Tampilkan postingan dengan label FIQIH... Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FIQIH... Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Oktober 2014

Dalil Merayakan Maulid nabi Muhammad saw

Bismillahirrohmaanirrohim

hukum merayakan Maulid nabi muhammadKarena ada pertanyaan tentang dalil perayaan maulid Nabi saw, maka kami sebutkan beberapa dalil yang disebutkan oleh para ulama tentang perayaan maulid adalah:

1. Merayakan maulid termasuk dalam membesarkan kelahiran para Nabi. Hal yang berkenaan dengan kelahiran Nabi merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang lebih, sebagaimana halnya tempat kelahiran para nabi.

Dalam Al quran sendiri juga disebutkan doa sejahtera pada hari kelahiran para Nabi seperti kata Nabi Isa dalam firman Allah surat Maryam ayat 33:
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ
“dan kesejahteraan atasku pada hari kelahirannku”.

Maka Rasulullah juga lebih berhak untuk mendapatkan doa sejatera pada hari kelahiran beliau.

Dalam Al Quran, Allah juga tersebut perintah untuk mengingat hari-hari bersejarah, hari dimana Allah menurunkan nikmat yang besar pada hari tersebut, seperti dalam firman Allah surat Ibrahim ayat 5:

وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

“dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah, Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”

Dan juga dalam surat Al Jatsiyah ayat 14:

قُلْ لِلَّذِينَ آمَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لا يَرْجُونَ أَيَّامَ اللَّهِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah”

Dalam ayat tersebut Allah menyuruh untuk mengingat hari-hari Allah, secara dhahir hari yang dimaksud adalah hari kesabaran dan penuh syukur dan yang diharapkan dari hari tersebut adalah barakah yang Allah ciptakan pada hari tersebut, karena hari hanyalah satu makhluk Allah yang tidak mampu memberi manfaat dan mudharat.

Dalam surat Yunus ayat 58:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk senang dengan nikmat Allah. Maka tiada rahmat dan nikmat yang lebih besar dari pada kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beliau sendiri mengatakan:
أنا الرحمة المهداة

Kisah lain yang menunjuki bahwa dituntut untuk memperingati hari bersejarah adalah kisah Nabi SAW berpuasa pada hari Asyura. Ketika Nabi masuk kota Madinah, beliau mendapati yahudi Madinah berpuasa pada hari Asyura. Ketika mereka ditanyakan tentang hal tersebut mereka menjawab “bahwa pada hari tersebut Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Bani Israil atas firaun, maka kami berpuasa untuk mengangagungkannya” Rasulullah berkata “kami lebih berhak dengan Musa dari pada kamu” kemudian beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari Asyura.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalany menjadikan hadis ini sebagai dalil untuk kebolehan merayakan maulid Nabi.

2. Kisah Suwaibah Aslamiyah yang dimerdekakan oleh Abu Lahab karena kegembiraannya terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setahun setelah Abu lahab meninggal, salah satu saudaraya yang juga merupakan paman Rasulullah, Saidina Abbas bin Abdul Muthallib bermimpi bertemu dengannya dan menanyakan bagaimana keadaan Abu Lahab, ia menjawab “bahwa tidak mendapat kebaikan setelahnya tetapi ia mendapat minuman dari bawah ibu jarinya pada setiap hari senin karena ia memerdekakan Suwaibah Aslamiyah ketika mendengar kabar gembira kelahiran Nabi Muhammad”. Hadis ini tersebut dalam Shaheh Bukhary dengan nomor 4711. kisah ini juga disebutkan oleh Ibnu Kastir dalam kitab beliau Al Bidayah An Nihayah jilid 2 hal 273.

Ini adalah balasan yang Allah berikan terhadap orang yang menjadi musuhNya dan mendapat celaan dalam Al Quran. Apalagi terhadap orang-orang mukmin yang senang terhadap kelahiran baginda Rasulullah SAW.

3. Rasulullah sendiri pernah merayakan hari kelahiran beliau sendiri yaitu dengan berpuasa pada hari senin. Ketika ditanyakan oleh para shahabat beliau menjawab:
فيه ولدت وفيه أُنزل عليَّ
“itu adalah hari kelahiranku dan hari diturunkan wahyu atasku”.(H.R. Muslim)

Hadis ini tersebut dalam kitab Shaheh Muslim jilid 2 hal 819. Hadis ini menjadi landasan yang kuat untuk pelaksanaan maulid walaupun dengan cara yang berbeda bukan dengan berpuasa seperti Rasululah melainkan dengan memyediakan makanan dan berzikir dan bershalawat, namun ada titik temunya yaitu mensyukuri kelahiran Rasulullah saw. Imam As Sayuthy menjadikan hadis ini sebagai landasan dibolehkan melaksanakn maulid Nabi.

4. Rasulullah pernah menyembelih hewan untuk aqiqah untuk beliau sendiri setelah menjadi nabi. Sebelumnya, kakek rasulullah, Abdul Muthalib telah melakukan aqiqah untuk Rasulullah. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqy dari Anas bin Malik. Aqiqah tidak dilakukan untuk kedua kalinya maka perbuatan Rasulullah menyembelih hewan tersebut dimaksudkan sebagai memperlihatkan rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan yaitu penciptaan beliau yang merupakan rahmat bagi seluruh alam dan sebagai penjelasan syariat kepada umat beliau. Hadis ini oleh Imam As Sayuthy dijadikan sebagai landasan lain dalam perayaan maulid Nabi. Maka juga disyariatkan bagi kita untuk memperlihatkan kesenangan dengan kelahiran Rasulullah yang boleh saja kita lakukan dengan membuat jamuan makanan dan berkumpul berzikir dan bershalawat.

5. Rasulullah memuliakan hari jumat karena hari tersebut adalah hari kelahiran Nabi Adam AS. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh An Nasai dan Abu Daud
إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فيه خلق آدم وفيه قبض وفيه النفخة وفيه الصعقة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي
“bahwasanya sebagian hari yang terbaik bagi kamu adalah hari jum`at,pada hari tersebut di ciptakan Nabi Adam, wafatnya dan pada hari tersebut ditiupnya sangkakala, maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari juma`at, karena shalawat kamu didatangkan kepada ku ” (H.R. Abu Daud)

Rasulullah telah memuliakan hari jum`at karena pada hari tersebut Allah menciptakan bapak dari seluruh manusia, Nabi Adam. Maka hal ini juga dapat diqiyaskan kepada merayakan kelahiran Nabi Muhammad.

6. Allah ta`ala menyebutkan kisah-kisah para anbiya didalam Al-quran seperti kisah kelahiran Nabi Yahya, siti Maryam dan Nabi Musa AS. Allah menyebutkan kisah-kisah kelahiran para Nabi tersebut untuk menjadi peneguh hati Rasulullah saw sebagaimana firman Allah surat Hud ayat 120:
وَكُلّاً نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu”

Nah, apabila membacakan kisah para Nabi terdahulu dapat meneguhkan hati Rasulullah maka membacakan kisah kehidupan Rasulullah sebagaimana dilakukan ketika memperingati maulid juga mampu meneguhkan hati kita, bahkan kita lebih membutuhkan peneguh hati ketimbang Rasulullah.

7. Maulid merupakan satu wasilah/perantara untuk berbuat kebaikan dan taat. Dalam perayaan maulid Nabi, dilakukan berbagai macam amalan kebaikan berupa bersadaqah, berzikir, bershalawat dan membaca kisah perjuangan Rasulullah dan para Shahabat. Semua ini merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Semua hal yang perantara bagi perbuatan taat maka hal tersebut juga termasuk taat.

8. Firman Allah dalam surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk senang terhadap semua karunia dan rahmat Allah, termasuk salah satu rahmaNya yang sangat besar adalah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dalam firman Allah surat Al Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Bahkan sebagian ahli tafsir mengatakan kalimat rahmat pada surat Yunus ayat 58 dimaksudkan kepada Nabi Muhammad dengan menjadikan surat Al Anbiya ayat 107 sebagai penafsirnya, sebagaimana terdapat dalam tafsir Durar Al Manstur karangan Imam As Sayuthy, tafsir Al Alusty fi Ruh Al Ma`any dan tafsir Ibnul Jauzy.

Jadi dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk terhadap datangnya Rasulullah SAW, kesenangan tersebut dapat diungkapkan dengan berbagai macam cara baik menyediakan makanan kepada orang lain, bersadaqah, berkumpul sambil berzikir dan bershalawat dll.

9. Perayaan maulid bukanlah satu ibadah tauqifiyah sehingga tatacara pelaksaannya hanya dibolehkan sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi, tapi maulid merupakan satu qurbah (pendekatan kepada Allah) yang boleh. Dikarenakan dalam pelaksanaan maulid mengandung hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah maka maulid itu termasuk dalam satu qurbah.

Referensi:
Imam Jalaluddin As Sayuthy, Hawi Lil Fatawy
Prof.Sayyid Muhammad Alawy Al Hasany, Haul Ihtifal bi Maulid An Nabi Syarif
Habib Ali bin Muhammad Al Hadramy, Tahqiqul Bid`ah
DR. Adullah Kamil, Kalimat Hadiah fi Ihtifal bi Maulidin Nabawy
sumber: http://abu.mudimesra.com

selanjutnya ada satu pertanyaan:
Apakah para imam mazhab, seperti imam Hanafi, Maliki, syafi'i dan Hambali pernah merayakan hari kelahiran nabi?
Jawab.......
1. tidaklah terpaham bahwa setiap perbuatan yg ditinggalkan oleh para Imam Mujtahid yg 4 maka perbuatan tersebut adalah haram, bahkan perbuatan yang ditinggalkan Nabi sendiri belum tentu haram. sesuai dengan sebuah qaedah:
ترك الشيء لا يدل على منعه
"meninggalkan sesuatu tidaklah menunjuki kepada bahwa perbuatan tersebut terlarang"

selain itu ketika Nabi dan dua generasi sesudah beliau (Shahabat dan Tabiin/tabi` tabiin) tidak melakukan sesuatu maka disini masih mengandung beberapa kemungkinan/ihtimal, kenapa ditinggalkan apakah karena haram, atau karena mengagggapnya sebagai sesuatu yg boleh saja, atau karena lebih menutamakan hal lain yg lebih penting atau pun hanya kebetulan saja.

maka at tark /meninggakan satu perbuatan tak dapat dijadikan sebagai satu pijakan hukum, sebagaimana satu qaedah:
ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
"sesuatau yang masih ada kemungkinan maka tidak adapt dijadikan dalil".

selain itu pelarangan sesuatu hanya dapat diketahui dengan adanya nash yang melarang perbuatan tersebut, bahkan dari perintah sebaliknya tidak juga dapat terpaham langsung kepada haram tapi hanya sampai pada taraf khilaf aula.

kemudian Allah berfirman dlm surat Al Hasyr ayat 7 :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"apa yg didatangkan oleh Rasul maka ambillah dan apa yg dilarangnya maka jauhilah"

tidak ada ayat ataupu hadis yg mengatakan:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا تركهُ فَانْتَهُوا
"apa yg didatangkan oleh Rasul maka ambillah, dan apa yg ditinggalkanya maka jauhilah"

‎2. Pada maulid yang bid`ah hanyalah pada kaifiyat pelaksanaannya bukan diri merayakan maulid itu sendiri , karena inti dari perayaan maulid terkandung dalam beberapa perintah sebagaimana dlm uraian dalil maulid yg ada pada page http://abu.mudimesra.com.

Imam Syafii berkata:
"كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف"
"setiap perkara yg memiliki sandaran dari syara` maka ia bukanlah bid`ah walaupun tidak dikerjakan salaf/shahabat"

merobah satu kaifiyat amalan kebaikan yg tidak ada pembatasan khusus dari syara` bukanlah satu perbuatan tercela, misalnya kita diperintahkan menuntut ilmu maka pada zaman ini kita membuat berbagai macam sistem pendidikan yang sama sekali tidak dilakukan oleh generasi terdahulu. hal ini bukanlah perbuatan tercela. demikian juga kaifiyah merayakan maulid kita lakukan dengan kaifiyat yg berbeda maka ini bukanlah satu perbuatan terlarang.

===================================
Sumber : http://lbm.mudimesra.com/2012/03/dalil-merayakan-maulid.html

Selasa, 07 Oktober 2014

Hukum Menjual Kulit Hewan Qurban

Bismillahirrohmaanirrohim
Di hari raya Adhha, kaum muslim menyembelih qurban. Biasanya yang ingin berqurban menyerahkan qurbannya ke panitia qurban baik di mesjid atau di tempat-tempat lainnya. Sering kita temukan dalam proses pembagian daging qurban, kulit dan kaki hewan qurban tidak di bagikan, tetapi oleh panitia di kumpulkan kemudian di jual kepada pihak penampung kulit hewan.

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya menjual kulit atau daging hewan qurban?

Jawab:
Hewan qurban tidak boleh di jual, baik dagingnya, kulit dan juga tulangnya.
Pada qurban sunat, kulitnya boleh di sadaqahkan dan boleh juga di manfaatkan oleh orang yang berkurban untuk berbagai macam keperluannya (selain di jual atau di sewakan). Bila di jual, penjualan tersebut tidak sah.
sedangkan qurban wajib, kulitnya wajib di sadaqahkan semuanya, tidak boleh di manfaatkan untuk keperluan orang berqurban.
Bagi penerima yang miskin boleh saja setelah ia terima ia jual, sedangkan bila ia orang kaya, maka setelah ia terima tidak boleh ia jual, bagi orang kaya qurban yang diterima hanya di bolehkan untuk di konsumsi sendiri dan keluarga atau di sedeqahkan atau di hidangkan sebagai jamuan bagi tamu yang datang sebagaimana dalam ketentuan orang kaya menerima daging kurban. Ini merupakan pendapat yang kuat.
Selain itu kulit hewan qurban juga tidak boleh di jadikan sebagai upah bagi penyembelih qurban. Namun boleh saja di berikan kepada penyembelih tetapi bukan sebagai upah sembelihan.

Nash Kitab Mu`tabarah:
Hasyiah Qalyubi `ala Mahalli Jilid 4 hal 255 Dar Fikr

ويتصدق بجلدها أو ينتفع به) في الاستعمال، وله إعارته دون بيعه وإجارته
قوله: (ويتصدق) هو ومثله وارثه بجلدها قال شيخنا: ولو على من تلزمه نفقته ولا يجوز بيعه ولا إجارته وتجوز عاريته، ولآخذه التصرف فيه لا بنحو بيع ولا يجوز إعطاؤه أجرة للجوار. وجوز بعضهم لمن يأخذه التصرف بالبيع وغيره، وهو وجيه إن كان الذي أخذه من الفقراء كما في مر اللحم وإلا فلا فليراجع،

Tuhfatul Muhtaj dan Hasyiah Ubadi Jilid 9 hal 365 Dar Fikr

ويتصدق بجلدها) ونحو قرنها أي المتطوع بها وهو الأفضل للاتباع (أو ينتفع به) أو يعيره لغيره ويحرم عليه وعلى نحو وارثه بيعه كسائر أجزائها وإجارته وإعطاؤه أجرة للذابح بل هي عليه للخبر الصحيح «من باع جلد أضحيته فلا أضحية له» ولزوال ملكه عنها بالذبح فلا تورث عنه لكن بحث السبكي أن لورثته ولاية القسمة والنفقة كهو ويؤيده قول العلماء له الأكل والإهداء كمورثه أما الواجبة فيلزمه التصدق بنحو جلدها
قوله نحو بيعه) ليس فيه إفصاح ببطلانه وقضية قوله لزوال ملكه عنها لبطلان

Hasyiah Bujairimi `ala Khatib Jilid 4 Hal 338 Dar Fikr

ولا يبيع من الأضحية شيئا) ولو جلدها أي يحرم عليه ذلك ولا يصح سواء أكانت منذورة أم لا. وله أن ينتفع بجلدأضحية التطوع كما يجوز له الانتفاع بها. كأن يجعله دلوا أو نعلا أو خفا والتصدق به أفضل. ولا يجوز بيعه ولا إجارته لأنها بيع المنافع لخبر الحاكم وصححه: «من باع جلد أضحيته فلا أضحية له» ولا يجوز إعطاؤه أجرة للجزار، وتجوز إعارته، كما له إعارتها. أما الواجبة فيجب التصدق بجلدها.

=============================================
Sumber :http://lbm.mudimesra.com/


Kamis, 02 Oktober 2014

Pengertian, Niat, Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah

Bismillahirrohmaanirrohim

Posted by: redaksi  26 September 2014 9,025 Views


Pengertian, Niat, Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah

Pengertian Puasa Hari Tarwiyah dan Arafah
      Pada bulan Dzulhijjah (dalam kalender Islam), dilaksanakan 2 hari sebelum tanggal 10 Dzulhijjah (Idul Adha) atau biasa dikenal dengan lebaran haji yaitu tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Tanggal 8 Dzulhijah dinamakan puasa Tarwiyah dan tanggal 9 Dzulhijah dinamakan puasa Arafah. Puasa sunah Tarwiyah dan Arafah sangat dianjurkan, agar kita dapat turut merasakan nikmatnya seperti yang dirasakan oleh para jama’ah haji.

Puasa tarwiyah puasa arafah
     Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah yaitu hari pada saat jama’ah haji melakukan wukuf di padang Arafah.
Puasa Tarwiyah adalah puasa yang dilaksanakan pada hari tarwiyah yakni 8 Dzulhijjah, hari sebelum hari wukuf.

     Adapun keutamaan puasa sunah Tarwiyah (8 Dzulhijjah) dan ‘arafah (9 Dzulhijjah) berdasarkan beberapa hadist adalah :
Puasa Tarwiyah dapat menghapus dosa satu tahun silam yang telah terlewati.
Sedangkan puasa hari ‘arafah memiliki keutamaan yaitu dapat menghapus dosa dua tahun (1 tahun lalu dan 1 tahun yang akan datang)

Niat Puasa Tarwiyah dan Puasa Arafah
Niat Puasa Tarwiyah
نويت صوم ترويه سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA TARWIYAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
“ Saya niat puasa Tarwiyah, sunnah karena Allah ta’ala.”

Niat Puasa Arafah
نويت صوم عرفة سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA ARAFAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
“ Saya niat puasa Arafah , sunnah karena Allah ta’ala.”
Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Puasa Arafah

Hadist tentang puasa Tarwiyah adalah sbb.:
(12087 -) صوم يوم التروية كفارة سنة ، وصوم يوم عرفة كفارة سنتين.
(أبو الشيخ في الثواب وابن النجار عن ابن عباس).
Artinya: Puasa hari Tarwiyah menghapuskan dosa setahun, puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun.

       Hadist tersebut tercantum dalam kitab Kanzul Ummal, Jami’  Imam Suyuthi, diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab Al-Tsawab. Para ulama mengatakan bahwa hadist tersebut dlaif. Sebagian ulama mengatakan ini hadist marfu’.

Hadist yang lain juga :
وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ وَيَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ النَّحْرِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ }
Artinya: Rasulullah saw melarang puasa di hari Tarwiyah, Arafah, Hari Penyembelihan dan hari Tasyriq”. Namun para ulama mengatakan bahwa hadist ini berlaku bagi yang melaksanakan ibadah haji.

      Beberapa kitab fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan disunnahkan puasa sunnah pada hari Tarwiyah. Hadist riwayat Ibnu Abbas ra berikut adalah dalil terkuat yang dijadikan landasan disunnahkannya puasa hari Tarwiyah.
“ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله، من هذه الأيام العشر” رواه البخاري.
Artinya: Tidak ada hari yang di dalamnya amal soleh lebih dicintai Allah kecuali pada sepuluh hari ini (maksudnya 10 hari bulan Dzul Hijjah). HR Bukhari.

Hadist lain:
وعن حفصة قالت: أربع لم يكن يدعهن رسول الله صلى الله عليه وسلم: صيام عاشوراء، والعشر، وثلاث أيام من كل شهر، والركعتين قبل الغداة رواه أحمد والنسائي.

Artinya: Dari Hafsah ra : ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw, yaitu puasa bulan hari Asyura (10 Muharram), (amal soleh) 10 hari pertama Dzul Hijjah, tiga hari setiap bulan dan dua rakaat sebelum pagi” h.r. Ahmad dan Nasai.

     Berdasarkan hadist tersebut, cukup kuat pendapat ulama yang mengatakan bahwa disunnahkan puasa pada hari Tarwiyah.
Pendapat yang mengatakan bahwa puasa Tarwiyah disunnahkan karena termasuk amal saleh yang dianjurkan pada 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa tidak disunnahkan secara khusus puasa pada hari Tarwiyah karena melihat hadist di atas yang dlaif atau lemah. Ini juga terkembali pada masalah perbedaan pendapat mengenai apakah hukum menggunakan hadist dlaif.

       Sebaiknya pengikut kedua pendapat tersebut saling menghargai karena masing-masing mempunyai landasan dalil yan
g diyakini.

      Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
 “Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

puasa tarwiyah puasa arafah

      Imam Nawawi berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”

       Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi SAW. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari Muslim).

عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Dari Maimunah RA, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi SAW berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

      Semoga penjelasan artikel mengenai Pengertian, Niat, Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah bermanfaat

============================================
Sumber :
http://al-badar.net/

Rabu, 13 Agustus 2014

Hukum asuransi dalam Islam

Bismillahirrohmaanirrohim
Hukum asuransi dalam Islam
Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri.

Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam

Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.

Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.

Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )  Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.

Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992:

” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan “

Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :

I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :

1.    Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial

2.    Asuransi Sosial ( Ta’min  Ijtima’i ) , yaitu asuransi ( jaminan )  yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan  dan lain-lain.   [1]

Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan  kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.

Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan. [2]

II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.

Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :

1.    Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )

2.    Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan

Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :

Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )

Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.

Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )

Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.

Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk  [3] :

1.       Term assurance (Asuransi Berjangka)

Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode

waktu tertentu.

Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance)  :

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 1 tahun
Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.       Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) 

Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.

3.       Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) 

Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.

Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 10 tahun
Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
1.      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta

IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.

Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :

1.    Asuransi Konvensional

2.    Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator. [4]

Hukum Asuransi
Hukum Asuransi menurut Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :

Pertama : Ansuransi Ta’awun

Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut [5] :

Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang  menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan  ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.

Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.

Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.

Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.

Kedua : Asuransi Sosial

Begitu juga asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :

Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu. 

Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan  hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.

Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga

Adapun untuk Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut [6] :

Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad  secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :

َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

” Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787  )

Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah  ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang,  juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Maidah: 90).

Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para ulama.

Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur  rihan ( taruhan )  yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta  perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“ Tidak ada perlombaan  kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau  yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )

Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.

Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).

Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan  bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional.[7]

Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :

Dari Sisi Prinsip Dasar

Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ), yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan ditanggung secara penuh oleh pengelola.

Dari Sisi Akad

Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).

Dari Sisi Kepimilikan Dana

Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri. Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah ( bagi hasil ). Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana.

Dari sisi obyek

Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan juga hotel-hotel yang tidak syariah.  Adapun Asuransi Konvensional tidak membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.

Dari Sisi Investasi Dana.

Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).

Dari Sisi Pembayaran Klaim.

Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ ( dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi pengeluaraan perusahaan.

Dari Sisi Pengawasan.

Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.

Dari sisi dana zakat, infaq dan sadaqah.

Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal istilah zakat.



Perkembangan Asuransi di Indonesia [8]

Asuransi Jiwa Konvensional pertama kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas.  Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra. Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat hingga  tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah : American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.

Adapun asuransi Syariah pertama kali di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful. Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34 perusahaaan lebih.

Rata-rata asuransi Syariah yang disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu  . Yang benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah adalah  PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994.   Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance, adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syariah adalah : PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas.*



Catatan Kaki:

[1] DR, Syekh Husain bin Muhammad al Malah, Al fatwa Nasyatuha wa Tathuwuruha, Hal. 909

[2] http://www.asuransicerdas.com/

[3] http://pojokasuransi.com

[4] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2

[5] Keputusan Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya’ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah,  dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.

[6] Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,

[7] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2-5

[8] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 69-73



Penulis: DR. Ahmad Zain An-Najah

===============================================================
Sumber : - See more at: http://www.arrahmah.com/read/2011/12/15/16834-hukum-asuransi-dalam-islam.html#sthash.xd2MU4H1.dpuf

Rabu, 25 Juni 2014

Makna Taat pada Ulil Amri dalam QS. An-Nisa: 59

Bismillahirrohmaanirrohim


Oleh: Dani Hamdani

Alloh berfirman :

Apa makna QS. An-Nisa: 59 tersebut?
Apa makna taat kepada Allah, kepada Rasul SAW, dan kepada Ulil Amri dalam ayat tersebut?
Apakah suatu keharusan (baca: mutlak) taat kepada Ulil Amri?
Apa makna ‘Ulil Amri’ dalam ayat tersebut?
Apakah makna ‘Ulil Amri’ merupakan satu-satunya pemimpin dalam satu jamaah tertentu?
Allah berfirman:


Yaa ayyuhalladziina aamanuu athii’ullaha wa athii’urrasuula wa uulil amri minkum, fain tanaaza’tum fii syai-in farudduuhu ilallaha warrasuuli inkuntum tu-minuuna billahi walyaumil aakhiri, dzalika khairun wa-ahsanu ta-wiila.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Tentang Ayat Ini
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata tentang firman-Nya, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu.” Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adi, ketika diutus oleh Rasulullah di dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruh jama’ah kecuali Ibnu Majah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata: “Rasulullah SAW mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata, ‘Bukanlah Rasulullah SAW memerintahkan kalian untuk mentaatiku?’ Mereka menjawab, ‘Betul.’ Dia berkata lagi, ‘Kumpulkanlah untukku kayu bakar oleh kalian.’ Kemudian ia meminta api, lalu ia membakrnya, dan ia berkata, ‘Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya.’ Maka seorang pemuda diantara mereka berkata. ‘Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah SAW dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasullah SAW. Jika beliau perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah.’ Lalu mereka kembali kepada Rasulullah SAW dan mengabarkan tentang hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda kepada mereka, ‘Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf.” (HR. Bukhari-Muslim dari hadits Al-A’masy)
Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW sudah memberi batasan kepada kita, bahwasannya ketaatan hanya pada yang ma’ruf, dan bukannya pada yang tidak ma’ruf.
Makna Ulil Amri
‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas bahwa, “Wa uulil amri minkum” (Dan Ulil Amri di antara kamu), maknanya adalah ahli fiqh dan ahli agama. Sedangkan menurut Mujahid, ‘Atha, Al-Hasan Bashri dan Abul ‘Aliyah-begitu pula Ibnu Qayyim Al-Jauziyah-, bermakna ulama. Ibnu Katsir menambahkan, “Yang jelas bahwa Ulil Amri itu umum mencakup setiap pemegang urusan, baik umara maupun ulama.”
Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in mengatakan, “Allah SWT memerintahkan manusia agar taat kepada Ulil Amri, dan Ulil Amri itu tidak lain adalah ulama, akan tetapi diartikan juga sebagai umara (pemerintah/tokoh formal masyarakat).”
Jadi, tidaklah benar ‘Ulil Amri’ bermakna satu-satunya pemimimpin dalam satu jamaah tertentu.
Ibnu Katsir berkata, “Ayat di atas (QS. An-Nisa: 59) adalah perintah untuk mentaati ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman, ‘Taatlah kepada Allah,’ yaitu ikutilah Kitab-Nya (Al-Qur’an), ‘Dan taatlah kepada Rasul,’ yaitu peganglah Sunnahnya, ‘Dan Ulil Amri di antara kamu,’ yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena, tidak berlaku ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Allah.”
Artinya taat kepada Ulil Amri ada batasannya, berbeda dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang merupakan sesuatu yang mutlak.
Larangan Taqlid pada Ulil Amri
Ibnu Qayyim meneruskan dalam kitabnya tersebut, bahwasannya makna taat kepada Ulil Amri adalah bertaqlid kepada apa yang mereka fatwakan. Akan tetapi hal yang tidak dimengerti oleh orang-orang yang taqlid adalah bahwa Ulil Amri-seharusnya-hanya ditaati apabila tidak keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Para ulama dalam hal ini hanya berfungsi sebagai mediator (penyampai perintah dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat), sementara Umara memegang peranan sebagai fasilitator demi kelancarannya. oleh karena itu, ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di bagian mana dalam ayat ini yang menunjukkan prioritas pendapat para ulama atas Sunnah Rasulullah SAW, dan anjuran untuk bertaqlid kepada pendapat-pendapat itu?
Ibnu Qayyim meneruskan, bahwa sesungguhnya ayat yang membicarakan tentang ketaatan kepada Ulil Amri adalah alasan yang paling kuat untuk membantah dan memperjelas kekeliruan taqlid. Kekeliruan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama, perintah taat kepada Allah adalah perintah untuk melakukan segala apa yang diperintahkannya, dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.
Kedua, Ketaatan kepada Rasul SAW. Dua bentuk ketaatan ini tidak akan dapat ditunaikan oleh seorang hamba kecuali dengan mengenal dan tahu persis apa yang diperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mengetahui perintah-perintah Allah dan hanya bertaqlid kepada Ulil Amri, niscaya ia tidak mungkin mewujudkan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, Di dalam sebuah riwayat ditemukan larangan untuk bertaqlid kepada Ulil Amri, sebagaimana terdapat dalam riwayat yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan lain-lain dari kalangan sahabat. Teks riwayat itu telah kita ketahui dari 4 Imam besar Al-Matbu’ (yang diikuti).
Keempat, Allah SWT berfirman, “Apabila kalian berselisih dalam sebuah urusan, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), sekiranya kalian beriman kepada-Nya dan kepada hari kiamat.” (QS. An-Nisa: 59)
Ayat ini dengan tegas menyalahkan taqlid dan melarang untuk mengembalikan perselisihan pada pendapat seseorang atau pandangan satu madzhab tertentu.
Wallahu a-lam.

=============================
http://danihamdani.wordpress.com/

Kamis, 05 Juni 2014

HIKMAH MENCUKUR BULU KEMALUAN DARI SISI MEDIS : MENCEGAH TUMBUHNYA KUTU KEPITING

Bismillahirrohmaanirrohim



Dasarnya adalah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,

وقت لنا في قص الشارب وتقليم الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة أن لا نترك أكثر من أربعين ليلة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.”

(HR. Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa’i)

Subhanallah, baru ini kami membaca tentang artikel tentang KUTU KEPITING yang dialami oleh sebagian orang. Ternyata kutu ini hidup dan berkembang biak di daerah yang berbulu lebat dan lembab. Kebanyakan orang yang mengalaminya pun yaitu orang yang jarang mencukur bulu kemaluan dan menjaga kebersihannya.

Seketika jadi teringat hadist Nabi diatas dan hikmah dibalik sunnah yang mulia ini.

Kutu kelamin (Pediculosis Pubis) atau sering disebut dengan kutu kepiting (crabs) adalah serangga parasit yang ditemukan terutama di daerah kemaluan atau alat kelamin manusia. Istilah kepiting diberikan karena tampilan mikroskopiknya yang menyerupai kepiting.

Kutu kemaluan berwarna abu-abu, oval, Arthropoda berkaki enam. Setiap 1 sampai 2 mm, membuat kutu kemaluan kecil dari kutu kepala, yang merupakan spesies yang berbeda. Kutu kemaluan bertelur (nits disebut) pada kasar rambut-rambut tubuh yaitu, kemaluan, rambut perianal, rambut paha, rambut perut dan rambut ketiak. Kutu dewasa hidup dengan menghisap darah dan tidak bergerak jauh dari telur mereka (Frenkl & Potts, 2007; Leone, 2007; Link, 2007)

Gejala infeksi kutu kelamin:

1. Gatal dan terbakar di daerah kemaluan

2. Gatal dapat menyebar karena kutu kelamin bergerak ke daerah basah lain dari tubuh seperti ketiak

3. Gatal akan memburuk pada malam hari

4. Menggaruk intens dan lama dapat mengakibatkan kulit terluka dan dapat menjadi terinfeksi oleh bakteri.

Sumber : Mengenal Konspirasi Yahudi dan Memperdalam Islam
Penulis : Redaksi Salam Dakwah
http://goo.gl/cRdllK

Jumat, 30 Mei 2014

Terlalu Was-Was Dalam Niat Shalat

Bismillahirrohmaanirrohim



Di Masjid Nabawi, kami beberapa kali melihat jama’ah dari Indonesia, mengulang-ulang takbiratul ihram beberapa kali. Sebuah pemandangan yang belum pernah kami dapatkan dari jama’ah negara lain, walaupun sama-sama bermadzhab Syafi’i.

Rasa iba selalu hinggap di hati, bila melihat pemandangan tersebut. Karena saya yakin hal itu didasari ketidak-tahuannya terhadap pendapat madzhab Syafi’i yang mu’tamad.

Oleh karena itu, mari kita simak perkataan Imam An Nawawi -rahimahullah- dalam masalah ini:

واختار إمام الحرمين والغزالي في البسيط وغيره انه لا يجب التدقيق المذكور في تحقيق مقارنة النية وأنه تكفي المقارنة العرفية العامية بحيث يعد مستحضرا لصلاته غير غافل عنها اقتداء بالأولين في تسامحهم في ذلك وهذا الذي اختاراه هو المختار والله أعلم

“Imamul Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Basith, dan (ulama madzhab Syafi’i) yg lainnya memilih pendapat, bahwa: tidaklah diwajibkan untuk terlalu detail dalam hal membarengkan niat dengan takbir seperti yang disebutkan (yakni: bahwa niat harus benar-benar berbarengan dg takbiratul ihram dari awal takbir, hingga akhir takbir).

Tetapi niat sudah cukup dengan ‘muqaranah urfiyyah aammiyah‘ (yakni kebersamaan yg biasa dan dimampui oleh orang awam), yang penting ia sudah dianggap menghadirkan kesadarannya akan sholatnya dan tidak dianggap lalai dari sholatnya, (dalil dalam hal ini adalah) karena mengikuti generasi awal umat Islam dalam sikap mereka yg toleran dalam masalah ini.

Dan pendapat yg dipilih oleh dua orang ini, adalah pendapat yang terpilih (dalam madzhab syafi’i), wallahu a’lam“. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277-3278)

Bahkan sebagian pengikut madzhab Syafi’i mengatakan bahwa: bahwa niat harus mendahului amal ibadah, agar tidak ada sebagian ibadah yg kosong dari niat. Imam Nawawi -rahimahullah- mengatakan:

قول أبي منصور ابن مهران شيخ أبي بكر الأودني يجب أن يقدم النية على أول التكبير بشئ يسبر لئلا يتأخر أولها عن أول التكبير

“Pendapatnya Abu Manshur Ibnu Mahran gurunya Abu Bakar Al-Audni: Bahwa niat wajib mendahului awal takbiratul ihram dengan waktu yang sedikit, agar awal niatnya tidak terlambat dari awal takbirnya”. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277)

Bahkan Imamul Haramain (Al-Juwaini) -rahimahullah- mengatakan:

فأما التزام حقيقة مصادفة الوقت الذي يذكره الفقيه، فممّا لا تحويه القدرة البشرية

“Adapun mengharuskan barengnya niat dengan waktu takbir sebagaimana disebutkan oleh ahli fikih, maka itu termasuk sesuatu yang tidak dimampui oleh manusia” (Nihayatul Mathlab, karya Al-Juwaini, 2/117)

Semoga bermanfaat…

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini Lc., MA.
==================================================

Sumber   : Artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 22 Maret 2014

APA HUKUM MEMINUM DARAH KOBRA DAN MAKAN EMPEDUNYA UNTUK OBAT?

Bismillahirrohmaanirrohim

Dari pemahaman dan penelitian terhadap Al-Qur’an dan Hadits, para ulama fiqih telah mengadakan pengelompakan mengenai apa yang boleh dimakan / minum dan tidak. Secara garis besar sesuatu yang diharamkan karena 6 faktor:

1. Diperoleh secara ilegal

2. Najis

3. Memabukkan

4. Membahayakan bagi tubuh manusia

5. Binatang buas

6. Menjijikkan (Ahkam al Hikmah al Syari’ah alIslamiyah: 113-116)

Pelarangan mengkonsumsi beberapa jenis makanan maupun minuman tidak lain kecuali untuk kemaslahatan manusia sendiri. Apa yang disyariatkan oleh Allah SWT, pasti mengandung hukmah. Sedangkan yang dilarang pasti mengandung kemadlaratan. Dalam hal ini Islam mengambil jalan tengah, hanya melarang perkara yang perlu dilarangdan memperbolehkan apa-apa yang semestinya diperbolehkan. Apa yang membawa dampak positif diperbolehkan, sebaliknya yang membawa dampak negatif tidak diperbolehkan. Jadi, Islam tidak memperbolehkan semua, tidak pula melarang semua. Tidak terlal longgar juga tidak terlalu sempit.

Pada sisis lain, manusia tidak diciptakan di dunia ini melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT dan memakmurkan bumi. Untuk itu dia perlu mempertahankan hidupnya. Karenanya manusia membutuhkan makanan dan minuman sebagai sumber energi serta kesehatan. Padahal penyakit adalah awal dari kematian jika sudah amat parah dan tidak bisa diobati. Bukankah penyakit merupakan kematian kecil?

Menurut ajaran Islam, mempertahankan hidup wajib hukumnya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Al Baqarah; 195. Artinya: “Dan belanjakanlah harta bendamu dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam binasaan, dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Untuk kepentingan mempertahankan hidupnya, dalam keadaan darurat, seseorang tidak hanya diperbolehkan bahkan diwajibkan memakan benda yang diharamkan dalam keadaan normal. Dalam keadaan terpaksa perkara yang dilarang menjadi diperbolehkan.

Oleh karena itu, sebagaimana untuk menolak lapar dan dahaga dalam keadaaan darurat diperbolehkan makan dan minum barang haram, diperkenankan pula mengkonsumsi barang haram untuk keperluan pengobatan, kecuali minuman keras.

Dengan begitu, minum darah kobra dapat dijadikan sebagai pengobatan alternativ. Mengingat pembolehan ini termasuk rukhshah, maka harus memenuhi dua persyaratan:

1. Tidak ada alternatif lain yang halal

2. Menurut dokter yang berkompeten, darah ular kobra efektif menyembuhkan penyakit yang diderita.

Memang ada juga ulama yang tidak membolehkan berobat dengan barang haram(darah ular kobra). Mereka berpegang pada sebuah hadits yang artinya,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan pada sesuatu yang dihramkan atas kalian”.

Hadits ini secara eksplisit membatasi pengobatan pada hal-hal yang diharamkan. Barang haram merupakan sumber penyakit, bukan sumber kesehatan.

Dua kondisi yang tampak bertentangan ini dikompromikan oleh para ulama dengan mengadakan perbedaaan antara dengan keadaan terpaksa dan tidak. Kalau terpaksa diperbolehkan, jika tidak terpaksa maka dilarang. Keterpaksaan dalam konteks pengobatan barang haram, bearti tidak diketemukannya obat dari bahan yang halal dalam penyakit tertentu.

Refrensi:
http://kesehatan.kompasiana.com/

Sabtu, 15 Maret 2014

Hukum Mendengarkan Lagu atau Musik dalam Islam

Bismillahirrohmaanirrohim

PROLOG
Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada hukumnya.

DALIL

Surah Luqman: (6):
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
Surah An-Najm: (59-61):
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi)
Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik”(HR. Al-Bukhari, 10/5590).


PENDAPAT

Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi lalai.”
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.
Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.
Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.

ANALISA

Al-Quran tidak menjelaskan hukum lagu atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam (syariat).

Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.

Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini tentu dilarang.

Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.

Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick dkk, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.

KESIMPULAN

Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika sebaliknya.

Refrensi :
http://hukum-islam.com/

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...