Sabtu, 15 Juni 2013

HUKUM PERGADAIAN MENURUT ISLAM

Bismillahirrohmaanirrohim


Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng)(1); dan bisa juga berarti al-ihtibas (2) wa al-luzum (3) (tertahan dan keharusan).

Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.(4)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.(5)

Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebagai jaminan utangnya. Maka di dalam gambaran ini, utangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian nilai barang yang digadaikannya itu bila dijual.

Contoh lain, bila ada seseorang yang berhutang kepada anda sebesar RP.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Lalu dia memberikan kepada anda sebuah barang yang nilainya sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) sebagai jaminan utangnya. Di dalam gambaran kedua ini, sebagian hutang dapat dilunasi dengan nilai barang tersebut.

Dalam dua gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar maupun lebih kecil dari jumlah utang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.

B. Landasan Disyariatkannya Gadai:
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:

a. Al-Qur’an:
Firman Allah I:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Di dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah I menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.

b. Al-Hadits:
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).

c. Ijma’ (konsensus) para ulama:
Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim.(6) Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.

C. Unsur dan Rukun Gadai (Ar-Rahn):
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:
1. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.
2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.(7)

Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga, yaitu:
Shighat (ijab dan qabul).
Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin)
Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.

Syarat gadai (ar-rahn):
Disyaratkan dalam muamalah gadai hal-hal berikut:
Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:
1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya,(8) karena Al-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

D. Kapan Serah Terima Ar-Rahn (Barang Gadai) Dianggap Sah?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk pemberi utang tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini ada perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

Beberapa Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:

1. Barang yang Dapat Digadaikan.
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.

Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”(9)

2. Barang Gadai Adalah Amanah.
Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.

3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).

Dan sabda Nabi:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).

4. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.

Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.(10) Demikianlah hukum asal pegadaian.

Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no.3962, Fathul Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439 no.3509, Tirmidzi II/362 no.1272 dan Ibnu Majah II/816 no.2440).

Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.(11)

5. Biaya Perawatan Barang Gadai.
Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:
- Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
- Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.

Maksud barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang maka dia bisa memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah pemanfaatan barang gadai.

6. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.(12)

Demikianlah penjelasan singkat seputar hukum muamalah gadai dalam fiqih Islam. Dari penjelasan di atas, Nampak jelas bagi kita kesempurnaan, keindahan dan keadilan Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.


Catatan kaki:
(1 ) Lihat Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah Al-Bassam IV/519, dan Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq III/195.
(2 ) Al-Wajiz Fi Fiqhi As-Sunnah wal Kitab Al-Aziz, karya Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi, hal.366.
(3 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-zuhaili V/180.
(4 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-zuhaili V/180.
(5 ) Asy-Syarhu Al-Mumti’ ‘Ala Zadi Al-Mustaqni’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin IX/118.
(6 ) Lihat Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq III/195.
(7 ) Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-zuhaili V/183.
(8 ) Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, karya DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan II/69.
(9 ) Al-Umm karya Imam asy-Syafi’i: III/153.
(10) Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq III/196.
(11 ) Lihat Taudhih Al-Ahkam 4/520-527.
(12) Taudhih Al-Ahkaam, karya Abdullah Al-Bassam IV/527.


MAROJIK

1}- http://abufawaz.wordpress.com/2011/07/29/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%B1%D9%87%D9%86-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D9%81%D9%82%D9%87-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D8%B3%D9%84%D8%A7%D9%85%D9%8A-hukum-pegadaian-dalam-fiqih-islam/

2}- (Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi. Volume 1 Tahun 2010)

PENYUSUN : Ibnu sunniy






Jumat, 14 Juni 2013

HUKUM DAN MANFAAT SIMPAN PINJAM DALAM SYARIAT ISLAM
10:27 PM Parjono adjha 1 comment

Hukum Koperasi Simpan Pinjam di Tinjau Dalam Syariat Islam
Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang khusus bertujuan melayani atau mewajibkan anggotanya untuk menabung, di samping dapat memberikan pinjaman kepada anggotanya.
Sebagian kalangan mendefinisikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah sebuah koperasi yang modalnya diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi. Kemudian modal yang telah terkumpul tersebut dipinjamkan kepada para anggota koperasi dan terkadang juga dipinjamkan kepada orang lain yang bukan anggota koperasi yang memerlukan pinjaman uang, baik untuk keperluan konsumtif maupun modal usaha. Kepada setiap peminjam, koperasi simpan pinjam menarik uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian prosen dari uang pinjaman.
Pada akhir tahun, keuntungan yang diperoleh koperasi simpan pinjam yang berasal dari uang administrasi tersebut yang disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan kepada anggota koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang diterima oleh masing-masing anggota koperasi diperhitungkan menurut intensitas anggota yang meminjam uang dari Koperasi. Artinya, anggota yang paling sering meminjamkan uang dari Koperasi tersebut akan mendapat bagian paling banyak dari SHU, dan tidak diperhitungkan dari jumlah simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota adalah sama.(www.kosipa.com)
Hukum KOperasi Simpan Pinjam
Dalam menyimpulkan hukum koperasi, tidak lepas dari praktik akad atau transaksi yang dijalankan dalam badan usaha tersebut. Dengan demikian, jika model transaksi yang dijalankan melanggar prinsip-prinsip muamalah islami, bisa dipastikan hukumnya haram. Jika dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya haram. Adapun alasannya sebagai berikut:
Pertama: Dari sisi nama, koperasi simpan pinjam didirikan dengan tujuan orang bisa menyimpan dan meminjam uang di koperasi tersebut. Sehingga tidak tepat dan tidak boleh, jika kemudian koperasi tersebut mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam.
Kedua: Pinjam meminjam di dalam Islam merupakan akad tabarru’ yang bertujuan untuk saling tolong menolong bukan sebagai sarana untuk mencari keuntungan.
Ketiga: Di dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam, karena koperasi ini menarik dari setiap peminjam uang administrasi setiap bulan sejumlah sekian persen dari uang pinjaman.
Uang administrasi yang dibolehkan adalah uang yang memang dipakai untuk kepentingan administrasi bukan untuk mencari keuntungan, sehingga besarnya harus disesuaikan dengan biaya administrasi seperti surat-menyurat, arsip dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan di dalam pencatatan hutang.
Keempat: Uang administrasi tidak boleh ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pinjaman, apalagi ditarik setiap bulan. Ini sama dengan bunga dari pinjaman alias riba. Walaupun diganti namanya dengan uang administrasi, tetapi pada hakekatnya adalah bunga dari pinjaman.
Beberapa Pandangan Yang Salah
Pertama: Ada sebagian kalangan yang ingin menghindari praktek riba dengan cara menjual formulir pinjaman yang harganya disesuaikan dengan jumlah uang yang akan dipinjam. Umpamanya, untuk pinjaman uang sebesar Rp. 100.000 formulirnya berwarna putih dengan harga Rp. 5.000 Untuk pinjaman uang sebesar Rp. 500.000 formulirnya berwarna merah dengan harga Rp. 25.000 Untuk pinjaman sebesar Rp. 1.000.000 formulirnya berwarna kuning dengan harga Rp 50.000.
Kalau ingin terhindar dari riba, maka harga formulirnya harus disamakan, dan harganya tidak boleh disesuaikan dengan besar kecilnya jumlah uang pinjaman. Karena fungsi dari kertas formulir sekedar untuk memberikan keterangan tentang data-data peminjam, jadi tidak ada alasan untuk menaikan harganya dari harga selembar kertas.
Kedua: Sebagian orang mengatakan bahwa penjualan formulir dengan harga sesuai dengan besar kecilnya pinjaman sama dengan penjualan prangko yang harganya disesuaikan dengan jenis prangko, sehingga hukumnya halal.
Dalam hal ini tidak sama antara keduanya, karena dalam penjualan perangko, tidak ada unsur pinjam meminjam, tetapi yang ada adalah akad jual beli barang, dan harga barang tersebut disesuaikan dengan kwalitas dan manfaat barang. Jika kwalitas dan manfaatnya lebih banyak, maka harganya lebih mahal, sebaliknya jika kwalitas dan manfaatnya lebih sedikit, maka harganya lebih murah. Begitu juga dengan prangko, jika dipakai untuk mengirim surat yang lebih cepat dan jarak tempuhnya lebih jauh, tentunya harga prangkonya lebih mahal, sebaliknya jika surat yang dikirim tidak kilat dan jarak tempuhnya dekat, maka harganya tentunya lebih murah. Seperti itu juga harga tiket bis, kereta, maupun pesawat. Dan semuanya itu adalah boleh dan halal.
Adapun formulir yang harganya berbeda-beda berdasarkan jumlah pinjaman, pada hakekatnya koperasi hanya ingin mencari untung mengambil manfaat lewat hutang, dan ini diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallahu ‘alahi wassalam:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap hutang yang mengambil manfaat (komersil )adalah riba” (HR. Baihaqi)
Ketiga: Sebagian kalangan mengatakan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya boleh, karena pada dasarnya dalam mu’amalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Sedangkan bunga dari pinjaman anggota bukan untuk mencari keuntungan, tetapi akan dikembalikan kepada anggota koperasi itu juga.
Bahwa dalam koperasi simpan pinjam terdapat unsur riba yang diharamkan dalam Islam. Adapun bunga pinjaman yang dibebankan kepada setiap peminjam akan kembali juga kepada anggota koperasi adalah tidak benar. Sebagai contoh, jika anggota meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000, maka dia harus mengembalikan kepada koperasi tersebut sejumlah uang yang dipinjam ditambah 5 % nya, yaitu sebesar Rp. 1.050.000 Dari tambahan 5 % tersebut, yang kembali kepada anggota tersebut hanya sekitar 3 % nya saja, sedangkan yang 2 % nya akan masuk kas koperasi. Ini menunjukan bahwa secara nyata bahwa koperasi simpan pinjam tetap mengambil keuntungan dari aktifitas pinjam meminjam dan ini diharamkan dalam Islam, karena termasuk riba.
Cara Yang Sesuai Syariat
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar koperasi simpan pinjam sesuai syariat dan terhindar dari riba, diantaranya adalah:
Cara Pertama: Koperasi membeli barang-barang dari uang yang terkumpul dari anggota dan menjual barang-barang tersebut kepada para anggota atau kepada masyarakat umum. Keuntungan dari hasil penjualan dibagi kepada para anggota berdasarkan jumlah uang yang ditabung ke koperasi tersebut.
Cara Kedua: Koperasi ini juga bisa meminjamkan uang kepada anggota yang membutuhkan untuk keperluan konsumtif, tanpa dipungut bunga sedikitpun. Tetapi jika anggota memerlukan uang untuk keperluan usaha, maka koperasi bisa menerapkan system bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Tetapi akad ini tidak dinamakan pinjaman, tetapi disebut dengan mudharabah.

HUKUM ASURANSI MENURUT ISLAM
Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya

Temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
Asuransi sama dengan judi
Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
Asuransi mengandung unsur riba/renten.
Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
Saling menguntungkan kedua belah pihak.
Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

Asuransi syariah
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).

Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
Selanjutnya, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
“Asuransi ada dua macam. Majlis Hai’ah Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa tahun yang lalu dan telah mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya melirik bagian yang dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau menggunakan lisensi boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi tidak jelas bagi sebagian orang.
Asuransi kerjasama (jaminan sosial) yang dibolehkan, seperti ; sekelompok orang membayarkan uang sejumlah tertentu untuk shadaqah atau membangun masjid atau membantu kaum fakir. Banyak orang yang mengambil istilah ini dan menjadikannya alasan untuk asuransi komersil. Ini kesalahan mereka dan pengelabuan terhadap manusia.
Contoh asuransi komersil : Seseorang mengasuransikan mobilnya atau barang lainnya yang merupakan barang import dengan biaya sekian dan sekian. Kadang tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan itu diambil perusahaan asuransi begitu saja. Ini termasuk judi yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]
Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Berikut ini kami cantumkan untuk para pembaca naskah fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa) tentang asuransi kerjasama (jaminan bersama).
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya, amma ba’du.
Telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama tentang haramnya asuransi komersil dengan semua jenisnya karena mengandung madharat dan bahaya yang besar serta merupakan tindak memakan harta orang lain dengan cara perolehan yang batil, yang mana hal tersebut telah diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras.
Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]
Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan Allah akan menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Adz-Dzikr wad Du'at wat Taubah 2699]
Ini sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi akhir-akhir ini sebagian perusahaan menyamarkan kepada orang-orang dan memutar balikkan hakekat, yang mana mereka menamakan asuransi komersil yang haram dengan sebutan jaminan sosial yang dinisbatkan kepada fatwa yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini untuk memperdayai orang lain dan memajukan perusahaan mereka. Padahal Ha’iah Kibaril Ulama sama sekali terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya jelas-jelas membedakan antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan). Pengubahan nama itu sendiri tidak merubah hakekatnya.
Keterangan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan penjelasan bagi orang-orang dan membongkar penyamaran serta mengungkap kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabat.
[Bayan Min Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta Haula At-Ta'min At-Tijari wat Ta'min At-Ta'awuni]“.
Kemudian, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :
“Asuransi konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari’at, dalilnya adalah firmanNya “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil” [Al-Baqarah : 188]
Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta para pengasuransi (polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang dari mereka membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang bisa jadi mencapai puluhan ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak begitu memerlukan servis namun meskipun begitu, hartanya tersebut tidak dikembalikan kepadanya.
Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan sedikit uang, lalu terjadi kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani perusahaan secara berkali-kali lipat dari jumlah uang yang telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah membebankan harta perusahaan tanpa cara yang haq.
Hal lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan suka bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka cepat-cepat mengatakan, “Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansialnya), dan barangkali bisa membayar ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal ini berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya kecelakaan dan angka kematian.
Artikel terkait: http://www.arrisalah.net/kolom/2011/10/hukum-koperasi-simpan-pinjam.html

Kamis, 13 Juni 2013

Asal Usul Pembagian 3 Tauhid


Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran: 102]
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
 
Tauhid terbagi menjadi 3:
Tauhid rububiyyah,
Uluhiyyah,
Asma’ wa sifat
Berdasarkan istiqra’ (penelitian menyeluruh) terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi 3: Isim, fi’il, dan huruf, berdasarkan penelitian menyeluruh terhadap kalimat-kalimat yang ada di dalam bahasa arab. (Lihat Kitab At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad Ash-Shabuny fii At-Tafsir karangan Syeikh Bakr Abu Zaid hal: 30, cet. Darur Rayah- Riyadh)
 
Diantara dalil-dalil tauhid rububiyyah (pengesaan Allah dalam penciptaan, pembagian rezeki, dan pengaturan alam):
Firman Allah ta’ala:
(اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ)(الزمر:62)
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu.” (Qs. 39: 62)
Dan firman Allah ta’ala:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ) (هود:6
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. 11:6)
Dan firman Allah ta’ala:
(قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ) (يونس:31
Artinya: Katakanlah:”Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka menjawab: “Allah.” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Qs. 10:31)
 
Diantara dalil-dalil tauhid uluhiyyah (pengesaan Allah di dalam ibadah):
Firman Allah ta’alaa:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ.الفاتحة:5
Artinya: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Qs. 1:5)
Dan firman Allah ta’alaa:
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَهُ دِينِي.الزمر:14
Artinya: Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (Qs. 39:14)
Dan firman Allah ta’alaa:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ.الزمر:64
Artinya: Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” (Qs. 39:64)
Diantara dalil-dalil tauhid asma’ wa sifat (pengesaan Allah di dalam nama-namanya yang husna (yang terbaik) dan sifat-sifat-Nya yang tinggi):
Firman Allah ta’ala:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيّاً مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى.الاسراء: من الآية110
Artinya: “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).”
Dan firman Allah ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.الشورى: من الآية11
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11)
Dan firman Allah ta’alaa:
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.النحل: من الآية60
Artinya: “Dan Allah mempunyai permisalan yang paling tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. 16:60)
Terkumpul 3 jenis tauhid ini di dalam sebuah firman Allah:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً .مريم:65
Artinya: “Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah).” (Qs. 19:65)
 
Tauhid rububiyyah tercantum dalam firman-Nya:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
(Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya).”

Tauhid uluhiyyah tercantum dalam firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ
“Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya). “

Tauhid Asma’ wa Sifat tercantum dalam firman-Nya:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“(Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah))?”

Kami sebutkan disini diantara ulama-ulama yang menyebutkan pembagian ini baik secara jelas maupun dengan isyarat.
1. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy (wafat th. 321), di dalam muqaddimah kitab beliau Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah. Beliau berkata:
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله إن الله واحد لا شريك له ، و لا شيء مثله ، و لا شيء يعجزه ، و لا إله غيره
Artinya: “Kami mengatakan di dalam pengesaan kepada Allah dengan meyakini: bahwa Allah satu tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang melemahkan-Nya, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya.”: Ini termasuk tauhid Asma’ dan Sifat.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang melemahkan-Nya.”: Ini termasuk tauhid Rububiyyah.
Perkataan beliau: “Dan tidak ada tuhan yang berhak disembah selain-Nya.”: Ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
2. Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany Al-Maliky (wafat th. 386 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Ar-Risalah Al-Fiqhiyyah hal. 75 (cet. Darul Gharb Al-Islamy). Beliau mengatakan:
من ذلك : الإيمان بالقلب و النطق باللسان بأن الله إله واحد لا إله غيره ، و لا شبيه له و لا نظير، … ، خالقا لكل شيء ، ألا هو رب العباد و رب أعمالهم والمقدر لحركاتهم و آجالهم
Artinya: “Termasuk diantaranya adalah beriman dengan hati dan mengucapkan dengan lisan bahwasanya Allah adalah sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada yang serupa dengan-Nya dan tidak ada tandingan-Nya.”
Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hamba-Nya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka.”
Perkataan beliau: “Sesembahan yang satu, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia.”: Ini termasuk tauhid Uluhiyyah.
Perkataan beliau: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan tidak ada tandingan-Nya”: Ini termasuk tauhid Asma’ wa Sifat.
Perkataan beliau: “Pencipta segala sesuatu, ketahuilah bahwa Dia adalah pencipta hamba-hamba-Nya dan pencipta amalan-amalan mereka, dan yang menakdirkan gerakan-gerakan mereka dan ajal-ajal mereka.” : Ini termasuk tauhid Rubiyyah.
3. Ibnu Baththah Al-’Akbary (wafat th. 387 H), di dalam kitab beliau Al-Ibanah ‘an Syariatil Firqatin Najiyyah wa Mujanabatil Firaq Al-Madzmumah (5 / 475)
وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء : أحدها : أن يعتقد العبد ربانيته ليكون بذلك مباينا لمذهب أهل التعطيل الذين لا يثبتون صانعا . الثاني : أن يعتقد وحدانيته ، ليكون مباينا بذلك مذاهب أهل الشرك الذين أقروا بالصانع وأشركوا معه في العبادة غيره . والثالث : أن يعتقده موصوفا بالصفات التي لا يجوز إلا أن يكون موصوفا بها من العلم والقدرة والحكمة وسائر ما وصف به نفسه في كتابه
Artinya: Dan yang demikian itu karena pokok keimanan kepada Allah yang wajib atas para makhluk untuk meyakininya di dalam menetapkan keimanan kepada-Nya ada 3 perkara:
Pertama: Hendaklah seorang hamba meyakini rabbaniyyah Allah (kekuasaan Allah) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang atheisme yang mereka tidak menetapkan adanya pencipta.
Kedua: Hendaklah meyakini wahdaniyyah Allah (keesaan Allah dalam peribadatan) supaya dia membedakan diri dari jalan orang-orang musyrik yang mereka mengakui adanya pencipta alam kemudian mereka menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Ketiga: Hendaklah meyakini bahwasanya Dia bersifat dengan sifat-sifat yang memang harus Dia miliki, seperti ilmu, qudrah (kekuasaan), hikmah (kebijaksanaan), dan sifat-sifat yang lain yang Dia tetapkan di dalam kitab-Nya.
4. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusyi (wafat th. 520 H), di dalam muqaddimah kitab beliau Sirajul Muluk (1/1), beliau berkata:
وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى
Artinya: Dan aku bersaksi atas rububiyyah-Nya dan uluhiyyah-Nya, dan atas apa-apa yang Dia bersaksi atasnya untuk dirinya berupa nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
5. Al-Qurthuby (wafat th. 671 H), di dalam tafsir beliau (1/ 102) , beliau berkata ketika menafsirkan lafdzul jalalah (الله) di dalam Al-Fatihah:
فالله اسم للموجود الحق الجامع لصفات الإلهية، المنعوت بنعوت الربوبية، المنفرد بالوجود الحقيقي، لا إله إلا هو سبحانه.
Artinya: Maka ( الله ) adalah nama untuk sesuatu yang benar-benar ada, yang mengumpulkan sifat-sifat ilahiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berhak disembah), yang bersifat dengan sifat-sifat rububiyyah (sifat-sifat sesuatu yang berkuasa), yang sendiri dengan keberadaan yang sebenarnya, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya.
6. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy (wafat th. 1393 H) di dalam Adhwaul Bayan (3/111-112), ketika menafsirkan ayat:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً) (الاسراء:9)
7. Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, diantaranya dalam kitab beliau Kaifa Nuhaqqiqu At-Tauhid (hal. 18-28).
8. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, diantaranya dalam Fatawa Arkanil Islam (hal. 9-17)
9. Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbad Al-Badr (pengajar di Masjid Nabawy), diantaranya dalam muqaddimah ta’liq beliau terhadap kitab Tathhir ul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad karangan Ash-Shan’any dan kitab Syarhush Shudur fi Tahrim Raf’il Qubur karangan Asy-Syaukany (hal. 12-20)
10 Syeikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, di dalam kitab beliau At-Tanbihat As-Saniyyah ‘ala Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 14)
11. Syeikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, di dalam kitab beliau Al-Mukhtashar Al-Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid. Kitab ini adalah bantahan atas orang yang mengingkari pembagian tauhid.
12. Dan lain-lain.
Wallahu ta’ala a’lam.
Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Senin, 10 Juni 2013


Abu Musa al-Asy’ari

Dilahirkan di Zabin, Yaman, 21 tahun sebelum Hijriah. Nama lengkapnya Abu Abdullah bin Qis bin Salim bin Hadhor bin Harb. Nama panggilannya Abu Musa dan al-Asy’ari dinisbahkan kepada bani al-Asy’ar di Qohthan. Beliau adalah seorang zahid, ahli fiqh, al-Imam al-Kabir dan ahli ibadah. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak terlalu pendek. Suaranya bagus.
Sejarah beliau dimulai dari Yaman tempat dimana beliau dilahirkan. Masa itu penduduk Qohtahn banyak yang menyembah berhala. Meskipun beliau masih berusia muda, tapi beliau menolak dan menginkari penyembahan berhala yang berlaku di masyarakatnya. Beliau tahu bahwa berhala yang disembah tidak memberikan manfaat dan juga bahaya. Dalam hatinya berkeinginan agar datang pertolongan dari langit untuk menyelamatkan manusia dari penyembahan berhala. Keinginannya itu terwujud ketika beliau mendengar bahwa Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah mengajarkan agama tauhid, mengajak kepada amar ma’ruf dan budi pekerti mulia.
Maka dengan niat ikhlas beliau meninggalkan tanah kelahirannya pergi menuju Mekkah tempat di mana Rasulullah diutus. Sesampainya di Mekkah beliau duduk di sekeliling Rasulullah dan belajar darinya. Selama mengikuti ajaran Rasulullah, beliau sangat rajin dan tekun. Akhirnya setelah merasa cukup beliau pulang ke Yaman untuk mengajarkan agama tauhid yang dibawa Rasulullah. Sedikit banyak beliau membawa perubahan di kaumnya.
Kemudian beliau balik ke hadapan Rasulullah setelah selesai perang Khoibar. Kebetulan kedatangannya bersamaan dengan datangnya Ja’far bin Abu Tholib bersama sahabat lain dari Habsyah (Ethopia). Di situlah Rasulullah memberikan penerangan tentang ajaran Islam kepada semua yang datang. Ternyata kedatangan beliau dari Yaman tidak hanya seorang diri. Tapi beliau datang bersama 53 lebih dari laki-laki dari penduduk Yaman. Dua saudara sedarahnya juga ikut datang yaitu Abu Ruhm dan Abu Burdah. Orang-orang yang datang bersama beliau oleh Rasulullah disebut “al-Asy’ariun”(orang-orang Asy’ari).
Mengenai kisah hijrahnya, beliau berkata; “Kami keluar dari Yaman bersama 53 orang lebih dari kaumku. Suadaraku Abu Ruhm dan Abu Burdah juga ikut. Kami berlayar dengan prahu ke Najashy, Ethopia. Ternyata di sana sudah ada Ja’far dan sahabat-sahabat lain. Kemudian kami bertemu setelah selesai perang Khaibar. Kemudian Rasulullah berkata : “Kamu berhijrah dua kali, pertama ke Nahashy dan kedua hijrah kepadaku.”(HR.Bukhori Muslim). Sejak itulah Rasulullah sangat cinta padanya, dan juga kaumnya. Anehnya sebelum kedatangan beliau, Rasulullah berkata kepada para sahabat bahwa akan datang kepada kami besok suatu kaum hatinya sangat lembut. Besok harinya kedatangan mereka disambut meriah dengan saling berjabat tangan. Inilah sejarah pertama berjabat tangan dalam Islam.
Beliau adalah seorang faqih (ahli fiqh) dan sangat cerdas sehingga dapat memahami setiap persoalan yang muncul. Disebutkan bahwa beliau termasuk empat orang ahli hukum umat Islam. Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit. Tidak hanya itu, beliau juga penguasa yang sangat berani. Di medan perang, dengan beraninya beliau sanggup memikul beban dan tanggungjawab pasukan umat Islam. Hingga suatu ketika Rasulullah berkata, “Tuan para kesatria adalah Abu Musa.” Rasulullah pernah menugaskan beliau menjadi penguasa atau wali di kota Zabid dan Adnan.
Diantara para sahabat, beliau lah yang mempunyai suara bagus ketika membaca al-Qur’an. Kelembutan dan kehalusan suaranya membuat orang yang mendengarkan terharu dan teruhnya hatinya. Suaranya mampu menembus ke relung hati. Dari Abu Musa diceritakan bahwa Rasulullah berkata, “Wahai Abu Musa, kamu telah diberi seruling dari serulingnya (bagus suaranya) keluarga Daud.”(HR.Bukhori Muslim). Di hadits lain diceritakan, Anas berkata suatu hari malam beliau (Abu Musa) melakukan sholat malam. Bacaan al-Qur’an dalam sholatnya itu terdengar oleh istri-istri Rasulullah. Mereka pun bangun dan mendengarkan dengan baik. Ketika pagi-pagi beliau diberitahu bahwa istri-istri Rasul mendengar bacaannya.
Biasanya kalau Umar bin Khottob bertemu dengannya, beliau mesti diperintah untuk membaca al-Qur’an sembari berkata, “Wahau Abu Musa, kami rindu dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an.” Pada waktu Umar bin Khottob mengutus beliau untuk menjadi wali dan amir di Basrah pada tahun 17 Hijriah, beliau mengumpulkan penduduk Basrah sembari berkhutbah. “Amirul mukminin mengutusku untuk mengajarkan kepada kalian kitab Allah dan sunnah Rasul. Dan juga untuk membersihkan jalan kesesatan kalian.” Kota Asbahan dan Ahwaz ditaklukan pada masa Umar.
Pada masa kholifah Utsman beliau ditugaskan untuk menjadi wali di Basrah, tapi kemudian beliau mengundurkan diri. Setelah itu dipindah ke Kuffah. Pada waktu terjadi fitnah dan perselisihan antara Ali dengan Muawwiyah, beliau mengajak penduduk Basrah untuk memberikan dukungan kepada Ali.
Dan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Abu Musa telah berhasil mengatur administrasi wilayah Bashrah, juga berhasil didalam memimpin pasukan militernya. Merupakan suatu rahmat yang besar dari Allah terhadapnya dengan pertolongan-pertolongan-Nya melalui tangannya, sehingga ia mampu menaklukkan beberapa kota dan negeri, dan telah dimenangkan Allah dalam memerangi pemimpin-pemimpin “daulah Al-Farisiyah” dengan kecerdikkan dan ketajaman pemikirannya.
Pada akhir tahun 23 hijrah Amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu meninggal terbunuh sebagai syahid, dan Abu Musa ketika itu sedang berada di Bashrah mengajar dan berjuang menyampaikan dakwah kepada Allah, namun walaupun demikian beliau telah mengetahuinya melalui ru’yah yang merupakan karamah yang telah Allah berikan kepadanya, sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad di Thabaqat dengan sanadnya dari Abu musa (lih. Hayatu As- Shohabah juz; 3 hal; 666).
Setelah dibai’atnya khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau menbetapkan Abu Musa sebagai wali di Bashrah selama enam tahun, setelah lepas dari amanat ini banyak sekali cobaan-cobaan fitnah dan tantangan yang ia hadapi dalam menyampaikan syariat dan risalah Ilahi hingga masa kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu dan berakhir pada akhir hayatnya yaitu pada masa pemerintahan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.
Selama berjuang  bersama Rasulullah, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 355 hadits. Diantara hadits riwayatnya, dari Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah membentangkan tangannya di malam hari untuk memberi ampunan bagi orang yang berbuat jahat di siang hari. Dan Allah bentangkan tangganya di siang hari untuk memberi ampunan bagi orang yang berbuat jahat di malam hari hingga matahari terbenam.”(HR.Muslim)
Suatu hari beliau berkata; “Ada dua hal yang dapat memutus dariku kenikmatan dunia; mengingat mati dan mengingat dosa dihadapan Allah.”
Beberapa kata hikmah dan petuah beliau;
“Ikutilah petunjuk al-Qur’an…jangan pernah merasa jemu untuk ikut,
Beliau wafat di Kuffah pada tahun 44 Hijriah.
Sebelum wafatnya beliau masih sempat memberikan peringatan dan nasehat buat anak-anak dan keluarganya agar selalu beriltizam terhadap sunnah Nabi . Dan merupakan suatu kemuliaan dari Allah terhadap keluarganya dengan menjadikan banyak dari anak-anak, cucu-cucu sampai pada keturunan-keturunannya menjadi ulama, qadhi dan perawi hadist, yang merupakan berkah dari do’a Rasulullah yang diterimanya dan berkah keikhlasannya.
Demikianlah perjalanan dari kehidupan seorang sahabat Rasulullah yang ahli ibadat, wara’, mujahid dan faqih, semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari semua itu dan semoga Allah memberi hidayah kepada kita dalam melangkah tuk mencapai ridha-Nya serta mewafatkan kita dalam keadaan Iman dan Islam. Amin.
“Rabbana-ghfir lana wa li-ikhwanina allaziina sabaquuna bil-iimaan wala taj’al fi- quluubina ghillan lil-laziina a-manu Rabbana innaka Raufu-r- Rahiim”.

Ref:hilda amelia tangerang, Indonesiahttp://hildaamelia-hilda.blogspot.com/2011/09/abu-musa-al-asyari.html meref dari kitab -kitab berikut ini
1.       Rijaalu hawla ar-Rasul; oleh Khalid Muhammad Khalid.
2.       Hilyatu al-Awliya; oleh Al-hafidz Abu Na’im.
3.       Abu Musa Al-Asy’ariy (shohabah al-’alim, al-mujahid); oleh Abdul Hamid Mahmud Thohaziy


Sabtu, 08 Juni 2013

7 langit dan 7 malaikat penjaga



Telah diceritakan oleh Ibnu al-Mubarak tentang seorang laki-laki yang bernama Khalid bin Ma’dan, dimana ia pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal ra., salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw.
“Wahai Mu’adz! Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang telah engkau dengar langsung dari Rasulullah saw., suatu hadits yang engkau hafal dan selalu engkau ingat setiap harinya disebabkan oleh sangat kerasnya hadits tersebut, sangat halus dan mendalamnya hadits tersebut. Hadits yang manakah yang menurut engkau yang paling penting?”
Kemudian, Khalid bin Ma’dan menggambarkan keadaan Mu’adz sesaat setelah ia mendengar permintaan tersebut, “Mu’adz tiba-tiba saja menangis sedemikian rupa sehingga aku menduga bahwa beliau tidak akan pernah berhenti dari menangisnya. Kemudian, setelah beliau berhenti dari menangis, berkatalah Mu’adz: Baiklah aku akan menceritakannya, aduh betapa rinduku kepada Rasulullah, ingin rasanya aku segera bersua dengan beliau”
Selanjutnya Mu’adz bin Jabal ra. mengisahkan sebagai berikut, “Ketika aku mendatangi Rasulullah saw., beliau sedang menunggangi unta dan beliau menyuruhku untuk naik di belakang beliau. Maka berangkatlah aku bersama beliau dengan mengendarai unta tersebut. Sesaat kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, kemudian bersabdalah Rasulullah saw.:”
“Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang memberikan ketentuan (qadha) atas segenap makhluk-Nya menurut kehendak-Nya, ya Mu’adz!”. Aku menjawab, “Labbaik yaa Sayyidal Mursaliin”.
“Wahai Mu’adz! Sekarang akan aku beritakan kepadamu suatu hadits yang jika engkau mengingat dan tetap menjaganya maka (hadits) ini akan memberi manfaat kepadamu di hadhirat Allah, dan jika engkau melalaikan dan tidak menjaga (hadits) ini maka kelak di Hari Qiyamah hujjahmu akan terputus di hadhirat Allah Ta’ala!”
“Wahai Mu’adz! Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan tujuh Malaikat sebelum Dia menciptakan tujuh lelangit dan bumi. Pada setiap langit tersebut ada satu Malaikat yang menjaga khazanah, dan setiap pintu dari pintu-pintu lelangit tersebut dijaga oleh seorang Malaikat penjaga, sesuai dengan kadar dan keagungan (jalaalah) pintu tersebut.
Maka naiklah al-Hafadzah (malaikat-malaikat penjaga insan) dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang telah ia lakukan semenjak subuh hari hingga petang hari. Amal perbuatan tersebut tampak bersinar dan menyala-nyala bagaikan sinar matahari, sehingga ketika al-Hafadzah membawa naik amal perbuatan tersebut hingga ke Langit Dunia mereka melipat gandakan dan mensucikan amal tersebut. Dan ketika mereka sampai di pintu Langit Pertama, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ghiibah’, yang mengawasi perbuatan ghiibah (menggunjing orang), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal ini melewatiku untuk menuju ke langit yang berikutnya!”
Kemudian naiklah pula al-Hafadzah yang lain dengan membawa amal shalih diantara amal-amal perbuatan seorang hamba. Amal shalih itu bersinar sehingga mereka melipat-gandakan dan mensucikannya. Sehingga ketika amal tersebut sampai di pintu Langit Kedua, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, karena ia dengan amalannya ini hanyalah menghendaki kemanfaatan duniawi belaka! Akulah ‘Malakal Fakhr’, malaikat pengawas kemegahan, aku telah diperintah Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan ini melewatiku menuju ke langit berikutnya, sesungguhnya orang tersebut senantiasa memegahkan dirinya terhadap manusia sesamanya di lingkungan mereka!”. Maka seluruh malaikat mela’nat orang tersebut hingga petang hari.
Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba yang lain. Amal tersebut demikian memuaskan dan memancarkan cahaya yang jernih, berupa amal-amal shadaqah, shalat, shaum, dan berbagai amal bakti (al-birr) yang lainnya. Kecemerlangan amal tersebut telah membuat al-Hafadzah takjub melihatnya, mereka pun melipat-gandakan amal tersebut dan mensucikannya, mereka diizinkan untuk membawanya. Hingga sampailah mereka di pintu Langit Ketiga, maka berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibil Kibr’, malaikat pengawas kesombongan, aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan seperti ini lewat dihadapanku menuju ke langit berikutnya! Sesungguhnya pemilik amal ini telah berbuat takabbur di hadapan manusia di lingkungan (majelis) mereka!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah yang lainnya dengan membawa amal seorang hamba yang sedemikian cemerlang dan terang benderang bagaikan bintang-bintang yang gemerlapan, bagaikan kaukab yang diterpa cahaya. Kegemerlapan amal tersebut berasal dari tasbih, shalat, shaum, haji dan umrah. Diangkatlah amalan tersebut hingga ke pintu Langit Keempat, dan berkatalah Malaikat penjaga pintu langit kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah, punggung, dan perut dari si pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ujbi’, malaikat pengawas ‘ujub (mentakjubi diri sendiri), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya! Sesungguhnya si pemilik amal ini jika mengerjakan suatu amal perbuatan maka terdapat ‘ujub (takjub diri) didalamnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba hingga mencapai ke Langit Kelima, amalan tersebut bagaikan pengantin putri yang sedang diiring diboyong menuju ke suaminya. Begitu sampai ke pintu Langit Kelima, amalan yang demikian baik berupa jihad, haji dan umrah yang cahayanya menyala-nyala bagaikan sinar matahari. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya dan pikulkanlah pada pundaknya! Akulah ‘Shaahibul Hasad’, malaikat pengawas hasad (dengki), sesungguhnya pemilik amal ini senantiasa menaruh rasa dengki (hasad) dan iri hati terhadap sesama yang sedang menuntut ilmu, dan terhadap sesama yang sedang beramal yang serupa dengan amalannya, dan ia pun juga senantiasa hasad kepada siapapun yang berhasil meraih fadhilah-fadhilah tertentu dari suatu ibadah dengan berusaha mencari-cari kesalahannya! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku untuk menuju ke langit berikutnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang memancarkan cahaya yang terang benderang seperti cahaya matahari, yang berasal dari amalan menyempurnakan wudhu, shalat yang banyak, zakat, haji, umrah, jihad, dan shaum. Amal perbuatan ini mereka angkat hingga mencapai pintu Langit Keenam. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu ini kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, sesungguhnya sedikitpun ia tidak berbelas kasih kepada hamba-hamba Allah yang sedang ditimpa musibah (balaa’) atau ditimpa sakit, bahkan ia merasa senang dengan hal tersebut! Akulah ‘Shaahibur-Rahmah’, malaikat pengawas sifat rahmah (kasih sayang), aku telah diperintahkan Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya!”
Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang lain, amal-amal berupa shaum, shalat, nafaqah, jihad, dan wara’ (memelihara diri dari perkara-perkara yang haram dan subhat/meragukan). Amalan tersebut mendengung seperti dengungan suara lebah, dan bersinar seperti sinar matahari. Dengan diiringi oleh tiga ribu malaikat, diangkatlah amalan tersebut hingga mencapai pintu Langit Ketujuh. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, pukullah anggota badannya dan siksalah hatinya dengan amal perbuatannya ini! Akulah ‘Shaahibudz-Dzikr’, malaikat pengawas perbuatan mencari nama-diri (ingin disebut-sebut namanya), yakni sum’ah (ingin termashur). Akulah yang akan menghijab dari Rabb-ku segala amal perbuatan yang dikerjakan tidak demi mengharap Wajah Rabb-ku! Sesungguhnya orang itu dengan amal perbuatannya ini lebih mengharapkan yang selain Allah Ta’ala, ia dengan amalannya ini lebih mengharapkan ketinggian posisi (status) di kalangan para fuqaha (para ahli), lebih mengharapkan penyebutan-penyebutan (pujian-pujian) di kalangan para ulama, dan lebih mengharapkan nama baik di masyarakat umum! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini lewat dihadapanku! Setiap amal perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlash karena Allah Ta’ala adalah suatu perbuatan riya’, dan Allah tidak akan menerima segala amal perbuatan orang yang riya’!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum, haji, umrah, berakhlak baik, diam, dan dzikrullah Ta’ala. Seluruh malaikat langit yang tujuh mengumandang-kumandangkan pujian atas amal perbuatan tersebut, dan diangkatlah amalan tersebut dengan melampaui seluruh hijab menuju ke hadhirat Allah Ta’ala. Hingga sampailah dihadhirat-Nya, dan para malaikat memberi kesaksian kepada-Nya bahwa ini merupakan amal shalih yang dikerjakan secara ikhlash karena Allah Ta’ala.
Maka berkatalah Allah Ta’ala kepada al-Hafadzah, “Kalian adalah para penjaga atas segala amal perbuatan hamba-Ku, sedangkan Aku adalah Ar-Raqiib, Yang Maha Mengawasi atas segenap lapisan hati sanubarinya! Sesungguhnya ia dengan amalannya ini tidaklah menginginkan Aku dan tidaklah mengikhlashkannya untuk-Ku! Amal perbuatan ini ia kerjakan semata-mata demi mengharap sesuatu yang selain Aku! Aku yang lebih mengetahui ihwal apa yang diharapkan dengan amalannya ini! Maka baginya laknat-Ku, karena ini telah menipu orang lain dan telah menipu kalian, tapi tidakklah ini dapat menipu Aku! Akulah Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib, Maha Melihat segala apa yang ada di dalam hati, tidak akan samar bagi-Ku setiap apa pun yang tersamar, tidak akan tersembunyi bagi-Ku setiap apa pun yang bersembunyi! Pengetahuan-Ku atas segala apa yang akan terjadi adalah sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang baqa (kekal), Pengetahuan-Ku tentang yang awal adalah sama dengan Pengetahuan-Ku tentang yang akhir! Aku lebih mengetahui perkara-perkara yang rahasia dan lebih halus, maka bagaimana Aku dapat tertipu oleh hamba-Ku dengan ilmunya? Bisa saja ia menipu segenap makhluk-Ku yang tidak mengetahui, tetapi Aku Maha Mengetahui Yang Ghaib, maka baginya laknat-Ku!”
Maka berkatalah malaikat yang tujuh dan 3000 malaikat yang mengiringi, “Yaa Rabbana, tetaplah laknat-Mu baginya dan laknat kami semua atasnya!”, maka langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya menjatuhkan la’nat kepadanya.
Setelah mendengar semua itu dari lisan Rasulullah saw. maka menagislah Mu’adz dengan terisak-isak, dan berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau adalah utusan Allah sedangkan aku hanyalah seorang Mu’adz, bagaimana aku dapat selamat dan terhindar dari apa yang telah engkau sampaikan ini?”
Berkatalah Rasulullah saw., “Wahai Mu’adz! Ikutilah Nabi-mu ini dalam soal keyakinan sekalipun dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan. Wahai Mu’adz! Jagalah lisanmu dari kebinasaan dengan meng-ghiibah manusia dan meng-ghiibah saudara-saudaramu para pemikul Al-Qur’aan. Tahanlah dirimu dari keinginan menjatuhkan manusia dengan apa-apa yang kamu ketahui ihwal aibnya! Janganlah engkau mensucikan dirimu dengan jalan menjelek-jelekan saudara-saudaramu! Janganlah engkau meninggikan dirimu dengan cara merendahkan saudara-saudaramu! Pikullah sendiri aib-aibmu dan jangan engkau bebankan kepada orang lain”
“Wahai Mu’adz! Janganlah engkau masuk kedalam perkara duniamu dengan mengorbankan urusan akhiratmu! Janganlah berbuat riya’ dengan amal-amalmu agar diketahui oleh orang lain dan janganlah engkau bersikap takabbur di majelismu sehingga manusia takut dengan sikap burukmu!”
“Janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang sementara di hadapanmu ada orang lain! Janganlah engkau mengagung-agungkan dirimu dihadapan manusia, karena akibatnya engkau akan terputus dari kebaikan dunia dan akhirat! Janganlah engkau berkata kasar di majelismu dan janganlah engkau merobek-robek manusia dengan lisanmu, sebab akibatnya di Hari Qiyamah kelak tubuhmu akan dirobek-robek oleh anjing-anjing neraka Jahannam!”
“Wahai Mu’adz! Apakah engkau memahami makna Firman Allah Ta’ala: ‘Wa naasyithaati nasythan!’ (‘Demi yang mencabut/menguraikan dengan sehalus-halusnya!’, An-Naazi’aat [79]:2)? Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. bersabda, “Anjing-anjing di dalam Neraka yang mengunyah-ngunyah daging manusia hingga terlepas dari tulangnya!”
Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Ya Rasulullah, siapakah manusia yang bisa memenuhi seruanmu ini sehingga terhindar dari kebinasaan?”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya hal demikian itu sangat mudah bagi siapa saja yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala! Dan untuk memenuhi hal tersebut, maka cukuplah engkau senantiasa berharap agar orang lain dapat meraih sesuatu yang engkau sendiri mendambakan untuk dapat meraihnya bagi dirimu, dan membenci orang lain ditimpa oleh sesuatu sebagaimana engkau benci jika hal itu menimpa dirimu sendiri! Maka dengan ini wahai Mu’adz engkau akan selamat, dan pasti dirimu akan terhindar!”
Khalid bin Ma’dan berkata, “Sayyidina Mu’adz bin Jabal ra. sangat sering membaca hadits ini sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Qur’aan, dan sering mempelajari hadits ini sebagaimana seringnya beliau mempelajari Al-Qur’aan di dalam majelisnya”.

Hadits ini saya temukan didalam kitab Minhajul'abidin Imam al-gozali.

Selasa, 04 Juni 2013

TIGA SEKAWAN 

Ada tiga sekawan yaitu Kodok, Kecoa,dan Ulat Kaki Seribu. 
Terus si kodok membuat pesta dan mengundang dua kawannya tersebut. 

Sewaktu pesta berlangsung si kodok pun berkata: 

Kodok: eh brow... aku lupa beli rokok... mulut dah asem nih, ulat pergi beliin rokok dong... dan kamu kecoa, mau merokok juga kan...???

Kecoa : so pastilah... iya sana Ulat beliin aku juga rokok yaaa... kaki-mu kan ada SERIBU, pasti cepet nyampenya.

Ulat Kaki Seribu : kok aku sih...??? kenapa gak kau saja kodok...!!!

kodok : kan aku yang buat pesta... karena kalau kamu cepet kan...!!!

Ulat Kaki Seribu : ok deh aku yang jalan...

Dan si Ulat pun pergi. si Kecoa dan Kodok pun menunggu. 
Setelah nunggu satu jam Ulat belum muncul, 
2 jam kemudian nggak muncul-muncul juga... 

Kecoa : mana sih si Ulat gak muncul-muncul asem nih bibir

Kodok : iye nih kta susul saja yuk...

Kecoa : oke deh... 

Lantas mereka pergi keluar, 
pas di teras rumah mereka terkejut karena melihat Kaki Seribu ada di luar

Kodok : Ulat... kok kamu belum pergi...??? 

Ulat Kaki Seribu : ....kalian gak ngeliat apah...!!! aku nih masih PASANG SEPATU...!!! 

Kodok & Kecoa : ....Ya ampuuunnn.... mana kakinya ada SERIBU lagih. pantesan lammmma....!!!! "

Minggu, 02 Juni 2013

DASAR HUKUM MENINIDIK BAYI



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Nihayatuz Zain hal 385 Cet. Dar Fikr
 وحرم تثقيب أذن ) قال الزيادي والأوجه أن ثقب أذن الصغيرة لتعليق الحلق حرام لأنه لم تدع إليه حاجة وغرض الزينة لا يجوز بمثل هذا التعذيب هذا ما قاله الغزالي في الإحياء وأفتى بذلك الشيخ الرملي ورجح في موضع آخر الجواز وهو المعتمد كذا في تحفة الحبيب أما خرم أذن الصبي فحرم قطعا كما يحرم خرم الأنف ليجعل فيه حلقة من ذهب أو نحوه ولا فرق في ذلك بين الذكر والأنثى ولا عبرة باعتياد ذلك لبعض الناس في نسائهم

Artinya : "Diharomkan melubangi daun telinga ,berkata Imam Al-Zayadiy rahimahulloh : beberapa pendapat menyatakan keharomannya(yakni  melubangi daun telinga bayi perempuan ) dg alasan untuk memasang anting - anting,sebab keharomannya adalah karena perbuatan menindik tidak mendukung untuk tercapainya keperluan berhias maka hal sperti ini yakni memasang anting tidak dibolehkan  ,inilah pendapatnya Imam Al-gozali rahimahulloh ta'ala dalam kitab Al-Ihyaa,sedangkan Al-Imam Ar-romliy dalam suatu tarjihnya membolehkan dan pendapat "boleh"inilah pendapat yang dimenangkan(dipercaya) ,demikianlah pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab "tuhfatul Habib".Adapun memecahkan lubang daun telinga tetap harom sacara mutlaq sama halnya dengan hukum melubangi daun hidung dengan tujuan untuk memasang emas(atau lainnya)pada lingkarannya ,keharoman ini berlakau bagi laki maupun prempuan,tidak ada contonya bagi sebagian orang pada wanita-wanita dikalangan mereka"

Jadi kesimpulannya saya boleh kalau hanya melubangi daun telinga seukuran jarum kecil bukan hidung ,wallohu'alam

Adapun tulisan -tulisan dibawah ini menjadi pendukung bagi tulisan diatas yakni tulisan Syeikh bantani

Asnal Mathalib jilid
 تنبيه ) تثقيب أذن الصبية لتعليق الحلق جائز على الراجح خلافا للغزالي قال شيخنا ما كتبه الوالد هنا هو الأوجه وإن وافق الغزالي على الحرمة في فتاويه

Mughny Muhtaj jilid 4 hal 296 cet. Dar Fikr
فائدة قال في الإحياء لا أدري رخصة في تثقيب أذن الصبية لأجل تعليق حلي الذهب أي أو نحوه فيها ، فإن ذلك جرح مؤلم ، ومثله موجب للقصاص ، فلا يجوز إلا لحاجة مهمة كالفصد والحجامة والختان .والتزين بالحلي غير مهم ، فهذا وإن كان معتادا فهو حرام ، والمنع منه واجب ، والاستئجار عليه غير صحيح ، والأجرة المأخوذة عليه حرام ا هـ
فإن قيل في البخاري فجعلن يلقين من أقراطهن وخواتيمهن في حجر بلال ؟
أجيب بأن النبي صلى الله عليه وسلم أقر على التعليق لا على التثقيب ، وعند الحنابلة أن تثقيب آذان البنات للزينة جائز ويكره للصبيان ، وعند الحنفية لا بأس بتثقيب آذان الصبية لأنهم كانوا يفعلونه في الجاهلية ولم ينكر عليهم النبي صلى الله عليه وسلم .قال الحسن بن إسحاق بن راهويه ولد أبو إسحاق مثقوب الأذنين فمضى جدي إلى الفضل بن موسى فسأله عن ذلك فقال يكون ابنك رأسا إما في الخير وإما في الشر

 Tuhfatul Muhtaj jilid 9 hal 228 Cet. dar Fikr
( فلو مات ) المولى ( بجائز من هذا ) الذي هو قطع السلعة أو الفصد أو الحجامة ، ومثلها ما في معناها ( فلا ضمان ) بدية ولا كفارة ( في الأصح ) ؛ لئلا يمتنع من ذلك فيتضرر المولى ، نعم صرح الغزالي وغيره بحرمة تثقيب أذن الصبي أو الصبية ؛ لأنه إيلام لم تدع إليه حاجة ، قال الغزالي إلا أن يثبت فيه من جهة النقل رخصة ولم تبلغنا
وكأنه أشار بذلك إلى رد ما قيل مما جرى عليه قاضي خان من الحنفية في فتاويه أنه لا بأس به ؛ لأنهم كانوا يفعلونه جاهلية ولم ينكر عليهم صلى الله عليه وسلم وفي الرعاية للحنابلة يجوز في الصبية لغرض الزينة ويكره في الصبي وأما ما في الحديث الصحيح { أن النساء أخذن
ما في آذانهن وألقينه في حجر بلال ، والنبي صلى الله عليه وسلم يراهن } فليس فيه دليل للجواز ؛ لأن التثقيب سبق قبل ذلك فلم يلزم من سكوته عليه حله ، وزعم أن تأخير البيان عن وقت الحاجة ممتنع لا يجدي هنا ؛ لأنه ليس فيه تأخير ذلك إلا لو سئل عن حكم التثقيب أو رأى من يفعله أو بلغه ذلك فهذا هو وقت الحاجة ، وأما شيء وقع وانقضى ولم يعلم هل فعل بعد أو لا فلا حاجة ماسة لبيانه ، نعم خبر الطبراني بسند رجاله ثقات عن ابن عباس : أنه عد من السنة في الصبي يوم السابع أن تثقب آذانه صريح في الجواز في الصبي ، فالصبية أولى ؛ لأن قول الصحابي من السنة كذا في حكم المرفوع وبهذا يتأيد ما ذكر عن قاضي خان والرعاية من حيث مطلق الحل ، ثم رأيت الزركشي استدل للجواز بما في حديث أم زرع في الصحيح ، وهو { قوله صلى الله عليه وسلم لعائشة : كنت لك كأبي زرع لأم زرع } مع قولها : أناس أي : ملأ من حلي أذني انتهى
وفيه نظر يتلقى مما ذكرناه في حديث النساء ؛ إذ بفرض دلالة الحديث على أن أذنيها كانتا مخرقتين وأنه صلى الله عليه وسلم ملأهما حليا هو محتمل إذ لم يدر من خرقهما ، وقد تقرر أن وجود الحلي فيهما لا يدل على حل ذلك التخريق السابق ، ويظهر في خرق الأنف بحلقة تعمل فيه من فضة أو ذهب أنه حرام مطلقا ؛ لأنه لا زينة في ذلك يغتفر لأجلها إلا عند فرقة قليلة ولا عبرة بها مع العرف العام بخلاف ما في الآذان فإنه زينة للنساء في كل محل
والحاصل أن الذي يتمشى على القواعد حرمة ذلك في الصبي مطلقا ؛ لأنه لا حاجة فيه يغتفر لأجلها ذلك التعذيب ، ولا نظر لما يتوهم أنه زينة في حقه ما دام صغيرا ؛ لأن الحق أنه لا زينة فيه بالنسبة إليه وبفرضه هو عرف خاص ، وهو لا يعتد به لا في الصبية لما عرف أنه زينة مطلوبة في حقهن قديما وحديثا ، وقد جوز صلى الله عليه وسلم اللعب لهن للمصلحة ، فكذا هذا ، وأيضا جوز الأئمة لوليها صرف مالها فيما يتعلق بزينتها لبسا وغيره مما يدعو الأزواج إلى خطبتها وإن ترتب عليه فوات مال لا في مقابل تقديما لمصلحتها المذكورة ، فكذا هنا ينبغي أن يغتفر هذا التعذيب ؛ لأجل ذلك على أنه تعذيب سهل محتمل وتبرأ منه سريعا ، فلم يكن في تجويزه لتلك المصلحة مفسدة بوجه فتأمل ذلك فإنه مهم

Ihya `Ulumiddin dan ittihaf Sadatil Muttaqin jilid 8 hal 128 Cet. Dar Kutub Ilmiyah
ولا أرى رخصة في تثقيب أذن الصبية لأجل تعليق حلق الذهب فيها فإن هذا جرح مؤلم ومثله موجب للقصاص فلا يجوز إلا لحاجة مهمة كالفصد والحجامة والختان والتزين بالحلق غير مهم بل في التقريط بتعليقه على الأذن وفي المخانق والأسورة كفاية عنه
فهذا وإن كان معتادا فهو حرام والمنع منه واجب والاستئجار عليه غير صحيح والأجرة المأخوذة عليه حرام إلا أن يثبت من جهة النقل فيه رخصة ولم يبلغنا إلى الآن فيه رخصة
(قوله فهو حرام والمنع منه واجب والاستئجار عليه غير صحيح والأجرة المأخوذة عليه حرام إلا أن يثبت من جهة النقل فيه رخصة ولم يبلغنا إلى الآن فيه رخصة) و المشهور ان السيدة سارة ام اسحاق عليه السلام لما غضبت على هاجر ام اسماعليل عليه السلام حلفت لتقطعن من اطرافها فتثقبت اذنها وانفها وخفضتها لأجل اليمين فبقي ذلك سنة ولم يثبت ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عنه فهذا وجه الرخصة


Hasyiah Bujairimy `ala Khatib jilid 2 hal 260 Cet. Dar Fikr
قال الشريف الرحماني : وخرق الأنف لما يجعل فيه من نحو حلقة نقد حرام مطلقا ، ولا عبرة باعتياد ذلك لبعض الناس في نسائهم وأذن الصبي كذلك ، ولا نظر لزينته بذلك دون الأنثى ، فيجوز خرق أذنها على المعتمد من إفتاءين للرملي متناقضين . وعبارة الرملي في شرح الزبد : وأما تثقيب آذان الصبية لتعليق الحلق فحرام لأنه جرح لم تدع إليه حاجة 
 صرح به الغزالي في الإحياء وبالغ فيه مبالغة شديدة ، قال : إلا أن ثبت فيه من جهة النقل رخصة ولم يبلغنا . وقوله : فحرام ضعيف ، وفي الرعاية في مذهب الإمام أحمد : يجوز تثقيب آذان الصبية للتزيين ويكره ثقب أذن الصبي اه بحروفه

Ghayatul Bayan Syarah Zubad ibnu Ruslan hal 40 Cet. Dar Ma`rifah
وأما تثقيب آذان الصبية لتعليق الحلق فحرام لأنه جرح لم تدع إليه حاجة صرح به الغزالى في الإحياء وبالغ فيه مبالغة شديدة قال إلا أن يثبت فيه من جهة النقل رخصة ولم تبلغنا وفي الرعاية في مذهب أحمد يجوزتثقيب آذان الصبية للزينة ويكره ثقب آذان الصبي وفي فتاوى قاضيخان من الحنفية أنه لا بأس بتثقيب آذان الصبية لأنهم كانوا يفعلونه في الجاهلية ولم ينكر عليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم
http://lbm.mudimesra.com/

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...