Tampilkan postingan dengan label FIQIH ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH ISLAM. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Oktober 2014

Dalil Merayakan Maulid nabi Muhammad saw

Bismillahirrohmaanirrohim

hukum merayakan Maulid nabi muhammadKarena ada pertanyaan tentang dalil perayaan maulid Nabi saw, maka kami sebutkan beberapa dalil yang disebutkan oleh para ulama tentang perayaan maulid adalah:

1. Merayakan maulid termasuk dalam membesarkan kelahiran para Nabi. Hal yang berkenaan dengan kelahiran Nabi merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang lebih, sebagaimana halnya tempat kelahiran para nabi.

Dalam Al quran sendiri juga disebutkan doa sejahtera pada hari kelahiran para Nabi seperti kata Nabi Isa dalam firman Allah surat Maryam ayat 33:
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ
“dan kesejahteraan atasku pada hari kelahirannku”.

Maka Rasulullah juga lebih berhak untuk mendapatkan doa sejatera pada hari kelahiran beliau.

Dalam Al Quran, Allah juga tersebut perintah untuk mengingat hari-hari bersejarah, hari dimana Allah menurunkan nikmat yang besar pada hari tersebut, seperti dalam firman Allah surat Ibrahim ayat 5:

وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

“dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah, Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”

Dan juga dalam surat Al Jatsiyah ayat 14:

قُلْ لِلَّذِينَ آمَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لا يَرْجُونَ أَيَّامَ اللَّهِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah”

Dalam ayat tersebut Allah menyuruh untuk mengingat hari-hari Allah, secara dhahir hari yang dimaksud adalah hari kesabaran dan penuh syukur dan yang diharapkan dari hari tersebut adalah barakah yang Allah ciptakan pada hari tersebut, karena hari hanyalah satu makhluk Allah yang tidak mampu memberi manfaat dan mudharat.

Dalam surat Yunus ayat 58:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk senang dengan nikmat Allah. Maka tiada rahmat dan nikmat yang lebih besar dari pada kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beliau sendiri mengatakan:
أنا الرحمة المهداة

Kisah lain yang menunjuki bahwa dituntut untuk memperingati hari bersejarah adalah kisah Nabi SAW berpuasa pada hari Asyura. Ketika Nabi masuk kota Madinah, beliau mendapati yahudi Madinah berpuasa pada hari Asyura. Ketika mereka ditanyakan tentang hal tersebut mereka menjawab “bahwa pada hari tersebut Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Bani Israil atas firaun, maka kami berpuasa untuk mengangagungkannya” Rasulullah berkata “kami lebih berhak dengan Musa dari pada kamu” kemudian beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari Asyura.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalany menjadikan hadis ini sebagai dalil untuk kebolehan merayakan maulid Nabi.

2. Kisah Suwaibah Aslamiyah yang dimerdekakan oleh Abu Lahab karena kegembiraannya terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setahun setelah Abu lahab meninggal, salah satu saudaraya yang juga merupakan paman Rasulullah, Saidina Abbas bin Abdul Muthallib bermimpi bertemu dengannya dan menanyakan bagaimana keadaan Abu Lahab, ia menjawab “bahwa tidak mendapat kebaikan setelahnya tetapi ia mendapat minuman dari bawah ibu jarinya pada setiap hari senin karena ia memerdekakan Suwaibah Aslamiyah ketika mendengar kabar gembira kelahiran Nabi Muhammad”. Hadis ini tersebut dalam Shaheh Bukhary dengan nomor 4711. kisah ini juga disebutkan oleh Ibnu Kastir dalam kitab beliau Al Bidayah An Nihayah jilid 2 hal 273.

Ini adalah balasan yang Allah berikan terhadap orang yang menjadi musuhNya dan mendapat celaan dalam Al Quran. Apalagi terhadap orang-orang mukmin yang senang terhadap kelahiran baginda Rasulullah SAW.

3. Rasulullah sendiri pernah merayakan hari kelahiran beliau sendiri yaitu dengan berpuasa pada hari senin. Ketika ditanyakan oleh para shahabat beliau menjawab:
فيه ولدت وفيه أُنزل عليَّ
“itu adalah hari kelahiranku dan hari diturunkan wahyu atasku”.(H.R. Muslim)

Hadis ini tersebut dalam kitab Shaheh Muslim jilid 2 hal 819. Hadis ini menjadi landasan yang kuat untuk pelaksanaan maulid walaupun dengan cara yang berbeda bukan dengan berpuasa seperti Rasululah melainkan dengan memyediakan makanan dan berzikir dan bershalawat, namun ada titik temunya yaitu mensyukuri kelahiran Rasulullah saw. Imam As Sayuthy menjadikan hadis ini sebagai landasan dibolehkan melaksanakn maulid Nabi.

4. Rasulullah pernah menyembelih hewan untuk aqiqah untuk beliau sendiri setelah menjadi nabi. Sebelumnya, kakek rasulullah, Abdul Muthalib telah melakukan aqiqah untuk Rasulullah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqy dari Anas bin Malik. Aqiqah tidak dilakukan untuk kedua kalinya maka perbuatan Rasulullah menyembelih hewan tersebut dimaksudkan sebagai memperlihatkan rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan yaitu penciptaan beliau yang merupakan rahmat bagi seluruh alam dan sebagai penjelasan syariat kepada umat beliau. Hadis ini oleh Imam As Sayuthy dijadikan sebagai landasan lain dalam perayaan maulid Nabi. Maka juga disyariatkan bagi kita untuk memperlihatkan kesenangan dengan kelahiran Rasulullah yang boleh saja kita lakukan dengan membuat jamuan makanan dan berkumpul berzikir dan bershalawat.

5. Rasulullah memuliakan hari jumat karena hari tersebut adalah hari kelahiran Nabi Adam AS. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh An Nasai dan Abu Daud
إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فيه خلق آدم وفيه قبض وفيه النفخة وفيه الصعقة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي
“bahwasanya sebagian hari yang terbaik bagi kamu adalah hari jum`at,pada hari tersebut di ciptakan Nabi Adam, wafatnya dan pada hari tersebut ditiupnya sangkakala, maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari juma`at, karena shalawat kamu didatangkan kepada ku ” (H.R. Abu Daud)

Rasulullah telah memuliakan hari jum`at karena pada hari tersebut Allah menciptakan bapak dari seluruh manusia, Nabi Adam. Maka hal ini juga dapat diqiyaskan kepada merayakan kelahiran Nabi Muhammad.

6. Allah ta`ala menyebutkan kisah-kisah para anbiya didalam Al-quran seperti kisah kelahiran Nabi Yahya, siti Maryam dan Nabi Musa AS. Allah menyebutkan kisah-kisah kelahiran para Nabi tersebut untuk menjadi peneguh hati Rasulullah saw sebagaimana firman Allah surat Hud ayat 120:
وَكُلّاً نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu”

Nah, apabila membacakan kisah para Nabi terdahulu dapat meneguhkan hati Rasulullah maka membacakan kisah kehidupan Rasulullah sebagaimana dilakukan ketika memperingati maulid juga mampu meneguhkan hati kita, bahkan kita lebih membutuhkan peneguh hati ketimbang Rasulullah.

7. Maulid merupakan satu wasilah/perantara untuk berbuat kebaikan dan taat. Dalam perayaan maulid Nabi, dilakukan berbagai macam amalan kebaikan berupa bersadaqah, berzikir, bershalawat dan membaca kisah perjuangan Rasulullah dan para Shahabat. Semua ini merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Semua hal yang perantara bagi perbuatan taat maka hal tersebut juga termasuk taat.

8. Firman Allah dalam surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk senang terhadap semua karunia dan rahmat Allah, termasuk salah satu rahmaNya yang sangat besar adalah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dalam firman Allah surat Al Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Bahkan sebagian ahli tafsir mengatakan kalimat rahmat pada surat Yunus ayat 58 dimaksudkan kepada Nabi Muhammad dengan menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai penafsirnya, sebagaimana terdapat dalam tafsir Durar Al Manstur karangan Imam As Sayuthy, tafsir Al Alusty fi Ruh Al Ma`any dan tafsir Ibnul Jauzy.

Jadi dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk terhadap datangnya Rasulullah SAW, kesenangan tersebut dapat diungkapkan dengan berbagai macam cara baik menyediakan makanan kepada orang lain, bersadaqah, berkumpul sambil berzikir dan bershalawat dll.

9. Perayaan maulid bukanlah satu ibadah tauqifiyah sehingga tatacara pelaksaannya hanya dibolehkan sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi, tapi maulid merupakan satu qurbah (pendekatan kepada Allah) yang boleh. Dikarenakan dalam pelaksanaan maulid mengandung hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah maka maulid itu termasuk dalam satu qurbah.

Referensi:
Imam Jalaluddin As Sayuthy, Hawi Lil Fatawy
Prof.Sayyid Muhammad Alawy Al Hasany, Haul Ihtifal bi Maulid An Nabi Syarif
Habib Ali bin Muhammad Al Hadramy, Tahqiqul Bid`ah
DR. Adullah Kamil, Kalimat Hadiah fi Ihtifal bi Maulidin Nabawy
sumber: http://abu.mudimesra.com

selanjutnya ada satu pertanyaan:
Apakah para imam mazhab, seperti imam Hanafi, Maliki, syafi'i dan Hambali pernah merayakan hari kelahiran nabi?
Jawab.......
1. tidaklah terpaham bahwa setiap perbuatan yg ditinggalkan oleh para Imam Mujtahid yg 4 maka perbuatan tersebut adalah haram, bahkan perbuatan yang ditinggalkan Nabi sendiri belum tentu haram. sesuai dengan sebuah qaedah:
ترك الشيء لا يدل على منعه
"meninggalkan sesuatu tidaklah menunjuki kepada bahwa perbuatan tersebut terlarang"

selain itu ketika Nabi dan dua generasi sesudah beliau (Shahabat dan Tabiin/tabi` tabiin) tidak melakukan sesuatu maka disini masih mengandung beberapa kemungkinan/ihtimal, kenapa ditinggalkan apakah karena haram, atau karena mengagggapnya sebagai sesuatu yg boleh saja, atau karena lebih menutamakan hal lain yg lebih penting atau pun hanya kebetulan saja.

maka at tark /meninggakan satu perbuatan tak dapat dijadikan sebagai satu pijakan hukum, sebagaimana satu qaedah:
ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
"sesuatau yang masih ada kemungkinan maka tidak adapt dijadikan dalil".

selain itu pelarangan sesuatu hanya dapat diketahui dengan adanya nash yang melarang perbuatan tersebut, bahkan dari perintah sebaliknya tidak juga dapat terpaham langsung kepada haram tapi hanya sampai pada taraf khilaf aula.

kemudian Allah berfirman dlm surat Al Hasyr ayat 7 :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"apa yg didatangkan oleh Rasul maka ambillah dan apa yg dilarangnya maka jauhilah"

tidak ada ayat ataupu hadis yg mengatakan:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا تركهُ فَانْتَهُوا
"apa yg didatangkan oleh Rasul maka ambillah, dan apa yg ditinggalkanya maka jauhilah"

‎2. Pada maulid yang bid`ah hanyalah pada kaifiyat pelaksanaannya bukan diri merayakan maulid itu sendiri , karena inti dari perayaan maulid terkandung dalam beberapa perintah sebagaimana dlm uraian dalil maulid yg ada pada page http://abu.mudimesra.com.

Imam Syafii berkata:
"كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف"
"setiap perkara yg memiliki sandaran dari syara` maka ia bukanlah bid`ah walaupun tidak dikerjakan salaf/shahabat"

merobah satu kaifiyat amalan kebaikan yg tidak ada pembatasan khusus dari syara` bukanlah satu perbuatan tercela, misalnya kita diperintahkan menuntut ilmu maka pada zaman ini kita membuat berbagai macam sistem pendidikan yang sama sekali tidak dilakukan oleh generasi terdahulu. hal ini bukanlah perbuatan tercela. demikian juga kaifiyah merayakan maulid kita lakukan dengan kaifiyat yg berbeda maka ini bukanlah satu perbuatan terlarang.

===================================
Sumber : http://lbm.mudimesra.com/2012/03/dalil-merayakan-maulid.html

Kamis, 09 Oktober 2014

Mengapa ulama Khalaf melakukan takwil?

Bismillahirrohmaanirrohim
Sebelumnya kami telah memaparkan sedikit tentang takwil dan tafwidh nash mutasybihat menurut ulama salaf dan khalaf. Satu hal yang mungkin menjadi pertanyaan adalah mengapa para ulama khalaf berani mentakwilkan nash-nash mutasyabihat?
Dan apakah tidak ada di antara ulama salaf yang ikut mentakwil nash-nash mutasyabihat?
Padahal ketika sifat-sifat Allah tersebut tidak dapat di ketahui maksudnya secara pasti tentu lebih baik berdiam diri dan hanya menyerahkan maksudnya kepada Allah sebagaimana yang di tempuh oleh ulama salaf! Apa yang menyebabkan para ulama khalaf berani menyalahi metode ulama salaf? padahal metode para ulama salaf adalah lebih aman sebagai di akui oleh mayoritas ulama mutakhirin sendiri.

Syeikh Mahmud Khatab as-Subki dalam kitab beliau, Ittihaf al-Kainat bi bayan Mazhab as-Salaf wa Khalaf fi Mutasyabihat hal 178:

والخلف يؤولونه تأويلا تفصيليا بتعيين المعنى المراد منه لاضطرارهم إلى ذلك ردا على المبتدعين الذين كثروا فى زمانهم بناء على أن الوقف على قوله تعالى والراسخون فى العلم

Artinya : dan para ulama khalaf mentakwilnya secara rinci (takwil tafshily) dengan menentukan makna yang di maksudkan dari nash tersebut karena mereka berhajat kepada demikian untuk menolak ahli bid’ah yang telah banyak pada masa mereka dengan berdasarkan pendapat bahwa wakaf pada firman Allah warrasikhuna..(surat ali Imran 7).

Para ulama melakukan takwil terhadap nash mutasyabihat bertujuan untuk mengindari timbulnya pemahaman secara makna dhahir terhadap nash mutasyabihat tersebut. Sedangkan makna (makna hakikatnya) merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah karena makna hakikatnya merupakan satu makna yang merupakan sifat khususiyat pada makhluk. Misalnya makna yad di artikan dengan tangan, maka yang akan terbayang di benak manusia adalah jisim karena hakikat dari yad adalah jisim walaupun akhirnya kaum mujassimah mengatakan, tangan Allah tidak seperti tangan manusia. Sedangkan Allah ta`ala tidak memiliki jisim, karena jisim itu sifat makhluk, Allah berfirman :

ليس كمثله شئ وهو السميع البصير

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.(Q.S. asy-Syura 11)

al-Allamah Syeikh Mahmud bin Khatab as-Subky dalam kitab ad-Din al-Khalish jilid 1 hal 27 – 28 menjelaskan :

والخلف يقولون فيها الاستواء معناه الاقتدار والتصرف او نحو ذلك ...ووجه صحة مذهب الخلف انهم فسروا الآية بما يدل عليه اللفظ العربي والقرآن عربى
 وحملهم على تفسير المذكرور ولم يفوضوا كما فوض السلف وجود المشبهة والمجسمة فى زمانهم زاعمين ان ظاهر الآيات يدل على اته تعالى جسم ولم يفقهوا انه مستحيل علسه عز وجل الجسمية والحلول فى الامكنة . وقد اغتر بعض العوام بقولهم فاعتقدوا أن الله تعالى جالس على العرش وحال فى السماء فكفروا والعياذ بالله تعالى...
فوجب عليهم ان بينوا للعامّة معنى تلك الآيات والاحاديث المتشابهة حسب مدلولات القرآن والاحاديث النبوية بما يصح اتصافه تعالى به ليعرفوا الحق فيعملوا عليه ويتركوا الباطل واهله فلا يكفرون فجزاهم الله تعالى الجزاء
وقد نقل العلامة احمد زروق عن ابى حامد انه قال لا خلاف فى وجوب التأويل عند تعين شبهة لا ترتفع إلا به
والحاصل ان الخلف لم يخالفوا السلف فى الاعتقاد وانما خلفوهم فى تفسير المتشابه للمقتضى الذى حدث فى زمانهم دون زمان السلف كما علمت بل اعتقادهم واحد وهو أن الآيات والاحاديث المتشابهات مصروفة عن ظاهرها الموهم تشبيهه تعالى بشيء من صفات الحوادث وانه سبحانه وتعالى مخالف للحواديث فليس بجسم ولا جوهر ولا عرض ولا مستقر على عرش ولا فى السماء ولا يمر علىي زمان وليس له جهة إلى غير ذلك مما هو من نعوت المخلوقين

Artinya :
“Ulama khalaf mengatakan pada ayat tersebut (ayat mutasyabihat) Istiwak, maknanya kekuasaan , penggunaan dan lain-lain....
Alasan dari kebenaran Mazhab Khalaf adalah karena mereka menafsirkan ayat dengan makna yang ditunjuki oleh lafaz ‘arab sendiri, sedangkan al-quran termasuk dari ‘arabi. Hal yang mendorong para ulama khalaf melakukan penafsiran tersebut, dan tidak menyerahkan makna (kepada Allah) sebagai mana yang dilakukan oleh ulama salaf karena pada masa mereka (khalaf) sudah muncul para musyabihah yang menyatakan bahwa, dhahir ayat menunjuki bahwa Allah SWT adalah jisim. Padahal mereka tidak mengerti , jisim dan bertempat adalah hal yang mustahil bagi Allah SWT...
Oleh karna itu, maka wajib bagi mereka (ulama khalaf) untuk menjelaskan bagi masyarakat awam makna dari ayat dan hadis tersebut menurut pemahaman al-quran dan hadis itu sendiri dengan makna yang bisa sah pada zat Alllah SWT. Supaya orang ‘awam mengerti mana yang haq kemudian mengamalkannya dan meninggalkan kebathilan dan ahlinya. Maka Allah membalas mereka dengan sebaik-baik pembalasan.
Al-‘Allamah Zauraq menukilkan perkataan Abi Hamid, beliau berkata ‘’ Tiada khilaf (perbedaan pendapat) tentang wajibnya takwil ketika nyata adanya syubhat yang tidak ada jalan lain untuk menghilangkannya selain dengan takwil.
Kesimpulanya adalah para ulama khalaf tidak berbeda keyakinannya dengan ulama salaf. Dan hanya saja ulama khalaf berbeda dalam menfsirkan ayat mutasyabihat disebabkan gejolak yang terjadi pada zaman mereka yang belum ada pada periode ulama salaf sebagaimana yang telah kita ketahui. Akan tetapi I’tikad mereka itu sama, yaitu: Segala ayat dan hadis mutasyabihat ditakwilkan dari dhahirnya yang memberi pemahaman serupa Allah SWT dengan salah satu sifat hawadis. Padhal Allah SWT berbeda dengan hawadis. Maka Allah SWT tidak berjisim, bukan jauhar, bukan sifat, tidak menetap diatas ‘arasy, tidak dilangit, tidak dilalui zaman, tidak ber-arah dan lain-lain yang merupakan sifat dari makhluk.”

Maka dari beberapa penjelasan ulama yang kami kuti sangat jelaslah bahwa apa yang di lakukan oleh sebagian ulama Asya'irah yaitu mentakwilkan nash-nash mutasyabihat bukanlah hal yang salah. Satu kesalahan bagi sebagian golongan yang memvonis sesat kepada para ulama Asya'irah karena mereka melakukan takwil terhadap nash mutasyabihat, bahkan sebaliknya yang sesat adalah kaum yang mengartikan nash-nash mutasyabihat tersebut dengan makna dhahirnya, penafsiran demikian bukanlah penafsiran para ulama salaf. Bahkan kenyataannya sebagian takwil juga di lakukan oleh para ulama salaf.
Wallahu A’lam bish shawab.

==============================================
Sumber :http://lbm.mudimesra.com/2014/10/mengapa-ulama-khalaf-melakukan-takwil.html

Selasa, 07 Oktober 2014

Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban

Bismillahirrohmaanirrohim
Di hari raya Adhha, kaum muslim menyembelih qurban. Biasanya yang ingin berqurban menyerahkan qurbannya ke panitia qurban baik di mesjid atau di tempat-tempat lainnya. Sering kita temukan dalam proses pembagian daging qurban, kulit dan kaki hewan qurban tidak di bagikan, tetapi oleh panitia di kumpulkan kemudian di jual kepada pihak penampung kulit hewan.

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya menjual kulit atau daging hewan qurban?

Jawab:
Hewan qurban tidak boleh di jual, baik dagingnya, kulit dan juga tulangnya.
Pada qurban sunat, kulitnya boleh di sadaqahkan dan boleh juga di manfaatkan oleh orang yang berkurban untuk berbagai macam keperluannya (selain di jual atau di sewakan). Bila di jual, penjualan tersebut tidak sah.
sedangkan qurban wajib, kulitnya wajib di sadaqahkan semuanya, tidak boleh di manfaatkan untuk keperluan orang berqurban.
Bagi penerima yang miskin boleh saja setelah ia terima ia jual, sedangkan bila ia orang kaya, maka setelah ia terima tidak boleh ia jual, bagi orang kaya qurban yang diterima hanya di bolehkan untuk di konsumsi sendiri dan keluarga atau di sedeqahkan atau di hidangkan sebagai jamuan bagi tamu yang datang sebagaimana dalam ketentuan orang kaya menerima daging kurban. Ini merupakan pendapat yang kuat.
Selain itu kulit hewan qurban juga tidak boleh di jadikan sebagai upah bagi penyembelih qurban. Namun boleh saja di berikan kepada penyembelih tetapi bukan sebagai upah sembelihan.

Nash Kitab Mu`tabarah:
Hasyiah Qalyubi `ala Mahalli Jilid 4 hal 255 Dar Fikr

ويتصدق بجلدها أو ينتفع به) في الاستعمال، وله إعارته دون بيعه وإجارته
قوله: (ويتصدق) هو ومثله وارثه بجلدها قال شيخنا: ولو على من تلزمه نفقته ولا يجوز بيعه ولا إجارته وتجوز عاريته، ولآخذه التصرف فيه لا بنحو بيع ولا يجوز إعطاؤه أجرة للجوار. وجوز بعضهم لمن يأخذه التصرف بالبيع وغيره، وهو وجيه إن كان الذي أخذه من الفقراء كما في مر اللحم وإلا فلا فليراجع،

Tuhfatul Muhtaj dan Hasyiah Ubadi Jilid 9 hal 365 Dar Fikr

ويتصدق بجلدها) ونحو قرنها أي المتطوع بها وهو الأفضل للاتباع (أو ينتفع به) أو يعيره لغيره ويحرم عليه وعلى نحو وارثه بيعه كسائر أجزائها وإجارته وإعطاؤه أجرة للذابح بل هي عليه للخبر الصحيح «من باع جلد أضحيته فلا أضحية له» ولزوال ملكه عنها بالذبح فلا تورث عنه لكن بحث السبكي أن لورثته ولاية القسمة والنفقة كهو ويؤيده قول العلماء له الأكل والإهداء كمورثه أما الواجبة فيلزمه التصدق بنحو جلدها
قوله نحو بيعه) ليس فيه إفصاح ببطلانه وقضية قوله لزوال ملكه عنها لبطلان

Hasyiah Bujairimi `ala Khatib Jilid 4 Hal 338 Dar Fikr

ولا يبيع من الأضحية شيئا) ولو جلدها أي يحرم عليه ذلك ولا يصح سواء أكانت منذورة أم لا. وله أن ينتفع بجلدأضحية التطوع كما يجوز له الانتفاع بها. كأن يجعله دلوا أو نعلا أو خفا والتصدق به أفضل. ولا يجوز بيعه ولا إجارته لأنها بيع المنافع لخبر الحاكم وصححه: «من باع جلد أضحيته فلا أضحية له» ولا يجوز إعطاؤه أجرة للجزار، وتجوز إعارته، كما له إعارتها. أما الواجبة فيجب التصدق بجلدها.

=============================================
Sumber :http://lbm.mudimesra.com/


Sabtu, 27 September 2014

Keutamaan Sholat Pakai Peci atau Penutup Kepala (Imamah)

Bismillahirrohmaanirrohim

“Sholat dua raka’at dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 raka’at, tanpa sorban”. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami' Ash-Shoghir]

Amr bin Huroits ra- berkata, أَ
“Nabi SAW pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam”. [HR. Muslim (1359), Abu Dawud (4077), Ibnu Majah (1104 & 3584)]
Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,
“Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) , Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)]Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,
“Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)]


Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah Saw selalu memakai kopiah putih. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Umar, dan Imam Suyuthi dalam Jami’us Shagir hal 21  mengatakan hadits ini “hasan”.
Hasan al Bisri mengatakan : "Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". (HR. Al-Bukhari)
Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata, "Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)

Berikut hadits bahwa Rasul saw memakai imamah (sorban di kepala):

1. dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain).

2. dari Ibnul Mughirah ra, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw mengusap kedua khuffnya, dan depan wajahnya, dan atas surbannya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

3. para sahabat sujud diatas Surban dan kopyahnya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).

4. Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

Masih belasan hadits shahih meriwayatkan tentang surban ini, mengenai hadits hadits dhoif yg mereka katakan tentang kemuliaan surban, seandainya kesemua hadits itu tidak ada, cukuplah hadits Nabi saw : “Barangsiapa yg tak menyukai sunnahku maka ia bukan golongangku” (Shahih Bukhari).

Memakai surban lebih afdhal, namun Rasul saw selalu memakai tutup kepala, maka peci merupakan sunnah.

Tidak memakai tutup kepala tanpa udzur (keadaan yang terpaksa), makruh hukumnya. Terlebih ketika melakukan sholat fardhu dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya dengan berjama'ah. (Fataawa Muhammad Rasyid Ridha (V/1849) dan al Sunan wa al Mubtadi'aat halaman 69).

Sumber:

1.http://kabarislamia.blogspot.com/2014/09/keutamaan-sholat-pakai-peci-atau.html

2.http://imandanamalsoleh.wordpress.com/2011/04/10/keutamaan-memakai-sorban-atau-penutup-kepala-ketika-sholat/

3.http://ad-dai.blogspot.com/2011/03/hukum-kopiah-songkok-peci.html
4.http://orgawam.wordpress.com/2008/12/29/hadits-memakai-peci-dan-surban/

Kamis, 11 September 2014

Perbedaan Mani,mazi dan wadi

Bismillahirrohmaanirrohim

Bagi kalangan pesantren 3 macam cairan yang keluar dari kemaluan ini sudah sangat jelas perbedaannya. Namun bagi masyarakat terkadang masih sangat awam dengan ketiga permasalahan ini, padahal hal ini merupakan sesuatu yang harus diketahui oleh tiap insan, karena menyangkut dengan suci atau tidak yang berakibat kepada sah shalat atau tidak.

Mani:
Mani atau sperma adalah cairan yang keluar dari lubang kemaluan/qubul ketika rangsangan syahwat memuncak, baik karena berhubungan badan, onani ataupun menghayal dll. Ciri-cirinya adalah antara lain:
Berwarna putih kental, namun kadang-kadang juga berwarna lain seperti kuning bahkan ada yang berwarna merah, atau
Keluar dengan disertai memancar/tadafu`
Terasa nikmat ketika keluar
Berbau adonan tepung ketika basah dan telur putih ketika kering
Setelah keluar mani badan akan sedikit terasa lemah

Apabila ditemukan pada satu cairan yang keluar dari lubang qubul dengan salah satu sifat diatas maka dihukumi sebagai mani. Mani hanya diperdapatkan pada orang yang telah baligh, sehingga bila keluar cairan pada anak-anak yang berusia belum mungkin baligh (dibawah 9 tahun) maka tidak dihukumi sebagai mani.

Hukum dari keluar mani adalah orang tersebut akan dihukumi berhadats besar, maka untuk dapat melaksanakan shalat, membaca al-quran atau menetap dalam masjid harus terlebih dahulu mandi wajib. Selain itu cairan mani tidak dihukumi najis, sehingga pakaian yang berlumuran mani sah digunakan untuk shalat.

Dalam satu hadist disebutkan:
عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ

Bahwasanya aku dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah SAW, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.”  (HR. Muslim)

Mazi:
Mazi adalah cairan yang berwarna putih bersih, bening, atau agak kuning namun licin. Biasanya ia keluar ketika awal-awal bangkit syahwat dan belum mencapai puncaknya, biasanya cairan mazi tidak berbau. Seringkali mazi keluar tanpa terasa. Mazi banyak keluar pada kaum wanita terutama ketika mereka bangkit syahwat. Dalam satu hadist Shahihain disebutkan:

عن على قال : كنت رجلا مذاء فكنت أستحيى أن أسأل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لمكان ابنته فأمرت المقداد بن الأسود فسأله فقال يغسل ذكره ويتوضأ

“Dari Ali ra, beliau berkata: saya adalah laki-laki yang banyak mazi, maka saya merasa malu bertanya kepada Rasulullah SAW karena posisi anak beliau (Fathimah, istri Saidina Ali) maka saya perintahkan Miqdad bin Aswad maka iapun bertanya kepada Rasulullah, maka jawab Rasulullah: basuhlah zakar dan berwudhuk”.(H.R Imam Bukhary dan Muslim).

Wadi:
Wadi adalah cairan putih yang keruh kental yang keluar biasanya setelah buang air kecil ataupun ketika mengangkat beban yang berat. Wadi tidak hanya diperdapatkan pada orang dewasa tetapi juga didapati pada anak-anak.

Hukum bagi orang yang keluar mazi dan wadi tidak diwajibkan mandi, namun cairan mazi dan wadi tergolong dalam najis, sehingga wajib dibasuh/disucikan.

Walaupun telah ada beberapa sifat yang bisa membedakan mani, mazi ataupun wadi, namun dilapangan kadang-kadang kita temukan cairan yang kadang-kadang kita ragu dalam menentukannya, apakah mani atau bukan. Biasanya hal ini terjadi ketika tertidur, pada pagi harinya ditemukan cairan sedangkan semalam ia tidak merasakan apapun ketika cairan tersebut keluar sedangkan baunya juga tidak mendekati bau mani. Maka dalam kondisi demikian ia boleh memutuskan salah satu, cairan tersebut mani maka ia wajib mandi wajib dan pakaiannya tidak dihukumi bernajis ataupun mazi maka tidak tidak wajib mandi tetapi wajib mennyucikan pakaiannya karena mazi dihukumi bernajis. Namun walaupun demikian, yang lebih aman adalah ihtiyadh/waspada dengan cara mandi karena kemungkinan iatu adalah mani dan juga menyucikan pakaian yang terkena cairan tersebut karena kemungkinan itu mazi.

Referensi:
Hasyiah I`anatuth Thalibin 1 hal 83-85 Cet. Haramain
Hasyiah Syarqawy `ala Tahrir jili 1 hal 115 Cet.
Haramain Hasyiah Syarqawy `ala Tahrir jili 1 hal 76 Cet. Haramain

Sumber :
http://lbm.mudimesra.com/2012/09/perbedaan-manimazi-dan-wadi.html

Rabu, 13 Agustus 2014

Hukum asuransi dalam Islam

Bismillahirrohmaanirrohim
Hukum asuransi dalam Islam
Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri.

Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam

Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.

Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.

Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )  Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.

Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992:

” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan “

Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :

I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :

1.    Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial

2.    Asuransi Sosial ( Ta’min  Ijtima’i ) , yaitu asuransi ( jaminan )  yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan  dan lain-lain.   [1]

Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan  kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.

Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan. [2]

II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.

Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :

1.    Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )

2.    Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan

Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :

Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )

Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.

Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )

Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.

Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk  [3] :

1.       Term assurance (Asuransi Berjangka)

Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode

waktu tertentu.

Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance)  :

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 1 tahun
Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.       Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) 

Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.

3.       Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) 

Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.

Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 10 tahun
Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
1.      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta

IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.

Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :

1.    Asuransi Konvensional

2.    Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator. [4]

Hukum Asuransi
Hukum Asuransi menurut Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :

Pertama : Ansuransi Ta’awun

Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut [5] :

Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang  menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan  ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.

Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.

Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.

Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.

Kedua : Asuransi Sosial

Begitu juga asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :

Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu. 

Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan  hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.

Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga

Adapun untuk Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut [6] :

Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad  secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :

َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

” Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787  )

Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah  ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang,  juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Maidah: 90).

Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para ulama.

Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur  rihan ( taruhan )  yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta  perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“ Tidak ada perlombaan  kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau  yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )

Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.

Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).

Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan  bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional.[7]

Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :

Dari Sisi Prinsip Dasar

Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ), yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan ditanggung secara penuh oleh pengelola.

Dari Sisi Akad

Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).

Dari Sisi Kepimilikan Dana

Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri. Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah ( bagi hasil ). Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana.

Dari sisi obyek

Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan juga hotel-hotel yang tidak syariah.  Adapun Asuransi Konvensional tidak membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.

Dari Sisi Investasi Dana.

Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).

Dari Sisi Pembayaran Klaim.

Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ ( dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi pengeluaraan perusahaan.

Dari Sisi Pengawasan.

Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.

Dari sisi dana zakat, infaq dan sadaqah.

Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal istilah zakat.



Perkembangan Asuransi di Indonesia [8]

Asuransi Jiwa Konvensional pertama kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas.  Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra. Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat hingga  tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah : American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.

Adapun asuransi Syariah pertama kali di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful. Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34 perusahaaan lebih.

Rata-rata asuransi Syariah yang disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu  . Yang benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah adalah  PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994.   Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance, adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syariah adalah : PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas.*



Catatan Kaki:

[1] DR, Syekh Husain bin Muhammad al Malah, Al fatwa Nasyatuha wa Tathuwuruha, Hal. 909

[2] http://www.asuransicerdas.com/

[3] http://pojokasuransi.com

[4] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2

[5] Keputusan Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya’ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah,  dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.

[6] Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,

[7] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2-5

[8] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 69-73



Penulis: DR. Ahmad Zain An-Najah

===============================================================
Sumber : - See more at: http://www.arrahmah.com/read/2011/12/15/16834-hukum-asuransi-dalam-islam.html#sthash.xd2MU4H1.dpuf

Minggu, 20 Juli 2014

ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI DARI SUAMINYA

Bismillahirrohmaanirrohim


Masalah ,292: ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI (KHULU’) DARI SUAMINYA

Dijawab oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

Tanya:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Assalamualaikum, mohon penjelasannya, alasan apa yg membolehkan seorg istri agar bs cerai dr suaminya ? Syukron

Jawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bismillah. Di dalam agama Islam, pada dasarnya seorang istri dilarang minta cerai (khulu’) dari suaminya kecuali jika didasari dengan alasan2 yg dibenarkan syariat Islam. Diantara alasan2 yg syar’i tsb adalah sbb: 

1. Suami murtad (keluar dr agama Islam n masuk ke agama lain).
2. Suami berbuat kekufuran atau kemusyrikan kpd Allah dengan berbagai macam n bentuknya. Dan telah ditegakkan hujjah atau disampaikan nasehat kepadanya agar bertaubat darinya tapi tidak mendengar n menerima.
3. Suami melarang n menghalangi istri utk melaksanakan kewajiban2 agama, spt kewajiban sholat 5 waktu, kewajiban zakat, memakai hijab syar’I yg menutupi auratnya, menuntut ilmu syar’I yg hukumnya fardhu ‘ain, dsb.
4. Suami memerintahkan n memaksa istri berbuat dosa n maksiat kpd Allah.
5. Suami Berakidah n bermanhaj sesat n menyesatkan dari agama Allah yg lurus n haq. Spt ia menganut paham Syi’ah, Ahmadiyah, ingkar sunnah, dsb.
6. Suami bersikap kasar n keras, serta tidak sayang kpd istri, n akhlaknya buruk.
7. Suami menolak n berpaling dari agama Islam, tidak mau mempelajarinya, n tidak taat n tunduk terhadap aturan2nya.
8. Suami tidak mampu memberikan nafkah wajib bagi istri, baik nafkah lahir maupun “bathin”. Atau suami tidak fertiL, sehingga tdk bisa memberikan keturunan.
9. Istri merasa benci n sdh tidak nyaman hidup brsama suaminya, bukan karena agama n akhlak suami yg baik, tapi karena khawatir tidak bisa memenuhi hak-haknya.
10. Dan alasan2 Lainnya yg syar’i.

Dengan adanya salah satu alasan dari alasan2 ini, maka sang istri boleh minta cerai (khulu’) dari suaminya. Tentunya hal ini dilakukan setelah memberikan nasehat kpdanya secara langsung maupun dengan minta bantuan orang lain yg dianggap mampu menasehatinya n menyingkap kerancuan n kesesatannya. N jg stlh mempertimbangkan antara sisi Maslahat (kebaikan) n mafsadat (kerusakan).

Adapun minta cerai tanpa alasan syar’i maka hukumnya haram n trmasuk dosa besar. Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عَنْ ثَوْبَانَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ “.

Dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wanita mana saja yg minta cerai (khulu’) dari suaminya tanpa alasan yg benar (syar’i) , maka diharamkan baginya mencium bau harum Surga.”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.2055. Dan dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani rahimahullah di dlm Shohih Sunan Ibnu Majah).

Demikian jawaban yg dpt kami sampaikan. Smg mudah dipahami n mnjdi tambahan ilmu yg bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab. Wabillahi at-Taufiq.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber :
http://abufawaz.wordpress.com/2013/02/13/alasan-alasan-syari-yang-membolehkan-seorang-istri-minta-cerai-dari-suaminya/
BlackBerry Majlis Hadits, chat room Tanya Jawab. PIN: 2987565B)

Jumat, 04 Juli 2014

Bismillahirrohmaanirrohim
Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.

Kisah-kisah Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam:

1. Kisah yang dibenarkan oleh Islam, maka hal tersebut adaah haq. Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayaAtkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami, pent.) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

2. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dista, maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

3. Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya, maka kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ (Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”

Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)

Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya.

Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

Sikap Ulama tentang Kisah-kisah Israiliyat

Para ulama terutama ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam menyikapi berita-berita israiliyat, mereka terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini dengan menyebutkan sanad-sanadnya dan berpandangan bahwa dengan menyebutkan sanad-sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Di antara mereka adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullaahu.

2. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah israiliyat dan kebanyakan tanpa menyertakan sanadnya, maka ibarat (mereka) adalah pencari kayu bakar di malam hari.[1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaahu berkomentar tentang kitab Tafsir Al-Baghawi rahimahullaahu: “Itu adalah ringkasan dari Tafsir Ats-Tsa’labi, hanya saja Al-Baghawi menjaga tafsirnya dari hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan pemikiran-pemikiran yang bid’ah.” Sedangkan Syaikhul Islam rahimahullâhu mengomentari tentang Tsa’labi bahwa dia adalah pencari kayu bakar di malam hari karena Tsa’labi menukilkan semua yang dia dapati dari kitab-kitab tafsir baik shahih, dha’if ataupun maudhu’.

3. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu dhaif atau mungkar. Contohnya Ibnu Katsir.

4. Di antara mereka ada yang berlebihan dalam menolak kisah-kisah israiliyat dan sama sekali tidak menyebutkan dalam kitab tafsir Al-Qur’an-nya. Contohnya Muhammad Rasyid Ridha.

Footnote:

[1] Ini bahasa kiasan yang sering dipakai ulama kita bagi seorang yang menempuh langkah atau bicara asal-asalan yang akan membahayakan dirinya, sebab malam gelap boleh jadi dia mengambil ular sedangkan dikiranya kayu bakar, wallahu a’lam, ed.

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaahu

(Dinukil dari أصول في التفسير karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, Lc., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 89-92, untuk http://almuslimah.co.nr)
==============================
Sumber :http://almuslimah.wordpress.com/

Rabu, 02 Juli 2014

Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Taraweh

Bismillahirrohmaanirrohim
Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Taraweh
Berapa jumlah rakaat shalat taraweh, Fatwa Syeikh Ali JumahSalah satu ibadah yang di tuntut dalam bulan Ramadhan adalah shalat taraweh yang setiap tahunnya selalu terjadi polemik tentang shalat taraweh berkenaan dengan jumlah rakaatnya, antara pihak yang mengatakan shalat taraweh adalah 8 rakaat dengan pihak yang mengatakan bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat.
Pada tulisan sebelumnya kami telah memaparkan dalil tentang jumlah rakaat taraweh. Kali ini kami akan mengutip fatwa Syeikh Ali Jumah (mantan mufti Mesir dan merupakan seorang ulama besar zaman ini, lahir tahun 1952) tentang jumlah rakaat shalat teraweh dari kitab beliau al-Bayan li ma Yasyghulu al-azhan jilid 1 tepatnya pada pertanyaan ke 62 pada halaman 186 – 190. Kami mengutip setiap paragraf dengan di iringi terjemahannya. File kitab tersebut bisa di download disini dalam format pdf. Untuk jilid duanya bisa di download disini

Berikut penjelasan Syeikh Ali Jumah beserta terjemahannya:
س 62 يختلف الناس فى شهر رمضان المبارك بشأن مسألة صلاة التراوح فما هو الحكم الصحيح فى عدد ركعاتها ؟

soal ke 62:
Manusia berselisih paham dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah tentang shalat taraweh, berapa sebenarnya pendapat yang shahih tentang jumlah rakaatnya?

الجواب
نعيش النزاع السنوى فى شهر رمضان المبارك بين المتشددين الذين يريدون حمل الناس على مذهبهم والعوام الذين لا يجدوا من ينقذهم من هؤلاء . وسبب هذا الخلاف مسألة عدد ركعات صلاة التراويح فاصحاب الصوت العالى يخطئون الأئمة والامة بأسرها على مدى القرون الماضية وينكرون عليهم ايما انكار ويتهمونهم بالإبتداع ويحرمون ما أحل الله إذ قالوا لا يجوز الزيادة عن ثمان ركعات فى صلاة التراويح

jawab:
Kita menghidupkan perdebatan tahunan dalam bulan Ramdhan antara golongan garis keras yang berencana menarik manusia ke dalam mazhab mereka dan masyarakat awam yang tidak menemukan penolong dari (kesesatan) mereka. Sebab perbedaan ini adalah masalah jumlah rakaat shalat taraweh. Golongan yang bersuara tinggi (radikal) menyalahkan para ulama (ulama empat mazhab) dan sekalian umat sepanjang masa yang telah lalu. Mereka mengingkari para ulama dengan pengingkaran yang kuat dan menuduh mereka sebagai ahli bid’ah, mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan ketika mereka berkata "tidak boleh shalat lebih dari delapan rakaat pada shalat teraweh".

والتراويح فى اللغة جمع الترويحة يقول ابن منظور الترويحة فى شهر رمضان سميت بذلك لاستراحة القوم بعد كل أربع ركعات وفي الحديث صلاة التراويح لأنهم كانوا يستريحون بين كل تسليمتين والتراويح جمع ترويحة وهي المرة الواحدة من الراحة تفعيلة منها مثل تسليمة من السلام

Taraweh pada loghat adalah jamak dari tarwihah . Ibnu Manzur berkata "Tarwihah dalam bulan Ramdhan, di namakan dengan demikian (taraweh) karena para jamaah beristirahat setelah setiap empat rakaat. Dalam hadits : shalat taraweh, karena mereka beristirahat di antara setiap dua salam, kata taraweh adalah jamak tarwihah. Tarwihah merupakan satu kali istirahat, wazan taf’ilah dari kalimat raahah, sama dengan taslimah dari kata salaam".

وبمجرد التعريف اللغوى يتبين أن صلاة التراويح أكثر من ثمان ركعات لأن الترويحة الواحدة بعد أربع ركعات فلو كانت ترويحتين للزم أن يكون عدد الركعات إثنى عشر ركعة والحق أن الأمة أجمعت على أن صلاة التراويح عشرون ركعة من غير وتر وثلاث عشرون ركعة بالوتر وهو معتمد المذهب الفقهية الأربعة الحنفية والمالكية فى المشهور والشافعية والحنابلة . وهناك قول نقل عن المالكية خلاف المشهور انها ست وثلاثون ركعة ولم تعرف الأمة القول بأن صلاة التراويح ثمان ركعات إلا فى هذا الزمان. وسبب وقوعهم فى تلك المخالفة افهم الخظأ للسنة النبوية وعد قدرتهم على الجمع بين الأحاديث وعد إلتفات إلى الإجماع القولى والفعلى من لدن الصحابة إلى يومنا هذا فاستشهدوا بحديث عائشة رضي الله عنها حيث قال ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهنن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر ؟ فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي

Dengan semata-mata defenisi secara harfiyah nyatalah bahwa shalat taraweh jumlah rakaatnya melebihi delapan rakaat, karena sekali istirahat adalah setelah empat rakaat, maka jikalau shalat taraweh itu dua kali istirahat maka maka lazimlah bahwa jumlah rakaat shalat taraweh adalah dua belas rakaat, sedangkan yang haq bahwa para umat (ulama) telah sepakat (ijmak) bahwa shalat teraweh adalah dua puluh rakaat tanpa witir dan dua puluh tiga dengan witir. Ini merupakan pegangan empat Mazhab Fiqih; Mazhab Hanafi, Mazhab Maliky, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Selain itu ada pendapat yang di naqal dari ulama Mazhab Maliky berebeda dengan yang masyhur bahwa jumlah rakaat taraweh adalah tiga puluh enam rakaat. Umat Islam tidak mengenal pendapat bahwa shalat teraweh delapan rakaat kecuali pada zaman ini. Penyebab mereka bisa terjatuh dalam perbedaan tersebut adalah karena kesalahan dalam memahami sunah Nabi, dan tidak mampu mengkompromikan hadits-hadits dan tidak melihat kepada ijmak qauly, ijmak fi’ly semenjak masa para shahabat hingga hari ini. sehingga mereka mengambil dalil dari hadits Siti Aisyah : “Tidaklah Rasulullah SAW melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan selainnya dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat rakaat maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Siti Aisyah berkata “Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir, beliau menjawab, Ya Aisyah, sesungguhnya mata saya tidur namun hati saya tidak tidur:

هذا الحديث يحكى عن هدى النبى صلى الله عليه وسلم فى نافلة قيام الليل عموما ولم يتعرض إلى صلاة التراويح إذ هى قيام مخصوص بشهر رمضان وهى سنة نبوية فى أصلها عمرية فى كيفيتها بمعنى أن الأمة صارت على ما سنه سيدنا عمر رضي الله عنه من تجميع الناس على القيام فى رمضان فى جميع الليالى وعلى عدد الركعات التى جمع الناس عليها على ابى بن كعب رضي الله عنه والنبي يقول عليكم بسنى وسنة الخقاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ

Hadits ini menceritakan petunjuk Nabi SAW tentang shalat malam secara umum, dan beliau tidak menunjuki kepada shalat taraweh, karena shalat taraweh adalah shalat malam yang khusus di bulan Ramadhan, shalat taraweh adalah sunnnah Nabawiyah pada landasan dasarnya yang landasan kaifiyatnya adalah hadits Saidina Umar, maksudnya; umat berpendapat sebagaimana sunnah Saidina Umar ra berupa menghimpunkan manusia dalam mendirikan Ramadhan di malam hari dan dengan jumlah rakaat yang beliau perintahkan ketika menghimpunkan manusia dengan (imam Shalat) Ubai bin Ka’ab, sedangkan Nabi bersabda "peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpetunjuk, gigitlah sunnah mereka dengan geraham". 

إن لم يكن مستند الأمة فعل سيدنا عمر رصي الله عنه فلم تؤدى التراويح فى جماعة فى المسجد على إمام واحد وكأن هؤلاء يأخذون من سنة سيدنا عمر جمع الناس على إمام طوال الشهر وهو ما لم يفعله النبي ويتركون عدد ركعات ويزعمون أنهم يطبقون سنة صلى الله عليه وسلم فان كان هذا صحيحا وأنتم لا تلتفتون لفعل سيدنا عمر رضي الله عنه فيجب عليكم أت تصلوا التراويح فى البيت وتتركوا الناس يطبقون دين الله كما ورثواه ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Jika bukan sandaran umat adalah perbuatan Saidina Umar maka kenapa shalat taraweh di kerjakan secara berjamaah dengan satu imam. Mereka (kaum pengingkar jumlah shalat taraweh 20 rakaat) mengambil sunnah Saidina Umar yang mengumpulkan manusia dalam satu Imam sepanjang bulan, padahal hal ini tidak pernah di kerjakan oleh Nabi SAW, dan mereka meninggalkan jumlah rakaat (yang di kerjakan Saidina Umar) dan mereka mendakwakan diri mereka yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW, maka jika ini benar, dan kamu tidak mau melihat kepada perbuatan Saidina Umar maka wajiblah atas kamu untuk shalat taraweh di dalam rumah dan meninggalkan manusia yang sesuai dengan agama Allah sebagaimana mereka warisi. La haula wala quwwata illa billah al-'adhiim.

والادلة على أن ذلك فعل عمر رضي الله عنه ما رواه عبد الرحمن بن عبد القارى أنه قال خرجت مع عمر بن خطاب رضي الله عنه ليلة فى رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلى الرجل لنفسه ويصلى الرجل فيصلى بصلاته الرهط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب قال ثم خرجت معه ليلة ً أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر بن الخطاب نعمت البدعة هذه والتي تنامون عنها أفضل من التي تقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

Dalil bahwa hal tersebut adalah perbuatan Saidina Umar adalah hadits yang di riwayatkan oleh Abdur Rahman bin Abdul Qary, beliau berkata "saya keluar bersama Umar bin Khatab pada satu malam dalam bulan Ramadhan ke mesjid, ketika itu manusia berada dalam beberapa kelompok yang terpisah-pisah, seseorang shalat untuk dirinya sendiri, dan seseorang (yang lain juga) shalat, kemudian shalat dengan shalatnya satu kelompok (mengikutinya sebagai imam). Maka Saidina Umar berkata "saya berpendapat jikalau mereka di satukan dalam saru qari (imam) sungguh akan lebih baik". Kemudian beliau bersungguh-sungguh dan menghimpunkan mereka atas (imam) Ubay bin Ka’ab, kemudian saya keluar pada malam yang lain, sedangkan manusia shalat dengan satu qari (imam) mereka. Saidina Umar berkata "sebaik-baik bid’ah adalah ini, shalat yang mereka tidur darinya lebih baik dari (shalat) yang mereka dirikan", maksud beliau adalah (shalat yang di kerjakan) pada akhir malam, sedangkan manusia mengerjakannya pada awal malam".

وأن تلك الصلاة التى جمع عمر رضي الله عنه الناس عليها هى التراويح وهى عشرون ركعة دل على ذلك عدة أحاديث منها ما رواه السائب بن يزيد رضي الله عنه حيث قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة - قال - وكانوا يقرءون بالمئين ، وكانوا يتوكئون على عصيهم فى عهد عثمان بن عفان رضى الله عنه من شدة القيام

Dan sesungguhnya shalat yang oleh Saidina Umar satukan manusia atas seorang Imam adalah shalat tarawih yaitu dua puluh rakaat, sebagaimana di tunjuki oleh beberapa hadits, antara lain; hadits riwayat Saib bin Yazid beliau berkata “mereka mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dalam bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. Beliau berkata “mereka membaca dua ratus (ayat) dan bertekan kepada tongkat mereka pada masa Saidina Usman karena beratnya berdiri (karena panjang bacaannya

وعن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون فى زمان عمر بن الخطاب فى رمضان بثلاث وعشرين ركعة

Diriwayatkan dari Yazid bin Ruman beliau berkata “adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.

واتفقت المذاهب الفقهية الاربعة على ذلك فذهب الحنفية إلى ذلك قال السرخسى عن التراويح انها عشرون ركعة سوى الوترعندنا وقال مالك رحمه الله تعالى السنة فيها ستة وثلاثون . وذكر الكسانى ما يؤكد ذلك حيث قال وأما قدرها فعشرون ركعة في عشر تسليمات، في خمس ترويحات كل تسليمتين ترويحة وهذا قول عامة العلماء

Mazhab yang empat sepakat atas demikian (dua puluh rakaat). Mazhab Hanafi berpendapat demikian. Imam Sarkhasy berkata tentang shalat taraweh, shalat taraweh adalah dua puluh rakaat selain witir dalam mazhab kita (Mazhab Hanafi), Imam Malik berkata yang sunnah dalam bulan Ramadhan adalah tiga puluh enam rakaat, al-Kasa`i (ulama Mazhab Hanafi) menyebutkan hal yang menguatkan hal demikian. Beliau berkata adapun kadar (rakaat)nya adalah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam dalam lima kali istirahat. setiap dua kali salam satu kali istirahat, ini adalah pendapat umum ulama”. 

ويعضد ضلك ما نقله العلامة ابن عابدين فى حاشيته حيث قال قوله ( وهي عشرون ركعة ) هو قول الجمهور وعليه عمل الناس شرقا وغربا

Hal tersebut di kuatkan dengan kutipan Imam Ibnu Abidin dalam kita Hasyiah beliau, beliau berkata “shalat taraweh adalah dua puluh rakaat, ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan yang di amalkan manusia (umat Islam) di Timur dan Barat. 

وأما المالكية فالمشهور من مذهبهم ما يوافق الجمهور قال العلامة الدردير ( والتراويح ) برمضان ( وهي عشرون ركعة ) بعد صلاة العشاء يسلم من كل ركعتين غير الشفع والوتر ( و ) ندب ( الختم فيها ) أي التراويح ، بأن يقرأ كل ليلة جزءا يفرقه على العشرين ركعة

Adapun Mazhab Maliki, yang masyhur dalam mazhab mereka adalah sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Imam ad-Dardiry berkata “Shalat taraweh di bulan Ramadhan adalah dua puluh rakaat setelah shalat Isya, memberi salam dari setiap dua rakaat selain yang ganjil dan witir. dan di sunahkan menkhatamkan al-quran dalam shalat taraweh, dengan cara membaca al-quran setiap malam satu juz yang di bagi dalam dua puluh rakaat. 

وذكر العلامة النفراوى قوة مذهب الجمهور وموافقة أتباع مالك له والقول الآخر لمالك فقال (وكان السلف الصالح) وهم الصحابة رضي الله تعالى عنهم (يقومون فيه) في زمن خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه وبأمره كما تقدم (في المساجد بعشرين ركعة) وهو اختيار أبي حنيفة والشافعي وأحمد، والعمل عليه الآن في سائر الأمصار. (ثم) بعد صلاة العشرين (يوترون بثلاث) من باب تغليب الأشرف لا أن الثلاث وتر؛ لأن الوتر ركعة واحدة كما مر، ويدل على ذلك قوله: (ويفصلون بين الشفع والوتر بسلام) استحبابا ويكره الوصل إلا لاقتداء بواصل، وقال أبو حنيفة: لا يفصل بينهما، وخير الشافعي بين الفصل والوصل، واستمر عمل الناس على الثلاثة والعشرين شرقا وغربا. (ثم) بعد وقعة الحرة بالمدينة (صلوا) أي السلف غير الذين تقدموا؛ لأن المراد بهم هنا من كان في زمن عمر بن عبد العزيز (بعد ذلك) العدد الذي كان في زمن عمر بن الخطاب (ستا وثلاثين ركعة غير الشفع والوتر) ... – إلى أن قال - وهذا اختاره مالك في المدونة واستحسنه وعليه عمل أهل المدينة، ورجح بعض أتباعه الأول الذي جمع عمر بن الخطاب الناس عليها لاستمرار العمل في جميع الأمصار عليه

Al-Allamah an-Nafrawi menyebutkan kuatnya pendapatnya mayoritas ulama dan pengikut Mazhab Malik menyetujuinya, demikian juga pendapat akhir dari Imam Malik. Beliau berkata : dan adalah ulama salaf yang shaleh yaitu para shahabat mendirikan shalat dalam bulan Ramadhan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab dan dengan perintah beliau dalam mesjid dengan dua puluh rakaat, ini adalah yang di pilih oleh Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad, inilah yang di amalkan pada masa sekarang di seluruh Negri. Kemudian setelah dua puluh rakaat, mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. (penamaan shalat tersebut dengan witir) adalah secara taghlib kepada yang lebih mulia (ganjil lebih mulia daripada genap), bukan karena tiga itu ganjil, karena yang ganjil adalah satu rakaat sebagaimana (penjelasan) yang telah lalu. Hal ini juga di tunjuki oleh perkataan beliau ; dan mereka memisahkan antara shalat genap dan ganjil dengan salam yang sunat, dan di makruhkan menyambungnya kecuali karena mengikuti imam yang juga mengambungnya (antara dua rakaat witir dan satu rakaat). Abu Hanifah berkata “tidak boleh di pisahkan di antara keduanya”. Imam Syafii memberikan pilihan antara memisahkan dan menyambungnya. Amalan kaum muslimin terus menerus dengan 23 rakaat baik di timur dan di barat. Kemudian setelah peperangan harrah di Madinah, para ulama salaf yang lain – karena yang di maksudkan dengan mereka disini adalah para ulama yang ada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz – setelah jumlah bilangan yang ada pada masa Saidina Umar (20 rakaat) shalat dengan 36 rakaat selain genap dan ganjil (shalat witir 3 rakaat) – hingga akhir perkataan beliau – ini adalah pendapat yang di pilih oleh Imam Malik dalam kitab al-Mudawwanah, dan beliau menganggapnya baik dan ini adalah yang di amalkan oleh ahli Madinah. Sebagian pengikut Imam Malik lebih menguatkan yang pertama (20 rakaat) sebagaimana Saidina Umar menyatukan manusia atasnya karena berkekalan amalan (umat Islam) atasnya pada sekalian kota.

وأما الشافعية فيصرحون بأن التراويح عشرون ركعة ذكر الامام النواوى ذلك فقال : مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذلك خمس ترويحات والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأحمد وداود وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكى أن الاسود بن مزيد كان يقوم بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهى ستة وثلاثون ركعة غير الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا

Adapun ulama Mazhab Syafii, mereka menyebutkan secara jelas bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat, Imam Nawawi menyebutkan hal demikian. beliau berkata “menurut mazhab kita shalat taraweh adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam selain witir, demikian adalah lima kali istirahat, satu kali istirahat adalah empat rakaat dengan dua kali salam. Ini adalah mazhab kita dan juga pendapat Abu Hanifah dan pengikut beliau, Imam Ahmad, Daud ad-Dhahiry, dan imam ainnya. Dan juga di kutip oleh Qadhi Iyadh dari mayoritas ulama. Di hikayahkan bahwa al-Aswad bin Mazid mendirikan shalat 40 rakaat dan melakukan witir dengan tujuh rakaat. Imam Malik berkata, shalat taraweh itu adalah tujuh kali istirahat yaitu tiga puluh enam rakaat selain witir, beliau berhujjah bahwa ahli Madinah melakukannya demikian”.

ويجمع الشافعية بين مذهب المالكية ومذهب الجمهور حيث عللوا زيادة الركعات عند الامام مالك بأن ذلك لتعويض الطواف فى المسجد الحرام . قال ابن حجر : وهي عندنا لغير أهل المدينة عشرون ركعة كما أطبقوا عليها في زمن عمر - رضي الله عنه - لما اقتضى نظره السديد جمع الناس على إمام واحد فوافقوه وكانوا يوترون عقبها بثلاث، وسر العشرين أن الرواتب المؤكدة غير رمضان عشر فضوعفت فيه؛ لأنه وقت جد وتشمير، ولهم فقط لشرفهم بجواره - صلى الله عليه وسلم - ست وثلاثون جبرا لهم بزيادة ستة عشر في مقابلة طواف أهل مكة أربعة أسباع بين كل ترويحة من العشرين سبع

Para ulama Mazhab Syafii menyatukan pendapat Mazhab Maliki dan Mazhab mayoritas ulama ketika mereka (ulama Mazhab Syafii) memberikan alasan penambahan rakaat (hingga 36 rakaat) menurut Imam Malik, hal tersebut merupakan sebagai ganti dari thawaf yang di lakukan di Masjid Haram. Ibnu Hajar al-Haitami berkata “shalat taraweh menurut kita (mazhab Syafii) selain ahli Madinah adalah 20 rakaat sebagaimana telah di sepakati pada masa Saidina Umar, karena sesuai dengan pandangan beliau yang tepat yang menyatukan manusia atas satu imam shalat kemudian mereka (shahabat yang lain) menyetujuinya. mereka melakukan shalat witir setelah taraweh dengan tiga rakaat. Rahasia shalat taraweh 20 rakaat adalah shalat rawatib muakkad dalam bulan lain adalah 10 rakaat maka dalam bulan Ramdhan di gandakan (menjadi 20 rakaat) karena Ramdhan adalah waktu bersunguh-sungguh (dalam beribadah). Dan hanya bagi mereka (penduduk Madinah) – karena kemulian mereka dengan sebab berhampiran dengan Rasulullah SAW – boleh menambahkan 16 rakaat (jumlah semuanya 36) sebagai ganti thawaf penduduk kota Makkah empat kali di antara setiap istirahat dari 20 rakaat sebanyak 7 kali. 

ويؤكد ذلك ما ذكره العلامة شمس الدين محمد الرملى حيث قال : وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات في كل ليلة من رمضان، لما روي أنهم كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب في شهر رمضان بعشرين ركعة. وفي رواية لمالك في الموطأ بثلاث وعشرين. وجمع البيهقي بينهما بأنهم كانوا يوترون بثلاث، وقد جمع الناس على قيام شهر رمضان الرجال على أبي بن كعب، والنساء على سليمان بن أبي حثمة، وقد انقطع الناس عن فعلها جماعة في المسجد إلى ذلك، وسميت كل أربع منها ترويحة؛ لأنهم كانوا يتروحون عقبها: أي يستريحون

hal tersebut juga di kuatkan oleh penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad Ramli, beliau berkata “shalat taraweh adalah 20 rakaat dengan 10 kali salam pada tiap malam dalam bulan Ramadhan, karena berdasarkan hadits yang di riwayatkan bahwa kaum muslimin mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab dengan 20 rakaat. Dalam riwayat Imam Malik dalam kitab al-Muwatha` dengan 23 rakaat, Imam Baihaqy menyatukan keduanya bahwa mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. Saidina Umar bin Khatab menyatukan manusia dalam mendirikan bulan Ramadhan, kaum laki-laki di imami oleh Ubai bin Ka’ab sedangkan wanita dengan imam Sulaiman bin Abin Hatsnah. Dan padahal sunguh terputuslah manusia dalam melakukan shalat taraweh secara berjamaah hingga masa itu. Dan di namakan setiap empat rakaat dengan satu tarwihah karena mereka beristirahat setelahnya.

اما الحنابلة فقد صرحوا بأن المختار عند الامام أحمد عشرون ركعة فقال العلامة ابن قدامة المقدسى : والمختار عند أبي عبد الله رحمه الله فيها عشرون ركعة وبهذا قال الثوري و أبو حنيفة و الشافعي وقال مالك : ستة وثلاثون وزعم أنه الأمر القديم وتعلق بفعل أهل المدينة فإن صالحا مولى التوأمة قال : أدركت الناس يقومون بإحدى وأربعين ركعة يوترون منها بخمس

Adapun ulama Mazhab Hanbali, mereka menerangkan bahwa yang di pilih di sisi Imam Ahmad adalah dua puluh rakaat, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy berkata "yang di pilih di sisi Abu Abdillah (Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat, ini juga pendapat Imam Sufyan Tsaury, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii. Imam Malik mengatakan 36 rakaat. Ada yang mendakwakan bahwa hal tersebut adalah pendapat beliau yang qadim (terdahulu) dan berdasarkan amalan ahli Madinah. Karena Salih maula at-Tau-amah berkata, saya dapati manusia mendirikan shalat 41 rakaat dan witir darinya sebanyak 5 rakaat".

وينقل كذلك العلامة البهوتى معتمد المذهب الحنبلى فيقول عن التراويح : سميت بذلك لأنهم كانوا يجلسون بين كل أربع يستريحون وقيل مشتقة من المراوحة وهي التكرار في الفعل وهي ( عشرون ركعة في رمضان ) لما روى مالك عن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون في زمن عمر في رمضان بثلاث وعشرين

Hal serupa juga di kutip oleh Imam al-Bahuty yang menjadi pegangan ulama Mazhab Hanbaly, beliau berkata tentang shalat taraweh, di namakan shalat taraweh dengan demikian karena mereka duduk melakukan istirahat di antara setiap empat rakaat. Ada yang mengatakan bahwa (kata tarawih) di musytaq dari kata murawahah yang artinya berulang-ulang dalam berbuat. shalat taraweh adalah 20 rakaat berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Imam Malik dari Yazid bin Rauman beliau berkata, adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dengan 23 rakaat. 

حتى ابن تيمية الذى يعتمد عليه كثير من المتشددين يؤكد ما ذهب إليه الأئمة ويقر بأنه السنة عند كثير من العلماء فقال : شبه ذلك من بعض الوجوه تنازع العلماء في مقدار القيام في رمضان، فإنه قد ثبت أن أبي بن كعب كان يقوم بالناس عشرين ركعة في قيام رمضان، ويوتر بثلاث. فرأى كثير من العلماء أن ذلك هو السنة ؛ لأنه أقامه بين المهاجرين والأنصار، ولم ينكره منكر. واستحب آخرون: تسعة وثلاثين ركعة ؛ بني على أنه عمل أهل المدينة القديم. وقال طائفة: قد ثبت في الصحيح عن عائشة {أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة}. واضطرب قوم في هذا الأصل، لما ظنوه من معارضة الحديث الصحيح لما ثبت من سنة الخلفاء الراشدين، وعمل المسلمين. والصواب أن ذلك جميعه حسن

Bahkan, Ibnu Taimiyah sendiri yang merupakan pegangan mayoritas kaum radikal menguatkan pendapat para aimmah dan beliau mengakui bahwa hal tersebut adalah sunnah menurut kebanyakan ulama. Beliau berkata “serupa demikian dari beberapa segi oleh perdebat sebagian ulama tentang kadar (rakaat) mendirikan malam ramadhan, karena sungguh tetaplah bahwa Ubay bin Ka’ab berdiri dengan manusia dengan 20 rakaat dalam mendirikan malam Ramadhan dan melakukan witir 3 rakaat. Maka mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang demikianlah yang sunnah. Karena shalat tersebut didirikan di antara kaum muhajin dan Anshar dan tidak ada shahabat yang mengingkarinya. pendapat yang lain mengatakan sunat 39 rakaat berdasarkan amalan ahli Madinah yang qadim. Beliau berkata “sungguh telah tetaplah dalam hadits yang shahih dari Siti Aisyah bahwa Nabi tidak melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan lainnya dari 23 rakaat”. berbeda-bedalah pendapat ulama tentang dalil ini, karena mereka menyangka adanya kontradiksi antara hadits shahih dengan hal yang tetap dengan sunnah khulaur rasyidin dan amalan kaum muslimin. Yang benar adalah semua adalah hasan.

ومما سبق نرى أن ما عليه الأئمة والعلماء والمذاهب الفقهية على مر العصور سلفا وخلفا شرقا وغربا أن صلاة التراويح عشرين ركعة وهى سنة مؤكدة وليست واجبة فمن تركها حرم أجرا عظيما ومن زاد عليها فلا حرج عليه ومن نقص عنها لا حرج عليه إلا أن ذلك يعد قيام ليل وليس سنة التراويح المذكورة . وااله تعالى أعلى وأعلم

Dari penjelasan terdahulu, bisa kita lihat bahwa pendapat yang akui oleh para aimmah dan ulama dan mazhab fiqh dari semenjak lalu sepanjang masa baik ulama salaf, khalaf, baik di timur dan barat bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat dan sunat muakkad bukan wajib. Maka barang siapa meninggalkannya maka ia terlarang baginya pahala yang besar, dan barang siapa menambahkannya tiada dosa atasnya dan barang siapa yang menguranginya juga tiada dosa baginya tetapi shalatnya tersebut di namakan qiyam lail dan bukan sunah taraweh yang telah di sebutkan. Wallahu A’lam bish shawab.

Maka dari uraian di atas dapat di pahami bahwa para ulama ijmak bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat, sedangkan 8 rakaat bukanlah shalat taraweh, pendapat bahwa shalat taraweh adalah 8 rakaat adalah pendapat yang muncul di akhir zaman dan tidak di kenal pada zaman para mujtahid yang empat.
--------------------------------------------------
Sumber :http://lbm.mudimesra.com/

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...