetulnya yang menempati posisi Hafsh adalah Habban bin Washi’. Beliau menilai bahwa Ibnu Luhai’ah yang salah menyebut nama dalam hal ini. Itu dikarenakan, dalam kitab-kitab sejarah tidak pernah disebutkan ada orang yang bernama Hafsh bin Hashim, juga tidak ada yang menyebutkan bahwa Bin Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh. Adapun Habban bin Wasik memang jelas-jelas menjadi syeikhnya Ibnu Luhai’ah dalam hadits ini dan dia tidak bermasalah karena termasuk rijal Muslim. Nah jika ini diterima, maka sudah tidak ada masalah dengan Hafsh, karena digantikan dengan Habban bin Washi’ yang termasuk rijal Muslim. Jika tidak diterima maka tetap ada perowi yang majhul, tapi posisi Habban menjadi sebagai mutabik atas Hafsh, sehingga tidak ada masalah juga.
2)      Ibnu Luhai’ah: Hadits Qutaibah Bin Sa’id yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Dalam Tahdzib Kamal (23/494), Imam Ahmad berkata kepada Qutaibah,”hadits-haditsmu yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Hal ini dikarenakan Qutaibah menulisnya dari buku Abdullah bin Wahab dan mendengarkannya dari Ibnu Luhai’ah. Dan hadits di atas termasuk hadits Qutaibah yang berasal dari Ibnu Luhai’ah. Dari sinilah hadits ini dinailai hasan.

Hadits 3. Dari Umar radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika mengangkat kedua tangnnya untuk berdoa, maka beliau tidak menariknya, hingga mengusap dengannya wajahnya.
Dikeluarkan oleh Tirmdzi (3386), Al Hakim (1/536), AT Thabrani dalam Ad Du’a’(212,213)Abnu Al Jauzi dalam ‘Ilal (1406)dan Abdul Ghani bin Sa’id Al Azdi dalam Idhah Al Isykal dan As Silafi dalam Mu’jam As Safar (41).
At Tirmidzi berkata : ”Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.” Sedangkan Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/253,254) menyatakan bahwa tidak boleh berhujjah dengannya (Hammad). Tentu, tidak boleh berhujah tidak menghalangi untuk mengambilnya sebagai syahid atau berhujjah sebagai mutaba’ah.

Sedangkan Abu Bakar Al Bazar (1/243) menyatakan: Dia layin hadits, dan haditsnya yang dhoif adalah hadits ini. Sedangkan Ibnu Ma’in mengatakan: Syeikh Shalih. Dzahabi dalam Mizan (1/598 ) dia dhoif menurut Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni, dan tidak meninggalkannya. Hafidz dalam At Taqrib (1503) menyatakan: “Dhoif”. Iraqi dalam Tahrij Ihya’ (1/350) juga mendhoifkan saja, juga Nawawi dalam Al Adzkar. Dan Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi memasukannya dalam An Nashihah fi Al Ad’iyah As Shahihah (14).
Dari paparan di atas, maka hadits tidak mutlak ditinggalkan, akan tetapi masih bisa diambil sebagai syahid, dan ini juga pendapat Hafidz Ibnu Hajar, hingga beliau menyatakan bahwa ”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204).


Dalil Hadist Mursal
Mursal Az Zuhri, yang dikeluarkan oleh Abdu Ar Razak dalam Mushanaf (2/247). Dari Ma’mar dari Az Zuhri, ia mengatakan:”Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat kedua tangannya di dada dalam doa, kemudian mengusapkan keduanya di wajah. Abdurrazak mengatakan,”Sepertinya aku melihat Ma’mar melakukannya, dan aku melakukan hal itu juga.
Ini adalah mursal yang shahih isnadnya, dan hujjah walau berdiri sendiri menurut jumhur, seperti Ibnu Musayyab, Malik, Abu Hanifah dan dalam riwayat termashur Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam ushul. Adapun Syafi’i tidak menerima mursal kecuali dengan didukung salah satu lima hal, yang juga ma’ruf dalam ilmu ushul. Dan mursal ini termasuk mursal yang memenuhi syarat Syafi’i, karena didukung oleh atsar sahabat.

2.      Atsar dari Shahabat
Berberapa atsar tentang masalah ini adalah atsar dengan sanad jayid yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad (609)



Juga atsar yang diriwayatkan oleh Abdu Ar Razak dalam Al Mushanaf (3256) bahwa Ibnu Juraij dan Yahya bin Sa’id menyatakan bahwa orang-orang sebelum mereka mengusap wajah setelah berdoa.
Jelas, maka orang-orang sebelum Ibnu Juraij dan Yahya adalah para sahabat dan kibar tabi’in. Sedangkan Al Marwazi menyebutkan dalam Qiyam Al Lail (236) tentang atsar dari Al Hasan Al Bashri, Abu Ka’ab Al Bashri serta Ishaq bin Rahweh dalam masalah ini. Tentang Atsar Al Hasan Al Bashri, Imam As Suyuthi menyatakan dalam Fadh Al Wi’a’ (101): “Isnadnya hasan”.

Dari sini, maka apa yang dikatakan Hafidz Ibnu Hajar, Hafidz Al Bushoiri dan Al Munawi bahwa hadits ini hasan sangat beralasan. Allahu’alam
(Diambil dari At Ta’rif (4/504-515), Cet.2, Dar Buhuts wa Ihya Turats Emirat)

C.    KESIMPULAN
Dari keterangan hadits dan atsar dari Shahabat tersebut, sangat jelas bahwa mengusap wajah setelah berdoa adalah boleh dan bukan sesuatu yang bid’ah

==============================
Refrensi :
http://ponpesdarulilmi.blogspot.com/p/hukum-mengusap-wajah-setelah-berdoa.html

Minggu, 15 Desember 2013

Khulu’ Cerai atau Fasakh?

Bismillahirrohmaanirrohim
Syariat islam menjadikan al-khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai atau fasakh (pembatalan akad nikah)?


Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat dalam beberapa pendapat:

Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak bain dan ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i dalam Qaul Jadid.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak raj’i. Ini adalah pandapat Ibnu Hazm.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah fasakh (penghapusan akad nikah) bukan talak. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang muhaddits (fuqaha’ hadits).
Syekhul Islam menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu’) adalah faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan pendapat mayoritas fuqaha’ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan ‘Ikrimah. [2]

Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut:

Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 229–230)

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali, kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,

فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]
Demikianlah yang dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.

Beliau pernah ditanya tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian, al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih) [4]

Dalil kedua, hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,

أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

“Beliau melakukan al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/275).

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.

Dalil ketiga, pernyataan Ibnu Abbas,

مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ

“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah talak.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, no. 11767) [5]

Dalil keempat, hal ini sesuai tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak) dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan sekali haid saja, seperti al-istibra’. [6]

Dalil kelima, asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:

Suami lebih berhak diterima rujuknya.
Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan suami-istri dengannya.
Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’. [7]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah [8], Ibnu al-Qayyim [9], asy-Syaukani [10], Syekh Muhammad bin Ibrahim [11], Syekh Abdurrahman as-Sa’di [12], serta Syekh al-Albani [13].

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu’ adalah fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisah istrinya dengan tebusan (al-khulu’) sebanyak beberapa kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.” [14]

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu’ tidak terhitung sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan tebusan bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafal dan susunan katanya.” [15]

Sedangkan Syekh al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.” [16]

Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini

Masalah al-khulu’ yang merupakan fasakh bukan talak akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekuensinya, di antaranya:

1. Tidak dianggap dalam hitungan talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu’ setelah melakukan dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut, walaupun al-khulu’nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan Syekhul Islam di atas.

2. Iddah atau masa menunggunya hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tang telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّتَهَا حَيْضَةً

“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu’) darinya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud, no. 2229)

Inilah pendapat Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

3. Al-Khulu’ diperbolehkan dalam setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli, karena al-khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan al-khulu’.

Demikianlah beberapa hukum berkenaan dengan al-khulu’, sebagai pelengkap pambahasan yang terdahulu. Mudah-mudahan bermanfaat.

==============================================================
Catatan kaki:

[1] Lihat: Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah, 5/473; Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir, 3/344–345.

[2] Majmu’ Fatawa: 23/289.

[3] Lihat at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir, 2/275; Taudhih al-Ahkam: 5/473; Shahih Fikih Sunnah: 3/3345.

[4] Dinukil dari Shahih Fikih Sunnah: 3/346.

[5] Ibid.

[6] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut, 5/179.

[7] Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 6/263.

[8] Majmu’ al-Fatawa: 23/289.

[9] Zad al-Ma’ad: 5/179.

[10] Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 129.

[11]Lihat: Taudhih al-Ahkam: 5/473.

[12] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA, 2/173.

[13] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[14] Majmu’ al-Fatawa: 23/290.

[15] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah: 2/173.

[16] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[17] Lihat: Shahih Fikih Sunnah: 3/360.

Referensi:1. Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA.
2. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah.
3. Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir.
4. Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut.
5. Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut.
6. At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir.
7. Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Jumat, 13 Desember 2013

Menghadiri Undangan Natal

Bismillahirrohmaanirrohim
Bolehkah seorang muslim menghadiri perayaan natal jika diundang? Atau mungkin ada acara natal bersama yang diadakan di lingkungan kantor, bolehkah dihadiri?

Perlu diketahui bahwa seorang muslim diharamkan loyal pada orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Di antara bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang adalah menghadiri perayaan mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

من مَرَّ ببلاد الأعاجم فصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حشر معهم يوم القيامة

“Siapa yang lewat di negeri asing, lalu ia meniru yang dilakukan oleh Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka hingga mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka“. Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Jadi, jelaslah tidak boleh menghadiri undangan non muslim berkenaan dengan hari raya mereka. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.



Referensi:

Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 11427: http://islamqa.com/ar/11427

@ Warak, Panggang, Gunungkidul, 9 Safar 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kamis, 12 Desember 2013

حكام الضرائب والجمارك في الفقه الإسلامي / HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM

Bismillahirrohmaanirrohim

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc

Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya berdasarkan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Di antara larangan Allah ialah melakukan kezhaliman kepada sesama manusia dengan mengambil harta benda mereka tanpa hak, seperti mencuri, korupsi, memakan harta riba, mewajibkan bayar pajak bagi seluruh masyarakat terutama kaum muslimin, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, dalam edisi kali ini kami akan menjelaskan tentang hukum pajak menurut pandangan Islam, bagaimana kaum muslimin menyikapinya, dan syarat-syarat dibolehkannya pemungutan pajak. Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat.

A. DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-Maks, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202).

Menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.” (Lihat Syifa’ul Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi hal.275).

Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah diantaranya adalah :
a. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam)
b. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam)
c. al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam)

B. BEBERAPA JENIS PAJAK DI ZAMAN SEKARANG:
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai, diantaranya ialah:
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
- Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.

C. HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM:
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).

Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)

3) Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).

4) Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hal. 715-716)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung diantaranya ialah, “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.” (Lihat Syarah Shahih Muslim XI/202 oleh Imam Nawawi).

5) Hadits Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” (HR. Abu Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dho’if oleh syaikh Al-Albani)
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam adz-Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan selainnya.

6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.” (Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31)

7) Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan, “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.

Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al-Juwaini di dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337, dan selainnya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan antara: (a) Pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya.
Point-point dalam group (a) di atas, bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga.

2) Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan dengan iman kepada Allah dan hari Kiamat, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.

3) Ayat Al-Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat Al-Ma’un, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat riya’.

4) Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Mashalih Mursalah” (atas dasar kepentingan), atau kaidah ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah ‘lebih memilih mudharat yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang menimpa manusia secara umum’. Kas Negara yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh.

5) Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran (QS. 9:41, 49:51, 61:11, dll). Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.

6) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tatar, seraya berkata: “Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam berjihad melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent) menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).

Kesimpulan Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).

Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).

Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata, “Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan muslim) hendak menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul mal kaum muslimin (kas Negara) jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupinya, dan tidak boleh baginya mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika di dalam baitul mal tidak ada harta yang mencukupi penyiapan pasukan perang, maka dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada mereka (orang-orang kaya agar membayar pajak, pent) sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.” (Lihat As-Sair Al-Kabir beserta syarahnya I/139).

D. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK:
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
Kedua: Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Ketiga: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak.
Keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
Kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
Keenam: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Ketujuh: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)

E. APAKAH PAJAK DI ZAMAN INI SESUAI DENGAN SYARIAH ISLAM?
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.

Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam bish-Showab.

F. BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan dengan suatu kemaksiatan. Adapun jika penguasa memerintahkan rakyatnya dengan suatu kemaksiatan maka rakyat (kaum muslimin) dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840).

Akan tetapi, bagaimana sikap kaum muslimin jika penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam keadaan demikian kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa. Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada umatnya:

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan: “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).” (Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)

Demikian penjelasan kami tentang hukum pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan kekurangan maka itu datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika benar, maka ini datangnya dari Allah Ta’ala semata. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi 17 Volume 2 / Juni 2011]

Sabtu, 07 Desember 2013

Kabar Islam: Opspek apa Memperkosa?

Kabar Islam: Opspek apa Memperkosa?: Ini Opspek apa Memperkosa? Kok siswa senior pria menindihi siswa juniornya? Ini di tempat ramai. Bagaimana jika di tempat sepi? ...

Bismillahirrohmaanirrohim
INIKAH HASIL DIDIKAN SMA SMP INDONESIA?????????????????????????????????????????????????????
JAWAB!!!! PENTES AJA.....NEGARA INI BOBROOKK.......,
ANDA SUKA ??? KLO IYA ANDA JUGA PELAKUNYA.....DAN BERHAK MENDAPAT DOSA WALAU ANDA TIDAK HADIR DISITUUU....


SILAHKAN BACA....


Ini Opspek apa Memperkosa?
Kok siswa senior pria menindihi siswa juniornya?
Ini di tempat ramai.
Bagaimana jika di tempat sepi?
Tak heran jika siswa SMP berani beradegan mesum berulang-kali sementara teman2nya yang lain memvideokannya dan menyebarnya.
Sepertinya moral sebagian siswa dan para guru kita sudah pada hancur. Jauh dari ajaran Islam.
Sementara sebagian "dai" kerjanya sibuk mempermasalahkan bid'ah (yang menurut jumhur ulama bukan bid'ah dan kata bid'ah tak ada di dalam Al Qur'an). Sehingga hal-hal yang seperti ini malah terabaikan.
Bagi para orang tua murid sebaiknya tidak mengizinkan putrinya untuk mengikuti Opspek. Toh para guru dan kepala sekolah juga tidak bertanggung-jawab.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [Al Israa’ 32]

Mendekati zina itu artinya melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan kita berzina seperti kegiatan yang membangkitkan nafsu syahwat (membaca buku-buku porno, melihat gambar-gambar porno, atau menonton video-video porno. Begitu pula dengan menatap wanita yang bukan muhrimnya sehingga nafsunya bangkit atau pergi ke tempat disko atau dugem di night club/klub malam di mana para pria dan wanita yang bukan muhrim bercampur bersama.

“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)

Tapi yg lebih parah dari itu sudah terjadi di negeri ini: Siswa SMP Perkosa Siswi Perempuan?

http://infoindonesiakita.com/2013/12/06/adegan-mesum-perkosaan-di-smp-4-jakarta-pusat

Tapi opspek memang mengerikan. Di ITN Malang ada yg tewas. Smentara yg putri harus mengelus dan mengoral singkong yg dibentuk seperti kemaluan pria:http://www.kaskus.co.id/thread/5296e530c3cb17e35e000103

Baca selengkapnya di: http://media-islam.or.id/2010/11/24/jangan-dekati-zina/

Sumber:

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...