Senin, 24 Juni 2013

KISAH NENEK MENGAMBIL DAUN

Bismillahirrohmaanirrohim

Dikisahkan dulu ada seorang nenek di kota Madura, pekerjaannya penjual bunga cempaka di pasar. Suatu hari usai jualan ia pergi ke Masjid Agung di kota itu dengan berjalan kaki yang lumayan jauh. Ia berwudlu, masuk masjid dan melaukan shalat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembarpun terlewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura disiang hari itu sangat menyengat. Keringatpun membasahi tubuhnya. Banyak pengunjung masjid melihat kelakuan nenek itu jatuh iba. Pada suatu hari takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan di halaman masjid itu sebelum perempuan tua itu datang. Pada hari itu , ia datang langsung masuk masjid. Usai shalat, ketika ia akan melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satupun daun terserak di situ. Ia kembali  lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya.Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku,"kata nenek itu,"Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya,"

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasanya. Seorang kiai yang terhormat dimohon untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menceritakan sebabnya dengan dua syarat : pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya, "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya lakukan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil daun, saya ucapkan satu sholawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjeput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan sholawat kepadanya."

Kisah ini, diceritakan dari Kyai Madura, D Zawawi Imron, yang membuat bulu kuduk merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan  cinta Rasul dalam bentuk yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati kehinaan diri, kebodohan dan keterbatasan amal di hadapan Allah SWT. Lebih dari itu ia memiliki kesadaran spiritual yang luhur. Ia tidak mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat bagi semua alam selain Rasulullah saw ?

Minggu, 23 Juni 2013

Penjelasan malam nishfu sya'ban

Bismillahirrohmaanirrohim

Penjelasan malam nishfu sya'ban

Nisfu artinya pertengahan, maka malam Nisfu Sya'ban artinya malam pertengahan bulan Sya'ban. Kalau dirujuk kepada kalender Hijriyah, maka malam itu jatuh pada tanggal 14 Sya'ban karena pergantian tanggal sesuai penanggalan Hilaliyah atau yang meggunakan patokan rembulan adalah saat matahari terbenam atau  malam tiba.

Seputar malam Nisfu (pertengahan) Sya'ban ada beberapa permasalahan yang patut diketahui:

Pertama adalah tentang keutamaan malam ini, terdapat beberapa hadis yang menurut sebagian ulama sahih. Diantaranya hadis-hadist tersebut adalah sbb:

1. Dari Muaz bin Jabal ra, Rasulullah saw bersabda:”Ketika datang malam nisfu Sya’ban, Allah memperhatikan semua hambaNya, lalu Allah memberikan ampunan kepada orang-orang beriman kecuali mereka menyekutukan Allah dan  bermusuhan”. Hadist riwayaThabrani dan Ibnu Hibban dalam kitan sahihnya. Beberapa riwayat Hadist ini banyak disahihkan para ulama.
وعن معاذ بن جبل رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال  يطلع الله إلى جميع خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن.  رواه الطبراني وابن حبان في صحيحه
2. Dari A'isyah ra: "Suatu malam Rasulullah saw salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi) Menurut perawinya hadis ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.

3. Hadist Ali ra, Rasulullah saw bersabda: "Malam nisfu Sya'ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: "Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing." (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).

Sebagian Ulama berpendapat bahwa hadis lemah dapat digunakan untuk Fadlail A'mal (keutamaan amal). Walaupun hadis-hadis tersebut tidak sahih, namun melihat dari hadis-hadis lain yang menunjukkan kautamaan bulan Sya'ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya'ban jelas mempunyai keuatamaan dibandingkan dengan malam-malam lainnya.

Ulama Tabiin Atha’ bin Yassar berkata: Tidak ada malam yang lebih utama setelah malam Lailatul Qadar kecuali malam Nisfu Sya’ban. Pada malam itu Allah swt turun ke langit dunia lalu menebarkan ampunan kecuali kepada orang menyekutukan Allah dan bermusuhan”.
Imam Syafii diriwayatkan berkata:”Sampai kepadaku bahwa do’a dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam dua hari raya, awal Rajab dan malam nusfu Sya’ban”.
Ibnu Taymiyah diriwayatkan berkata: “Malam nisfu Sya’ban di dalamnya terdsapat keutamaan, orang-orang salaf ada yang menghidupkannya dengan ibadah, tetapi kumpul-kumpul untuk menghidupkannya merupakan bid’ah”.

Kedua: bagaimana merayakan malam Nisfu Sya'ban? Adalah dengan memperbanyak ibadah dan salat malam dan dengan puasa, namun sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw, yaitu dengan secara sendiri-sendiri. Puasa pada tiga hari di pertengahan bulan selalu disunnahkan. Begitu juga pada malam ini hendaknya menjauhkan diri dari maksiat dan tindakan-tindakan yang tidak ada manfaatnya, seperti hura-hura dan pesta.

Meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan berlebih-lebihan seperti dengan salat malam berjamaah, Rasulullah saw tidak pernah melakukannya. Apa yang sering dilakukan oleh sebagian umat Islam, yaitu Salat Malam Nisfu Sya'ban atau disebut juga sholat Raghaib sebanyak 100 rakaat, ini tidak ada landasannya dan termasuk bid'ah. Imam Nawawi dalam kitab Majmuk mencela amalam ini.

Demikian juga tidak ada do'a khusus untuk malam nisfu Sya'ban, namun cukup dengan do'a-do'a umum terutama do'a yang pernah dilakukan Rasulullah. Jadi sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, zikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal salih lainnya.

Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah.

Ketiga: Hadist tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban meskipun sebagian dihukumi sahih oleh para ulama, namun masih banyak yang menjadi pertentangan (khilafiyah)  para ulama, terutama masalah sahih dan dlaifnya. Ini yang terkadang menyebabkan diantara kita saling mencela. Perbuatan itu tentu tidak ada manfaatnya sama sekali dan sangat merugikan umat Islam sendiri. Maka sebaiknya mari saling menghargai dan menghormati. Mereka yang meyakini kesahihan hadist Nisfu Sya’ban silahkan mengamalkan dengan menghidupkan malam tersebut dengan berbagai ibadah yang diajarkan Rasulullah saw.

kesimpulannya  silahkan hidupkan malam ini,dengan ibadah dan zikir atau solat tasbih,jangan berlebih-lebihan misalnya mengadakan solat sya'ban dg berjemaah dsb yg serupa dg itu....
wallohu'alam

Refrensi :http://www.pesantrenvirtual.com/

Penyusun :Admin Blog

Sabtu, 22 Juni 2013

Rambut Rontok Saat Haid, Bagaimana Solusinya?

Bismillahirrohmaanirrohim

Haidl merupakan kondisi fitrah wanita yang selalu berkesinambungan. Dimana setiap wanita pasti mengalaminya sebagai bentuk salah satu dari beberapa tanda kedewasaan dan kesehatan. Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Pada manusia, hal ini biasanya terjadi setiap bulan antara usia remaja sampai menopause.
Pada wanita siklus menstruasi rata-rata terjadi sekitar 28 hari, walaupun hal ini berlaku umum, tetapi tidak semua wanita memiliki siklus menstruasi yang sama, kadang-kadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Biasanya, menstruasi rata-rata terjadi 7 hari, kadang-kadang menstruasi juga dapat terjadi 1 hari atau sampai 15 hari.
Dalam lingkup fiqh keluarnya darah Haidl mewajibkan atas seorang wanita untuk bersuci/mandi besar jika sudah suci kembali, karena haidl termasuk dalam kategori hadast besar. Dengan rentang waktu haidl yang terbilang panjang, Maka tentunya terdapat banyak permasalahan tentang haidl yang perlu adanya tela’ah dan pembahasan yang seksama dari kaca mata fiqih. Salah satunya adalah rambut rontok ketika dalam masa haidl?
Pembahasan

Imam Ghozali dalam Ihya’ ulumuddin menjelaskan tidak selayaknya bagi seorang yang junub (haidl atau lainnya) mencukur rambut, memotong kuku, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah atau menghilangkan sesuatu dari tubuhnya, sebab sebagaimana keterangan I’anah, Di akhirat nanti semua anggota tubuh akan dikembalikan padanya. Maka anggota tubuh yang terlepas dalam keadaan junub akan kembali dalam keadaan junub pula sebagai sebuah hinaan bagi pelakunya.



إحياء علوم الدين - (ج 2 / ص 51

ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبا.

إعانة الطالبين - (ج 1 / ص 96)

(قوله: وينبغي أن لا يزيلوا إلخ) قال في الاحياء.لا ينبغي أن يقلم أو يحلق أو يستحد أو يخرج دما أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب، إذ يرد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبا.ويقال: إن كل شعرة تطالب بجنابتها.اه. وقوله: ويقال إن كل شعرة إلخ قال  ع ش: فائدته التوبيخ واللوم يوم القيامة لفاعل ذلك

Mungkin berangkat dari keterangan ihya’ diatas, Muncul di masyarakat asumsi bahwa rambut yang rontok atau terlepas pada saat haidl harus dibasuh. padahal kalau dicermati dengan sedikit lebih teliti, ihya’ dengan memakai redaksi “yanbaghi” hanya ingin memperingatkan kita untuk tidak mencukur rambut dan lainya pada saat berhadast besar, dan itu tidak bisa serta merta difahami bahwa ihya’ mewajibkan membasuh rambut yang rontok pada saat haidl,(namun ini hanyalah anjuran sebagai suatu adab.-penyusun-)

Meratakan air ke seluruh tubuh.

Sudah menjadi konsensus ulama’ bahwa dalam mandi besar diwajibkan untuk meratakan air keseluruh permukaan tubuh (kulit atau rambut). Terciptanya kesepakatan hukum ini, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh sayyidah Maemunah dan didukung beberapa hadist lainya diantaranya yang diriwayatkan Jubair bin Muth’im.

عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ .

al Asqolani dalam Fath al-bari menjelaskan makna ifadhoh adalah isalah mengalirkan, Sedangkan obyek yang dibasuh adalah kulit, dengan adanya ta’kid (penguat) kullihi setelah lafadz al-jild, Maka bisa difahami air memang harus benar-benar mengalir sampai ke seluruh kulit.

Rambut rontok atau terlepas

Dalam Tuhfah, ibn hajar menjelaskan ketika seseorang yang junub mencabut rambut yang belum dibasuh maka hanya wajib membasuh tempat tumbuhnya rambut. maka Pengertian meratakan ke seluruh tubuh sudah terpenuhi ketika seseorang membasuh seluruh permukaan tubuhnya, meski tanpa membasuh bagian tubuh (rambut) yang terlepas. Sebab anggota tubuh yang terlepas sudah tidak lagi dianggap bagian dari tubuhnya.

(تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 3 / ص 181

وإن كثر ولو نتف شعرة لم يغسلها وجب غسل محلها مطلق

Dalam sya’riat islam (fiqh) apakah yang sebaiknya dilakukan bagi seorang wanita terhadap rambut yang rontok pada masa haidl/lainnya, dari sesuatu yang mewajibkan untuk mandi besar?

Disunnahkan mengumpulkan dan menanamnya ditanah, manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna dan mulia dari segi bentuk dan ciptaan, maka anggota tubuhnya mesti juga harus dimuliakan dengan tidak membuangnya ketempat-tempat kotor atau api.



6952 – (كان يأمر بدفن الشعر) المبان بنحو قص أو حلق أو نتف (والأظفار) المبانة بقص أو قطع أو غيرهما لأن الآدمي محترم ولجزئه حرمة كله فأمر بدفنه لئلا تتفرق أجزاؤه وقد يقع في النار أو غيرها من الأقذار كما سبق.

تحفة الأحوذي - (ج 7 / ص 68)

[ فَائِدَةٌ أُخْرَى ] قَالَ الْحَافِظُ فِي سُؤَالَاتٍ هَا هُنَا عَنْ أَحْمَدَ ، قُلْت لَهُ يَأْخُذُ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ أَيَدْفِنُهُ أَمْ يُلْقِيهِ ؟ قَالَ : يَدْفِنُهُ ، قُلْت : بَلَغَك فِيهِ شَيْءٌ ؟ قَالَ : كَانَ اِبْنُ عُمَرَ يَدْفِنُهُ . وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ الشَّعْرِ وَالْأَظْفَارِ ، وَقَالَ : ” لَا يُتَلَعَّبُ بِهِ سَحَرَةُ بَنِي آدَمَ ” قَالَ الْحَافِظُ : وَهَذَا الْحَدِيثُ أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ حَدِيثِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ نَحْوَهُ ، وَقَدْ اِسْتَحَبَّ أَصْحَابُنَا دَفْنَهَا لِكَوْنِهَا أَجْزَاءً مِنْ
الْآدَمِيِّ

Kesimpulan saya sebagai penyusun artikel ini :
1.Wajib meratakan air pada semua anggota tubuh pada saat junub
2.Tidak wajib membasuh bagian tubuh yang terlepas pada saat junub.
3.Ulama menyatakan kesunnahan dalam mengumpulkan anggota tubuh yang terlepas lalu menguburkannya dengan tujuan menjaga adab dan penghurmatan terhadap anggota tubuh kita,perhatikan  surat Al-isro ayat 70 ,(tidak membirkan begitu saja atau melemparkannya kedalam Api)
4.Boleh memandikan anggota tubuh yang terlepas , boleh juga meninggalkannya .

Wallohu'alam.....


Ref :santripedia.net
Penyusun : Ibnu suniy

Kamis, 20 Juni 2013

KADAL PLANET MARS (ALLAH MENGETAHUI APA YANG TIDAK KAMU KETAHUI)


Bismillahirrohmaanirrohim

Jejak kendaraan robot Curiosity di Planet Mars
Seorang blogger sains mengaku telah melihat kadal di permukaan planet Mars. Klaimnya itu berdasarkan foto yang diambil oleh kendaraan robotik atau rover Curiosity pada bulan Maret 2013.

Pengakuan blogger itu telah memicu teori konspirasi yang menyatakan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) telah menutup-nutupi pengujian ilmiah mengenai kehidupan di Planet Merah itu.

Menurut harian Daily Mail, 29 Mei 2013, makhluk hidup yang berhasil tertangkap kamera itu lebih menyerupai kadal padang pasir dari pada tikus.

"Makhluk aneh itu berhasil dilihat pertama kali oleh orang Jepang pada bulan Maret silam," tulis Scott C. Waring, di laman spesialis UFO Sightings Daily.

"Kadal padang pasir lebih mungkin hidup di planet Mars yang terkenal dengan kandungan airnya yang sedikit. Hewan itu pasti sedang berkeliaran di permukaan Mars," lanjut Waring, dalam tulisannya.

Warning pun mengungkapkan, NASA sepertinya telah membuat ruang kecil di kendaraan rover Curiosity untuk melalukan tes kehidupan di Mars.

"Saya mengundang pembaca untuk menuliskan komentar mengenai gambar yang mirip kadal di permukaan Mars. Apakah betul atau tidak?," ujar Waring.

VIVAnews 

Rabu, 19 Juni 2013

Hukum Menyentuh Mushaf Tanpa Wudhu

Bismillahirrohmaanirrohim

Memang kita menemukan adanya perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang hukum menyentuh mushaf Al-Quran. Sebagian berpendapat bahwa menyentuh mushaf itu harus dalam keadaan suci dari hadats kecil dan juga hadats besar. Artinya harus berwudhu' dulu baru boleh sentuh mushaf Al-Quran.

Sementara sebagian lagi dari masyarakat kita punya kecenderungan untuk membolehkan orang yang tidak punya wudhu' untuk menyentuh mushaf.

A. Khilafiyah Kalangan Mujtahid

Sebenarnya masalah ini bukan sekedar perbedaan pendapat di tengah masyarakat awam kita, namun sudah sejak masa salaf dulu kita menemukan perbedaan pendapat ini, yang menjadi diskusi menarik para ahli ilmu, mujtahid dan fuqaha'.

Peta sederhananya adalah bahwa jumhur ulama mewajibkan wudhu, namun ada mazhab Dzhahiri yang membolehkan.

1. Jumhur Ulama : Harus Suci Dari Hadats Kecil

Kalau kita buka literatur kitab-kitab fiqih klasik, memang kita akan dapati bahwa ternyata jumhur (mayoritas) ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Al-Quran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil. Dalam kata lain, haram menyentuh mushaf bila tidak punya wudhu'.

Di kalangan para shahabat Nabi SAW ada begitu banyak ulama yang mengharamkan kita menyentuh mushaf kecuali bila kita suci dari hadats. Di antara mereka yang mengharamkan adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Sa'ad bin Abi Waqqash ridhwanullahi 'alaihim ajmain.

Sedangkan di kalangan tabi'in dan generasi berikutnya adalah Said bin Zaid, Atha', Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakha'i, Hammad, dan yang lainnya.

Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil, untuk menyentuh mushaf meski pun dengan alas atau batang lidi.

Sedangkan Al-Hanafiyah meski mengharamkan sentuhan langsung, namun bila dengan menggunakan alas atau batang lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.

Dasar yang umumnya digunakan adalah ayat berikut ini :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطَهَّرُون

Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi’ah : 79)

Selain itu juga ada dalil keharammnya dari hadits Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وِسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لاَ يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik).

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa keharaman menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil ini sudah menjadi pendapat jumhur ulama yang didukung 4 mazhab utama. Artinya, tidak ada khilafiyah di antara keempat mazhab itu tentang haramnya seorang yang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.

2. Mazhab Ad-Dhzahiri : Membolehkan

Ibnu Qudamah menegaskan bahwa satu-satunya mazhab yang membolehkan orang yang berhadats menyentuh mushaf Al-Quran adalah mahzah Adz-Dhzahiri.

Dalam pandangan mazhab ini yang diharamkan menyentuh mushaf hanyalah orang yang berhadats besar sedangkan yang berhadats kecil tidak diharamkan.

Sedangkan di kalangan shahabat, di antara mereka yang membolehkan menyentuh mushaf tanpa wudhu adalah pendapat Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.

B. Studi Kritis Atas Tafsir Ayat Al-Quran

Salah satu titik krusial perbedaan pendapat ini adalah masalah ayat Al-Quran yang dijadikan dalil, yaitu ayat ke-79 dari surat Al-Waqi'ah di atas :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطَهَّرُون

Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi’ah : 79)

Kalau kita buka kitab tasifr klasik, memang kita menemukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dibicarakan dalam ayat ini.

Dalam kitab Al-Jami' li Ahkamil Quran karya Al-Imam Al-Qurthubi disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat pada dua hal. Pertama, apakah kata 'menyentuh' disini maksudnya menyentuh secara fisik atau secara kiasan. Kedua, siapa yang dimaksud dengan 'al-muthahhrun' dalam ayat ini, orang yang tidak berhadats kah atau para malaikat?

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan 'al-muthahhrun' disini bukan orang yang suci dari hadats, tetapi para malaikat. Dan objek yang tidak disentuh itu bukan mushaf Al-Quran yang kita kenal, melainkan Al-Quran yang ada di Lauhil Mahfudz di atas langit sana.

Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Anas, Said bin Jubair, Qatadah, Abu Al-'Aliyah dan Ibnu Zaid.

Namun sebagian ulama menyebutkan bahwa dalam menafsirkan ayat Al-Quran memang bisa saja dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan zahir dan pendekatan kiasan. Hanya saja, kalau ayat Al-Quran masih bisa ditafsirkan apa adanya lewat pendekatan zahir, tidak boleh langsung ditafsirkan lewat pendekatan kiasan. Oleh karena itu menurut pendapat ini, yang lebih tepat menafsirkan ayat ini dengan pendekatan zahir apa adanya, tidak dikiaskan kepada hal yang lain.

Inilah keterangan dari ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA.

Saran saya sebagai penyusun  (ADLOG/ADMIN BLOG) ambillah pendapat pertama,kecuali jika anda sebagai pengajar Al-quran,penjual mushhaf atau untuk kalangan sendiri saja tanpa disebarkan silahkan ambil pendapat kedua.

Ref :
http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1360580133&=bolehkah-menyentuh-mushaf-tanpa-wudhu.htm

HUKUM HAJI BAGI WANITA TANPA MAHROM

Bismillahirrohmaanirrohim

Para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang.

1. Pendapat Pertama: Mengharuskan ada mahram secara mutlak.

Seorang wanita yang sudah akil baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih dari tiga hari kecuali ada suami atau mahram bersamanya. Hal itu sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu dalam sabda beliau.

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya. (HR Muttafaq 'alaihi)

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah, "Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya." Ada seorang bertanya,`Ya Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun isteriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,"Pergilah bersama isterimu untuk haji bersama isterimu." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad.)

Dengan dua dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, sebagian ulama berpendapat wanita diharamkan bepergian sejauh perjalanan 3 hari, kecuali harus benar-benar ditemani oleh mahramnya atau suaminya. Dan di antara yang berpendapat demikian antara lain: Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri dan Ishaq rahimahumullah.

Buat kalangan ini, keberadaan mahram atau suami adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi bila seorang wanita ingin bepergian. Tanpa keberadaan salah satu dari keduanya, maka tidak halal bagi wanita untuk bepergian keluar rumah lebih dari tiga hari lamanya.

Abu Hanifah menggunakan hadits ini sebagai dalil bahwa seorang wanita yang tidak punya mahram atau tidak ada suami yang menemaninya, maka tidak wajib untuk menunaikan ibadah haji yang wajib atasnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji.

2. Pendapat Kedua: Tidak mengharuskan secara mutlak

Sebagian ulama memahami hadits yang digunakan oleh pendapat di atas bukan sebagai syarat mutlak, melainkan sebagai sebagai gambaran tentang perhatian Islam kepada para wanita dan upaya melindungi mereka dari ketidak-amanan perjalanan.

Hal itu lantaran di masa itu memang belum ada jaminan keamanan bagi wanita yang bepergian sendirian. Sehingga keberadaan mahram atau suami adalah antisipasi dari buruknya keadaan di masa lalu, khususnya dalam perjalanan menembus padang pasir jauh dari peradaban.

Namun ketika keadaan masyarakat sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi ancaman dan bahaya yang menghadang di tengah jalan, maka tidak lagi diperlukan mahram atau suami. Hal itu tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti berikut ini:

`Wahai Adi, Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya. Beliau bersabda, "Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita bepergian dari kota Hirahberjalan sendirian hinggabisa tawaf di Ka`bah, dengan keadaan tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata, "Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di ka'bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah." (HR Bukhari).

Dari hadits yang dishahihkan oleh Al-Imam Al-Bukhari ini, para ulama pendukung pendapat kedua mengambil kesimpulan bahwa syarat kesertaan mahram itu bukan syarat mutlak, melainkan syarat yang diperlukan pada saat perjalanan keluar kota yang tidak terjamin keamanannya, baik dari kejahatan maupun dari fitnah lainnya.

Dan jelas sekali digambarkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang bepergian dari Hirah ke Makkah sendirian tanpa takut dari ancaman apapun. Dan bahwa seorang wanita akan berjalan sendirian, menembus gelapnya malam dan melintasi padang pasir tak bertepi, tetapi dia sama sekali tidak takut atas ancaman apapun.

Dengan amat jelasnya penggambaran nabi SAW ini, menurut para ulama, hal itu tidak lain menunjukkan hukum kebolehan seorang wanita bepergian sendirian ke luar kota, tanpa mahramatau juga suami. Dengan demikian, keberadaan mahram atau suami dibutuhkan hanya pada saat tidak adanya keamanan saja.

Ini adalah pendapat yang didukung oleh Al-Imam Malik. Al-Imam Asy-Syafi`i, Daud Azh-Zhahiri, Hasan Al-Bashri, Al-Mawardi dan lainnya. Bahkan Al-Imam Asy-syafi'i dalam salah satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Semua mensyaratkan satu hal saja, yaitu amannya perjalanan dari fitnah.

Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan bila aman dari fitnah, para wanita boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah (bisa dipercaya).

KATA SAYA (PENYUSUN): "AMAN DARI FITNAH"inilah inti dr pelarangan itu,pertanyaanya amankah wanita zaman sekarang ?

Sedangkan Al-Mawardi dari ulama kalangan As-Syafi'iyah mengatakan bahwa sebagian dari kalangan pendukung mazhab As-syafi'i berpendapat bahwa bila perjalanan itu aman dan tidak ada kekhawatiran dari khalwat antara laki dan perempuan, maka para wanita boleh bepergian tanpa mahram bahkan tanpa teman seorang wanita yang tsiqah.

KATA SAYA (PENYUSUN) :INILAH BENTUK FITNAH YG MEREKA MAKSUDKAN ,pertanyaanya amankah wanita zaman sekarang menurut anda dari BENTUK FITNAH ITU ?KALAU AMAN SILAHKAN....

Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang hukumnya sunnah,hukum kebolehannyatidak berlaku. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman.
KATA SAYA (PENYUSUN) :KALAU YG WAJIB AJA SEPERTI INI BAGAIMANA DENGAN YANG SUNNAH DAN MUBAH....???

Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para isteri nabi pun pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Demikian disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari.

Ibnu Taimiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah.

Perjalanan di Luar Haji

Semua perbedaan pendapat di atas masih dalam koridor pergi haji bagi wanita tanpa mahram. Lalu bagaimana dengan bepergiannya wanita tanpa mahram tapi bukan untuk haji. Dalam hal ini para ulama sekali lagi berbeda pendapat.

Sebagian ulama yang membolehkan wanita bepergian sendirian, hanya membolehkan untuk haji yang wajib. Sedangkan haji yang hukumnya sunnah, bukan wajib, maka hukumnya tetap tidak boleh.
Sebagian lainnya mengatakan bahwa kebolehan wanita bepergian tanpa mahram itu hanya khusus untuk ibadah haji saja, sedangkan bila di luar kepentingan pergi haji, maka hukumnya tetap tidak boleh kecuali harus dengan mahram
Sebagian lainnya lagi mengqiyaskan kebolehan pergi yang bukan haji dengan kebolehan haji di atas. Sehingga bagi mereka, semua bentuk perjalanan yang hukumnya halal, wania boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan aman dari fitnah, atau ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Ref :http://www.rumahfiqih.com/ust/e2.php?id=1166431950

Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan Karena Zina

Bismillahirrohmaanirrohim
Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan Karena Zina
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
Ada dua kategori wanita yang tidak perawan, yaitu karena berstatus janda atau pernah berzina. Yang dimaksud dalam judul tulisan ini adalah makna yang kedua. Tulisan ini berasal dari sebuah pertanyaan yang dikirim ke info@alkhoirot.com sebagai berikut: “Apakah hukum dalam agama Islam menikah dengan wanita yang pernah berzina atau sudah tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas?”

Pertanyaan itu timbul karena ada firman Allah dalam QS An-Nur 24:3 yang menyatakan:  “Seorang lelaki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Seorang wanita pezina tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Hal itu diharamkan bagi seorang mukmin.”[1] Secara eksplisit ayat ini jelas menyatakan larangan menikah dengan wanita yang pernah berzina. Itulah sebabnya si penanya menjadi ragu-ragu ketika hendak menikahi seorang perempuan yang ternyata sudah tidak perawan lagi karena pernah melakukan hubungan zina dengan lelaki yang dikenal sebelumnya.

Ismail bin Umar Ibnu Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi dalam Tafsir Ibnu Katsir membandingkan ayat ini dengan QS An-Nisa’ 4:25 di mana Allah berfirman “…sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”[2] Dalam konteks inilah Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal demikian:

ذهب الإمام أحمد بن حنبل ، رحمه الله ، إلى أنه لا يصح العقد من الرجل العفيف على المرأة البغي ما دامت  كذلك حتى تستتاب ، فإن تابت صح العقد عليها وإلا فلا وكذلك لا يصح تزويج المرأة الحرة العفيفة بالرجل الفاجر المسافح ، حتى يتوب توبة صحيحة; لقوله تعالى : وحرم ذلك على المؤمنين

(Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwasanya tidak sah akad nikah laki-laki saleh yang menikahi wanita nakal (pezina)  kecuali setelah bertaubat. Apabila wanita itu bertaubat maka sah akad nikahnya. Begitu juga tidak sah perkawinan wanita salihah dengan laki-laki pezina kecuali setelah melakukan taubat yang benar karena berdasar pada firman Allah dalam akhir ayat QS An-Nur 24:3.)[3]

Sementara itu Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menguraikan sejumlah perbedaan penafsiran dan ikhtilaf ulama dalam memahami ayat QS An-Nur 24:3 tersebut.  Dari pendapat Ibnu Mas’ud yang mengharamkan menikahi wanita perzina sampai pendapat Said bin Al-Musayyab dan segolongan ulama yang membolehkan wanita pezina secara mutlak karena menganggap ayat 24.3 sudah di-naskh oleh QS Annur 24:23 yang berbunyi ” Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…” .[4] Selain itu, ulama yang membolehkan menikahi wanita pezina berargumen adanya hadits dari Sahabat Jabir sebagai berikut:

أن رجلا أتى النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال يا رسول الله إن امرأتي لا تدفع يد لامس ؟ قال : طلقها ، قال : فإني أحبها وهي جميلة ، قال : استمتع بها . وفي رواية غيره ” فأمسكها إذا

Artinya: Seorang laki-laki datang pada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, istri saya tidak pernah menolak sentuhan tangan lelaki.” Nabi menjawab, “Ceraikan dia!”. Pria itu berkata: “Tapi saya mencintainya karena dia cantik”. Nabi menjawab: “Kalau begitu jangan dicerai.”[5]

Dari hadits ini, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk menyimpulkan:

وإن زنى رجل بزوجة رجل لم ينفسخ نكاحها، وبه قال عامة العلماء ، وقال على بن أبى طالب: ينفسخ نكاحها وبه قال الحسن البصري دليلنا حديث ابن عباس في الرجل الذى قال للنبى صلى الله عليه وسلم: إن امرأتي لا ترد يد لامس

(Apabila seorang lelaki berzina dengan istri orang lain, maka nikah perempuan itu tidak rusak (tidak batal). Ini pendapat kebanyakan ulama. Ali bin Abi Talib berkata: nikahnya rusak (batal) pendapat ini diikuti Al-Hasan Al-Bishri. Dalil kita adalah hadits Ibnu Abbas di mana seorang laki-laki yang istrinya berzina diberi pilihan oleh Nabi untuk mentalak atau tidak.)[6]

Pendapat Imam Nawawi di atas senada dengan pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Umm yang menyatakan:[7]

فالاختيار للرجل أن لا ينكح زانية وللمرأة أن لا تنكح زانيا فإن فعلا فليس ذلك بحرام على واحد منهما ليست معصية واحد منهما في نفسه تحرم عليه الحلال إذا أتاه قال وكذلك لو نكح امرأة لم يعلم أنها زنت فعلم قبل دخولها عليه أنها زنت قبل نكاحه أو بعده لم تحرم عليه ولم يكن له أخذ صداقه منها ولا فسخ نكاحها وكان له ان شاء أن يمسك وإن شاء أن يطلق وكذلك إن كان هو الذى وجدته قد زنى قبل أن ينكحها أو بعدما نكحها قبل الدخول أو بعده فلا خيار لها في فراقه وهى زوجته لحالها ولا تحرم عليه وسواء حد الزانى منهما أو لم يحد أو قامت عليه بينة أو اعترف لا يحرم زنا واحد منهما ولا زناهما ولا معصية من المعاصي الحلال إلا أن يختلف ديناهما بشرك وإيمان.

(Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan.            Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intim bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar [pilihan] untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya. Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.)

Pernikahan Wanita Hamil Zina

Masalah kedua yang timbul dan banyak terjadi dewasa ini adalah bagaimana apabila wanita pezina tadi ternyata dalam keadaan hamil, bolehkah dinikahi?  Ulama fiqih madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil zina berdasarkan pada hadits sahih riwayat Abu Daud dan Hakim di mana Nabi bersabda: “Wanita hamil tidak boleh dijimak (dinikahi) kecuali setelah melahirkan.”[8]

Madzhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa boleh hukumnya menikahi wanita hamil karena zina. Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alwi, seorang ulama madzhab Syafi’i, dalam kitab Bughiyatul Mustarsyidin menyatakan: “boleh menikahi wanita hamil karena zina baik oleh yang menzinahinya maupun pria lain. Begitu juga boleh melakukan hubungan intim tapi makruh.”[9]

Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzab juga menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil zina karena kehamilannya tidak dinasabkan kepada siapapun karena itu adanya janin dianggap tidak ada.”[10] Senada dengan pendapat ini adalah Zakaria Al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib di mana ia menyatakan, “Boleh menikahi wanita hamil karena zina dan berhubungan intim dengannya seperti halnya wanita yang tidak hamil karena tidak ada keharaman bagi wanita itu.”[11]

ٍIbnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah  secara ringkas menguraikan sejumlah pendapat antar-madzhab yang berbeda-beda sebagai berikut: [12]

ِ وَأَمَّا نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا فَفِيهِ خِلَافٌ مُنْتَشِرٌ أَيْضًا بَيْن أَئِمَّتِنَا وَغَيْرِهِمْ وَالصَّحِيحُ عِنْدَنَا الصِّحَّةُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه لِأَنَّهَا لَيْسَتْ في نِكَاحٍ وَلَا عِدَّةٍ من الْغَيْر وَعَنْ مَالِكٍ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه قَوْلٌ بِخِلَافِهِ

 ثُمَّ إذَا قَلَّدَ الْقَائِلِينَ بِحِلِّ نِكَاحِهَا وَنَكَحَهَا فَهَلْ له وَطْؤُهَا قبل الْوَضْعِ الذي صَحَّحَهُ الشَّيْخَانِ نعم قال الرَّافِعِيُّ أَنَّهُ لَا حُرْمَة لِحَمْلِ الزِّنَا وَلَوْ مُنِعَ الْوَطْءُ لِمَنْعِ النِّكَاحِ كَوَطْءِ الشُّبْهَةِ وقال ابن الْحَدَّادِ من أَئِمَّتِنَا لَا يَجُوزُ له الْوَطْءُ وَبِهِ قال أبو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَدَاوُد رَحِمَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى وَاسْتَدَلُّوا بِخَبَرِ أبي دَاوُد وَالتِّرْمِذِيِّ وَلَفْظُهُ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخَرِ أَنْ يُسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ وَيُجَابُ بِأَنَّ ذلك إنَّمَا وَرَدَ لِلتَّنْفِيرِ عن وَطْءِ الْمَسْبِيَّةِ الْحَامِلِ لِأَنَّ حَمَلَهَا مُحْتَرَمٌ فَحُرِّمَ الْوَطْءُ لِأَجْلِ احْتِرَامِهِ بِخِلَافِ حَمْلِ الزِّنَا فإنه لَا حُرْمَةَ له تَقْتَضِي تَحْرِيمَ الْوَطْءِ وَعَلَى الْقَوْلِ بِحِلِّهِ هو مَكْرُوهٌ كما في الْأَنْوَارِ وَغَيْرِهِ خُرُوجًا من خِلَافِ من حَرَّمَهُ هذا كُلُّهُ فِيمَا تُحُقِّقَ أَنَّهُ من الزِّنَا

(Adapun menikahi wanita hamil zina terdapat perbedaan ulama. Yang sahih adalah pendapat yang mengesahkan. Abu Hanifah berkata wanita hamil itu tidak dalam keadaan nikah dan tidak dalam keadaan iddah dari pria lain. Sedang dari Imam Malik terdapat pendapat yang berbeda.

Kemudian apabila orang bertaklid pada pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil lalu menikah dengannya apakah boleh berhubungan intim sebelum wanita itu melahirkan?  Pendapat yang sahih menurut Syaikhain [Nawawi – Rafi’i] adalah boleh.  Sedangkan menurut pendapat Ibnul Haddad tidak boleh hubungan intim selama hamil. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Malik, dan Dawud… Bagi pendapat yang membolehkan menikahi wanita hamil zina, maka makruh melakukan hubungan intim sebelum melahirkan seperti keterangan dalam kitab Al-Anwar dan lainnya).

Seperti dijelaskan di muka bahwa dalam tinjauan fiqih sah hukumnya pernikahan wanita pezina baik dalam keadaan hamil atau tidak. Baik pria yang menikahi sama-sama perzina atau orang salih Namun demikian, bagi lelaki dan wanita salih, menikah dengan pasangan yang pernah berzina hendaknya menjadi pilihan terakhir kecuali kalau memang sudah betul-betul taubat. Karena hal itu akan memiliki efek psikologis dan sosial kelak di kemudian hari dalam kehidupan berumahtangga.Kalau bisa memilih pasangan yang salih dan salihah mengapa harus memilih pasangan yang punya masa lalu kelam?[]
________________

CATATAN KAKI

[1]  الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين
[2]  محصنات غير مسافحات ولا متخذات أخدان. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[3] Ibid.
[4] Lihat Tafsir Al-Baghawi dalam menafsiri QS An-Nur 24:3.
[5] Ibid
[6] Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 6/223
[7] Imam Syafi’i dalam Al-Umm , 5/13.
[8] Teks hadits: لا توطأ حامل حتى تضع
[9] Teks asal: يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. Lihat Bughiyatul Mustarsyidin 1/419.
[10] Teks asal: ويجوز نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه. Lihat Al-Muhadzab 2/45.
[11] Teks asal: َ. يَجُوزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ من الزِّنَا وَكَذَا وَطْؤُهَا كَالْحَائِلِ إذْ لَا حُرْمَةَ له Lihat Asnal Matalib, 3/393.
[12] Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyah, 4/93.

 Ref :http://www.fatihsyuhud.net/2013/01/hukum-menikahi-wanita-tidak-perawan-karena-zina/

Senin, 17 Juni 2013

SYARAT-SYARAT MENJADI WALI

Bismillahirrohmaanirrohim

Syarat-syarat menjadi Wali Nikah

Wali dalam suatu pernikahan merupakan persyaratan mutlak dalam suatu akad nikah.Sebagian fuqaha menamakannya sebagai rukun nikah, sedangkan yang lain menetapkan sebagai syarat sah nikah.

Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar para ulama. Mereka beralasan dengan dalil Al-qur’an sebagai berikut :
 و اِ ذا طلقتم ا لنسا ء فبلغن أ جلهن فلا تعضلو هن أ ن ينكحن ا ز و ا جهن إ ذا تر ضو بينهم با ا لمعر  ف (ا لبقر ة 2 :  232 )


Artinya : Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka ( para isteri ) kawin lagi dengan bekas suaminya apabilah telah dapat keridaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf ( Q.S. Al-Baqarah : 232 ).[1]

Asbabun nuzul ayat ini berdasarkan suatu riwayat yang mengemukakan bahwa ma’qil ibn yang mengawinkan saudara perempuannya kepada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian diceraikannya dengan satu talak, setelah habis iddahnya mereka berdua in gin kembali lagi, maka datanglah laki-laki tadi bersama-sama umar ibn khattab untuk meminangnya, ma’qil menjawab : hai orang celaka, aku muliakan kau dan aku kawinkan dengan saudaraku tapi kau ceraikan dia, demi allah dia tidak akan kukembalikan kepadamu, maka turunlah ayat tersebut, Al-baqarah : 232.

Ayat ini melarang wali menghalang halangi hasrat perkawinan kedua orang itu.Setelah ma’qil mendengar ayat itu, maka ia berkata aku dengar dan aku taati tuhan.Dia memanggil orang itu dan berkata : aku nikahkan engkau kepadanya dan aku muliakan engkau (H.R Bukhori, Abu daud, dan turmidzi ).[2]

Melihat dari sebab-sebab turunnya ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa wanita tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri tanpa adanya wali. Andaikan wanita itu dapat mengawinkan dirinya sendiri tentunya dia akan melakukan itu. Ma’qil Ibn Yasar tentunya tidak akan dapat menghalangi saaudara wanitanya itu. Andai kata dia tidak mempunyai kekuasaan itu, atau andai kata kekuasaan itu ada pada diri saudara wanitanya.Ayat ini merupakan dalil yang tepat untuk menetapkan wali sebagai rukun atau syarat sah nikah, dan wanita tidak dapat menikah kan dirinya sendiri.

عن عا ئشة ا ن ر سول ا لله  صلى ا لله عليه  و سلم قا ل أ يما ا مر أ ة نكحت بغير ا ذ ن و ليا فنكا حها با طل فنكا حها با طل فنكا حها با طل فا ن د خل ها فلها مهر بما ا ستحل من فر جحا فا ذ ا ا هتجر فا لسلطا ن و لي من لا و لي له  (ر وا ه أحمد و ا بو د ا و د و ا بن ما جه و ا لتر مذ ي )    

   [3]
 Artinya:Dari Aisyah, Rasulullah saw,bersabda: Siapa di antara wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal,nikahnya batal,nikahnya batal. Jika lelakinya telah menyelenggarakan maka ia berhak atas maharnya, karena ia telah menghalalkan kehormatannya.Jika pihak wali enggan menikahkan maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tak ada walinya.( HR,Ahmad,Abu Daud, Ibn Majah dan Turmuzi).

 Artinya : Dari Abu Burdah Ibn Abi Musa dari ayahnya berkata dia: Bersabda Rasulullah SAW : Tidak sah nikah kecuali dengan wali. ( H.R Ahmad,Abu Daud, Turmudzi, Ibn Hibban dan Al-Hakim )

Sebagian besar para ulama berpndapat bahwa perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, karena wanita suka dipengaruhi oleh perasaannya, maka ia tidak pandai memilih sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama perkawinan. Para wanita tidak boleh mengurus langsung akadnyam tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna. Pendapat yang berbeda dengan pendapat sebagian besar para ulama adalah pendapat abu hanifah dan abu yusuf, Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam suatu pernikahan. Perempuan yang sudah baligh boleh mengawinkan dirinya sendiri, tetapi wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan malik berpendapat wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan untuk mengawinkan perempuan awam.

Anak kecil, budak, orang gila tidak dapat menjadi wali. Bagaimana mereka akan menjadi wali, sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu. Abu Hanifah dan abu Yusuf berkata
 ا ن ا لمر أ ة ا لعا قلة ا لبا لغة لها ا لحق في مبا شر ة ا لعقد لنفسها بكر ا كا نت أ و شيبا  و يستحب لها إ ن تو كل عقد

 ز و ا جها لو ليها صو نا لهاعن ا لتبذ ل إ ذ هي تو لت ا لعقد بمحضر من ا لر جا ل ا لأ جا نب عنها و ليس لو  ليها
 ا لعا صب حق ا لإ عتر ا ض عليها إ لا إ ذ ا ز و جت نفسها من غير كفو ء أ و كا ن مهر ها أ قل من  ا  مهر ا لمثل  


Artinya : Sesungguhnya seorang perempuan yang berakal, yang dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya, baik ia gadis maupun janda, akan tetapi yang disukai adalah apabila ia menyerahkan akad perkawinannya kepada walinya, karena menjaga pandangan yang merendahkan dari laki- laki lain apabila ia melakukan sendiri akad nikahnya, akan tetapi bagi walinya yang asib ahli warisnya tidak berhak menghalanginya, kecuali apabila ia melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak sepadan atau apabila maskawinnya lebih rendah dari mahar mitsil.

Wali memegang peranan penting dalam perkawinan. Wali nikah dalam islam mempunyai persyaratan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi, karena itu tidak semua dapat menjadi wali nikah, sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 20 ayat (1), bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslimm aqil dan baligh.[4]

Didalam kitab Hidayah al - Mujtahid juga dinyatakan sebagai berkut :
[5] فا نهم ا تقو ا على ا ن من شر ط ا لو لا ية ا لا سلا م و ا لبلو غ و ا لذ كو ر ية

Artinya : Mereka telah sepakat bahwa syarat wali adalahIslam baligh dan berakal.

Hal ini sesuai dengan yang disebutkan didalam kitab hukum perkawinan. Dalam islam ada tiga syarat yang disepakati Imam Mazhab yaitu :

Islam
Disyaratkan wali itu seorang muslim apabila yang dikawinkan itu seorang muslim pula, maka tidak boleh seorang muslimah dinikahkan dengan seorang kafir.

Firman Allah SWT  dalam surah Ali Imran ayat 28.
 لا يتخذ ا لمو منو ن ا لكا فرين أو ليا ء من د و ن ا لمو منين و من يفعل ذ لك فليس من ا لله في ا لله شيا ا لا ا ن تتقو ا   منهم تقا ة و يحذ ر كم ا لله نفسه و إ لي ا لله ا لمصير


Artinya : Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena ( siasat ) memilihara dari sesuatu yang ditakuti. Kepada Allah kembalimu.[6]

Beralasan dengan ayat diatas pula ulama berpendapat bahwa menyangkut orang kafir untuk mengurus urusan kaum Muslimin itu tidak boleh.

 (قا ل ا لجهصا ص) و عد هذ ه ا لا ية و نظا ءر ها و لا لة ا ن لا و لا ية للكا فر على ا لمسلم في شيء و ا نه ا ذ ا كا ن   للكا فر ا بن صغير مسلم با سلا م ا مه فلا و لا     ية له عليه من تصر ف و لا تز و يج و لا غير
 Artinya: Al-Jassas berkata:Pada ayat ini yang semakna dengan ini menunjukkan tidak pada kekuasaan bagi orang kafir pada sesuatu urusan atas orang muslim yang masih kecil karena ibunya masuk islam,maka tidak ada hak atas anak itu,baik tentang hartanya,perkawinanya maupun yang lainnya.

 Dari uraian di atas jelaslah bahwa orang kafir tidak ada kekuasaan terhadap urusan orang islam termasuk juga dalam hal kewalian,maka orang kafir tidak bisa menjadi wali bagi orang miskin.

2.Baligh dan berakal
Baligh dan berakal merupakan persyaratan bagi wali, maka tercegahlah wali yang anak-anak dan orang gila, karena anak-anak dan orang gila itu masih dibawah kewalian orang lain.
 فلا يجو ز ا ن يكو ن ا لصبي و ا لمجنو ن و ليين لأنه مو لي عليهما لا ختلا ل نظر هما في ا مصلحتهما



Artinya : Maka tidak boleh anak-anak dan orang gila sebagai wali karena itu sebenarnya orang al ayat ini yang semakna dikan, karena ada kekurangan akal fikirannya dalam kemaslahatan keduannya.

Orang gila dan anak-anak adalah orang-orang yang tidak dibebani karena tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dan tidak bisa untuk memelihara kebaikannya apalagi untuk kepentingan orang lain.

3.Merdeka.

Disyaratkan wali itu merdeka, maka tidak boleh hamba menjadi wali, karena hamba itu tidak layak bagi dirinya, bagaimana ia dapat menjadi wali bagi orang lain.

4.Laki-laki
Disyaratkan wali itu laki-laki, maka perempuan tidak sah menjadi wali, Sabda Rasulullah SAW
 عن ا بي هرير ة ر ضي ا لله عنه قل : قل ر سو ل ا لله ص م لا تز و ج ا لمر أ ة و لا ينز و ج ا لمر أ ة نفسها     (  روه ا بن ما جه و ا لدار قطني )
       


Artinya : Dari Abu Hurairah R.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Tidak menikahkan perempuan akan perempuan. Dan tidak akan menikahkan  akan dirinya sendiri ( H.R Ibn Majah dan Daruquntni )

5. Adil
Imam syafi’I mensyaratkan wali itu harus seorang yang adil, maka tidak sah apabila wali itu tidak adil, haram memandang beberapa factor yang menyebabkan hilangnya wibawa seorang wali dalam perkawinan apabila ia tidak sanggup berlaku adil.
 لقوله صلي ا لله عليه وسلم (لا نكا ح ا لا بو لي مرشد)  راواه ا لشا فعي في مسند ه بسند صحيح قا ل ا لا مام [7] ا صح شئ ء في ا لبا ب





Artinya : Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali yang mursyid  (  H.R as – Syafi’I  dalam musnadnya dengan sanad yang sahih. Imam Ahmad berkata : Hadist tersebut adalah yang paling sahih dalam bab ini.

Adapun yang dimaksud dengan mursyat menurut Imam Syafi’I adalah :
[8] قا ل ا لا مام ا لشا فعي ر ضي ا لله عنه و ا لمرا د با لمر شد ا لعد ل

Artinya : Imam Syafi’I R.a berkata : Dan yang dimaksud dengan Mursyid adalah adil.

Mursyid dalam hadist tersebut dianggap sebagai persyaratan yang utama bagi seorang wali, karena orang yang tidak dapat berlaku adil dikhawatirkan perwaliannya akan membawa kepada hal-hal yang tidak baik atau membawa akibat sampingan yang mengurangi nilai perkawinan tersebut.

[1] Dapertemen agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Toha Putra,1986).
[2] Qamaruddin Saleh, Asbabun Nuzul (Bandung:Diponegoro,1984),h.78.
[3] Muslim al-Hajjaj, Sahih Muslim, juz li (Beriut: Dar al-Kutub al-Iimiyah, 1996),h.1036.
[4] Inperes No.1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam,h. 26.
[5] Ibn Rusyd, Bidayah al- Mujtahid, Juz II (Mesir:Al- Babi al- Halabi 1960), h. 17.
[6] Dapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 145.
[7] Muhammad Syarbaini al-khatib, Mugni al-Muhtaj.Juz III (Beirut : Dar al- Fikr, 1978 ), h. 155.
[8] Muhammad Syarbaini al-khatib, Al- Iqna, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, t,th.),h.123.


http://zairifblog.blogspot.com/2012/06/syarat-syarat-menjadi-wali-nikah.html

Sabtu, 15 Juni 2013

HUKUM PERGADAIAN MENURUT ISLAM

Bismillahirrohmaanirrohim


Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng)(1); dan bisa juga berarti al-ihtibas (2) wa al-luzum (3) (tertahan dan keharusan).

Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.(4)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.(5)

Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebagai jaminan utangnya. Maka di dalam gambaran ini, utangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian nilai barang yang digadaikannya itu bila dijual.

Contoh lain, bila ada seseorang yang berhutang kepada anda sebesar RP.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Lalu dia memberikan kepada anda sebuah barang yang nilainya sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) sebagai jaminan utangnya. Di dalam gambaran kedua ini, sebagian hutang dapat dilunasi dengan nilai barang tersebut.

Dalam dua gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar maupun lebih kecil dari jumlah utang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.

B. Landasan Disyariatkannya Gadai:
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:

a. Al-Qur’an:
Firman Allah I:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Di dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah I menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.

b. Al-Hadits:
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).

c. Ijma’ (konsensus) para ulama:
Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim.(6) Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.

C. Unsur dan Rukun Gadai (Ar-Rahn):
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:
1. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.
2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.(7)

Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga, yaitu:
Shighat (ijab dan qabul).
Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin)
Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.

Syarat gadai (ar-rahn):
Disyaratkan dalam muamalah gadai hal-hal berikut:
Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:
1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya,(8) karena Al-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

D. Kapan Serah Terima Ar-Rahn (Barang Gadai) Dianggap Sah?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk pemberi utang tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini ada perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

Beberapa Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:

1. Barang yang Dapat Digadaikan.
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.

Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”(9)

2. Barang Gadai Adalah Amanah.
Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.

3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).

Dan sabda Nabi:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).

4. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.

Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.(10) Demikianlah hukum asal pegadaian.

Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no.3962, Fathul Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439 no.3509, Tirmidzi II/362 no.1272 dan Ibnu Majah II/816 no.2440).

Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.(11)

5. Biaya Perawatan Barang Gadai.
Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:
- Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
- Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.

Maksud barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang maka dia bisa memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah pemanfaatan barang gadai.

6. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.(12)

Demikianlah penjelasan singkat seputar hukum muamalah gadai dalam fiqih Islam. Dari penjelasan di atas, Nampak jelas bagi kita kesempurnaan, keindahan dan keadilan Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.


Catatan kaki:
(1 ) Lihat Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah Al-Bassam IV/519, dan Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq III/195.
(2 ) Al-Wajiz Fi Fiqhi As-Sunnah wal Kitab Al-Aziz, karya Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi, hal.366.
(3 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-zuhaili V/180.
(4 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-zuhaili V/180.
(5 ) Asy-Syarhu Al-Mumti’ ‘Ala Zadi Al-Mustaqni’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin IX/118.
(6 ) Lihat Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq III/195.
(7 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-zuhaili V/183.
(8 ) Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, karya DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan II/69.
(9 ) Al-Umm karya Imam asy-Syafi’i: III/153.
(10) Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq III/196.
(11 ) Lihat Taudhih Al-Ahkam 4/520-527.
(12) Taudhih Al-Ahkaam, karya Abdullah Al-Bassam IV/527.


MAROJIK

1}- http://abufawaz.wordpress.com/2011/07/29/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%B1%D9%87%D9%86-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D9%81%D9%82%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D8%B3%D9%84%D8%A7%D9%85%D9%8A-hukum-pegadaian-dalam-fiqih-islam/

2}- (Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi. Volume 1 Tahun 2010)

PENYUSUN : Ibnu sunniy






Jumat, 14 Juni 2013

HUKUM DAN MANFAAT SIMPAN PINJAM DALAM SYARIAT ISLAM
10:27 PM Parjono adjha 1 comment

Hukum Koperasi Simpan Pinjam di Tinjau Dalam Syariat Islam
Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang khusus bertujuan melayani atau mewajibkan anggotanya untuk menabung, di samping dapat memberikan pinjaman kepada anggotanya.
Sebagian kalangan mendefinisikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah sebuah koperasi yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan konsumtif maupun modal usaha. Kepada setiap peminjam, koperasi simpan pinjam menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.
Pada akhir tahun, keuntungan yang diperoleh koperasi simpan pinjam yang berasal dari uang administrasi tersebut yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan kepada anggota koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota koperasi diperhitungkan menurut intensitas anggota yang meminjam uang dari Koperasi. Artinya, anggota yang paling sering meminjamkan uang dari Koperasi tersebut akan mendapat bagian paling banyak dari SHU, dan tidak diperhitungkan dari jumlah simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota adalah sama.(www.kosipa.com)
Hukum KOperasi Simpan Pinjam
Dalam menyimpulkan hukum koperasi, tidak lepas dari praktik akad atau transaksi yang dijalankan dalam badan usaha tersebut. Dengan demikian, jika model transaksi yang dijalankan melanggar prinsip-prinsip muamalah islami, bisa dipastikan hukumnya haram. Jika dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya haram. Adapun alasannya sebagai berikut:
Pertama: Dari sisi nama, koperasi simpan pinjam didirikan dengan tujuan orang bisa menyimpan dan meminjam uang di koperasi tersebut. Sehingga tidak tepat dan tidak boleh, jika kemudian koperasi tersebut mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam.
Kedua: Pinjam meminjam di dalam Islam merupakan akad tabarru’ yang bertujuan untuk saling tolong menolong bukan sebagai sarana untuk mencari keuntungan.
Ketiga: Di dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam, karena koperasi ini menarik dari setiap peminjam uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian persen dari uang pinjaman.
Uang administrasi yang dibolehkan adalah uang yang memang dipakai untuk kepentingan administrasi bukan untuk mencari keuntungan, sehingga besarnya harus disesuaikan dengan biaya administrasi seperti surat-menyurat, arsip dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan di dalam pencatatan hutang.
Keempat: Uang administrasi tidak boleh ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pinjaman, apalagi ditarik setiap bulan. Ini sama dengan bunga dari pinjaman alias riba. Walaupun diganti namanya dengan uang administrasi, tetapi pada hakekatnya adalah bunga dari pinjaman.
Beberapa Pandangan Yang Salah
Pertama: Ada sebagian kalangan yang ingin menghindari praktek riba dengan cara menjual formulir pinjaman yang harganya disesuaikan dengan jumlah uang yang akan dipinjam. Umpamanya, untuk pinjaman uang sebesar Rp. 100.000 formulirnya berwarna putih dengan harga Rp. 5.000 Untuk pinjaman uang sebesar Rp. 500.000 formulirnya berwarna merah dengan harga Rp. 25.000 Untuk pinjaman sebesar Rp. 1.000.000 formulirnya berwarna kuning dengan harga Rp 50.000.
Kalau ingin terhindar dari riba, maka harga formulirnya harus disamakan, dan harganya tidak boleh disesuaikan dengan besar kecilnya jumlah uang pinjaman. Karena fungsi dari kertas formulir sekedar untuk memberikan keterangan tentang data-data peminjam, jadi tidak ada alasan untuk menaikan harganya dari harga selembar kertas.
Kedua: Sebagian orang mengatakan bahwa penjualan formulir dengan harga sesuai dengan besar kecilnya pinjaman sama dengan penjualan prangko yang harganya disesuaikan dengan jenis prangko, sehingga hukumnya halal.
Dalam hal ini tidak sama antara keduanya, karena dalam penjualan perangko, tidak ada unsur pinjam meminjam, tetapi yang ada adalah akad jual beli barang, dan harga barang tersebut disesuaikan dengan kwalitas dan manfaat barang. Jika kwalitas dan manfaatnya lebih banyak, maka harganya lebih mahal, sebaliknya jika kwalitas dan manfaatnya lebih sedikit, maka harganya lebih murah. Begitu juga dengan prangko, jika dipakai untuk mengirim surat yang lebih cepat dan jarak tempuhnya lebih jauh, tentunya harga prangkonya lebih mahal, sebaliknya jika surat yang dikirim tidak kilat dan jarak tempuhnya dekat, maka harganya tentunya lebih murah. Seperti itu juga harga tiket bis, kereta, maupun pesawat. Dan semuanya itu adalah boleh dan halal.
Adapun formulir yang harganya berbeda-beda berdasarkan jumlah pinjaman, pada hakekatnya koperasi hanya ingin mencari untung mengambil manfaat lewat hutang, dan ini diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallahu ‘alahi wassalam:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap hutang yang mengambil manfaat (komersil )adalah riba” (HR. Baihaqi)
Ketiga: Sebagian kalangan mengatakan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya boleh, karena pada dasarnya dalam mu’amalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Sedangkan bunga dari pinjaman anggota bukan untuk mencari keuntungan, tetapi akan dikembalikan kepada anggota koperasi itu juga.
Bahwa dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam. Adapun bunga pinjaman yang dibebankan kepada setiap peminjam akan kembali juga kepada anggota koperasi adalah tidak benar. Sebagai contoh, jika anggota meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000, maka dia harus mengembalikan kepada koperasi tersebut sejumlah uang yang dipinjam ditambah 5 % nya, yaitu sebesar Rp. 1.050.000 Dari tambahan 5 % tersebut, yang kembali kepada anggota tersebut hanya sekitar 3 % nya saja, sedangkan yang 2 % nya akan masuk kas koperasi. Ini menunjukan bahwa secara nyata bahwa koperasi simpan pinjam tetap mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam dan ini diharamkan dalam Islam, karena termasuk riba.
Cara Yang Sesuai Syariat
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar koperasi simpan pinjam sesuai syariat dan terhindar dari riba, diantaranya adalah:
Cara Pertama: Koperasi membeli barang-barang dari uang yang terkumpul dari anggota dan menjual barang-barang tersebut kepada para anggota atau kepada masyarakat umum. Keuntungan dari hasil penjualan dibagi kepada para anggota berdasarkan jumlah uang yang ditabung ke koperasi tersebut.
Cara Kedua: Koperasi ini juga bisa meminjamkan uang kepada anggota yang membutuhkan untuk keperluan konsumtif, tanpa dipungut bunga sedikitpun. Tetapi jika anggota memerlukan uang untuk keperluan usaha, maka koperasi bisa menerapkan system bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Tetapi akad ini tidak dinamakan pinjaman, tetapi disebut dengan mudharabah.

HUKUM ASURANSI MENURUT ISLAM
Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya

Temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
Asuransi sama dengan judi
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

Asuransi syariah
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).

Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
Selanjutnya, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
“Asuransi ada dua macam. Majlis Hai’ah Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa tahun yang lalu dan telah mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya melirik bagian yang dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau menggunakan lisensi boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi tidak jelas bagi sebagian orang.
Asuransi kerjasama (jaminan sosial) yang dibolehkan, seperti ; sekelompok orang membayarkan uang sejumlah tertentu untuk shadaqah atau membangun masjid atau membantu kaum fakir. Banyak orang yang mengambil istilah ini dan menjadikannya alasan untuk asuransi komersil. Ini kesalahan mereka dan pengelabuan terhadap manusia.
Contoh asuransi komersil : Seseorang mengasuransikan mobilnya atau barang lainnya yang merupakan barang import dengan biaya sekian dan sekian. Kadang tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan itu diambil perusahaan asuransi begitu saja. Ini termasuk judi yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]
Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Berikut ini kami cantumkan untuk para pembaca naskah fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa) tentang asuransi kerjasama (jaminan bersama).
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya, amma ba’du.
Telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama tentang haramnya asuransi komersil dengan semua jenisnya karena mengandung madharat dan bahaya yang besar serta merupakan tindak memakan harta orang lain dengan cara perolehan yang batil, yang mana hal tersebut telah diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras.
Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]
Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan Allah akan menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Adz-Dzikr wad Du'at wat Taubah 2699]
Ini sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi akhir-akhir ini sebagian perusahaan menyamarkan kepada orang-orang dan memutar balikkan hakekat, yang mana mereka menamakan asuransi komersil yang haram dengan sebutan jaminan sosial yang dinisbatkan kepada fatwa yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini untuk memperdayai orang lain dan memajukan perusahaan mereka. Padahal Ha’iah Kibaril Ulama sama sekali terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya jelas-jelas membedakan antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan). Pengubahan nama itu sendiri tidak merubah hakekatnya.
Keterangan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan penjelasan bagi orang-orang dan membongkar penyamaran serta mengungkap kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabat.
[Bayan Min Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta Haula At-Ta'min At-Tijari wat Ta'min At-Ta'awuni]“.
Kemudian, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :
“Asuransi konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari’at, dalilnya adalah firmanNya “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil” [Al-Baqarah : 188]
Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta para pengasuransi (polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang dari mereka membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang bisa jadi mencapai puluhan ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak begitu memerlukan servis namun meskipun begitu, hartanya tersebut tidak dikembalikan kepadanya.
Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan sedikit uang, lalu terjadi kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani perusahaan secara berkali-kali lipat dari jumlah uang yang telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah membebankan harta perusahaan tanpa cara yang haq.
Hal lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan suka bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka cepat-cepat mengatakan, “Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansialnya), dan barangkali bisa membayar ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal ini berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya kecelakaan dan angka kematian.
Artikel terkait: http://www.arrisalah.net/kolom/2011/10/hukum-koperasi-simpan-pinjam.html

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...