Tampilkan postingan dengan label FIQIH ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH ISLAM. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Desember 2013

Ahlul Kitab

Bismillahirrohmaanirrohim

Ahlul Kitab Menurut Imam Syafi’i
Istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab  suci. Jadi, Ahlul Kitab  berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah).

Dalam hal ini Imam Syafi’i (w. 204 H) menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab hanya terbatas pada dua golongan saja, yaitu  golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel. Sedangkan diluar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, menurut Imam Syafi’i, tidak termasuk Ahlul Kitab.

Imam Syafi’i  berargumen bahwa Nabi Musa a.s dan Isa a.s hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel (hal ini menunjukkan bahwa objek seruan Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s yang diutus hanya Bani Israel).  (Tafsir Imam Syafi’i , vol. II,hlm. 56 )

Adapun agama Majusi (Zoroaster) , menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam kategori Ahlu kitab (Al-Umm : Vol.V, hlm. 405 ).  Hal itu karena Majusi tidak diturunkan kepadanya Kitab, dan juga tidak mengikuti salah satu dari agama Yahudi maupun Nasrani. Dengan demikian, kaum  Muslim  tidak dihalalkan    menikmati makanan   sembelihan  orang-orang  Majusi,  dan  tidak dapat  pula mengawini wanita-wanita mereka, walaupun dalam masalah membayar jizyah ( pajak ), keudukan Majusi dan Ahlul Kitab dianggap sama.

Ini disebabkan adanya pengecualian secara khusus, sebagaimana terdapat dalam  hadist Nabi  saw yang  diriwayatkan  oleh imam Syafi’i, bahwa suatu ketika ditanyakan kepada Umar r.a. tentang perlakuan terhadap Majusi dalam masalah jizyah, Umar pun terdiam ( tawaquf ), sampai datang kepadanya Abdurrahman bin Auf, seraya bersaksi, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Perlakukanlah mereka ( kaum Majusi ) sama dengan perlakuan  terhadap Ahl Al-Kitab.”  Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: “tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak  juga  mengawini wanita  mereka.”  Hal ini juga dikuatkan oleh guru Imam Syafi’i yaitu Imam Malik  dalam  kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, hadis ke-42.

Jadi, tegas Imam Syafi’i. dapat disimpulkan  bahwa Ahlul Kitab hanya terbatas pada kedua golongan saja  yaitu Yahudi dan  Nasrani,  sementara Majusi (Zoroaster)  tidak termasuk di dalamnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh  firman Allah: “(Kami turunkan Al-Qur’an ini) agar  kamu (tidak) mengatakan bahwa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan  saja sebelum  kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS Al-An’am [6]: 156).

Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, istilah Ahlul Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai Ahli Kitab. Kaum Majusi, misalnya, meskipun mereka sudah dikenal pada masa Nabi SAW, tetapi mereka tidak disebut sebagai Ahlul Kitab. Namun, Rasulullah saw memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab.
Pendapat Imam Syafi’i senada dengan para ulama besar lainnya, seperti Thabary, al-Qurthuby (w. 671 H) yang  mengatakan bahwa tidak ada perbedaan bahwasannya Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab.  Pernyataan ini dipertegas juga oleh al-Baghawy (w. 516 H), Ibn Katsir (w. 774 H), dan al-Biqa’iy (w. 885 H) ketika menafsirkan QS al-Bayyinah:1, bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah Yahudi dan Nasrani.

Kajian tentang Ahul Kitab telah menyedot perhatian banyak ilmuwan Muslim, baik yang klasik maupun kontemporer. Salah satu kajian serius dilakukan oleh Dr. Muhammad Azizan Sabjan, dalam disertasinya di International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia yang berjudul The People of the Book and the People of a Dubious Bookin Islamic Religious Tradition.

Disertasi ini juga menyimpulkan, bahwa istilah Ahlul Kitab (the people of the book)  pada komunitas pengikut agama Yahudi dan Nasrani. Golongan ini ada dua jenis, yakni true believers yang sejatinya adalah Muslim, karena mereka mengimani kenabian Muhammad saw saat dakwah Nabi saw sampai pada mereka. Golongan lain adalah misbelievers. Inilah yang masuk kategori Ahlul Kitab. “As stressed by al-Ghazali, they are those of the Jews and Christians who are exercising corrupted form of religions.” (***)

Nah, sekarang tentang ahlul kitab, jaman sekarang kita tidak bisa nyebut orang agama lain sebagai ahlul kitab, karena , kita tau kalau injil yang ada pada jaman nabi Isa bukanlah injil yang ada sekarang.  Dalam Islam, injil adalah firman Allah sendiri, sedangkan injil yang ada di perjanjian baru ditulis sama murid Yesus, maaf ini kalau tidak salah, tapi yang saya ketahwi ada injil matius, lukas, yohanes, sama markus. saya tidak tau mana yang termasuk 12 murid mana yang bukan, tapi ya itulah intinya. Ada perbedaan pendapat antara Islam dan Kristen tentang injil, jadi yaa, para penganut Kristen saat ini bukanlah ahlul kitab :)

Yaa, sekian dulu aja deh :D  :) semoga bermanfaat bagi yang belom tau apa itu ahlul kitab sebenernya :) syukran lakum :)

http://rizkifebi.wordpress.com/2010/08/19/ahlul-kitab/

Senin, 16 Desember 2013

HUKUM MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA

Bismillahirrohmaanirrohim


A.       MUKADDIMAH
Segala puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian Alam. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah SWT semata. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarganya, para shahabat dan pengikutnya yang setia.
Dalam kehidupan masyarakat sering kita dengar mengenai ucapan/ klaim bahwa mengusap wajah setelah berdoa merupakan sesuatu hal yang diada-adakan (bid’ah). Hal itu menjadi suatu permasalahan tersendiri yang mana ada yang menerima pendapat tersebut, ada juga yang menolak.
Dalam risalah ringkas ini, penulis ingin memberikan beberapa dalil tentang bolehnya mengusap wajah setelah berdoa atau bahkan anjuran untuk mengusap wajah setelah berdoa.

B.     DALIL–DALIL HADITS TENTANG MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA
1.      Hadits
Hadits 1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihu wa salam telah bersabda:
 “Jika engkau berdoa kepada Allah meka berdoalah dengan telapak tangan, dan jangan berdoa dengan punggung tangan. Jika telah selesai, maka usaplah wajahmu dengan keduanya”.

Al Hafidz Al Bushairi dalam Zawaid Ibnu Majah (1/390) menyatakan bahwa hadits ini sejatinya dhoif, karena ada perowi yang bernama Sholih bin Hasan, akan tetapi ada syahid dari hadits Ibnu Umar.
Ini isyarat, bahwa hadits ini hasan. Sehingga Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram juga menghasankan hadits ini, beliau berakata,”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204)

Adapun Shalih bin Hasan tidak sendirian, beliau memiliki mutabik yaitu Isa bin Maimun. Mutab’ah ini dikeluarkan oleh Ishaq bin Rahweh dalam Musnadnya (dalam Nashbu Ar Rayah 3/52), juga Al Maruzi dalam Qiyam Al Lail (141).

Sedangkan syawahidnya adalah Hadits As Saib bin Kholad dan anaknya, Umar dan anaknya Abdullah, serta mursal Zuhri. Hadits As Saib bin Kholad atau anaknya diriwayatkan dalam Musnad Ahmad (4/221), Abu Dawud (1492) dan Thabrani dalam Al Kabir (22/241,242)
Hadits 2. Dari As Sa’ib bin Yazid dari ayahnya:”Bahwa sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika setelah selesai berdoa mengusap wajah dengan tangannya”.
Dalam hadits ini ada Hafsh bin Hashim yang majhul, juga ada Ibnu Luhai’ah yang terkenal dhoif. Akan tetapi hadits ini hasan karena beberapa sebab.

1.      Hafsh bin Hashim memiliki penguat (mutabik), dan ini termasuk hadits Ibnu Luhai’ah yang shahih, berikut penjelasannya:
1)      Hafsh bin Hashim bin Utbah, memang tidak diketahui, sehingga Ibnu Hajar dalam Tahdzib (2/420-421) menyatakan bahwa sebetulnya yang menempati posisi Hafsh adalah Habban bin Washi’. Beliau menilai bahwa Ibnu Luhai’ah yang salah menyebut nama dalam hal ini. Itu dikarenakan, dalam kitab-kitab sejarah tidak pernah disebutkan ada orang yang bernama Hafsh bin Hashim, juga tidak ada yang menyebutkan bahwa Bin Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh. Adapun Habban bin Wasik memang jelas-jelas menjadi syeikhnya Ibnu Luhai’ah dalam hadits ini dan dia tidak bermasalah karena termasuk rijal Muslim. Nah jika ini diterima, maka sudah tidak ada masalah dengan Hafsh, karena digantikan dengan Habban bin Washi’ yang termasuk rijal Muslim. Jika tidak diterima maka tetap ada perowi yang majhul, tapi posisi Habban menjadi sebagai mutabik atas Hafsh, sehingga tidak ada masalah juga.
2)      Ibnu Luhai’ah: Hadits Qutaibah Bin Sa’id yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Dalam Tahdzib Kamal (23/494), Imam Ahmad berkata kepada Qutaibah,”hadits-haditsmu yang berasal dari Ibnu Luhai’ah Shahih. Hal ini dikarenakan Qutaibah menulisnya dari buku Abdullah bin Wahab dan mendengarkannya dari Ibnu Luhai’ah. Dan hadits di atas termasuk hadits Qutaibah yang berasal dari Ibnu Luhai’ah. Dari sinilah hadits ini dinailai hasan.

Hadits 3. Dari Umar radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jika mengangkat kedua tangnnya untuk berdoa, maka beliau tidak menariknya, hingga mengusap dengannya wajahnya.
Dikeluarkan oleh Tirmdzi (3386), Al Hakim (1/536), AT Thabrani dalam Ad Du’a’(212,213)Abnu Al Jauzi dalam ‘Ilal (1406)dan Abdul Ghani bin Sa’id Al Azdi dalam Idhah Al Isykal dan As Silafi dalam Mu’jam As Safar (41).
At Tirmidzi berkata : ”Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn ‘Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya.” Sedangkan Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/253,254) menyatakan bahwa tidak boleh berhujjah dengannya (Hammad). Tentu, tidak boleh berhujah tidak menghalangi untuk mengambilnya sebagai syahid atau berhujjah sebagai mutaba’ah.

Sedangkan Abu Bakar Al Bazar (1/243) menyatakan: Dia layin hadits, dan haditsnya yang dhoif adalah hadits ini. Sedangkan Ibnu Ma’in mengatakan: Syeikh Shalih. Dzahabi dalam Mizan (1/598 ) dia dhoif menurut Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni, dan tidak meninggalkannya. Hafidz dalam At Taqrib (1503) menyatakan: “Dhoif”. Iraqi dalam Tahrij Ihya’ (1/350) juga mendhoifkan saja, juga Nawawi dalam Al Adzkar. Dan Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi memasukannya dalam An Nashihah fi Al Ad’iyah As Shahihah (14).
Dari paparan di atas, maka hadits tidak mutlak ditinggalkan, akan tetapi masih bisa diambil sebagai syahid, dan ini juga pendapat Hafidz Ibnu Hajar, hingga beliau menyatakan bahwa ”ia (hadits ini) memiliki syawahid (beberapa penguat), salah satunya adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam Abu Dawud dan yang lain, perkumpulan hadits ini menjadikannya hasan (Subul As Salam 2/204).


Dalil Hadist Mursal
Mursal Az Zuhri, yang dikeluarkan oleh Abdu Ar Razak dalam Mushanaf (2/247). Dari Ma’mar dari Az Zuhri, ia mengatakan:”Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat kedua tangannya di dada dalam doa, kemudian mengusapkan keduanya di wajah. Abdurrazak mengatakan,”Sepertinya aku melihat Ma’mar melakukannya, dan aku melakukan hal itu juga.
Ini adalah mursal yang shahih isnadnya, dan hujjah walau berdiri sendiri menurut jumhur, seperti Ibnu Musayyab, Malik, Abu Hanifah dan dalam riwayat termashur Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam ushul. Adapun Syafi’i tidak menerima mursal kecuali dengan didukung salah satu lima hal, yang juga ma’ruf dalam ilmu ushul. Dan mursal ini termasuk mursal yang memenuhi syarat Syafi’i, karena didukung oleh atsar sahabat.

2.      Atsar dari Shahabat
Berberapa atsar tentang masalah ini adalah atsar dengan sanad jayid yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad (609)



Juga atsar yang diriwayatkan oleh Abdu Ar Razak dalam Al Mushanaf (3256) bahwa Ibnu Juraij dan Yahya bin Sa’id menyatakan bahwa orang-orang sebelum mereka mengusap wajah setelah berdoa.
Jelas, maka orang-orang sebelum Ibnu Juraij dan Yahya adalah para sahabat dan kibar tabi’in. Sedangkan Al Marwazi menyebutkan dalam Qiyam Al Lail (236) tentang atsar dari Al Hasan Al Bashri, Abu Ka’ab Al Bashri serta Ishaq bin Rahweh dalam masalah ini. Tentang Atsar Al Hasan Al Bashri, Imam As Suyuthi menyatakan dalam Fadh Al Wi’a’ (101): “Isnadnya hasan”.

Dari sini, maka apa yang dikatakan Hafidz Ibnu Hajar, Hafidz Al Bushoiri dan Al Munawi bahwa hadits ini hasan sangat beralasan. Allahu’alam
(Diambil dari At Ta’rif (4/504-515), Cet.2, Dar Buhuts wa Ihya Turats Emirat)

C.    KESIMPULAN
Dari keterangan hadits dan atsar dari Shahabat tersebut, sangat jelas bahwa mengusap wajah setelah berdoa adalah boleh dan bukan sesuatu yang bid’ah

==============================
Refrensi :
http://ponpesdarulilmi.blogspot.com/p/hukum-mengusap-wajah-setelah-berdoa.html

Minggu, 15 Desember 2013

Khulu’ Cerai atau Fasakh?

Bismillahirrohmaanirrohim
Syariat islam menjadikan al-khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status al-khulu’ bila telah ditetapkan, apakah dihitung sebagai cerai atau fasakh (pembatalan akad nikah)?


Para ulama, dalam hal ini, berselisih pendapat dalam beberapa pendapat:

Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak bain dan ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i dalam Qaul Jadid.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah talak raj’i. Ini adalah pandapat Ibnu Hazm.
Pendapat bahwa al-khulu’ adalah fasakh (penghapusan akad nikah) bukan talak. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, dan Daud az-Zahiri. [1] Juga zahir Mazhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli Fikih yang muhaddits (fuqaha’ hadits).
Syekhul Islam menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zahir Mazhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan bahwa (al-khulu’) adalah faskh nikah dan bukan talak yang tiga. Seandainya suami mengkhulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahi istrinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan selainnya. Ini adalah salah satu pendapat Syafi’i dan pendapat mayoritas fuqaha’ ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Daud, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau, seperti Thawus dan ‘Ikrimah. [2]

Pandapat yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut:

Dalil pertama, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ . فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 229–230)

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan talak dua kali, kemudian menyebutkan al-khulu’, kemudian diakhiri dengan firman-Nya,

فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentunya jumlah talaknya menjadi empat dan talak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]
Demikianlah yang dipahami oleh Ibnu Abbas dari ayat di atas.

Beliau pernah ditanya tentang seorang yang mentalak istrinya dua kali, kemudian sang istri melakukan gugatan cerai (al-khulu’). Apakah ia boleh menikahinya lagi? Beliau menjawab, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan talak di awal ayat dan diakhirnya, serta al-khulu’ di antara keduanya. Dengan demikian, al-khulu’ bukanlah talak. (Oleh karena itu,) ia boleh menikahinya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf: 6/487 dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih) [4]

Dalil kedua, hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berbunyi,

أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

“Beliau melakukan al-khulu’ pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya –atau dia diperintahkan– untuk menunggu satu kali haidh.” (Hr. at-Tirmidzi; dinilai shahih oleh al-Albani dalam at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/275).

Seandainya al-khulu’ adalah talak, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu haid.

Dalil ketiga, pernyataan Ibnu Abbas,

مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ

“Semua yang dihalalkan oleh harta bukanlah talak.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, no. 11767) [5]

Dalil keempat, hal ini sesuai tuntutan kaidah syariat, karena iddah (masa menunggu wanita yang ditalak) dijadikan tiga kali haid agar masa tenggang untuk rujuk menjadi lama, lalu suami perlahan-lahan (berpikir) serta memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila pada al-khulu’ tidak ada kebolehan untuk rujuk, maka maksudnya adalah sekadar untuk memastikan bahwa rahim tidak berisi janin (sang wanita tidak hamil, ed), dan itu cukup dengan sekali haid saja, seperti al-istibra’. [6]

Dalil kelima, asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnu al-Qayyim yang menyatakan bahwa yang menunjukkan bahwa al-khulu’ bukanlah talak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan tiga hukum setelah talak yang tidak ada dalam al-khulu’, yaitu:

Suami lebih berhak diterima rujuknya.
Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga sang wanita menikahi suami baru dan berhubungan suami-istri dengannya.
Iddahnya tiga quru’ (haid).
Padahal, telah ditetapkan dengan nash dan ijma’ bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu’. [7]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah [8], Ibnu al-Qayyim [9], asy-Syaukani [10], Syekh Muhammad bin Ibrahim [11], Syekh Abdurrahman as-Sa’di [12], serta Syekh al-Albani [13].

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Pendapat yang telah kami jelaskan, yaitu al-khulu’ adalah fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafal apa pun adalah yang shahih yang ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisah istrinya dengan tebusan (al-khulu’) sebanyak beberapa kali, ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafal talak atau selainnya.” [14]

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menyatakan, “Yang shahih adalah bahwa khulu’ tidak terhitung sebagai talak, walaupun dengan lafal talak dan niatnya, karena Allah menjadikan tebusan bukan talak dan itu umum, baik dengan lafal talak yang khusus atau dengan lafal lainnya, dan karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafal dan susunan katanya.” [15]

Sedangkan Syekh al-Albani menyatakan, “Dan yang benar adalah bahwa fasakh sebagaimana yang dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syekhul Islam dalam al-Fatawa.” [16]

Hasil dan Konsekuensi Masalah Ini

Masalah al-khulu’ yang merupakan fasakh bukan talak akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekuensinya, di antaranya:

1. Tidak dianggap dalam hitungan talak yang tiga. Sehingga seandainya seorang mengkhulu’ setelah melakukan dua kali talak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut, walaupun al-khulu’nya terjadi lebih dari sekali. Sebagaimana dijelaskan Syekhul Islam di atas.

2. Iddah atau masa menunggunya hanya sekali haid, dengan dasar hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz tang telah disampaikan di atas. Ini dikuatkan pula dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّتَهَا حَيْضَةً

“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais meminta talak (al-khulu’) darinya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haid.” (Hr. Abu Daud; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud, no. 2229)

Inilah pendapat Utsman bin ‘Affan, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, Ishaq, Ibnu al-Mundzir, dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

3. Al-Khulu’ diperbolehkan dalam setiap waktu, walaupun dalam keadaan haid atau suci yang telah dipergauli, karena al-khulu’ disyariatkan untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa wanita dengan sebab tidak baiknya pergaulan sang suami atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan al-khulu’.

Demikianlah beberapa hukum berkenaan dengan al-khulu’, sebagai pelengkap pambahasan yang terdahulu. Mudah-mudahan bermanfaat.

==============================================================
Catatan kaki:

[1] Lihat: Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah, 5/473; Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir, 3/344–345.

[2] Majmu’ Fatawa: 23/289.

[3] Lihat at-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir, 2/275; Taudhih al-Ahkam: 5/473; Shahih Fikih Sunnah: 3/3345.

[4] Dinukil dari Shahih Fikih Sunnah: 3/346.

[5] Ibid.

[6] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut, 5/179.

[7] Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 6/263.

[8] Majmu’ al-Fatawa: 23/289.

[9] Zad al-Ma’ad: 5/179.

[10] Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 129.

[11]Lihat: Taudhih al-Ahkam: 5/473.

[12] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA, 2/173.

[13] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[14] Majmu’ al-Fatawa: 23/290.

[15] Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah: 2/173.

[16] At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah: 2/273.

[17] Lihat: Shahih Fikih Sunnah: 3/360.

Referensi:1. Al-Mukhtarat al-Jaliyyah min al-Masa`il al-Fiqhiyyah, Syeikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, cetakan kedua, tahun 1412 H, Markaz Shalih bin Shalih ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA.
2. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Basam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Mekkah.
3. Shahih Fikih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir.
4. Al-Adillah ar-Radhiyah Limatni ad-Durar al-Bahiyyah fi Masa`il al-Fiqhiyyah, Muhammad asy-Syaukani, ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf, cetakan tahun, 1423 H, Dar al-Fikr, Beirut.
5. Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut.
6. At-Ta’liqat ar-Radhiyah ‘ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tahqiq Ali Hasan al-Halabi, cetakan pertama, tahun 1420 H, Dar Ibnu ‘Affan, Mesir.
7. Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arnauth, cetakan ketiga, tahun 1421 H, Muassasat al-Risalah, Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Jumat, 13 Desember 2013

Menghadiri Undangan Natal

Bismillahirrohmaanirrohim
Bolehkah seorang muslim menghadiri perayaan natal jika diundang? Atau mungkin ada acara natal bersama yang diadakan di lingkungan kantor, bolehkah dihadiri?

Perlu diketahui bahwa seorang muslim diharamkan loyal pada orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Di antara bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang adalah menghadiri perayaan mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

من مَرَّ ببلاد الأعاجم فصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حشر معهم يوم القيامة

“Siapa yang lewat di negeri asing, lalu ia meniru yang dilakukan oleh Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka hingga mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka“. Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Jadi, jelaslah tidak boleh menghadiri undangan non muslim berkenaan dengan hari raya mereka. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.



Referensi:

Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 11427: http://islamqa.com/ar/11427

@ Warak, Panggang, Gunungkidul, 9 Safar 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kamis, 12 Desember 2013

حكام الضرائب والجمارك في الفقه الإسلامي / HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM

Bismillahirrohmaanirrohim

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc

Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya berdasarkan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Di antara larangan Allah ialah melakukan kezhaliman kepada sesama manusia dengan mengambil harta benda mereka tanpa hak, seperti mencuri, korupsi, memakan harta riba, mewajibkan bayar pajak bagi seluruh masyarakat terutama kaum muslimin, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, dalam edisi kali ini kami akan menjelaskan tentang hukum pajak menurut pandangan Islam, bagaimana kaum muslimin menyikapinya, dan syarat-syarat dibolehkannya pemungutan pajak. Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat.

A. DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-Maks, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202).

Menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.” (Lihat Syifa’ul Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi hal.275).

Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah diantaranya adalah :
a. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam)
b. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam)
c. al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam)

B. BEBERAPA JENIS PAJAK DI ZAMAN SEKARANG:
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai, diantaranya ialah:
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
- Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.

C. HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM:
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).

Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)

3) Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).

4) Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hal. 715-716)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung diantaranya ialah, “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.” (Lihat Syarah Shahih Muslim XI/202 oleh Imam Nawawi).

5) Hadits Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” (HR. Abu Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dho’if oleh syaikh Al-Albani)
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam adz-Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan selainnya.

6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.” (Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31)

7) Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan, “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.

Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al-Juwaini di dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337, dan selainnya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan antara: (a) Pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya.
Point-point dalam group (a) di atas, bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga.

2) Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan dengan iman kepada Allah dan hari Kiamat, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.

3) Ayat Al-Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat Al-Ma’un, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat riya’.

4) Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Mashalih Mursalah” (atas dasar kepentingan), atau kaidah ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah ‘lebih memilih mudharat yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang menimpa manusia secara umum’. Kas Negara yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh.

5) Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran (QS. 9:41, 49:51, 61:11, dll). Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.

6) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tatar, seraya berkata: “Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam berjihad melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent) menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).

Kesimpulan Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).

Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).

Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata, “Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan muslim) hendak menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul mal kaum muslimin (kas Negara) jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupinya, dan tidak boleh baginya mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika di dalam baitul mal tidak ada harta yang mencukupi penyiapan pasukan perang, maka dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada mereka (orang-orang kaya agar membayar pajak, pent) sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.” (Lihat As-Sair Al-Kabir beserta syarahnya I/139).

D. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK:
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
Kedua: Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Ketiga: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak.
Keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
Kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
Keenam: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Ketujuh: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)

E. APAKAH PAJAK DI ZAMAN INI SESUAI DENGAN SYARIAH ISLAM?
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.

Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam bish-Showab.

F. BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan dengan suatu kemaksiatan. Adapun jika penguasa memerintahkan rakyatnya dengan suatu kemaksiatan maka rakyat (kaum muslimin) dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840).

Akan tetapi, bagaimana sikap kaum muslimin jika penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam keadaan demikian kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa. Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada umatnya:

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan: “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).” (Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)

Demikian penjelasan kami tentang hukum pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan kekurangan maka itu datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika benar, maka ini datangnya dari Allah Ta’ala semata. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi 17 Volume 2 / Juni 2011]

Jumat, 22 November 2013

Hukum Onani, Bahaya, Akibat, Dampak dan Efeknya.

Bismillahirrohmaanirrohim

Apa hukum onani atau masturbasi, bahaya, akibat, dampak, maupun efeknya menurut Agama Islam? Dalam pembahasan ini tidak bermaksud untuk memaparkan perbedaan-perbedaan pendapat ulama di dalam masalah-masalah fikih tentang hukum melakukan kebiasaan onani atau masturbasi. Akan tetapi terpaksa memaparkan perbedaan-perbedaan perdapat tersebut. Sebab, kalau seandainya kita pergi untuk melihat dan mendengar atau membaca pendapat yang lain maka terkadang para pemuda mengalami pertentangan dengan dirinya sendiri. Hal itulah yang menyebabkan mengapa perlu memaparkan pendapat-pendapat itu dan kemudian mentarjih pendapat yang paling kuat, sehingga para pemuda itu mendapat kejelasan tentang masalah yang dihadapinya.

Harapan lainnya adalah dapat memberikan pemahaman kepada para pemuda bahwa agama Islam tidak hanya mengambil satu pendapat saja, akan tetapi di sana terdapat perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah yang furu' (cabang). Selain itu juga kami akan memberikan pemahaman kepada mereka beberapa nash Al-qur'an  yang berbicara tentang masalah itu. Dan hal itu menjadi kemudahan yang datangnya dari Allah Azza wa jalla bagi umat Nabi Muhammad dan sebagai bukti adanya semangat agama yang sesuai bagi semua zaman dan tempat.

Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat:

"Pada prinsipnya masturbasi atau onani hukumnya adalah haram. Hal itu apabila dilakukan untuk mengikuti dorongan nafsu syahwatnya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Akan tetapi, apabila dorongan nafsu syahwat seorang laki-laki itu telah memuncak dan kemudian dia melakukan onani dengan tujuan untuk menenangkan gejolak nafsunya, maka hukumnya tidak berdosa. Bahkan mereka berpendapat bahwa onani itu wajib baginya apabila seseorang itu takut terjatuh dalam perbuatan zina. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi: "Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya."

Ulama Hanabilah berpendapat:

"Onani itu hukumnya haram, kecuali apabila dia takut berbuat zina (karena dorongan nafsu seksnya yang kuat) sedangkan dia belum memiliki istri atau dia belum mampu menikah. Maka, hal itu tidak berdosa baginya.”

Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat:

"Onani itu hukumnya mutlak haram. Dalam mengharamkan perbuatan itu mereka beralasan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam keadaan bagaimanapun kecuali dengan cara yang dihalalkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala."

Ibnu Hazm berpendapat:

"Onani itu hukumnya makruh. Alasannya, karena menyentuh kemaluan dengan tangan kiri -tidak lebih dari itu- dibolehkan, kecuali dengan sengaja untuk mengeluarkan mani maka menjadi haram. Hal itu tidak diharamkan berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,

"Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. " (Qs. A1 An'aam (6): 119)

Dan yang telah dijelaskan keharamannya itu bukanlah perbuatan ini. Dan dia berpendapat bahwa kemakruhan perbuatan onani adalah karena perbuatan ini bukan termasuk akhlak yang mulia."

Setelah memaparkan pendapat-pendapat yang masyhur di dalam masalah ini, maka sudah seharusnya kita mengetahui bahwa pendapat itu pokok-pokok yang disepakati secara syara' bahwa setiap yang membahayakan dirinya adalah haram. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Janganlah berbuat bahaya dan janganlah membalas bahaya.

Dan juga berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala, "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. " (Qs. A1 Baqarah (2): 195)

Dari pendapat-pendapat di atas, maka kita dapat melakukan pembahasan secara mendalam tentang kejelekan-kejelekan kebiasaan ini. Kita dapat menemukan bahwa kebiasaan ini mengarahkan kepada perbuatan yang mendatangkan kemadharatan bagi dirinya sendiri. Di antara kemadharatan kebiasaan.ini adalah sebagai berikut:

Pertama: menghancurkan kemampuan pemuda dan melupakan kewajiban-kewajibannya. Kebiasaan itu juga menjadikan dirinya menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk mencari rangsangan-rangsangan yang berasal dari gambar-gambar tidak pantas, film-film tidak pantas bahkan sampai kepada majalah-majalah yang tidak pantas. Semua ini seperti kayu-kayu baker yang diletakkan di atas api agar lebih menyala.

Kedua: ketika seorang pemuda itu sedang melakukan onani maka dapat mcngobarkan khayalan. Hal itu karena dia mengkhayalkan barang-barang yang dapat membangkitkan dorongan seksual. Dengan demikian dapat mcnyebabkan kelelahan pada sel-sel syaraf.

Ketiga: Onani dapat menyebabkan ketidak-puasan ketika melakukan hubungan seksual secara alami, justru akan membuat dirinya mengalami ketergantungan untuk melakukan kebiasaan jelek itu. Pemuda yang melakukan kebiasaan itu tak ubahnya seperti orang yang kehausan kemudian dia meminum air garam, semakin banyak dia minum air garam itu, maka dia akan semakin haus.

Keempat: ketergantungan melakukan kebiatan onani ini terkadang menjadikannya dirinya terikat dengan kecanduan di dalam sel-sel saraf. Dengan demikian dia akan kembali melakukan hal itu dengan cara yang salah di dalam melakukan hubungan seksualitas. Dan selanjutnya, kebiasaan ini akan mempengaruhi masa depannya dalam berhubungan dengan istrinya. Dan hal ini juga akan terjadi pada seorang pemudi yang melakukan masturbasi. Seorang pemudi yang melakukan masturbasi atau onani dapat terkena radang pada kandungan dan sebagian besar pada alat pembuangan. Selain itu juga dapat menyebabkan hilangnya keperawanannya.

Kelima: kesibukan pemuda dengan urusan seksual semacam ini akan menguasai pikirannya, yaitu dengan gambar yang tidak alami. Hal itu akan membuat dirinya menyimpang dan berpikir untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan seks dalam bentuk lain yang lebih memuaskan. Adapun cara Islam untuk mengatasi masalah-masalah ini adalah dengan menerapkan saddu adz-dzari'ah (menutup pintu) dan jalan yang mengantarkan kepada bencana dan kehancuran.

Inilah bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kebiasan onani atau masturbasi yang telah kami paparkan kepada anda. Itu adalah hukuman terhina yang membahayakan jiwa dan tubuh. Dan kita dapat melihat secara sempurna pengharaman syar'i terhadap perbuatan itu.

Dan sebelum kami mengarahkan perhatian anda kepada dalil-dalil syar'i yang menguatkan pendapat madzhab yang berpendapat bahwa: perbuatan ini haram, kami ingin mengarahkan pandangan pemuda kita bahwa keharaman perbuatan onani atau mansturbasi ini tidak sekeras seperti keharaman zina dan homoseksual. Hal itu karena bahaya yang ditimbulkan oleh kebiasaan onani atau masturbasi itu hanya (sebatas pada dirinya sendiri, sedangkan zina dan homoseksual, bahayanya itu tidak hanya pada dirinya sendiri, akan tetapi berimbas juga kepada masyarakat umum. Selain itu juga, kekejian onani dan masturbasi itu tidak menyerang dalam mencemarkan akhlak seperti zina dan homoseksual. Akan tetapi, pengaruh perbuatan kebiasaan onani dan masturbasi ini lebih ringan. Dengan demikian perbuatan itu tidak dinamakan perbuatan zina atau homoseksual, melainkan hanya dinamakan onani atau masturbasi (bersenang-senang dengan tangan untuk mendapatkan kenikmatan seksual).

Seharusnya, bagi para pemuda yang didorong oleh syaithan untuk melakukan kebiasan-kebiasaan itu, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak sel-sel syaraf atau pertarungan melawan jiwanya sendiri. Akan tetapi, sebaiknya dia mau kembali kepada Allah untuk bertaubat dan meminta ampun serta mau mempelajari sebab-sebab yang mengantarkan seseorang terjerumus dalam kebiasan yang keji ini -sebagaimana akan kami jelaskan selanjutnya- sehingga tidak meninggalkan di dalam dirinya pengaruh-pengaruh jelek apapun.

Sekarang, sampailah kita kepada dalil syar'iyah yang menentramkan hati dan menenangkan jiwa serta yang mengutakan pendapat yang diikuti oleh orang-orang yang mengharamkan perbuatan yang tidak mulia ini, meskipun kami juga telah memaparkan pendapat madzhab-madzhab yang luwes (membolehkan) bagi orang yang takut atau berada dalam posisi sulit dalam menghadapi kejahatan zina. Dan madharatnya itu ditentukan dengan frekuensi sering atau tidaknya dia melakukan kebiasaan itu.

1. Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Al-Qur'an surat A1 Mu'minuun,

"Sesunggubnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (Qs. Al Mu’minun (23):1-7)

Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa menjaga kemaluan adalah wajib, kecuali kepada istri dan budak yang berada di dalam jaminannya. Barang siapa yang melampiaskan syahwatnya dengan jalan yang tidak disebutkan di atas, maka dia di anggap orang yang melampaui batas yang telah ditetapkan oleb Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan akan hal itu.

2. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman dalam suart An-Nuur,

"Katakanlah kepada orang laki-lakiyang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelikara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. " Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, hecuali yang (biasa) nampak daripadanya. "(Qs. An-Nuur (24): 30-31)

Lihatlah bagaimana Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam ayat-ayat di atas memerintahkan kepada orang-orang mu'min untuk menahan pandangannya. Dan di sini juga, terdapat anjuran yang sama untuk menjaga kemaluan secara menyeluruh. Ini berarti tidak diragukan lagi bahwa menjaga kemaluan dari bentuk penyimpangan seksual apapun, termasuk di dalamnya adalah kebiasaan onani atau mastubasi adalah wajib dijaga. Dan Allah tidak akan pernah lupa.

Dan kita juga akan menemukan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam surat yang sama, "Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri )nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. " (Qs. An-Nuur (24): 33)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah Tabaraka wa Ta'ala menuntut kepada orang yang belum mampu untuk menikah agar menjaga dirinya dan menjaga nama baiknya serta jangan sekali-kali mendekati perbuatan seksual apapun sampai Allah mencukupkannya dengan karunia yang diberikan-Nya. Selain itu, Allah menuntut kepada mereka untuk melakukan hubungan seksual melalui cara yang alamiah, yaitu menikah.

3. Di antara dalil yang menguatkan pemahaman yang kita ikuti ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaknya dia melakukan puasa, Karena puasa itu dapat menjadi benteng baginya." (Muttafaq 'Alaih)

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa obat yang tidak ada tandingannya dalam mendayagunakan kemampuan seksualitas tanpa menimbulkan komplikasi dalam fisik maupun jiwa adalah anjuran kepada para pemuda untuk menikah jika dia sudah mampu. Dan bagi orang yang belum mampu melakukannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan hendaknya dia melakukan onani atau masturbasi. Akan tetapi beliau mengarahkan pemuda kepada penanggulan pasti yang dapat memalingkan keinginannya. Dengan demikian maka kamu akan dapat mengendalikan hawa nafsu, menghubungkan pemuda dengan Tuhannya Azza wa Jalla dan meringankan tekanan insting seksualitasnya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Maka hendaknya dia melakukan puasa, karena puasa dapat menjadi benteng bagi dirinya."

Dan hendaklah kalian mengingat pemuda yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin melakukan perbuatan zina, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan kepadanya untuk melakukan onani guna meringankan tekanan hawa nafsunya? Sekali-kali tidak akan pernah terjadi, akan tetapi justru beliau memberikan cara penanggulangan secara kejiwaan yang menganggap bahwa perbuatan zina adalah suatu perbuatan yang sangat dibenci. Adapun adanya sebab-sebab yang sangat mendesak untuk melakukannya mungkin Rasulullah membolehkan baginya untuk melakukan onani. Oleh karena itu kita dapat memahami bahwa hukum  perbuatan onani atau masturbasi itu haram.

Dan yang terakhir, mari kita simak sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Apa yang saya benci adalah yang dilihat oleh manusia dan dirimu, maka janganlah engkau melakukannya sendiri apabila engkau sendirian."

Ref :
http://islamiwiki.blogspot.com/

Jumat, 18 Oktober 2013

Hadits: Sodomi Terhadap Istri Tidak Diperbolehkan

Bismillahirrohmaanirrohim
Sodomi adalah sebuah penyimpangan seksual menyetubuhi melalui dubur. Apa Hukum Sodomi terhadap istri sendiri menurut agama islam? Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, "Allah Azza wa Jalla tidak akan melihat kepada seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya melalui duburnya." (Hadits riwayat Baihaqi)

Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,

islam+dan+sodomi"Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki atau mendatangi perempuan melalui duburnya." (Hadits riwayat At-Turmudzi).

Hal itu diungkapkan agar kamu dapat melihat bagaimana agama Islam memuliakan dan menjaga perasaan kaum perempuan, dan juga agar kamu dapat mengetahui bagaimana agama Yahudi menjadikan perempuan sebagai seorang yang sia-sia tidak ada nilainya sama sekali.

islam+dan+sodomi
Seperti apa yang dikatakan A1 Hakham Yahana, "Sesungguhnya, melakukan sodomi dengan istri itu tidak diperbolehkan. Dia memaparkan hal itu dengan dua pendapat: Sesungguhnya, hukum syar'i tidak mengharamkan hal ini. Bahkan dia mengatakan, ajaran Yahudi tidak menyalahkan orang melakukan sodomi, meskipun berbuat bersama istrinya dengan cara apapun, karena sudah adanya ikatan perkawinan. Dan istri baginya berkaitan dengan masalah bersenang-senang dengannya tak ubahnya seperti sepotong daging yang dibeli dari penjual daging di pasar dan kemudian dia dapat memakannya, mungkin memakannya dengan direbus atau dipanggang sesuai dengan seleranya."

Senin, 30 September 2013

"Poligami???"

Bismillahirrohmaanirrohim


Rasanya semua sudah maklum apakah yang dikatakan poligami. Hukum asal poligami yang dipegang oleh jumhur Ulama’ adalah harus. Menurut Imam As- Syafi’e dalam kitab Al Fiqhul Manhaji menerangkan bahwa hukum asal poligami adalah harus(bukannya sunnah) tetapi walau bagaimanapun boleh berubah hukumnya mengikut situasi menjadi sunah, makruh, ataupun haram.

Poligami menjadi MAKRUH :

-apabila ia dilakukan hanya untuk bersenang senang,sedangkan si suami sendiri ragu akan kemampuan dirinya untuk berlaku adil terhadap isteri- isterinya daripada sudut nafkah lahir dan bathin.

Bukankah Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam pernah bersabda :

“Tinggalkanlah perkara yang meragukan kamu kepada perkara yang tidak meragukan kamu.”^^

Kemudian, poligami juga boleh menjadi SUNAH hukumnya apabila :

-suami memerlukan isteri yang lain misalnya bagi mendapatkan zuriat karena isterinya yang pertama mandul atau sakit, dan suami juga yakin bahwa dia mampu berlaku adil terhadap isteri- isterinya daripada sudut lahir dan batin, maka ketika ini tidak ada halangan baginya untuk berpoligami.^^

Seterusnya, poligami boleh menjadi HARAM apabila :

- si suami sendiri berasa yakin bahwa dirinya tidak akan mampu berlaku adil terhadap isteri- isterinya jika dia memutuskan untuk berpoligami. Niscaya, ketika ini haram baginya untuk berpoligami. Meskipun akad nikahnya nanti adalah sah di sisi syara’, si suami tetap menanggung dosa karena memberi kemudaratan kepada orang lain.

ADILNYA ALLAH Subhannahu Wa Ta'ala :

Walau bagaimanapun, Allah dengan sifatnya Yang Maha Adil amat memahami isi hati seorang wanita. Fitrah cinta, lazimnya dihiasi cemburu. Lantas, Allah tidak pernah memaksa golongan wanita untuk menerima poligami karena tidak boleh ada paksaan dalam urusan pernikahan.^^

Menurut Imam Al Ghazali rahimahullah dan beberapa ulama yang lain menegaskan bahwa dalam pernikahan, tidak ada paksaan.

Oleh krn itu, seorang wanita berhak menerima atau menolak untuk dimadu. Sekiranya sebelum menikah, seorang isteri khawatir dimadukan oleh suaminya, maka isteri boleh mengajukan syarat itu dalam perjanjian pernikahannya yang dikenali sebagai ta’liq.
Si suami hendaklah berpegang teguh dengan perjanjian itu, sekiranya tidak, hendaklah dia menceraikan isterinya. ^^

Ini perlu,karena hubungan keluarga hendaklah dibina atas dasar taqwa,keadilan, dan kedamaian.

Inilah lumrah cinta, tidak sanggup hidup bermadu kecuali dalam keadaan terpaksa.^^

Namun, saudara saudariku,

Penjelasan saya ini bukanlah untuk mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, jauh sekali,saya tidak berniat menghina,mencaci,mencela para golongan yang berpoligami.^^

Poligami akan menjadi suatu yang mulia di sisi Allah sekiranya rumah tangga yang dibina menumbuhkan mawaddah, rahmah, dan sakinah,
karena demikianlah tujuan pernikahan yang sebenarnya.

Akan tetapi,
Saya menjelaskan ini, agar kita mengambil pandangan mayoritas para ulama sedunia dalam soal poligami bahwa hukumnya adalah harus, tidak digalakkan dan tidak pula dilarang.

Insya Allah dengan menjadi golongan pertengahan,yaitu tidak memaksa golongan wanita menerima poligami dan tidak menentang poligami, maka segala rasa tidak puas hati terhadap hukum Allah yang Maha Adil dapat kita hapuskan sekaligus menolak tuduhan orientalis barat terhadap hukum poligami yang dikatakan menzalimi kaum wanita Islam terutamanya. Maha suci Allah Azza wa Jalla dari segala kezaliman.

Saudara-saudariku,

Poligami sebenarnya bukanlah syiar Islam dan tidak pula digalakkan namun tidak dapat dinafikan bahwa poligami menjadi penawar kepada beberapa masalah tertentu. Tetapi perlu juga diingat bahwa ia tidak boleh dianggap gampang/mudah,karena syaratnya sangat ketat yaitu : ADIL.

“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yatim bilamana kamu menikahinya, maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir kamu tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang sahaja atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” ( Al-Qur'an -Surah An- Nisa’:3).

Di sini, ingin saya sampaikan kisah mengenai Saidatina Fatimah r.a, puteri kesayangan Rasulullah shallallahu'Alaihi Wasallam berkenaan poligami.^^

Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari(3110) dan Muslim(2449) daripada hadits Al Miswar bin Makhramah, dia berkata, Sesungguhnya Ali bin Abi Talib meminang puteri Abu Jahal untuk dimadukan kepada Fatimah, maka aku mendengar Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada manusia berkenaan hal itu di atas mimbarnya, dan aku pada hari itu telah cukup umur(bermimpi), maka baginda berkata :
”Sesungguhnya Fatimah daripadaku, aku takut jika agamanya terfitnah(diuji). Kemudian baginda menyebut menantunya daripada Bani Abdul Syams dan baginda memujinya atas ikatan menantu itu. Baginda berkata :
“Dia berkata- kata kepadaku, dia jujur kepadaku, dan dia memenuhi janjinya kepadaku. Sesungguhnya aku tidak menghalalkan sesuatu yang haram, tetapi dengan nama Allah tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam dengan anak perempuan musuh Allah pada satu lelaki.”^^

Lalu dari hadits ini timbul beberapa persoalan, adakah Fatimah Az- Zahra sedang mementingkan dirinya ketika dia sendiri menolak untuk berpoligami?

Adakah Islam sebenarnya tidak mengiktiraf suara kaum wanita dalam soal poligami?

Bukankah Fatimah Az- Zahra adalah ketua bidadari syurga, wanita termulia, maka sudah tentu akhlaknya juga adalah akhlak wanita yang terbaik?

Imam Nawawi mensyarahkan hadits ini bahwa hal tidak berpoligami ini adalah untuk kepentingan akhiratnya,yaitu: supaya agama Fatimah tidak rusak karena cemburu.

Bagaimana yang dikatakan rusaknya agama karena cemburu?
Yaitu :
apabila seorang isteri semula menganggap Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak adil dalam urusannya, mewujudkan diskriminasi antara gender lelaki dan wanita, maka disebabkan itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala memberi kebebasan kepada kaum wanita untuk menerima poligami atau sebaliknya.^^

Saudara saudariku,
Hakikatnya, dalam soal poligami, Islam bukan sekedar mendengar keyakinan suami,tetapi,juga mendengar rasa hati seorang isteri untuk menghadapi ujian yang cukup berat ini.
Maka, seperti yang saya sebutkan sebelum ini menurut Imam Al Ghazali, sekiranya isteri berasa tidak mampu, maka dia tidak boleh dipaksa untuk menerima poligami.^^

Subhanallah, indahnya hidup bersama Islam ya saudara saudariku.

Singkat kata, ada pesan khusus dari saya yg dhaif ini utk para pria dan cowok.^^
sedikit titipan nasihat buat para pemuda atau suami yang masih belum berpoligami :

Saudaraku, berbahagialah dengan satu isteri. Jadikanlah rumah tangga yang dibina bukan sekedar baik untuk keluargamu sendiri bahkan menjadi tauladan untuk ummah di luar sana. Berikanlah kasih sayang dan didikan yang sempurna kepada isteri dan anak- anakmu serta komitelah dan sibukkanlah diri dalam urusan dakwah agar hidupmu berterusan dilimpahi rahmah.

Buat suami yang telah pun berpoligami, tidak ada salahnya untuk kamu berpoligami. Teruskanlah apa yang ada untuk mencipta rumah tangga yang dilimpahi mawaddah, rahmah, dan sakinah.
Biarlah isteri- isterimu merasa akrab satu dengan lainnya serta bahagia dengan keadilanmu, walau terkadang keadilan dalam soal hati dan perasaan itu tidak dapat dibagi rata dan seksama.

Buat para muslimah,
ketahuilah saudariku,
bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala itu amat adil terhadap semua hamba- hamba-Nya. Berbaik sangkalah kepada Allah dalam semua perkara termasuk hal poligami ini ya.jgn kotorin hatimu dgn kebencian atas poligami yg tertulis dalam A-Qur'an-Nya.

Akhir kata, saya hanyalah hamba yang lemah,dhoif, masih mencari teduhan kasih sayang Allah Azza wa Jalla.

Jika sy khilaf harap dimaafi. Semoga kita semua dapat berlapang dada antara satu sama lain.tanpa adanya perdebatan dan pertentangan.

Wassalam.

Sumber : facebook.com/faisal.rdalimunthe/posts/4822275895297

Sabtu, 14 September 2013

Keputusan Ulama tentang Hukum Bermazhab di Muktamar NU Ke-1

Bismillahirrohmaanirrohim
1. Hukum Bermazhab
Pertanyaan: Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab?
Jawaban: Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab yang tersohor dan aliran mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan).
Empat mazhab itu ialah:
a. Mazhab Hanafi
Yaitu mazhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H.).
b. Mazhab Maliki
Yaitu mazhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.).
c. Mazhab Syafi’i
Yaitu mazhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Gazza pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahun 204 H.).
d. Mazhab Hanbali
Yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 241 H.).
Keterangan, dari kitab:
1. al-Mizan al-Kubra [1]
كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ اْلآنَ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِى الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ.
Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti mazhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu mazhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang zaman sekarang ini.
2. Al-Fatawa al-Kubra [2]
وَبِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. وَقَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ.
Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu mazhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena mazhab-mazhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengkhususan hukum yang bersifat umum, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain.
3. Sullam al-Wushul [3]
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ“. وَلَمَّا انْدَرَسَتْ الْمَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ اْلأَرْبَعَةَ الَّتِى اِنْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اِتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ اْلأَعْظَمِ.
Nabi Saw. bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari mazhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.

----------------------------------------------------------------------

Catatan kaki:
[1] Abdul Wahhab Al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), Jilid IV, h. 307.
[3] Muhammad Bahith al-Muthi’i, Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul (Mesir, Bahrul Ulum, t.th.), jilid III, h. 921 dan jilid IV h. 580 dan 581. Hadits tersebut tercantum pada kitab ini di jilid III adalah sebagai dasar ijma’. Sedang yang tercantum di jilid IV merupakan kesimpulan tentang al-istifta’. Hadits di atas selengkapnya:
إِنَّ أُمَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اْلإِخْتِلاَفَ فَعَلَيكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan. Jika kamu melihat suatu perbedaan, maka wajib bagimu mengikuti al-sawad al-a’zham” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik). Ibarah ini terdapat pula pada kitab ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad karya Syekh Ahmad Waliyullah al-Dahlawi, Cairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1965 M, h. 13. Dapat dirujuk pula kepada pendapat Fakhruddin Muhammad al-Razi, al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408H/1988 M), Cet. Ke-1, Juz II, h. 535-540.

Sumber :http://wiki.aswajanu.com/Keputusan_Ulama_tentang_Hukum_Bermazhab_di_Muktamar_NU_Ke-1

Sabtu, 31 Agustus 2013

Ayah Sebagai Wali Nikah Yang Utama

Bismillahirrohmaanirrohim

          Perlu Anda ketahui dengan jelas bahwa sebuah pernikahan itu hanya sah bila melalui proses akad nikah. Dan yang namanya akad nikah itu hanya dilakukan oleh seorang ayah kandung dari seorang anak perempuan dengan calon menantunya. Akad nikah tidak pernah dilakukan oleh sepasang calon pengantin, apalagi oleh orang lain. Benarlah Rasulullah SAW ketika bersabda,"

          Tidak ada akad nikah kecuali (yang dilakukan oleh) wali mursyid dan (disaksikan) oleh dua orang saksi yang adil).

          Siapapun wanita yang menjalani pernikahan namun tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil (3 kali).

Mengapa nikahnya batil?

          Karena akad nikah itu memang hanya dilakukan oleh dua orang laki-laki. Yang pertama adalah ayah kandung dari seorang perempuan. Yang kedua adalah calon suami. Bila ayah kandung itu mengucapkan kepada calon suami,"Aku nikahkan kamu dengan putriku", lalu calon suami menjawab,"Ya", maka tali ikatan pernikahan otomatis sudah terbentuk, bila kejadian itu disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi 6 syarat, yaitu: keduanya muslim, laki-laki, merdeka, aqil, baligh dan adil.

          Siapa pun tidak pernah punya hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalau pun dilakukan juga, maka pernikahan itu tidak sah, baik secara hukum agama, apalagi hukum negara. Kalau pasangan itu nekad kawin juga bahkan melakukan hubungan suami istri, maka perbuatan itu zina yang berhak untuk dieksekusi rajam atau cambuk 100 kali plus diasingkan selama setahun.

           Siapapun yang mengangkat diri menjadi wali tanpa ada izin sah dari ayah kandung, lalu menikahkan pasangan, berhak masuk neraka karena telah menghalalkan perzinaan yang nyata dilarang oleh semua agama.

Apakah kedudukan ayah kandung tergantikan?

          Ayah kandung tidak akan pernah tergantikan kedudukannya sebagai wali hingga kapan pun. Meski ayah tersebut tidak pernah memberi nafkah atau menghilang tak tentu rimbanya. Namun urusan menjadi wali tidak ditentukan oleh sebab perhatian atau perlakuannya kepada anak istri.

          Mungkin secara perasaan boleh saja ibu anda tidak mau menerima kehadiran mantan suaminya. Hal itu sangat bisa dimaklumi. Tapi untuk sahnya sebuah pernikahan, tidak ada jalan lain buat anda kecuali hanya ayah kandung anda saja yang berhak jadi wali. Bahkan seorang presiden SBY sekalipun tidak berhak mengambil alih wewenang dan hak ayah anda sebagai wali.

          Sebab seluruh jasad anda itu tumbuh dari bibit ayah kandung anda. Hubungan anda dengannya tidak bisa dinafikan atau dibatalkan. Bahkan secara medis, boleh dikatakan bahwa DNA yang anda miliki bersumber dari DNA beliau. Bahkan meski anda melakukan operasi otak sekalipun, tetap saja secara biologis dan secara syariah, beliau tetap ayah anda.

           Maka sepanjang hayat, anda tidak akan pernah bisa menikah dengan sah kecuali hanya beliau saja yang menjadi walinya. Itulah kesimpulannya. Kecuali...

kecuali dengan beberapa hal, kewalian ayah anda bisa gugur, yaitu antara lain dengan...

1. Dengan Pemberian Wewenang/Hak Perwalian (Mewakilkan).

         Apabila seorang ayah kandung bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang, baik orang itu masih famili atau pun sama sekali tidak ada hubungan apapun, maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan.

         Asalkan orang tersebut memenuhi syarat sebagai wali, yaitu muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka. Meski bukan famili, bukan saudara atau juga bukan keluarga.

         Namun tanpa adanya penyerahan wewenang secara sah dan benar dari ayah kandung kepada orang yang ditunjuk, maka tidak ada hak sedikit pun baginya untuk menjalankan hal-hal yang di luar kewenangannya.

2. Dengan Gugurnya Syarat sebagai Wali

         Bila ayah kandung tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka hak untuk menjadi wali akan turun kepada urutan wali berikutnya, di mana daftarnya sudah baku dan tidak bisa dibuat-buat sendiri. Dan syarat sebagai wali sudah disebutkan yaitu [1] muslim, [2] laki-laki, [3] akil, [4] baligh, [5] merdeka dan [6] adil.

         Adapun bila ayah itu tidak pernah memberikan nafkah, perhatian, kasih sayang, waktu serta pemeliharaan, tidak pernah bisa dijadikan alasan untuk gugurnya hak perwalian yang dimilikinya.

          Namun bila salah satu dari ke-enam syarat itu tidak dimilikinya, maka gugurlah haknya sebagai wali. Misalnya, bila sorang ayah kandung tidak beragama Islam, baik karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad, maka haknya sebagai wali gugur dengan sendirinya. Atau misalnya dia menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat sebagai 'aqil (berakal) tidak terpenuhi, dengan demikian gugurlah haknya untuk menjadi wali.

3. Dengan Meninggalnya Yang Bersangkutan

         Bila seorang ayah kandung yang menjadi wali meninggal dunia, otomatis dia tidak mungkin menjadi wali. Maka yang berhak menjadi wali adalah wali yang berada pada urutan berikutnya. Dan begitulah seterusnya.

         Dalam masalah anda, bila ayah kandung anda tidak diketahui lagi keberadaannya, anda masih bisa melacaknya lewat keluarganya, teman, kerabat atau orang-orang yang pernah mengenalnya. Bahkan kalau diperlukan bisa juga menggunakan jasa polisi untuk melacaknya. Termasuk juga menggunakaniklan di media. Pendeknya, upayakan dulu untuk mencarinya. Barulah bila semua upaya untuk mencari, anda bisa menghadap kepada hakim agama untuk minta dibuatkan fatwa yang menetapkan bahwa ayah kandung anda dianggap sudah 'meninggal' secara hukum.

Urutan Wali

           Bila seorang ayah kandung gugur dari kedudukannya sebagai wali, lalu yang berhak adalah wali dalam daftar urutan berikutnya. Bila wali yang ada dalam urutan berikutnya ini ada cacatnya, maka perwalian dipegang oleh nomor urut berikunya.

          Para ulama dalam mazhab As-Syafi'i telah menyusun dan menetapkan daftar urutan wali, yang tidak boleh dilangkahi. Mereka adalah

a. Ayah kandung

b. Kakek (ayahnya ayah kandung)

c. Saudara laki-laki, yang seayah dan seibu. Misalnya kakak atau adik calon istri, yang penting sudah aqil baligh. Tetapi bila saudara yang satu ibu tapi lain ayah tidak bisa menjadi wali.

d. Saudara laki-laki, yang seayah saja

e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja

g. Paman, atau saudara laki-laki ayah kandung

h. Anak paman (sepupu)

          Perlu diketahui bahwa urutan ini tidak boleh diacak-acak, di mana paman tidak bisa langsung mengambil alih posisi sebagai wali, selama masih ada kakek, kakak, adik, keponanakan dengan segala variannya.

         Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh,

-----------------------------------------------------------------------------------------
CATATAN
Penulis Ahmad Sarwat, Lc.

Penyusun suniy Ahmad

Sumber :http://www.rumahfiqih.com/

Kamis, 29 Agustus 2013

Berniat Puasa Qadha Sekaligus Syawwal

Bismillahirrohmaanirrohim

Berpuasa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Nashih Nashrullah

Sebuah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari yang dinukilkan oleh Muslim menyatakan tentang kesunahan berpuasa enam hari selama Syawal. “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian disertai dengan puasa enam hari Syawal, maka ia ibarat berpuasa selama setahun (dahr).”

Mayoritas ulama, seperti diungkapkan oleh Syekh Dr Muhammad Mushlih az-Za'abi, dalam kitabnya yang berjudul Shiyam Sittin Min Syawwal; Dirasah Haditsiyyah Fiqhiyyah, berpandangan hukum puasa tersebut adalah sunah. Ketentuan ini juga berlaku untuk Muslimah.

Muncul pertanyaan, bolehkah menggabungkan niat qadha puasa Ramadhan yang terlewati dengan niat berpuasa enam hari Syawal?

Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Dar Al Ifta, Mesir, Prof Ali Jum'ah Muhammad, menggabungkan puasa sunah ke dalam puasa wajib hukumnya boleh. Ini tidak berlaku sebaliknya, yaitu menyatukan puasa wajib dalam niat puasa sunah. Pendapat ini banyak dirujuk oleh mayoritas ulama.

Atas dasar ini, Muslimah yang ingin mendapatkan pahala puasa enam hari Syawal, ia bisa melakukannya dengan mengganti puasa Ramadhan yang terlewat pada bulan tersebut. Pandangan ini menggunakan analogi hukum dalam kasus shalat  tahiyyat al-masjid dua rakaat.

Ini seperti dinukil dari al-Bajirami dalam Hasyiah-nya. Penjabarannya, bila seseorang shalat dua rakaat saat memasuki masjid dengan niat shalat wajib (Subuh, misalnya), ia mendapat pahala sunah tahiyyat al-masjid.

Hal tersebut karena inti dari tahiyyat al-masjid ialah pelaksanaan shalat sebelum duduk di masjid. Dan, maksud itu telah terpenuhi dengan shalat wajib atau sunah apa pun selain tahiyyat al-masjid.

Namun, Syekh Ali Jum'ah menegaskan pahala dari penggabungan itu tidak bersifat utuh. Mereka yang menggabungkan niat puasa qadha dengan sunah Syawal itu hanya memperoleh pahala dari pokok sunah berpuasa.

Lantas, manakah yang didahulukan antara mengqadha puasa Ramadhan atau melaksanakan puasa enam hari Syawal?

Guru Besar Fikih Universitas Qassim Arab Saudi Khalid bin Abdullah al-Mushlih mengatakan, lebih baik mendahulukan qadha Ramadhan sebelum berpuasa sunah Syawal.

Ia lantas menjelaskan perbedaan di kalangan mazhab fikih seputar hukum mana yang lebih didahulukan antara kedua puasa itu.

Pendapat mayoritas ulama menyatakan, tak jadi soal berpuasa sunah Syawal sebelum membayar puasa Ramadhan. Kendati dalam kubu ini ada yang mengatakan boleh secara mutlak atau boleh dengan disertai makruh.

Mazhab Hanafi mengatakan, qadha puasa tidak mesti dibayar secara langsung seusai Ramadhan. Waktu pelaksanaannya cukup luas.

Karena itu, mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah tersebut membolehkannya mutlak. Ini juga merupakan salah satu riwayat pendapat dari Ahmad.

Dalam pandangan Mazhab Maliki dan Syafi'i, kebolehan tersebut tidak berlaku mutlak. Ada unsur makruh di sana.
Ini lantaran berpuasa sunah Syawal berdampak pada kesibukan menjalankan ibadah sunah sementara puasa qadha tertunda.

Argumentasi kelompok pertama ini merujuk pada ayat 185 surah al-Baqarah. Ayat itu tidak memberikan batasan waktu kapankah qadha tersebut mesti dibayar.

Ini diperkuat dengan riwayat Bukhari Muslim dari Aisyah. Istri Rasulullah tersebut mengqadha puasa semampunya tanpa harus dibatasi waktu. Akan tetapi, ia tidak membayar puasa Ramadhan ketika Sya'ban tiba.

Sedangkan, menurut kelompok kedua, yaitu Mazhab Hambali, haram hukumnya berpuasa sunah Syawal sementera ketika itu ia belum membayar puasa Ramadhan yang terlewat.

Pendapat ini merujuk pada hadis lemah riwayat Ahmad dari Abu Hurairah. Riwayat ini menyatakan, mereka yang berpuasa sunah, sementara masih berutang puasa wajib, maka puasanya itu tidak diterima.


Redaktur : Damanhuri Zuhri

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/08/17/mropkr-berniat-puasa-qadha-sekaligus-syawwal-bolehkah

Tata Cara Puasa Syawal

Bismillahirrohmaanirrohim

 9 Agustus 2013

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id


Dari artikel 'Tata Cara Puasa Syawal — Muslim.Or.Id'

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...