Tampilkan postingan dengan label ILMU ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ILMU ISLAM. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2013

Thalaq via surat, sms, bb atau sejenisnya.

Bismillahirrohmaanirrohim



Bagaimana hukumnya seseorang yang menuliskan lafadh thalaq misalnya ia menuliskan via sms, email atau surat “saya thalaq kamu”?

Jawaban.

Rincian hukum menulis lafadh thalaq adalah sebagai berikut:


Bila tidak ikut di lafadhkan maka hanya jatuh thalaqnya bila ia meniatkan untuk thalaq karena semata-mata menulis lafadh thalaq adalah kinayah thalaq yang memerlukan niat. Sedangkan bila tidak diniatkan apapun maka tidak jatuh thalaqnya.
Bila ketika menulisnya ia juga ikut melafadhkannya maka :


Jatuh thalaq bila tidak ada niat apapun atau berniat melakukan (insya`) thalaq.
Tidak jatuh bila ia bermaksud sekedar membaca tulian tersebut tanpa niat untuk mentalak istrinya.


Referensi:

Al-Mahalli `ala Minhaj jilid 3 hal 329 Cet. Haramain

(ولو كتب ناطق طلاقا) كأن كتب زوجتي طالق، (ولم ينوه فلغو) وتكون كتابته لتجربة القلم أو المداد أو غير ذلك، وفي وجه أن الكتابة صريحة كالعبارة يقع بها الطلاق، (وإن نواه فالأظهر وقوعه) لأن الكتابة طريق في إفهام المراد كالعبارة، وقد اقترنت بالنية والثاني لا يقع لأنها فعل والفعل لا يصلح كناية عن الطلاق، لو أخرجها من بيته ونوى الطلاق، وقطع قاطعون بالأول وآخرون بالثاني.

Nihayatul Muhtaj jilid 6 hal 436 Cet. Dar Kutub Ilmiyah


(ولو) (كتب ناطق) أو أخرس (طلاقا) (ولم ينوه فلغو) إذ لا لفظ ولا نية (وإن نواه) ومثله كل عقد وحل وغيرهما ما عدا النكاح ولم يتلفظ بما كتبه (فالأظهر وقوعه) لإفادتها حينئذ، وإن تلفظ به ولم ينوه عند التلفظ ولا الكتابة وقال إنما قصدت قراءة المكتوب فقط صدق بيمينه
(قوله: وقال إنما قصدت قراءة إلخ) بخلاف ما لو قصد الإنشاء أو أطلق،

Tuhfatul Muhtaj jilid 8 hal 22 Dar Fikr

(ولو كتب ناطق) أو أخرس (طلاقا، ولم ينوه فلغو) إذ لا لفظ ولا نية (وإن نواه) ومثله كل عقد وحل وغيرهما ما عدا النكاح ولم يتلفظ بما كتبه (فالأظهر وقوعه) لإفادتها حينئذ، وإن تلفظ به ولم ينوه عند التلفظ ولا الكتابة، وقال: إنما قصدت قراءة المكتوب فقط صدق بيمينه

Ref :
http://lbm.mudimesra.com

Jumat, 22 November 2013

Hukum Onani, Bahaya, Akibat, Dampak dan Efeknya.

Bismillahirrohmaanirrohim

Apa hukum onani atau masturbasi, bahaya, akibat, dampak, maupun efeknya menurut Agama Islam? Dalam pembahasan ini tidak bermaksud untuk memaparkan perbedaan-perbedaan pendapat ulama di dalam masalah-masalah fikih tentang hukum melakukan kebiasaan onani atau masturbasi. Akan tetapi terpaksa memaparkan perbedaan-perbedaan perdapat tersebut. Sebab, kalau seandainya kita pergi untuk melihat dan mendengar atau membaca pendapat yang lain maka terkadang para pemuda mengalami pertentangan dengan dirinya sendiri. Hal itulah yang menyebabkan mengapa perlu memaparkan pendapat-pendapat itu dan kemudian mentarjih pendapat yang paling kuat, sehingga para pemuda itu mendapat kejelasan tentang masalah yang dihadapinya.

Harapan lainnya adalah dapat memberikan pemahaman kepada para pemuda bahwa agama Islam tidak hanya mengambil satu pendapat saja, akan tetapi di sana terdapat perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah yang furu' (cabang). Selain itu juga kami akan memberikan pemahaman kepada mereka beberapa nash Al-qur'an  yang berbicara tentang masalah itu. Dan hal itu menjadi kemudahan yang datangnya dari Allah Azza wa jalla bagi umat Nabi Muhammad dan sebagai bukti adanya semangat agama yang sesuai bagi semua zaman dan tempat.

Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat:

"Pada prinsipnya masturbasi atau onani hukumnya adalah haram. Hal itu apabila dilakukan untuk mengikuti dorongan nafsu syahwatnya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Akan tetapi, apabila dorongan nafsu syahwat seorang laki-laki itu telah memuncak dan kemudian dia melakukan onani dengan tujuan untuk menenangkan gejolak nafsunya, maka hukumnya tidak berdosa. Bahkan mereka berpendapat bahwa onani itu wajib baginya apabila seseorang itu takut terjatuh dalam perbuatan zina. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi: "Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya."

Ulama Hanabilah berpendapat:

"Onani itu hukumnya haram, kecuali apabila dia takut berbuat zina (karena dorongan nafsu seksnya yang kuat) sedangkan dia belum memiliki istri atau dia belum mampu menikah. Maka, hal itu tidak berdosa baginya.”

Ulama Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat:

"Onani itu hukumnya mutlak haram. Dalam mengharamkan perbuatan itu mereka beralasan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam keadaan bagaimanapun kecuali dengan cara yang dihalalkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala."

Ibnu Hazm berpendapat:

"Onani itu hukumnya makruh. Alasannya, karena menyentuh kemaluan dengan tangan kiri -tidak lebih dari itu- dibolehkan, kecuali dengan sengaja untuk mengeluarkan mani maka menjadi haram. Hal itu tidak diharamkan berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,

"Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. " (Qs. A1 An'aam (6): 119)

Dan yang telah dijelaskan keharamannya itu bukanlah perbuatan ini. Dan dia berpendapat bahwa kemakruhan perbuatan onani adalah karena perbuatan ini bukan termasuk akhlak yang mulia."

Setelah memaparkan pendapat-pendapat yang masyhur di dalam masalah ini, maka sudah seharusnya kita mengetahui bahwa pendapat itu pokok-pokok yang disepakati secara syara' bahwa setiap yang membahayakan dirinya adalah haram. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Janganlah berbuat bahaya dan janganlah membalas bahaya.

Dan juga berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala, "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. " (Qs. A1 Baqarah (2): 195)

Dari pendapat-pendapat di atas, maka kita dapat melakukan pembahasan secara mendalam tentang kejelekan-kejelekan kebiasaan ini. Kita dapat menemukan bahwa kebiasaan ini mengarahkan kepada perbuatan yang mendatangkan kemadharatan bagi dirinya sendiri. Di antara kemadharatan kebiasaan.ini adalah sebagai berikut:

Pertama: menghancurkan kemampuan pemuda dan melupakan kewajiban-kewajibannya. Kebiasaan itu juga menjadikan dirinya menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk mencari rangsangan-rangsangan yang berasal dari gambar-gambar tidak pantas, film-film tidak pantas bahkan sampai kepada majalah-majalah yang tidak pantas. Semua ini seperti kayu-kayu baker yang diletakkan di atas api agar lebih menyala.

Kedua: ketika seorang pemuda itu sedang melakukan onani maka dapat mcngobarkan khayalan. Hal itu karena dia mengkhayalkan barang-barang yang dapat membangkitkan dorongan seksual. Dengan demikian dapat mcnyebabkan kelelahan pada sel-sel syaraf.

Ketiga: Onani dapat menyebabkan ketidak-puasan ketika melakukan hubungan seksual secara alami, justru akan membuat dirinya mengalami ketergantungan untuk melakukan kebiasaan jelek itu. Pemuda yang melakukan kebiasaan itu tak ubahnya seperti orang yang kehausan kemudian dia meminum air garam, semakin banyak dia minum air garam itu, maka dia akan semakin haus.

Keempat: ketergantungan melakukan kebiatan onani ini terkadang menjadikannya dirinya terikat dengan kecanduan di dalam sel-sel saraf. Dengan demikian dia akan kembali melakukan hal itu dengan cara yang salah di dalam melakukan hubungan seksualitas. Dan selanjutnya, kebiasaan ini akan mempengaruhi masa depannya dalam berhubungan dengan istrinya. Dan hal ini juga akan terjadi pada seorang pemudi yang melakukan masturbasi. Seorang pemudi yang melakukan masturbasi atau onani dapat terkena radang pada kandungan dan sebagian besar pada alat pembuangan. Selain itu juga dapat menyebabkan hilangnya keperawanannya.

Kelima: kesibukan pemuda dengan urusan seksual semacam ini akan menguasai pikirannya, yaitu dengan gambar yang tidak alami. Hal itu akan membuat dirinya menyimpang dan berpikir untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan seks dalam bentuk lain yang lebih memuaskan. Adapun cara Islam untuk mengatasi masalah-masalah ini adalah dengan menerapkan saddu adz-dzari'ah (menutup pintu) dan jalan yang mengantarkan kepada bencana dan kehancuran.

Inilah bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kebiasan onani atau masturbasi yang telah kami paparkan kepada anda. Itu adalah hukuman terhina yang membahayakan jiwa dan tubuh. Dan kita dapat melihat secara sempurna pengharaman syar'i terhadap perbuatan itu.

Dan sebelum kami mengarahkan perhatian anda kepada dalil-dalil syar'i yang menguatkan pendapat madzhab yang berpendapat bahwa: perbuatan ini haram, kami ingin mengarahkan pandangan pemuda kita bahwa keharaman perbuatan onani atau mansturbasi ini tidak sekeras seperti keharaman zina dan homoseksual. Hal itu karena bahaya yang ditimbulkan oleh kebiasaan onani atau masturbasi itu hanya (sebatas pada dirinya sendiri, sedangkan zina dan homoseksual, bahayanya itu tidak hanya pada dirinya sendiri, akan tetapi berimbas juga kepada masyarakat umum. Selain itu juga, kekejian onani dan masturbasi itu tidak menyerang dalam mencemarkan akhlak seperti zina dan homoseksual. Akan tetapi, pengaruh perbuatan kebiasaan onani dan masturbasi ini lebih ringan. Dengan demikian perbuatan itu tidak dinamakan perbuatan zina atau homoseksual, melainkan hanya dinamakan onani atau masturbasi (bersenang-senang dengan tangan untuk mendapatkan kenikmatan seksual).

Seharusnya, bagi para pemuda yang didorong oleh syaithan untuk melakukan kebiasan-kebiasaan itu, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak sel-sel syaraf atau pertarungan melawan jiwanya sendiri. Akan tetapi, sebaiknya dia mau kembali kepada Allah untuk bertaubat dan meminta ampun serta mau mempelajari sebab-sebab yang mengantarkan seseorang terjerumus dalam kebiasan yang keji ini -sebagaimana akan kami jelaskan selanjutnya- sehingga tidak meninggalkan di dalam dirinya pengaruh-pengaruh jelek apapun.

Sekarang, sampailah kita kepada dalil syar'iyah yang menentramkan hati dan menenangkan jiwa serta yang mengutakan pendapat yang diikuti oleh orang-orang yang mengharamkan perbuatan yang tidak mulia ini, meskipun kami juga telah memaparkan pendapat madzhab-madzhab yang luwes (membolehkan) bagi orang yang takut atau berada dalam posisi sulit dalam menghadapi kejahatan zina. Dan madharatnya itu ditentukan dengan frekuensi sering atau tidaknya dia melakukan kebiasaan itu.

1. Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Al-Qur'an surat A1 Mu'minuun,

"Sesunggubnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (Qs. Al Mu’minun (23):1-7)

Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa menjaga kemaluan adalah wajib, kecuali kepada istri dan budak yang berada di dalam jaminannya. Barang siapa yang melampiaskan syahwatnya dengan jalan yang tidak disebutkan di atas, maka dia di anggap orang yang melampaui batas yang telah ditetapkan oleb Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan akan hal itu.

2. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman dalam suart An-Nuur,

"Katakanlah kepada orang laki-lakiyang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelikara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. " Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, hecuali yang (biasa) nampak daripadanya. "(Qs. An-Nuur (24): 30-31)

Lihatlah bagaimana Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam ayat-ayat di atas memerintahkan kepada orang-orang mu'min untuk menahan pandangannya. Dan di sini juga, terdapat anjuran yang sama untuk menjaga kemaluan secara menyeluruh. Ini berarti tidak diragukan lagi bahwa menjaga kemaluan dari bentuk penyimpangan seksual apapun, termasuk di dalamnya adalah kebiasaan onani atau mastubasi adalah wajib dijaga. Dan Allah tidak akan pernah lupa.

Dan kita juga akan menemukan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam surat yang sama, "Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri )nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. " (Qs. An-Nuur (24): 33)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah Tabaraka wa Ta'ala menuntut kepada orang yang belum mampu untuk menikah agar menjaga dirinya dan menjaga nama baiknya serta jangan sekali-kali mendekati perbuatan seksual apapun sampai Allah mencukupkannya dengan karunia yang diberikan-Nya. Selain itu, Allah menuntut kepada mereka untuk melakukan hubungan seksual melalui cara yang alamiah, yaitu menikah.

3. Di antara dalil yang menguatkan pemahaman yang kita ikuti ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaknya dia melakukan puasa, Karena puasa itu dapat menjadi benteng baginya." (Muttafaq 'Alaih)

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa obat yang tidak ada tandingannya dalam mendayagunakan kemampuan seksualitas tanpa menimbulkan komplikasi dalam fisik maupun jiwa adalah anjuran kepada para pemuda untuk menikah jika dia sudah mampu. Dan bagi orang yang belum mampu melakukannya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan hendaknya dia melakukan onani atau masturbasi. Akan tetapi beliau mengarahkan pemuda kepada penanggulan pasti yang dapat memalingkan keinginannya. Dengan demikian maka kamu akan dapat mengendalikan hawa nafsu, menghubungkan pemuda dengan Tuhannya Azza wa Jalla dan meringankan tekanan insting seksualitasnya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Maka hendaknya dia melakukan puasa, karena puasa dapat menjadi benteng bagi dirinya."

Dan hendaklah kalian mengingat pemuda yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin melakukan perbuatan zina, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan kepadanya untuk melakukan onani guna meringankan tekanan hawa nafsunya? Sekali-kali tidak akan pernah terjadi, akan tetapi justru beliau memberikan cara penanggulangan secara kejiwaan yang menganggap bahwa perbuatan zina adalah suatu perbuatan yang sangat dibenci. Adapun adanya sebab-sebab yang sangat mendesak untuk melakukannya mungkin Rasulullah membolehkan baginya untuk melakukan onani. Oleh karena itu kita dapat memahami bahwa hukum  perbuatan onani atau masturbasi itu haram.

Dan yang terakhir, mari kita simak sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Apa yang saya benci adalah yang dilihat oleh manusia dan dirimu, maka janganlah engkau melakukannya sendiri apabila engkau sendirian."

Ref :
http://islamiwiki.blogspot.com/

Rabu, 13 November 2013

Raja Saudi Keturunan Yahudi

Bismillahirrohmaanirrohim
Sejumlah kesaksian yang meyakinkan bahawa, keluarga Saud merupakan keturunan Yahudi dapat dibuktikan dengan fakta-fakta berikut:
Pada tahun 1960-an, pemancar radio ‘Sawtul Arab’ di Kaherah, Mesir dan pemancar radio di San’a, Yaman, membuktikan bahawa nenek moyang keluarga Saud adalah dari keturunan Yahudi. Bahkan Raja Faisal tidak boleh menyanggah kenyataan itu ketika memberitahu kepada ‘The Washington Post’ pada tanggal 17 Sept 1969 dengan menyatakan bahawa, “kami (keluarga Saud) adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhan kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia adalah merupakan sumber awal Yahudi dan nenek moyangnya, lalu menyebar keseluruh dunia”.
Pernyataan ini keluar dari lisan Raja Faisal As-Saud bin Abdul Aziz. Hafez Wahabi, penasihat Hukum Keluarga Kerajaan Saudi menyebutkan didalam bukunya yang berjudul ‘Semenanjung Arabia’ bahawa Raja Abdul Aziz yang mati pada tahun 1953 mengatakan : “ pesan kami (pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi (pihak lawan) dari suku-suku Arab, datukku, Saud Awal menceritakan saat menawan sejumlah Sheikh dari suku Mathir dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk meminta membebaskan semua tawanannya. Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya, kemudian memalukan mereka dan menurunkan nyali para penengah (orang yang ingin membuat rundingan) dengan cara mengundang mereka ke jamuan makan. Makanan yang disediakan adalah daging manusia yang sudah dimasak, potongan kepala tawanan diletakkan diatas piring”.
Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan daging saudara mereka sendiri. Kerana mereka menolak untuk memakannya, Saud Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itulah kejahatan yang sangat mengerikan yang dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sendiri sebagai raja kepada rakyat yang tidak berdosa kerana kesalahan mereka menentang terhadap kebengisannya dan memerintah dengan sewenang-wenangnya.
Hafez Wahabi selanjutnya menyatakan bahawa, berkaitan dengan kisah berdarah nyata yang menimpa Sheikh suku Mathir dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz As-Saud, iaitu Faisal Ad-Darwis. Diceritakan kisah (pembunuhan Ad-Darwis) itu kepada utusan suku Mathir dengan maksud untuk mencegah mereka untuk tidak meminta pembebasan pimpinan mereka. Jika tidak, akan diperlakukan sama. Dia bunuh Sheikh Faisal Darwis dan darahnya dipakai untuk berwudhu’ sebelum dia solat.
Kesalahan Faisal Darwis waktu itu hanya kerana dia mengkritik Raja Abdul Aziz As-Saud. Ketika Raja menandatangani dokumen yang disiapkan pengusa Inggeris pada tahun 1922 sebagai penyataan memberikan Palestin kepada Yahudi. Tandatangannya dibubuhkan dalam sebuah konferensi di Al-Qir tahun 1922.
Sistem regim keluarga Yahudi (keluarga Saud) dulu dan sekarang masih tetap sama. Tujuannya untuk merampas kekayaan Negara, merompak, memalsukan, melakukan semua jenis kekejaman, ketidak adilan, serangan dan penghinaan, yang kesemuanya itu dilakukan sesuai dengan ajaran kelompok Wahabi yang membolehkan memenggal kepala orang yang menentang ajarannya.
Sikap apatis Negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, khususnya Arab Saudi, mengundang kecurigaan umat Islam. Bagimana mungkin mereka bungkam menyaksikan pembantaian saudara Muslim yang berlangsung di depan matanya, dilakukan oleh musuh abadi zionis Israel la’natullah? Penelitian dan Penelusuran seorang Mohammad Shakher, yang akhirnya dibunuh oleh rezim Saudi karena temuannya yang menggemparkan, agaknya menuntun kita menemukan jawabnya.
Shakher menulis buku berjudul ‘Ali Saud min Aina wa Ila Aina?’ membongkar apa di balik bungkamnya penguasa Khadimul Haramaian setiapkali berhadapan dengan konflik Palestina-Israel. Buku ini juga menemukan fakta baru, mengenai asal muasal Dinasti Saudi. Bagaimanakah runut garis genealoginya? Benarkah mereka berasal dari trah Anza Bin Wael, keturunan Yahudi militan?
Informasi buku ini mencekam sekaligus mencengangkan. Sulit dipercaya, sebuah dinasti yang bernaung di bawah kerajaan Islam Saudiyah bisa melakukan kebiadaban iblis dengan melakukan pembakaran masjid sekaligus membunuh jamaah shalat yang berada di dalamnya. Jika isi buku yang terbit 3 Rabi’ul Awal 1401 H (1981 M) ini ‘terpaksa’ dipercaya, karena faktanya yang jelas, maka kejahatan Kerajaan Saudi Arabia terhadap kabilah Arab dahulu, persis seperti kebuasan zionis Israel membantai rakyat Muslim di Jalur Gaza.
Melacak Asal Dinasti Saudi Dalam silsilah resmi kerajaan Saudi Arabia disebutkan, bahwa Dinasti Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di “Ad-Dir’iyah”, terletak di sebelah barat laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia.
Negara ini mengaku memikul tanggung jawab dakwah menuju kemurnian Tauhid kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mencegah prilaku bid’ah dan khurafat, kembali kepada ajaran para Salafus Shalih dan berpegang teguh kepada dasar-dasar agama Islam yang lurus. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M.
Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, ketika beliau merebut kembali kota Riyad yang merupakan ibukota bersejarah kerajaan ini.
Semenjak itulah Raja Abdul Aziz mulai bekerja dan membangun serta mewujudkan kesatuan sebuah wilayah terbesar dalam sejarah Arab modern, yaitu ketika berhasil mengembalikan suasana keamanan dan ketenteraman ke bagian terbesar wilayah Jazirah Arabia, serta menyatukan seluruh wilayahnya yang luas ke dalam sebuah negara modern yang kuat yang dikenal dengan nama Kerajaan Saudi Arabia. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam, menebar keamanan dan ketenteraman ke seluruh penjuru negeri kerajaan yang sangat luas, mengamankan perjalanan haji ke Baitullah, memberikan perhatian kepada ilmu dan para ulama, dan membangun hubungan luar negeri untuk merealisasikan tujuan-tujuan solidaritas Islam dan memperkuat tali persaudaraan di antara seluruh bangsa arab dan kaum Muslimin serta sikap saling memahami dan menghormati dengan seluruh masyarakat dunia.
Di atas prinsip inilah, para putra beliau sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd, dan Pelayan Dua Kota Suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz.
Dinasti Sa’udi Trah Yahudi
Namun, di masa yang jauh sebelumnya, di Najd tahun 851 H. Sekumpulan pria dari Bani Al Masalikh, yaitu trah dari Kaum Anza, yang membentuk sebuah kelompok dagang (korporasi) yang bergerak di bidang bisnis gandum dan jagung dan bahan makananan lain dari Irak, dan membawanya kembali ke Najd. Direktur korporasi ini bernama Sahmi bin Hathlool. Kelompok dagang ini melakukan aktifitas bisnis mereka sampai ke Basra, di sana mereka berjumpa dengan seorang pedagang gandum Yahudi bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe,
Ketika sedang terjadi proses tawar menawar, Si Yahudi itu bertanya kepada kafilah dagang itu. “Dari manakah anda berasal?” Mereka menjawab, ”Dari Kaum Anza, kami adalah keluarga Bani Al-Masalikh.” Setelah mendengar nama itu, orang Yahudi itu menjadi gembira, dan mengaku bahwa dirinya juga berasal dari kaum keluarga yang sama, tetapi terpaksa tinggal di Bashra, Irak. Karena persengketaan keluarga antara bapaknya dan ahli keluarga kaum Anza.
Setelah itu, Mordakhai kemudian menyuruh budaknya untuk menaikkan keranjang-keranjang berisi gandum, kurma dan makanan lain ke atas pundak unta-unta milik kabilah itu. Hal ini adalah sebuah ungkapan penghormatan bagi para saudagar Bani Al Masalikh itu, dan menunjukkan kegembiraannya karena berjumpa saudara tuanya di Irak. Bagi pedagang Yahudi itu, para kafilah dagang merupakan sumber pendapatan, dan relasi bisnis. Mardakhai adalah saudagar kaya raya yang sejatinya adalah keturunan Yahudi yang bersembunyi di balik roman wajah Arab dari kabilah Al-Masalikh.
Ketika rombongan itu hendak bertolak ke Najd, saudagar Yahudi itu minta diizinkan untuk ikut bersama mereka, kerana sudah lama dia ingin pergi ke tanah asal mereka Najd. Setelah mendengar permintaan lelaki Yahudi itu, kafilah dagang suku Anza itu pun amat berbesar hati dan menyambutnya dengan gembira.
Pedagang Yahudi yang sedang taqiyyah alias nyamar itu tiba di Najd dengan pedati-pedatinya. Di Najd, dia mulai melancarkan aksi propaganda tentang sejatinya siapa dirinya melalui sahabat-sahabat, kolega dagang dan teman barunya dari keturunan Bani Al-Masalikh tadi. Setelah itu, disekitar Mordakhai, berkumpullah para pendukung dan penduduk Najd. Tetapi tanpa disangka, dia berhadapan dengan seorang ulama yang menentang doktrin dan fahamnya. Dialah Syaikh Shaleh Salman Abdullah Al-Tamimi, seorang ulama kharimatik dari distrik Al-Qasem. Daerah-daerah yang menjadi lokasi disseminasi dakwahnya sepanjang distrik Najd, Yaman, dan Hijaz.
Oleh karena suatu alasan tertentu, si Yahudi Mordakhai itu -yang menurunkan Keluarga Saud itu- berpindah dari Al Qasem ke Al Ihsa. Di sana, dia merubah namanya dari Mordakhai menjadi Markhan bin Ibrahim Musa. Kemudian dia pindah dan menitip di sebuah tempat bernama Dir’iya yang berdekatan dengan Al-Qateef. Di sana, dia memaklumatkan propaganda dustanya, bahwa perisai Nabi Saw telah direbut sebagai barang rampasan oleh seorang pagan (musyrikin) pada waktu Perang Uhud antara Arab Musyrikin dan Kaum Muslimin. Katanya, “Perisai itu telah dijual oleh Arab musyrikin kepada kabilah kaum Yahudi bernama Banu Qunaiqa’ yang menyimpannya sebagai harta karun.”
Selanjutnya dia mengukuhkan lagi posisinya di kalangan Arab Badwi melalui cerita-cerita dusta yang menyatakan bagaimana Kaum Yahudi di Tanah Arab sangat berpengaruh dan berhak mendapatkan penghormatan tinggi Akhirnya, dia diberi suatu rumah untuk menetap di Dlir’iya, yang berdekatan Al-Qatef. Dia berkeinginan mengembangkan daerah ini sebagai pusat Teluk Persia. Dia kemudian mendapatkan ide untuk menjadikannya sebagai tapak atau batu loncatan guna mendirikan kerajaan Yahudi di tanah Arab. Untuk memuluskan cita-citanya itu, dia mendekati kaum Arab Badwi untuk menguatkan posisinya, kemudian secara perlahan, dia mensohorkan dirinya sebagai raja kepada mereka.
Kabilah Ajaman dan Kabilah Bani Khaled, yang merupakan penduduk asli Dlir’iya menjadi risau akan sepak terjang dan rencana busuk keturunan Yahudi itu. Mereka berencana menantang untuk berdebat dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Mereka menangkap saudagar Yahudi itu dan menawannya, namun berhasil meloloskan diri.
Saudagar keturunan Yahudi bernama Mordakhai itu mencari suaka di sebuah ladang bernama Al-Malibed Gushaiba yang berdekatan dengan Al Arid, sekarang bernama Riyadh. Disana dia meminta suaka kepada pemilik kebun tersebut untuk menyembunyikan dan melindunginya. Tuan kebun itu sangat simpati lalu memberikannya tempat untuk berlindung. Tetapi tidak sampai sebulan tinggal di rumah pemilik kebun, kemudian Yahudi itu secara biadab membantai tuan pelindungnya bersama seluruh keluarganya.
Sungguh bengis, air susu dibalas dengan air aki campur tuba. Mordakhai memang pandai beralibi, dia katakan bahwa mereka semua telah dibunuh oleh pencuri yang menggarong rumahnya. Dia juga berpura-pura bahwa dia telah membeli kebun tersebut dari tuan tanah sebelum terjadinya pembantaian tersebut. Setelah merampas tanah tersebut, dia menamakannya Al-Dlir’iya, sebuah nama yang sama dengan tempat darimana ia terusir dan sudah ditinggalkannya.
Keturunan Yahudi bernama Mordakhai itu dengan cepat mendirikan sebuah markas dan ajang rendezvous bernama “Madaffa” di atas tanah yang dirampasnya itu. Di markas ini dia mengumpulkan para pendekar dan jawara propaganda (kaum munafik) yang selanjutnya mereka menjadi ujung tombak propaganda dustanya. Mereka mengatakan bahwa Mordakhai adalah Syaikh-nya orang-orang keturunan Arab yang disegani. Dia menabuh genderang perang terhadap Syaiikh Shaleh Salman Abdulla Al-Tamimi, musuh tradisinya. Akhirnya, Syeikh Shaleh Salman terbunuh di tangan anak buah Mordakhai di Masjid Al-Zalafi.
Mordakhai berhasil dan puas hati dengan aksi-aksinya. Dia berhasil menjadikan Dlir’iya sebagai pusat kekuasaannya. Di tempat ini, dia mengamalkan poligami, mengawini puluhan gadis, melahirkan banyak anak yang kemudian dia beri nama dengan nama-nama Arab.
Walhasil, kaum kerabatnya semakin bertambah dan berhasil menghegemoni daerah Dlir’iya di bawah bendera Dinasti Saud. Mereka acapkali melakukan tindak kriminal, menggalang beragam konspirasi untuk menguasai semenanjung Arab. Mereka melakukan aksi perampasan dan penggarongan tanah dan ladang penduduk setempat, membunuh setiap orang yang mencoba menentang rencana jahat mereka. Dengan beragam cara dan muslihat mereka melancarkan aksinya. Memberikan suap, memberikan iming-iming wanita dan gratifikasi uang kepada para pejabat berpengaruh di kawasan itu. Bahkan, mereka “menutup mulut” dan “membelenggu tangan” para sejarawan yang mencoba menyingkap sejarah hitam dan merunut asal garis trah keturunan mereka kepada kabilah Rabi’a, Anza dan Al-Masalikh.
Sekte Wahabi
Seorang munafik jaman kiwari bernama Muhammad Amin Al-Tamimi – Direktur/Manager Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi, menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk Keluarga Yahudi ini (Keluarga Saudi), menghubungkan garis keturunan mereka kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagai imbalan pekerjaannnya itu, ia menerima imbalan sebesar 35.000 (Tiga Puluh Lima Ribu) Pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo pada tahun 1362 H atau 1943 M. Nama Duta Besar Saudi Arabia itu adalah Ibrahim Al-Fadel.
Seperti disebutkan di atas, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai), yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab melahirkan banyak anak, saat ini pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya, dan mereka bertaut kepada warisan perkimpoian itu.
Salah seorang anak Mordakhai bernama Al-Maqaran, (Yahudi: Mack-Ren) mempunyai anak bernama Muhammad, dan anak yang lainnya bernama Sa’ud, dari keturunan Sa’ud inilah Dinasti Saudi saat ini berasal.
Keturunan Saud (Keluarga Saud) memulai melakukan kampanye pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan dalih mereka murtad, mengkhianati agama Islam, meninggalkan ajaran-ajaran Al-Quran, dan keluarga Saud membantai mereka atas nama Islam.
Rakyat yang mencoba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang Negara ini akan di tembak mati dan dipenggal kepalanya.
Di dalam buku sejarah Keluarga Saudi halaman 98-101, penulis pribadi sejarah keluarga Saudi menyatakan bahwa Dinasti Saudi menganggap semua penduduk Najd menghina Tuhan. Oleh karena itu darah mereka halal, harta-bendanya dirampas, wanita-wanitanya dijadikan selir, tidak seorang Muslim pun yang dianggap benar, kecuali pengikut sekte Muhammad bin Abdul Wahab (yang aslinya juga keturunan Yahudi Turki).
Doktrin Wahabi memberikan otoritas kepada Keluarga Saudi untuk menghancurkan perkampungan dan penduduknya, termasuk anak-anak dan memperkosa wanitanya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan anak-anak, kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan dengan ajarannya yang kejam (brutal doctrin ) untuk merampas semua harta kekayaan milik orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran agama karena tidak mengikuti ajaran Wahabi.
Keluarga Yahudi yang jahat dan mengerikan ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama sekte agama palsu mereka (sekte Wahhabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk menaburkan benih-benih teror di dalam hati penduduk di kota-kota dan desa-desa. Pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama semenanjung Arabia dengan nama keluarga mereka, menjadi Saudi Arabia, seolah-olah seluruh wilayah itu milik pribadi mereka, dan penduduknya sebagai bujang atau budak mereka, bekerja keras siang dan malam untuk kesenangan tuannya, yaitu Keluarga Saudi.
Mereka dengan sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri itu seperti miliknya pribadi. Bila ada rakyat biasa mengemukakan penentangannya atas kekuasaan sewenang-wenang Dinasti Yahudi ini, dia akan di hukum pancung di lapangan terbuka. Seorang putri anggota keluarga kerajaan Saudi beserta rombongannya sekali tempo mengunjungi Florida, Amerika Serikat, dia menyewa 90 (sembilan pukuh) Suite rooms di Grand Hotel dengan harga $1 juta semalamnya. Rakyat yang mencoba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang Negara ini akan di tembak mati dan dipenggal kepalanya.
Raja Faisal Al-Saud tidak bisa menyanggah bahwa keluarganya adalah keluarga Yahudi ketika memberitahukan kepada The Washington Post pada tanggal 17 September 1969, dengan menyatakan bahwa: “Kami, Keluarga Saudi adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhannya kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia merupakan sumber awal Yahudi dan nenek-moyangnya, dari sana menyebar ke seluruh dunia”.
Wallahua’lam bis sowab.

Ref :
1.http://datahakekat.blogspot.com/2013/04/raja-saudi-keturunan-yahudi.html
2.http://datahakekat.blogspot.com/2013/04/dinasti-saud-dari-manakah-asalnya.html
3.https://www.dropbox.com/s/re2k0nuvqvrq27b/DINASTI%20SAUD%20-%20DARI%20MANAKAH%20ASALNYA%20MEREKA%20INI.doc

>> ABDULLAH DARI ARAB
4.http://datahakekat.blogspot.com/2013/04/abdullah-dari-arab-saudi.html


5.https://www.dropbox.com/s/ib9x7mt6xwj6d80/Abdullah%20dari%20Arab%20Saudi.doc

Kamis, 03 Oktober 2013

BAHAYANYA VAKSINASI ANAK SAAT INI?

Bismillahirrohmaanirrohim

Wahai ummat Islam waspadalah, inilah sebab dan alasan kenapa bayi dan anak-anak kita tidak boleh imunisasi..
Qodarulloh, setelah mencari-cari informasi, bukan hanya ilmu tentang baik atau buruk sebenarnya vaksinasi tersebut, saya justru mendapatkan lebih, tentang indikasi kuat adanya konspirasi Yahudi –lagi-lagi Yahudi Laknatulloh- di balik program vaksinasi ini. Berikut saya ringkaskan artikel “Imunisasi, Siasat Yahudi Lumpuhkan Generasi” dalam Tabloid Bekam pada edisi yang mengangkat Imunisasi sebagai topik utamanya. Semoga bermanfaat.

Apa itu Imunisasi/Vaksinasi?

Bila bibit penyakit penderita TBC, Hepatitis, Meningitis, HIV, Campak, Polio atau penyakit lainnya yang menyarang di tubuh seseorang diambil lantas diolah sedemikian rupa entah dengan istilah dilemahkan atau dilumpuhkan, kemudian bibit penyakit tersebut diperbanyak lalu disuntikkan ke tubuh Anda atau anak Anda! Apakah dengan sukarela Anda menerimanya? Aksi memasukkan bibit penyakit inilah yang akrab disebut vaksinasi atau imunisasi.

Vaksin berasal dari kata vaccinia penyebab infeksi cacar pada sapi. Secara umum, vaksin adalah suatu bahan yang diyakini dapat melindungi orang dari penyakit. Vaksinasi adalah usaha merangsang daya tahan tubuh dengan memasukkan bibit penyakit yang dilemahkan dan diproses dengan bahan lain.

Sebenarnya vaksinasi atau imunisasi tidak ada hubungannya dengan peningkatan daya tahan tubuh mengingat fungsinya hanya sebagai perangsang sejauh mana daya tahan tubuh seseorang. Padahal daya tahan tubuh/sistem imunitas perlu dilatih berulang-ulang agar selalu siap bila ada mikroorganisme masuk ke tubuh.

“Maka dari itu, yang kita dengar vaksin harus disuntikkan berkali-kali, bila tidak tubuh tidak membentuk sistem imunitasnya. Namun, pada kenyataannya walaupun telah diimunisasi, tetap saja masih banyak yang terkena penyakit. Kenapa ini bisa terjadi, kemungkinan karena kesalahan cara mem-vaksin, penyimpanannya, atau karena vaksin memang tidak efektif.” ungkap dr. Agus Rahmadi, pengasuh Klinik Sehat.

“Sebenarnya vaksin diberikan hanya untuk jaga-jaga (preventif)/belum tentu terjadi. Apakah dengan alasan jaga-jaga, kesehatan justru harus dikorbankan (dipertaruhkan)? Belum lagi vaksin banyak menggunakan unsur haram. Kenapa tidak dengan tahnik, konsumsi madu, dan habbatussauda yang telah terbukti meningkatkan sistem imunitas?”, lanjutnya.

Sejarah Vaksin

Vaksinasi sesungguhnya adalah salah satu dari sekian banyak perilaku keji Yahudi dalam usaha mereka untuk menguasai dunia dengan menyebarkan racun/kuman pembunuh kepada bangsa lain, terutama kaum muslimin.

Diungkapkan dalam Deadly Mist, vaksin dijadikan senjata biologis pemusnah massal sistematis oleh zionis dan kroninya sejak abad ke-18, diawali oleh Jenderal Jeffrer Amherst yang menghabisi suku Indian dengan menyebarkan kuman dan penyakit yang disisipkan dalam selimut dan handuk yang dibagikan ke suku tersebut.

Pada abad ke-19, serum/kuman, virus, dan materi berbahaya lainnya dijadikan senjata senjata biologi dalam peperangan atau pemusnahan massal serta penyebaran racun yang menghancurkan otak dan sistem saraf pusat.

Pada abad ke-20, vaksin modern dikelola oleh Flextner Brothers, yang penelitiannya tentang vaksinasi pada manusia didanai oleh keluarga Rockefeller yang merupakan salah satu keluarga paling berpengaruh di dunia dan bagian dari Zionis International yang memprakasai pendirian WHO dan lembaga dunia lainnya.

Singkatnya, dari data historis, vaksinasi merupakan bagian dari strategi dan misi “pengendalian” jumlah penduduk oleh Zionisme International dalam rangka menggapai misi New World OrderI. Mereka meraup dua keuntungan sekaligus, “pengendalian” jumlah penduduk dan menuai keuntungan yang besar.

Vaksin dan Kepentingan Bisnis

Boleh jadi pula niat busuk Yahudi dalam program vaksinasi ini senada dengan teori bila ingin senjata laku, maka ciptakan perang. Dalam hal ini bila ingin obat laku, ciptakan penyakit! Dengan strategi ini, Yahudi berusaha membuat bangsa lain menderita sekaligus menguras isi kantongnya dengan alasan kesehatan. Sasaran vaksin adalah negara-negara berkembang yaitu Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Yang mengambil keuntungan adalah negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Adanya kepentingan bisnis dan siasat merusak kesehatan manusia di balik imunisasi ini semakin mudah dipahami apalagi bila dicermati bahwa imunisasi/vaksinasi merupakan perbuatan yang membingungkan dan sulit dipahami dan diterima akal sehat serta bertentangan dengan aturan Islam.

Permasalahan Vaksin Lainnya

Vaksin yang selama ini dikembangkan adalah salah satu produk farmasi, dimana kehalalan produk-produk farmasi sendiri dikritisi oleh Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim. Ketus MUI pun menegaskan bahwa hukum mengkonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum mengkonsumsi makanan, yakni harus halal. Bahkan boleh jadi, bila dikaji, pemberian vaksin juga bertentangan dengan aturan Badan POM RI yang tidak memberikan izin edar produk yang bersumber dari bahan tertentu.

Penggunaan bahan haram dalam pembuatan vaksin pun diakui oleh produsen vaksin terbesar di Indonesia, PT. Biofarma, seperti pernah diungkapkan oleh Drs. Iskandar, Apt., MM., ketika menjabat Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT. Biofarma bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV).

Sementara Kepala Divisi Produksi vaksin virus PT. Biofarma, Drs. Dori Ugiyadi mengatakan, “Di Biofarma, kita menggunakan sel ginjal monyet untuk produksi vaksin polio dan sel embrio ayam untuk produksi vaksin campak.”

Logika Vaksin

Bayi yang baru lahir dianugerahi oleh Allah tubuh yang sempurna, lengkap dengan sistem kekebalan tubuh. Bayi yang belum tahu apa-apa, belum mengenal selain tangis dan tawa, makan/minum, dan tidur tentu tak mampu menolak apa pun yang duimasukkan ke tubuhnya. Ayah ibu lah yang memilah dan memilih apa yang terbaik untuk ditelen atau dimasukkan ke tubuh buah hatinya.

Mungkinkah orang tua membiarkan begitu saja ragam racun ditelan dan bersarang di pembuluh darah dan organ-organ tubuh anak kesayangannya? Di sisi lain, mungkinkah racun merupakan media yang tepat untuk menjaga kesehatan? Bayangkan pula bila racun tersebut berasal dari babi, bangkai, darah dan nanah! Mungkinkah seseorang yang karena hanya ingin menguji daya tahan tubuhnya harus menelah bahan-bahan haram dan berbahaya?

Bukankah vaksinasi hanya menambah orang yang terinfeksi penyakit dan terjadinya penyebaran penyakit di daerah/negara tertentu padahal sebelumnya aman-aman saja?

Hentikan Vaksin!

Setelah merenungkan agenda busuk Yahudi serta dampak buruk vaksin, cukup banyak tenaga medis yang menghentikan dan menentang vaksinasi, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Bidan Emma, menghentikan program imunisasi di kliniknya karena tidak ingin men-dzolimi bayi dan masyarakat dengan memasukkan barang-barang haram dan membahayakan kesehatan. Menurutnya, semisal vaksin hepatitis B membuat organ-organ tubuh bayi terutama liver menjadi sangat terpaksa merespon virus-virus dan zat kimia sehingga memungkinkan terjadinya kelemahan liver untuk tahap kehidupan berikutnya.

Dr. Fadilah Supari saat menjabat sebagai Menteri Kesehatan secara terang-terangan mendesak kajian ulang mengenai kebaradaan Namru 2 (Naval Mediacal Research Unit), proyek riset militer AS dalam masalah vasin. Selain itu, dia juga menentang proyek jual beli virus flu burung dan bisnis-bisnis kotor Amerika lainnya.

Siti Fadilah, anggota Dewan Penasihat Presiden, mengamati adanya konspirasi AS dan WHO dalam mengembangkan senjata biologis virus flu burung sehingga ia dinilai “membuka kedok” WHO yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang merugikan negara-negara miskin.

Bahkan Amerika Serikat sendiri telah mendirikan The Vaccine Adverse Events Reporting Sistem (VAERS) yang mencatat berbagai reaksi buruk yang disebabkan oleh berbagai program vaksinasi. Menurut laporan VAERS, tercatat 244.424 kasus, dengan 2.866 kasus berujung kematian sejak tahun 1999-2002.

Demikan pula masyarakat di AS, Kanada, dan beberapa negara Eropa seperti Inngris, Perancis, dan Belanda telah membatalkan beberapa program vaksinasi.

***

Demikian tulisan ringkas ini semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Sebenarnya masih banyak hal-hal penting lainnya yang mungkin terlewat tidak saya tuliskan di sini, seperti kisah-kisah nyata tentang anak-anak yang justru tumbuh lebih sehat tanpa imunisasi dan sebaliknya, kisah tentang tragedi yang terjadi akibat imunisasi pada bayi, dsb.

Setelah membaca informasi-informasi tersebut juga informasi dari artikel-artikel di internet, saya bertekad tidak akan memberikan vaksinsasi kepada anak-anak saya nanti, insyaAllahu Ta`ala. Semoga Allah melindungi kita semua. Allohu Ta`ala A`lam.

----------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://estehmanishangatnggakpakegula.blogspot.com/

Rujukan:
silakan baca buku:
1. Imunisasi, Dampak & Konspirasi; Solusi Sehat ala Rasulallah SAW, yang ditulis oleh Hj. Ummu Salamah, SH., Hajjam.
2. Deadly Mist, Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia, oleh Jerry D. Gray.

Senin, 30 September 2013

SIFAT-SIFAT KETUHANAN

Bismillahirrohmaanirrohim

20SIFAT-ALLAH-600-x-4501
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:

1. Sifat Nafsiyah, iaitu Wujud

2. Sifat Salbiyah iaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat

3. Sifat Ma’ani, iaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam

4. Sifat Ma’nawiyah, iaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttakalimuun.

Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)

1. Sifat Istighna’ iaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil hawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttakallimun

2. Sifat Iftikor ilaihi, iaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Bahagian I: Sifat Nafsiyyah

Wujud, ertinya ada, yang ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adum, ertinya tiada yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada kerana jikalau Allah Ta’ala itu tiada nescaya tiadalah perubahan pada alam ini. Alam ini jadilah statik (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua itu (perubahan) terjadi dengan sendirinya.

Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya nescaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerima lah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya iaitu firmanNya dalam Al Qur’an:

Allahu kholiqu kullu syai’in
ertinya, “Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.”

Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, ertinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna

Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati, ertinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikeranakan dengan suatu kerana yakni adanya iaitu tiada kerana jadi oleh sesuatu dan tiada Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.

Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah kerana wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat yang lain-lain.

Adapun Wujud itu tiga bahagian:

1. Wujud Haqiqi, iaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadim dan Baqa’, inilah wujud sebenarnya

2. Wujud Mujazi, iaitu dzat segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi kerana wujudnya itu bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala

3. Wujud ‘Ardy, iaitu dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain

Adapun yang Maujud selain Allah Ta’ala dua bahagian

1. Maujud dalam ‘alam syahadah, iaitu yang di dapat dilihat dengan pancaindera yang lima seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain

2. Maujud di dalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan pancaindera yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasyaf kepada siapa-siapa yang dikurniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.

Adapun segala yang Maujud itu lima bahagian:

1. Maujud pada Zihin iaitu ada pada ‘aqal

2. Maujud pada Kharij iaitu ada kenyataan bekas

3. Maujud pada Khayal iaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang di dalam mimpi

4. Maujud pada Dalil iaitu ada pada dalil seperti asap tanda ada api

5. Maujud pada Ma’rifat iaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala

Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:

1. Dalil yang didapat dari Khawas (pancaindera) yang lima tiada dapat didustakan

2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan

3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan

4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan

5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan

.

Bahagian II: Sifat Salbiyyah

Adapun hakikat sifat Salbiyyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, ertinya barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala iaitu lima sifat:

1. QIDAM, ertinya Sedia

2. BAQA’ ertinya Kekal,

3. MUKHALAFATUHU LIL HAWADITS ertinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.

4. QIYAMUHU BINAFSIHI, ertinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.

5. WAHDANIAH, ertinya Esa

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

1. QIDAM, ertinya Sedia ada

Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Huduth ertinya baharu iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu kerana jikalau Ia baharu nescaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, ertinya Ia juga yang awal.

Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:

a. Qadim Haqiqi, iaitu dzat Allah Ta’ala

b. Qadim Sifati, iaitu sifat Allat Ta’ala

c. Qadim Idhofi, iaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak

d. Qadim Zamani, iaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun

2. BAQA’ ertinya Kekal

Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ ertinya binasa iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, ertinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.

Adapun yang Kekal itu dua bahagian:

a. Kekal Haqiqi, iaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala

b. Kekal Ardy, iaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, kerana ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, syurga, neraka, bidadari dan telaga nabi.

3. MUKHALAFATUHU LIL HAWADITSI ertinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu

Adapun Hakikat Mukhalafatuhu lil hawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya Mumassalatuhu lil hawadits, ertinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, kerana jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhu lil hawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lil hawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:

laisa kamitslihi syai’un wa huwa ssami’ul bashir, ertinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.

Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu kerana dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.

Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu kerana sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang maujud.

Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.

Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu kerana perbuatan Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.

Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.

4. QIYAMUHU BINAFSIHI, ertinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya

Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.

Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, kerana Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri kerana sifat itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.

Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Ia kerana Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhu lil hawadits.

Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, ertinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.

Adapun segala yang Maujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagian:

a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala

b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, iaitu sifat Allah Ta’ala

c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia iaitu segala jirim yang baharu

d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia iaitu segala ‘aradh yang baharu

5. WAHDANIAH, ertinya Esa

Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kam muttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kam mumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada af’al.

Lawannya An-yakunu wahidan, ertinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, kerana jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini kerana banyak yang memberi bekas.

Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, kerana tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya di sebelah timur atau utara atau selatan, kerana tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.

Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan di dalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, ertinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.

Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kam muttasil, iaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.

b. Menafikan Kam mumfasil, iaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.



Maka Kam muttasil dan Kam mumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.

Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kam muttasil, iaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

b. Menafikan Kam mumfasil, iaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.



Maka Kam muttasil dan Kam mumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.

Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kam muttasil, iaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

b. Menafikan Kam mumfasil, iaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

Maka Kam muttasil dan Kam mumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.

Bahagian III: Sifat Ma’ani

Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman, ertinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (iaitu Ma’nawiyah)

Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:

1. QUDRAT ertinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun

2. IRADAT ertinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun

3. ILMU ertinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.

4. HAYAT ertinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.

5. SAMA’ ertinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.

6. BAShAR ertinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.

7. KALAM ertinya Berkata-kata

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

1. Qudrat ertinya Kuasa

Adapun hakikat Qudrat itu iaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun erti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya

Adapun mumkin itu empat bahagian:

a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, iaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.

b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, iaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.

c. Mumkin sayuzad, iaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.

d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, iaitu mumkin yang di dalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.

Lawannya ‘Ujdzun ertinya lemah, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, kerana jikalau Ia lemah nescaya tiadalah ada alam ini kerana yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, ertinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.

Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

*

Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.
*

Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.
*

Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
*

Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
*

Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

2. Iradat ertinya Menentukan/berkehendak

Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya, muafakat dengan Ilmu-Nya.

Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:

a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya

b. Menentukan Tempat mumkin itu

c. Menentukan Jihat mumkin itu

d. Menentukan Sifat mumkin itu

e. Menentukan Qadar mumkin itu

f. Menentukan Masa mumkin itu

Click Here


Lawannya Karahat ertinya tiada menentukan atau tiada berkehendak, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak, kerana jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini nescaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, ertinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.

Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim kerana:

Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya. Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain. Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak. Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.

Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

*

Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.
*

Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.
*

Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.

*

Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.
*

Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

3. Ilmu ertinya Mengetahui

Adapun hakikat Ilmu itu iaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.

Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.

Adapun yang mustahil itu iaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.

Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim

Lawannya Jahil, ertinya bodoh, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh kerana jikalau ia Jahil atau bodoh nescaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan di dalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, ertinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.

Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

*

Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.
*

Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.
*

Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
*

Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
*

Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

4. Hayat ertinya Hidup

Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.

Lawannya maut ertinya mati, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati kerana jikalau Ia mati nescaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, ertinya Dia yang Hidup yang tiada mati.

Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

*

Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.
*

Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.
*

Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.
*

Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
*

Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)

5. Sami’ ertinya Mendengar

Adapun hakikat Sami’ itu iaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang maujud sama ada yang maujud itu Qadim atau Muhadas.

Adapun maujud yang Qadim iaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas iaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.

Lawannya Sumum, ertinya pekak atau tuli iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak atau tuli kerana jikalau Ia pekak atau tuli nescaya tiadalah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, ertinya mintalah olehmu kepadaKu nescaya Aku perkenankan.

Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, ertinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .

Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

*

Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.
*

Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.
*

Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
*

Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
*

Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

6. Bashir ertinya Melihat

Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang maujud sama ada yang maujud itu Qadim atau muhadas.

Adapun maujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.

Adapun maujud yang muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan. Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.

Lawannya ‘Umyun, ertinya buta, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta kerana jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta

Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, ertinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.

Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

*

Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.
*

Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.
*

Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
*

Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
*

Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

7. Kalam ertinya Berkata-kata

Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, ertinya ketahui oleh mu bahawasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima aa lihatun illallah lafasadatu, ertinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu kholaqokum wamaa ta’maluun, ertinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.

Lawannya Bukmum, ertinya kelu atau bisu iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu kerana jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taklimaan, ertinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.

Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.

Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

*

Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.
*

Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.
*

Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.
*

Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizaatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.
*

Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam munfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

Bahagian IV: Sifat Ma’nawiyyah

Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, ertinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikeranakan suatu kerana iaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, ertinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antara sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai iaitu tujuh sifat pula:

1. QADIRUN, ertinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat

2. MURIIDUN, ertinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat

3. ‘ALIMUN, ertinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat

4. HAYYUN, ertinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat

5. SAMI’UN, ertinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat

6. BASIRUN, ertinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat

7. MUTTAKALLIMUN, ertinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat

Bahagian V: Sifat Istighna

Ertinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, ertinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.

Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.

Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:

Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttakalim.

Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna iaitu

1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya kerana lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya

2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya wajib iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang lainnya, kerana lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya

3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya kerana lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh

Bahagian VI: Sifat Iftiqor ilahi

Ertinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthiqor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.

Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,

Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:

1. Qudrat 2. Iradat 3. Ilmu 4. Hayat 5. Qodirun 6. Muridun 7. ‘Alimun 8. Hayyun 9. Wahdaniah

Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthiqor:

1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya kerana lazim ketika itu bersamaan darjat-Nya

2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya kerana lazim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.

Maka sekarang telah nyata pada kita bahawa dua puluh delapan (28) sifat Istighna dan dua puluh dua (22) sifat Ifthiqar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘aqaid yang terkandung di dalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun an kullu maasiwahu, ertinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, ertinya dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.

Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):

1. Wajibal wujud, iaitu yang wajib adanya.

2. Ishiqoqul ibadah, iaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah

3. Kholikul ‘alam, iaitu yang menjadikan sekalian alam

4. Maghbudun bihaqqi, iaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.

Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) iaitu:

Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, ertinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.

Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat

Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah

Laa = nafi, Ilaha = menafi, illa = isbat, Allah = meng-isbat

Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandungi isbat dan isbat mengandung nafi seperti sabda nabi : laa yufarriqu bainannafi wal-isbati wamam farroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, ertinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir. Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah ertinya nafi mengandungi isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu.



Wallahu a’lam

Sumber : cahayapurnama.com/sifat-20-bagi-allah-sifat-ketuhanan/


Sabtu, 14 September 2013

Keputusan Ulama tentang Hukum Bermazhab di Muktamar NU Ke-1

Bismillahirrohmaanirrohim
1. Hukum Bermazhab
Pertanyaan: Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab?
Jawaban: Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat mazhab yang tersohor dan aliran mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan).
Empat mazhab itu ialah:
a. Mazhab Hanafi
Yaitu mazhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H.).
b. Mazhab Maliki
Yaitu mazhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.).
c. Mazhab Syafi’i
Yaitu mazhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Gazza pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahun 204 H.).
d. Mazhab Hanbali
Yaitu mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 241 H.).
Keterangan, dari kitab:
1. al-Mizan al-Kubra [1]
كَانَ سَيِّدِيْ عَلِيٌّ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ اِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيُّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ اْلآنَ هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ اْلأُوْلَى خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِى الضَّلاَلِ وَعَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَوْمَ.
Jika tuanku yang mulia Ali al-Khawash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti mazhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu mazhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan begitulah yang harus diamalkan oleh orang zaman sekarang ini.
2. Al-Fatawa al-Kubra [2]
وَبِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. وَقَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ.
Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu mazhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena mazhab-mazhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengkhususan hukum yang bersifat umum, berbeda dengan mazhab-mazhab yang lain.
3. Sullam al-Wushul [3]
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ اْلأَعْظَمَ“. وَلَمَّا انْدَرَسَتْ الْمَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ اْلأَرْبَعَةَ الَّتِى اِنْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اِتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ اْلأَعْظَمِ.
Nabi Saw. bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari mazhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.

----------------------------------------------------------------------

Catatan kaki:
[1] Abdul Wahhab Al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), Jilid IV, h. 307.
[3] Muhammad Bahith al-Muthi’i, Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul (Mesir, Bahrul Ulum, t.th.), jilid III, h. 921 dan jilid IV h. 580 dan 581. Hadits tersebut tercantum pada kitab ini di jilid III adalah sebagai dasar ijma’. Sedang yang tercantum di jilid IV merupakan kesimpulan tentang al-istifta’. Hadits di atas selengkapnya:
إِنَّ أُمَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اْلإِخْتِلاَفَ فَعَلَيكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan. Jika kamu melihat suatu perbedaan, maka wajib bagimu mengikuti al-sawad al-a’zham” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik). Ibarah ini terdapat pula pada kitab ‘Iqd al-Jid fi Ahkam al-Ijtihad karya Syekh Ahmad Waliyullah al-Dahlawi, Cairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1965 M, h. 13. Dapat dirujuk pula kepada pendapat Fakhruddin Muhammad al-Razi, al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408H/1988 M), Cet. Ke-1, Juz II, h. 535-540.

Sumber :http://wiki.aswajanu.com/Keputusan_Ulama_tentang_Hukum_Bermazhab_di_Muktamar_NU_Ke-1

Rabu, 04 September 2013

Pohon Thuba

Bismillahirrohmaanirrohim



Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Beberapa nash syar’i menyebutkan tentang nama pohon di surga, seperti pohon anggur, kurma, delima, dan lainnya. Salah satu namanya yang disebutkan dengan tegas adalah Thuba. Pohon terbesar yang ada di sana. Sangat rindang dan begitu indah. Terbuat dari emas. Darinya, pakaian ahli surga terbuat. (HR. Ibnu Hibban)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


إِنَّ فِي الْجَنَّةِ شَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لَا يَقْطَعُهَا وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ : وَظِلٍّ مَمْدُودٍ(

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pohon yang dilewati oleh penunggang kuda selama seratus tahun tapi ia tak keluar dari naungannya. Bacalah jika kalian mau, “Dan naungan yang terbentang luas” [QS. Al-Waqi’ah: 30].” (HR. Al-Bukhari)

Dalam Shahihaih, dari Abu Sa’id al-Khudri, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat satu pohon yang dilalui oleh penunggang kuda yang mahir dan sangat kencang selama seratus tahun tapi belum melampuinya.”

Bagi siapakah pohon tersebut?

Secara umum pohon Thuba diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang beriman kepada beliau dan meniti sunnah-sunnahnya, baik ia pernah berjumpa dengan beliau saat hidupnya ataukah tidak. (HR. Ahmad)

Dalam hadits lain juga disebutkan, Thuba disediakan bagi orang yang senantiasa memperbaiki dirinya, sibuk dengan aib dirinya dari mengurusi aib orang lain. Bukan berarti ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau mengingkari kemungkaran. Karena ada anggapan di umum, tidak pantas mengurusi aib/kesalahan orang lain apabila ia meihat dalam dirinya masih bercokol aib. Tapi ia memperbaiki dirinya terlebih dahulu lalu berusaha memperbaiki orang lain.

Salah satu kelompok lain yang disebutkan dalam hadits, adalah mereka yang memperbanyak istighfar, sehingga catatan amalnya dipenuhi dengannya.

Dari Abdullah bin Busr Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

“Keberuntungan (nama untuk surga dan pohon di surga) bagi siapa yang mendapati catatan amalnya berisi istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah, al-Nasai dalam al-Kubra, al-Baihaqi dalam al-Syu’ab, Al-Bazzar dan selainnya. Dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah, no. 236)

Semoga  kita termasuk bagian dari ahlil jannah dan mendapat keberuntungan di akhirat sehingga bisa menikmati keindahan pohon Thuba di sana. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Penulis :Oleh: Badrul Tamam
Diperikasa : Admin

Kamis, 29 Agustus 2013

Berniat Puasa Qadha Sekaligus Syawwal

Bismillahirrohmaanirrohim

Berpuasa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Nashih Nashrullah

Sebuah riwayat dari Abu Ayyub al-Anshari yang dinukilkan oleh Muslim menyatakan tentang kesunahan berpuasa enam hari selama Syawal. “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian disertai dengan puasa enam hari Syawal, maka ia ibarat berpuasa selama setahun (dahr).”

Mayoritas ulama, seperti diungkapkan oleh Syekh Dr Muhammad Mushlih az-Za'abi, dalam kitabnya yang berjudul Shiyam Sittin Min Syawwal; Dirasah Haditsiyyah Fiqhiyyah, berpandangan hukum puasa tersebut adalah sunah. Ketentuan ini juga berlaku untuk Muslimah.

Muncul pertanyaan, bolehkah menggabungkan niat qadha puasa Ramadhan yang terlewati dengan niat berpuasa enam hari Syawal?

Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Dar Al Ifta, Mesir, Prof Ali Jum'ah Muhammad, menggabungkan puasa sunah ke dalam puasa wajib hukumnya boleh. Ini tidak berlaku sebaliknya, yaitu menyatukan puasa wajib dalam niat puasa sunah. Pendapat ini banyak dirujuk oleh mayoritas ulama.

Atas dasar ini, Muslimah yang ingin mendapatkan pahala puasa enam hari Syawal, ia bisa melakukannya dengan mengganti puasa Ramadhan yang terlewat pada bulan tersebut. Pandangan ini menggunakan analogi hukum dalam kasus shalat  tahiyyat al-masjid dua rakaat.

Ini seperti dinukil dari al-Bajirami dalam Hasyiah-nya. Penjabarannya, bila seseorang shalat dua rakaat saat memasuki masjid dengan niat shalat wajib (Subuh, misalnya), ia mendapat pahala sunah tahiyyat al-masjid.

Hal tersebut karena inti dari tahiyyat al-masjid ialah pelaksanaan shalat sebelum duduk di masjid. Dan, maksud itu telah terpenuhi dengan shalat wajib atau sunah apa pun selain tahiyyat al-masjid.

Namun, Syekh Ali Jum'ah menegaskan pahala dari penggabungan itu tidak bersifat utuh. Mereka yang menggabungkan niat puasa qadha dengan sunah Syawal itu hanya memperoleh pahala dari pokok sunah berpuasa.

Lantas, manakah yang didahulukan antara mengqadha puasa Ramadhan atau melaksanakan puasa enam hari Syawal?

Guru Besar Fikih Universitas Qassim Arab Saudi Khalid bin Abdullah al-Mushlih mengatakan, lebih baik mendahulukan qadha Ramadhan sebelum berpuasa sunah Syawal.

Ia lantas menjelaskan perbedaan di kalangan mazhab fikih seputar hukum mana yang lebih didahulukan antara kedua puasa itu.

Pendapat mayoritas ulama menyatakan, tak jadi soal berpuasa sunah Syawal sebelum membayar puasa Ramadhan. Kendati dalam kubu ini ada yang mengatakan boleh secara mutlak atau boleh dengan disertai makruh.

Mazhab Hanafi mengatakan, qadha puasa tidak mesti dibayar secara langsung seusai Ramadhan. Waktu pelaksanaannya cukup luas.

Karena itu, mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah tersebut membolehkannya mutlak. Ini juga merupakan salah satu riwayat pendapat dari Ahmad.

Dalam pandangan Mazhab Maliki dan Syafi'i, kebolehan tersebut tidak berlaku mutlak. Ada unsur makruh di sana.
Ini lantaran berpuasa sunah Syawal berdampak pada kesibukan menjalankan ibadah sunah sementara puasa qadha tertunda.

Argumentasi kelompok pertama ini merujuk pada ayat 185 surah al-Baqarah. Ayat itu tidak memberikan batasan waktu kapankah qadha tersebut mesti dibayar.

Ini diperkuat dengan riwayat Bukhari Muslim dari Aisyah. Istri Rasulullah tersebut mengqadha puasa semampunya tanpa harus dibatasi waktu. Akan tetapi, ia tidak membayar puasa Ramadhan ketika Sya'ban tiba.

Sedangkan, menurut kelompok kedua, yaitu Mazhab Hambali, haram hukumnya berpuasa sunah Syawal sementera ketika itu ia belum membayar puasa Ramadhan yang terlewat.

Pendapat ini merujuk pada hadis lemah riwayat Ahmad dari Abu Hurairah. Riwayat ini menyatakan, mereka yang berpuasa sunah, sementara masih berutang puasa wajib, maka puasanya itu tidak diterima.


Redaktur : Damanhuri Zuhri

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/08/17/mropkr-berniat-puasa-qadha-sekaligus-syawwal-bolehkah

Tata Cara Puasa Syawal

Bismillahirrohmaanirrohim

 9 Agustus 2013

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.

Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:

Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id


Dari artikel 'Tata Cara Puasa Syawal — Muslim.Or.Id'

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...