Rabu, 13 Agustus 2014

Hukum asuransi dalam Islam

Bismillahirrohmaanirrohim
Hukum asuransi dalam Islam
Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri.

Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam

Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.

Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.

Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )  Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.

Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992:

” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan “

Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :

I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :

1.    Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial

2.    Asuransi Sosial ( Ta’min  Ijtima’i ) , yaitu asuransi ( jaminan )  yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan  dan lain-lain.   [1]

Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan  kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.

Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan. [2]

II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.

Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :

1.    Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )

2.    Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan

Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :

Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )

Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.

Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )

Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.

Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk  [3] :

1.       Term assurance (Asuransi Berjangka)

Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode

waktu tertentu.

Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance)  :

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 1 tahun
Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.       Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) 

Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.

3.       Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) 

Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.

Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)

Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 10 tahun
Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
1.      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2.      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta

IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.

Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :

1.    Asuransi Konvensional

2.    Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator. [4]

Hukum Asuransi
Hukum Asuransi menurut Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :

Pertama : Ansuransi Ta’awun

Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut [5] :

Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang  menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan  ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.

Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.

Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.

Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.

Kedua : Asuransi Sosial

Begitu juga asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :

Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu. 

Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan  hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.

Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga

Adapun untuk Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut [6] :

Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad  secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :

َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

” Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787  )

Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah  ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang,  juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Maidah: 90).

Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para ulama.

Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur  rihan ( taruhan )  yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta  perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“ Tidak ada perlombaan  kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau  yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )

Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.

Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).

Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan  bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional.[7]

Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :

Dari Sisi Prinsip Dasar

Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ), yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan ditanggung secara penuh oleh pengelola.

Dari Sisi Akad

Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).

Dari Sisi Kepimilikan Dana

Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri. Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah ( bagi hasil ). Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana.

Dari sisi obyek

Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan juga hotel-hotel yang tidak syariah.  Adapun Asuransi Konvensional tidak membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.

Dari Sisi Investasi Dana.

Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).

Dari Sisi Pembayaran Klaim.

Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ ( dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi pengeluaraan perusahaan.

Dari Sisi Pengawasan.

Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.

Dari sisi dana zakat, infaq dan sadaqah.

Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal istilah zakat.



Perkembangan Asuransi di Indonesia [8]

Asuransi Jiwa Konvensional pertama kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas.  Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra. Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat hingga  tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah : American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.

Adapun asuransi Syariah pertama kali di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful. Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34 perusahaaan lebih.

Rata-rata asuransi Syariah yang disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu  . Yang benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah adalah  PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994.   Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance, adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syariah adalah : PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas.*



Catatan Kaki:

[1] DR, Syekh Husain bin Muhammad al Malah, Al fatwa Nasyatuha wa Tathuwuruha, Hal. 909

[2] http://www.asuransicerdas.com/

[3] http://pojokasuransi.com

[4] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2

[5] Keputusan Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya’ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah,  dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.

[6] Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’ Fiqh al Islami,  pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,

[7] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2-5

[8] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 69-73



Penulis: DR. Ahmad Zain An-Najah

===============================================================
Sumber : - See more at: http://www.arrahmah.com/read/2011/12/15/16834-hukum-asuransi-dalam-islam.html#sthash.xd2MU4H1.dpuf

Kamis, 24 Juli 2014

Beredar Pesan Berantai Ketua KPU Terima Suap Rp 25 Miliar

Bismillahirrohmaanirrohim

Rabu, 23 Juli 2014 , 22:53:00 WIB
Laporan: Ade Mulyana

RMOL. Ketua KPU Husni Kamil Manik dikabarkan menerima suap untuk memenangkan pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Kabar ini muncul setelah marak pemberitaan mengenai beredarnya foto bareng Husni bersama sejumlah orang yang disebut-sebut kuat tim sukses Jokowi-JK.

Kabar Husni menerima sogokan muncul dalam pesan Black Berry Messenger (BBM) berantai, mulai petang tadi (Rabu, 23/7). Tidak diketahui siapa pembuat pesan. Dalam pesan yang disebar dengan mengklaim laporan intelijen itu sama sekali tidak tercantum nama seorang pun.

Dalam pesan disebutkan sogokan diterima Husni beserta timnya dari pengusaha keturunan dan pihak asing yang afiliasi politiknya sejak awal kepada Jokowi. Sogokan, masih kata pesan itu, ditransaksikan oleh dua purnawirawan jenderal TNI yang menjadi tim sukses Jokowi-JK.

"Ketua KPU diperiksa aparat BIN dan sudah mengaku menerima 25 miliar dan data yang ada di KPU diplintir," begitu isi lain dari pesan tersebut.

Dalam pesan juga tertulis jika tindakan Husni Kamil ini sebagai kejahatan terstruktur.

"Hasil (Pilpres) yang telah KPU umumkan akan dibatalkan dengan batas waktu yang tidak ditentukan," masih kata pesan tersebut.

Pada bagian lain pesan tertulis informasi bahwa Presiden SBY turun gunung terkait berbagai kecurangan Pilpres yang  terjadi. Presiden SBY bersama Menko Polkam, Kepala BIN, Panglima TNI, Kapolri, Mendagri, memanggil Ketua KPU ke Cikeas tadi malam setelah pengumuman rekapitulasi suara Pilpress 2014.

"SBY buka tabulasi data yang cikeas punya, ternyata hasilnya Prabowo yang menang (54,75%) Jokowi (46,23%)," demikian isi pesan itu.

Redaksi sudah meminta jawaban Husni atas pesan berantai yang menyebar di Blackberry Massanger ini, dan akan segera disampaikan ke pembaca. [dem]
----------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : http://www.rmol.co/read

Minggu, 20 Juli 2014

Ini Alasan Sule Keluar Dari OVJ. Lho, Keluar Tho?


image

Sule (kanan) bersama para "kembarannya"
Rideralam.com – Brosis, suka dengan acara Trans 7 bergenre komedi Opera Van Java (OVJ) kan ya? Kalau RA sih suka, namun untuk format dan formasi lengkap sebelum yang sekarang. Konsep pewayangan dengan ada dalang dan para wayang yang tentu saja pakai tanda kutip memang unik dan beda dengan yang lain. Para wayang tetapnya ada lima, Parto (sekaligus dalang), Andre, Nunung, Azis dan Sule. Nah, untuk nama terakhir ternyata kalau diperhatikan sudah tidak pernah tampil lagi. Ada apa ya?

Ternyata komedian berambut panjang dan pirang ini mengaku sudah habis kontraknya dengan acara tersebut dan memilih tidak memperpanjangnya, masalah honor? Entahlah…

Yang jelas, OVJ tanpa salah satu dari para wayang yang tadi disebutkan sangat berasa kurangnya. Walaupun mungkin ada yang bilang Azis yang paling tidak bisa melakukan lawakan-lawakan seperti Sule atau Andre, namun OVJ tanpa Azis juga kerasa hambar. Tidak ada objek “penderita”. Apalagi saat ini, OVJ tanpa Sule begitu kerasa kurangnya. Duet tik-taknya dengan Andre ditambah Parto sangat enak ditonton. Mengalir gitu aja, apalagi ditambah Azis yang jadi “korban” dan Nunung yang “gila”.

Kembali soal Sule, melalui akun twiternya @newsuleprikitiw komedian asal garut tersebut mengkonfirmasi bahwa kontraknya di OVJ telah habis. “Kontraknya sudah habis”, demikian ujar Sule.

Namun, nampaknya keputusan Sule tidak memperpanjang kontraknya di OVJ mengundang reaksi kekecewaan dari beberapa penggemar OVJ. Apalagi saat ini Sule sering terlihat di acara talk show NET. Di twitter kekesalan penggemar OVJ terlihat, misalnya @alfaridzi_azza yang menyindir “Maklumlah kalau orang sudah tenar, yang besarin namanya dilupain, maju terus OVJ”. Sebelumnya ia juga menyampaikan kritik kepada Sule. “Karena bayarannya gedean jadi lupa yang sama yang besarin namanya (Sule).”

Lalu ada @sikunadhitya yang kecewa setelah Sule lebih memilih acara lain, “@newsuleprikitiw saya liat byk artis yg py acara. contoh rafi ahmad RCTI ANTV TransTV tapi dia bisa jalanin tanpa harus keluar dari situ acara, Kang”

Nampaknya mendapat sindiran bertubi-tubi, komedian bernama asli Entis Sutisna ini emosi juga. “@sikunadhitya maaf saya bukan karena uang ditempat kerja saya sekarang honor sy dibawah OVJ demi Allah”. Sule melanjutkan tweet dengan sedikit emosi, “@sikunadhitya kita sama-sama saling membesarkan cuma bukan karena honor, masalahnya tolong dipikirkan dulu kalo mau comment.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber :http://rideralam.com/

ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI DARI SUAMINYA

Bismillahirrohmaanirrohim


Masalah ,292: ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI (KHULU’) DARI SUAMINYA

Dijawab oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz

Tanya:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Assalamualaikum, mohon penjelasannya, alasan apa yg membolehkan seorg istri agar bs cerai dr suaminya ? Syukron

Jawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bismillah. Di dalam agama Islam, pada dasarnya seorang istri dilarang minta cerai (khulu’) dari suaminya kecuali jika didasari dengan alasan2 yg dibenarkan syariat Islam. Diantara alasan2 yg syar’i tsb adalah sbb: 

1. Suami murtad (keluar dr agama Islam n masuk ke agama lain).
2. Suami berbuat kekufuran atau kemusyrikan kpd Allah dengan berbagai macam n bentuknya. Dan telah ditegakkan hujjah atau disampaikan nasehat kepadanya agar bertaubat darinya tapi tidak mendengar n menerima.
3. Suami melarang n menghalangi istri utk melaksanakan kewajiban2 agama, spt kewajiban sholat 5 waktu, kewajiban zakat, memakai hijab syar’I yg menutupi auratnya, menuntut ilmu syar’I yg hukumnya fardhu ‘ain, dsb.
4. Suami memerintahkan n memaksa istri berbuat dosa n maksiat kpd Allah.
5. Suami Berakidah n bermanhaj sesat n menyesatkan dari agama Allah yg lurus n haq. Spt ia menganut paham Syi’ah, Ahmadiyah, ingkar sunnah, dsb.
6. Suami bersikap kasar n keras, serta tidak sayang kpd istri, n akhlaknya buruk.
7. Suami menolak n berpaling dari agama Islam, tidak mau mempelajarinya, n tidak taat n tunduk terhadap aturan2nya.
8. Suami tidak mampu memberikan nafkah wajib bagi istri, baik nafkah lahir maupun “bathin”. Atau suami tidak fertiL, sehingga tdk bisa memberikan keturunan.
9. Istri merasa benci n sdh tidak nyaman hidup brsama suaminya, bukan karena agama n akhlak suami yg baik, tapi karena khawatir tidak bisa memenuhi hak-haknya.
10. Dan alasan2 Lainnya yg syar’i.

Dengan adanya salah satu alasan dari alasan2 ini, maka sang istri boleh minta cerai (khulu’) dari suaminya. Tentunya hal ini dilakukan setelah memberikan nasehat kpdanya secara langsung maupun dengan minta bantuan orang lain yg dianggap mampu menasehatinya n menyingkap kerancuan n kesesatannya. N jg stlh mempertimbangkan antara sisi Maslahat (kebaikan) n mafsadat (kerusakan).

Adapun minta cerai tanpa alasan syar’i maka hukumnya haram n trmasuk dosa besar. Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عَنْ ثَوْبَانَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ “.

Dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wanita mana saja yg minta cerai (khulu’) dari suaminya tanpa alasan yg benar (syar’i) , maka diharamkan baginya mencium bau harum Surga.”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.2055. Dan dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani rahimahullah di dlm Shohih Sunan Ibnu Majah).

Demikian jawaban yg dpt kami sampaikan. Smg mudah dipahami n mnjdi tambahan ilmu yg bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab. Wabillahi at-Taufiq.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber :
http://abufawaz.wordpress.com/2013/02/13/alasan-alasan-syari-yang-membolehkan-seorang-istri-minta-cerai-dari-suaminya/
BlackBerry Majlis Hadits, chat room Tanya Jawab. PIN: 2987565B)

Jumat, 18 Juli 2014

5 Kejadian mengerikan setelah berciuman


      salah satu bentuk ungkapan kasih sayang yang dapat dilakukan oleh manusia. Namun apa jadinya jika ciuman tadi berubah menjadi bencana dan kengerian untuk kamu ? Nah berikut ini ada beberapa kejadian mengerikan yang terjadi akibat ciuman seperti dikutip dari unikgaul.com




1. Tali Lidah Putus

Pada tahun 2011 gadis asal China berusia 19 tahun mengalami hal yang menerikan ketika ia di cium oleh pacarnya yang sudah lama tidak berjumpa dengan dirinya, Akibat ciuman keras dari sang pria yang merupakan kekasih  gadis yang tidak mau disebutkan namanya ini membuat tali lidahnya putus. Gadis ini pun harus dibawa kerumah sakit dengan mulut yang berdarah darah.

2. Bayi Meninggal karena dicium ayah yang terinfeksi Virus

Ketika bayi baru lahir pasti sang ayah ingin sekali mencium bayinya untuk menunjukan rasa kasih sayangnya, namun apa jadinya jika ciuman tersebut malah menjadi maut bagi anaknya.

Kejadian ini terjadi pada bayi Kaiden McCormick,  yang secara prematur dan meninggal akibat dicium oleh ayahnya sendiri, Kaiden McCormick meninggal akibat terinveksi virus cold sore (oral herpes atau herpes di bibir) yang ditularkan oleh ayahnya lewat ciuman. Akibat dari virus yang masuk kedalam tubuh bayi membuat bayi malang ini mengalami kegagalan vugsi organ dan membuatnya meninggal dunia.

3. Ciuman berakhir di rumah sakit karena alergi kacang

Gadis berusia 14 tahun bernama Lura Kukik mengalami hal yang buruk setelah ia berciuman dengan pacarnya yang selesai sarapan, ternyata sang pacar sarapan saus kacang dan Laura ternayata memiliki alergi Kacang. Akibat dari ciuman ini membuat Laura Kukic mengalami alergi yang sangat dasyat, Wajahnya mulai membengkak dan mengalami kesulitan bernapas. Ahkirnya ia pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

4. Kanker Mulut karena hobi oral seks dan french kiss

Bagi kamu yang suka oral seks ada baiknya  berhati hati dan selalu memperhatikan kebersihan, nah seperti yang dialami oleh Victoria Workman (51) ia menderita kanker mulut yang berbahaya akibat melakukan sek oral dan french kiss yang tidak memperhatikan kebersihan.

5. Tuli gara-gara berciuman

Seorang wanita Tionghoa dilaporkan menjadi tuli di telinga kirinya setelah berciuman dengan pacarnya. Ciuman yang brutal diduga membuat pecah gendang telinga bagian kiri.
Posted by Hotmagz AnehTapiNyata

---------------------------------------------------------------------------
Sumber :http://www.hotmagz.com/2013/12/5-kejadian-mengerikan-setelah-berciuman.html

Sabtu, 05 Juli 2014

Bahayanya Al-quran ditafsirkan sendiri menurut akalnya saja

Bismillahirrohmaanirrohim
Memang sudah disabdakan Nabi Muhammad SAW akan banyaknya di akhir zaman orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan sembarangan, sesuai pendapat sendiri saja. Tanpa memiliki kemampuan di bidangnya, tanpa mengetahui kaitannya dengan hadits-hadits Nabi, kaitan ayat dengan ayat. Terkadang ditafsirkan disesuaikan dengan ajaran kelompok mereka, didoktrin dari pendahulu-pendahulu mereka tanpa memandang pendapat para ahli sebelumnya. Seolah pendapat merekalah yang paling benar.

Nabi SAW bersabda :


مَنْ فَسَّرَ اْلقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ


“Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).

Tetapi sayangnya, banyak yang tertipu dengan para penafsir gadungan ini. Mereka menyatakan pengajian mereka adalah benar karena masih menggunakan Al Qur’an dan Hadits. Padahal sudah banyak terbukti banyaknya ajaran-ajaran baru di akhir zaman ini yang menggunakan Al Qur’an dan Hadits sesuai nafsunya saja, sesuai pendapatnya saja. Bukankah para teroris juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Ahmadiyah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Bukankah aliran Syi’ah juga menggunakan dalil Al Qur’an? Sebagai muslim yang ingin meniti jalan lurus sebaiknya kita mengetahui syarat-syarat menafsirkan Al-Qur’an / Firman Allah jadi tidak bisa sembarang menafsirkan sendiri atau dengan akal, walaupun benar tapi telah mendapatkan dosa karena tidak sesuai ajaran Rasulullah SAW, berikut ini tentang beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:

1. Sehat Aqidah

Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.
Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan
objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.
Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.
Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya.
Tentang kekuatan dan kedudukanhadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat

Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.
Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.
Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in

Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat.
Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya

Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.

8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.
Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

9. Pemahaman yang Mendalam

Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.

Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.

dizaman akhir ini banyak aliran-aliran sesat sebagai akibat menafsirkan Al-Qur'an tanpa ilmu yang memadai , oleh karena itu berhati-hatilah dengan pengajian yang hanya mengajarkan Al Qur’an melalui terjemahan, carilah pengajian Al Qur’an yang menggunakan kitab-kitab Tafsir yang diakui kebenarannya seperti kitab tafsir Qurtubi, Thobari, Ibnu Katsir, Jalalain dan lain-lain. Pengajian Tafsir Al Qur’an itu pengajarnya harus mengerti Bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Balagoh, Ma’ani, Badi’, Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, pendapat para sahabat dan para ulama.

Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat, Lc
=======================================
Sumber :http://dulrohman.blogspot.com/



Jumat, 04 Juli 2014

Bismillahirrohmaanirrohim
Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.

Kisah-kisah Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam:

1. Kisah yang dibenarkan oleh Islam, maka hal tersebut adaah haq. Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayaAtkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia mengatakan: “Datang salah seorang pendeta Yahudi kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami, pent.) bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga nampak gigi-gigi geraham beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِيْنِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)

2. Kisah yang diingkari oleh Islam dan dipersaksikan bahwa kisah tersebut adalah dista, maka ini adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

3. Kisah yang Islam tidak membenarkan tidak pula mengingkarinya, maka kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan mereka namun katakanlah: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ (Kami beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”

Bercerita dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya seseorang ke dalam larangan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)

Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan yang lainnya.

Adapun bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram, berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa ‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya. Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

Sikap Ulama tentang Kisah-kisah Israiliyat

Para ulama terutama ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam menyikapi berita-berita israiliyat, mereka terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini dengan menyebutkan sanad-sanadnya dan berpandangan bahwa dengan menyebutkan sanad-sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Di antara mereka adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullaahu.

2. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah israiliyat dan kebanyakan tanpa menyertakan sanadnya, maka ibarat (mereka) adalah pencari kayu bakar di malam hari.[1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaahu berkomentar tentang kitab Tafsir Al-Baghawi rahimahullaahu: “Itu adalah ringkasan dari Tafsir Ats-Tsa’labi, hanya saja Al-Baghawi menjaga tafsirnya dari hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan pemikiran-pemikiran yang bid’ah.” Sedangkan Syaikhul Islam rahimahullâhu mengomentari tentang Tsa’labi bahwa dia adalah pencari kayu bakar di malam hari karena Tsa’labi menukilkan semua yang dia dapati dari kitab-kitab tafsir baik shahih, dha’if ataupun maudhu’.

3. Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah ini lalu ada ulama yang mengkritik sebagian riwayatnya bahwa itu dhaif atau mungkar. Contohnya Ibnu Katsir.

4. Di antara mereka ada yang berlebihan dalam menolak kisah-kisah israiliyat dan sama sekali tidak menyebutkan dalam kitab tafsir Al-Qur’an-nya. Contohnya Muhammad Rasyid Ridha.

Footnote:

[1] Ini bahasa kiasan yang sering dipakai ulama kita bagi seorang yang menempuh langkah atau bicara asal-asalan yang akan membahayakan dirinya, sebab malam gelap boleh jadi dia mengambil ular sedangkan dikiranya kayu bakar, wallahu a’lam, ed.

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaahu

(Dinukil dari أصول في التفسير karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, Lc., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 89-92, untuk http://almuslimah.co.nr)
==============================
Sumber :http://almuslimah.wordpress.com/

Riwayat seorang kafir majusi yang masuk surg

Bismillahirrohmaanirrohim
Berikut ini adalah hikayah riwayat seorang kafir majusi yang masuk surga karena tingkah lakunya yang menghormati bulan ramadhan. Apa perilaku hormat tersebut sehingga seorang kafir majusi bisa masuk surga?

Diceritakan, ada seorang yang kafir majusi yaitu orang kafir yang menyembah api. Pada salah satu bulan puasa, orang kafir majusi ini memperoleh iman yang menjadikan sebab dia menjadi khusnul khotimah, yaitu menghormati bulan ramadhan. Yang menjadi tingkah lakunya, ketika di pasar anaknya memakan makanan pada siang hari pada bulan ramadhan. Orang kafir majusi tadi merasa malu karena anaknya tadi tidak mengetahui dalam menghormati kepada orang-orang islam yang masih menjalankan puasa.

Pada waktu itu juga, atas ijin Allah diberikan hidayah iman, yang artinya adalah mempunyai jiwa mau menghormati bulan ramadhan. Anaknya yang memakan makanan di siang hari di pasar kemudian dihajar dan dibuat jera, agar tidak melakukan lagi makan makanan di siang hari di bulan ramadhan. Ketika orang majusi itu meninggal, orang majusi itu mendapatkan pengampunan dari Allah, dikarenakan menghormati bulan ramadhan.

Diceritakan, ada seorang ulama yang tinggal di daerah itu, dalam sebuah mimpi dari ulama tersebut diperlihatkan kehidupan alam barzah (alam kubur) sehingga ulama tersebut bisa melihat kenikmatan-kenikmatan alam kubur. Bertepatan dengan itu, diperlihatkan dalam mimpi itu, ulama melihat orang majusi masih bersenang-senang di dalam taman surga. Ulama itu tidak melihat dengan samar, namun dengan jelas melihat bahwa yang dilihatnya adalah orang majusi yang dia kenal dulu di dunia sewaktu dia masih hidup.

Ulama tersebut kaget dan heran, kenapa orang kafir majusi masuk surga?

Dengan segera, ulama itu menemui orang kafir majusi dan bertanya, kenapa kamu berada di sini (taman surga), anda kan seorang majusi? Aku tidak percaya! Jawab orang kafir majusi itu: memang benar, aku orang kafir majusi, ketika aku meninggalkan dunia saya juga heran. Apa sebabnya aku diberikan  kenikmatan yang seperti ini? Oleh sebab itu, aku (orang majusi itu) akan menceritakan keadaanku ketika meninggal dunia adalah seperti ini :

سَمِعْتُ وَقْتَ الْمَوْتِ نِدَاءً مِنْ  فَوْقِى, يَامَلاَئِكَتِىْ لَاتَتْرَكُوْهُ مَجُوْسِيًّا فَأَكْرِمُهُ بِالْاِسْلاَمِ بِحُرْمَتِهِ لِرَمَضَانَ

Artinya : ketika aku mati,  saya mendengar sesuatu dari atasku, hai malaikat-malaikat-Ku janganlah kalian meninggalkan orang majusi ini dan dikumpulkan dengan kaum majusi, kecuali kalian memuliakannya dan dikumpulkan bersama-sama dengan orang yang menetapi islam, karena orang majusi ini mau menghormati bulan ramadhan.

Itulah sebab-sebab yang tidak disangka-sangka orang majusi dalam cerita di atas masuk surga yang dikarenakan Allah memberikan iman ketika orang majusi itu menghormati bulan ramadhan.

Sebagaimana firman Allah :

انّ الله يغفر لمن يشاء

Artinya : Sesungguhnya Allah mengampuni siapa saja yang Ia kehendaki
===============================
Sumber :http://islamiwiki.blogspot.com/

Rabu, 02 Juli 2014

Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Taraweh

Bismillahirrohmaanirrohim
Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Taraweh
Berapa jumlah rakaat shalat taraweh, Fatwa Syeikh Ali JumahSalah satu ibadah yang di tuntut dalam bulan Ramadhan adalah shalat taraweh yang setiap tahunnya selalu terjadi polemik tentang shalat taraweh berkenaan dengan jumlah rakaatnya, antara pihak yang mengatakan shalat taraweh adalah 8 rakaat dengan pihak yang mengatakan bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat.
Pada tulisan sebelumnya kami telah memaparkan dalil tentang jumlah rakaat taraweh. Kali ini kami akan mengutip fatwa Syeikh Ali Jumah (mantan mufti Mesir dan merupakan seorang ulama besar zaman ini, lahir tahun 1952) tentang jumlah rakaat shalat teraweh dari kitab beliau al-Bayan li ma Yasyghulu al-azhan jilid 1 tepatnya pada pertanyaan ke 62 pada halaman 186 – 190. Kami mengutip setiap paragraf dengan di iringi terjemahannya. File kitab tersebut bisa di download disini dalam format pdf. Untuk jilid duanya bisa di download disini

Berikut penjelasan Syeikh Ali Jumah beserta terjemahannya:
س 62 يختلف الناس فى شهر رمضان المبارك بشأن مسألة صلاة التراوح فما هو الحكم الصحيح فى عدد ركعاتها ؟

soal ke 62:
Manusia berselisih paham dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah tentang shalat taraweh, berapa sebenarnya pendapat yang shahih tentang jumlah rakaatnya?

الجواب
نعيش النزاع السنوى فى شهر رمضان المبارك بين المتشددين الذين يريدون حمل الناس على مذهبهم والعوام الذين لا يجدوا من ينقذهم من هؤلاء . وسبب هذا الخلاف مسألة عدد ركعات صلاة التراويح فاصحاب الصوت العالى يخطئون الأئمة والامة بأسرها على مدى القرون الماضية وينكرون عليهم ايما انكار ويتهمونهم بالإبتداع ويحرمون ما أحل الله إذ قالوا لا يجوز الزيادة عن ثمان ركعات فى صلاة التراويح

jawab:
Kita menghidupkan perdebatan tahunan dalam bulan Ramdhan antara golongan garis keras yang berencana menarik manusia ke dalam mazhab mereka dan masyarakat awam yang tidak menemukan penolong dari (kesesatan) mereka. Sebab perbedaan ini adalah masalah jumlah rakaat shalat taraweh. Golongan yang bersuara tinggi (radikal) menyalahkan para ulama (ulama empat mazhab) dan sekalian umat sepanjang masa yang telah lalu. Mereka mengingkari para ulama dengan pengingkaran yang kuat dan menuduh mereka sebagai ahli bid’ah, mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan ketika mereka berkata "tidak boleh shalat lebih dari delapan rakaat pada shalat teraweh".

والتراويح فى اللغة جمع الترويحة يقول ابن منظور الترويحة فى شهر رمضان سميت بذلك لاستراحة القوم بعد كل أربع ركعات وفي الحديث صلاة التراويح لأنهم كانوا يستريحون بين كل تسليمتين والتراويح جمع ترويحة وهي المرة الواحدة من الراحة تفعيلة منها مثل تسليمة من السلام

Taraweh pada loghat adalah jamak dari tarwihah . Ibnu Manzur berkata "Tarwihah dalam bulan Ramdhan, di namakan dengan demikian (taraweh) karena para jamaah beristirahat setelah setiap empat rakaat. Dalam hadits : shalat taraweh, karena mereka beristirahat di antara setiap dua salam, kata taraweh adalah jamak tarwihah. Tarwihah merupakan satu kali istirahat, wazan taf’ilah dari kalimat raahah, sama dengan taslimah dari kata salaam".

وبمجرد التعريف اللغوى يتبين أن صلاة التراويح أكثر من ثمان ركعات لأن الترويحة الواحدة بعد أربع ركعات فلو كانت ترويحتين للزم أن يكون عدد الركعات إثنى عشر ركعة والحق أن الأمة أجمعت على أن صلاة التراويح عشرون ركعة من غير وتر وثلاث عشرون ركعة بالوتر وهو معتمد المذهب الفقهية الأربعة الحنفية والمالكية فى المشهور والشافعية والحنابلة . وهناك قول نقل عن المالكية خلاف المشهور انها ست وثلاثون ركعة ولم تعرف الأمة القول بأن صلاة التراويح ثمان ركعات إلا فى هذا الزمان. وسبب وقوعهم فى تلك المخالفة افهم الخظأ للسنة النبوية وعد قدرتهم على الجمع بين الأحاديث وعد إلتفات إلى الإجماع القولى والفعلى من لدن الصحابة إلى يومنا هذا فاستشهدوا بحديث عائشة رضي الله عنها حيث قال ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهنن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر ؟ فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي

Dengan semata-mata defenisi secara harfiyah nyatalah bahwa shalat taraweh jumlah rakaatnya melebihi delapan rakaat, karena sekali istirahat adalah setelah empat rakaat, maka jikalau shalat taraweh itu dua kali istirahat maka maka lazimlah bahwa jumlah rakaat shalat taraweh adalah dua belas rakaat, sedangkan yang haq bahwa para umat (ulama) telah sepakat (ijmak) bahwa shalat teraweh adalah dua puluh rakaat tanpa witir dan dua puluh tiga dengan witir. Ini merupakan pegangan empat Mazhab Fiqih; Mazhab Hanafi, Mazhab Maliky, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Selain itu ada pendapat yang di naqal dari ulama Mazhab Maliky berebeda dengan yang masyhur bahwa jumlah rakaat taraweh adalah tiga puluh enam rakaat. Umat Islam tidak mengenal pendapat bahwa shalat teraweh delapan rakaat kecuali pada zaman ini. Penyebab mereka bisa terjatuh dalam perbedaan tersebut adalah karena kesalahan dalam memahami sunah Nabi, dan tidak mampu mengkompromikan hadits-hadits dan tidak melihat kepada ijmak qauly, ijmak fi’ly semenjak masa para shahabat hingga hari ini. sehingga mereka mengambil dalil dari hadits Siti Aisyah : “Tidaklah Rasulullah SAW melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan selainnya dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat rakaat maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Siti Aisyah berkata “Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir, beliau menjawab, Ya Aisyah, sesungguhnya mata saya tidur namun hati saya tidak tidur:

هذا الحديث يحكى عن هدى النبى صلى الله عليه وسلم فى نافلة قيام الليل عموما ولم يتعرض إلى صلاة التراويح إذ هى قيام مخصوص بشهر رمضان وهى سنة نبوية فى أصلها عمرية فى كيفيتها بمعنى أن الأمة صارت على ما سنه سيدنا عمر رضي الله عنه من تجميع الناس على القيام فى رمضان فى جميع الليالى وعلى عدد الركعات التى جمع الناس عليها على ابى بن كعب رضي الله عنه والنبي يقول عليكم بسنى وسنة الخقاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ

Hadits ini menceritakan petunjuk Nabi SAW tentang shalat malam secara umum, dan beliau tidak menunjuki kepada shalat taraweh, karena shalat taraweh adalah shalat malam yang khusus di bulan Ramadhan, shalat taraweh adalah sunnnah Nabawiyah pada landasan dasarnya yang landasan kaifiyatnya adalah hadits Saidina Umar, maksudnya; umat berpendapat sebagaimana sunnah Saidina Umar ra berupa menghimpunkan manusia dalam mendirikan Ramadhan di malam hari dan dengan jumlah rakaat yang beliau perintahkan ketika menghimpunkan manusia dengan (imam Shalat) Ubai bin Ka’ab, sedangkan Nabi bersabda "peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpetunjuk, gigitlah sunnah mereka dengan geraham". 

إن لم يكن مستند الأمة فعل سيدنا عمر رصي الله عنه فلم تؤدى التراويح فى جماعة فى المسجد على إمام واحد وكأن هؤلاء يأخذون من سنة سيدنا عمر جمع الناس على إمام طوال الشهر وهو ما لم يفعله النبي ويتركون عدد ركعات ويزعمون أنهم يطبقون سنة صلى الله عليه وسلم فان كان هذا صحيحا وأنتم لا تلتفتون لفعل سيدنا عمر رضي الله عنه فيجب عليكم أت تصلوا التراويح فى البيت وتتركوا الناس يطبقون دين الله كما ورثواه ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Jika bukan sandaran umat adalah perbuatan Saidina Umar maka kenapa shalat taraweh di kerjakan secara berjamaah dengan satu imam. Mereka (kaum pengingkar jumlah shalat taraweh 20 rakaat) mengambil sunnah Saidina Umar yang mengumpulkan manusia dalam satu Imam sepanjang bulan, padahal hal ini tidak pernah di kerjakan oleh Nabi SAW, dan mereka meninggalkan jumlah rakaat (yang di kerjakan Saidina Umar) dan mereka mendakwakan diri mereka yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW, maka jika ini benar, dan kamu tidak mau melihat kepada perbuatan Saidina Umar maka wajiblah atas kamu untuk shalat taraweh di dalam rumah dan meninggalkan manusia yang sesuai dengan agama Allah sebagaimana mereka warisi. La haula wala quwwata illa billah al-'adhiim.

والادلة على أن ذلك فعل عمر رضي الله عنه ما رواه عبد الرحمن بن عبد القارى أنه قال خرجت مع عمر بن خطاب رضي الله عنه ليلة فى رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلى الرجل لنفسه ويصلى الرجل فيصلى بصلاته الرهط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب قال ثم خرجت معه ليلة ً أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر بن الخطاب نعمت البدعة هذه والتي تنامون عنها أفضل من التي تقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

Dalil bahwa hal tersebut adalah perbuatan Saidina Umar adalah hadits yang di riwayatkan oleh Abdur Rahman bin Abdul Qary, beliau berkata "saya keluar bersama Umar bin Khatab pada satu malam dalam bulan Ramadhan ke mesjid, ketika itu manusia berada dalam beberapa kelompok yang terpisah-pisah, seseorang shalat untuk dirinya sendiri, dan seseorang (yang lain juga) shalat, kemudian shalat dengan shalatnya satu kelompok (mengikutinya sebagai imam). Maka Saidina Umar berkata "saya berpendapat jikalau mereka di satukan dalam saru qari (imam) sungguh akan lebih baik". Kemudian beliau bersungguh-sungguh dan menghimpunkan mereka atas (imam) Ubay bin Ka’ab, kemudian saya keluar pada malam yang lain, sedangkan manusia shalat dengan satu qari (imam) mereka. Saidina Umar berkata "sebaik-baik bid’ah adalah ini, shalat yang mereka tidur darinya lebih baik dari (shalat) yang mereka dirikan", maksud beliau adalah (shalat yang di kerjakan) pada akhir malam, sedangkan manusia mengerjakannya pada awal malam".

وأن تلك الصلاة التى جمع عمر رضي الله عنه الناس عليها هى التراويح وهى عشرون ركعة دل على ذلك عدة أحاديث منها ما رواه السائب بن يزيد رضي الله عنه حيث قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة - قال - وكانوا يقرءون بالمئين ، وكانوا يتوكئون على عصيهم فى عهد عثمان بن عفان رضى الله عنه من شدة القيام

Dan sesungguhnya shalat yang oleh Saidina Umar satukan manusia atas seorang Imam adalah shalat tarawih yaitu dua puluh rakaat, sebagaimana di tunjuki oleh beberapa hadits, antara lain; hadits riwayat Saib bin Yazid beliau berkata “mereka mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dalam bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. Beliau berkata “mereka membaca dua ratus (ayat) dan bertekan kepada tongkat mereka pada masa Saidina Usman karena beratnya berdiri (karena panjang bacaannya

وعن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون فى زمان عمر بن الخطاب فى رمضان بثلاث وعشرين ركعة

Diriwayatkan dari Yazid bin Ruman beliau berkata “adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.

واتفقت المذاهب الفقهية الاربعة على ذلك فذهب الحنفية إلى ذلك قال السرخسى عن التراويح انها عشرون ركعة سوى الوترعندنا وقال مالك رحمه الله تعالى السنة فيها ستة وثلاثون . وذكر الكسانى ما يؤكد ذلك حيث قال وأما قدرها فعشرون ركعة في عشر تسليمات، في خمس ترويحات كل تسليمتين ترويحة وهذا قول عامة العلماء

Mazhab yang empat sepakat atas demikian (dua puluh rakaat). Mazhab Hanafi berpendapat demikian. Imam Sarkhasy berkata tentang shalat taraweh, shalat taraweh adalah dua puluh rakaat selain witir dalam mazhab kita (Mazhab Hanafi), Imam Malik berkata yang sunnah dalam bulan Ramadhan adalah tiga puluh enam rakaat, al-Kasa`i (ulama Mazhab Hanafi) menyebutkan hal yang menguatkan hal demikian. Beliau berkata adapun kadar (rakaat)nya adalah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam dalam lima kali istirahat. setiap dua kali salam satu kali istirahat, ini adalah pendapat umum ulama”. 

ويعضد ضلك ما نقله العلامة ابن عابدين فى حاشيته حيث قال قوله ( وهي عشرون ركعة ) هو قول الجمهور وعليه عمل الناس شرقا وغربا

Hal tersebut di kuatkan dengan kutipan Imam Ibnu Abidin dalam kita Hasyiah beliau, beliau berkata “shalat taraweh adalah dua puluh rakaat, ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan yang di amalkan manusia (umat Islam) di Timur dan Barat. 

وأما المالكية فالمشهور من مذهبهم ما يوافق الجمهور قال العلامة الدردير ( والتراويح ) برمضان ( وهي عشرون ركعة ) بعد صلاة العشاء يسلم من كل ركعتين غير الشفع والوتر ( و ) ندب ( الختم فيها ) أي التراويح ، بأن يقرأ كل ليلة جزءا يفرقه على العشرين ركعة

Adapun Mazhab Maliki, yang masyhur dalam mazhab mereka adalah sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Imam ad-Dardiry berkata “Shalat taraweh di bulan Ramadhan adalah dua puluh rakaat setelah shalat Isya, memberi salam dari setiap dua rakaat selain yang ganjil dan witir. dan di sunahkan menkhatamkan al-quran dalam shalat taraweh, dengan cara membaca al-quran setiap malam satu juz yang di bagi dalam dua puluh rakaat. 

وذكر العلامة النفراوى قوة مذهب الجمهور وموافقة أتباع مالك له والقول الآخر لمالك فقال (وكان السلف الصالح) وهم الصحابة رضي الله تعالى عنهم (يقومون فيه) في زمن خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه وبأمره كما تقدم (في المساجد بعشرين ركعة) وهو اختيار أبي حنيفة والشافعي وأحمد، والعمل عليه الآن في سائر الأمصار. (ثم) بعد صلاة العشرين (يوترون بثلاث) من باب تغليب الأشرف لا أن الثلاث وتر؛ لأن الوتر ركعة واحدة كما مر، ويدل على ذلك قوله: (ويفصلون بين الشفع والوتر بسلام) استحبابا ويكره الوصل إلا لاقتداء بواصل، وقال أبو حنيفة: لا يفصل بينهما، وخير الشافعي بين الفصل والوصل، واستمر عمل الناس على الثلاثة والعشرين شرقا وغربا. (ثم) بعد وقعة الحرة بالمدينة (صلوا) أي السلف غير الذين تقدموا؛ لأن المراد بهم هنا من كان في زمن عمر بن عبد العزيز (بعد ذلك) العدد الذي كان في زمن عمر بن الخطاب (ستا وثلاثين ركعة غير الشفع والوتر) ... – إلى أن قال - وهذا اختاره مالك في المدونة واستحسنه وعليه عمل أهل المدينة، ورجح بعض أتباعه الأول الذي جمع عمر بن الخطاب الناس عليها لاستمرار العمل في جميع الأمصار عليه

Al-Allamah an-Nafrawi menyebutkan kuatnya pendapatnya mayoritas ulama dan pengikut Mazhab Malik menyetujuinya, demikian juga pendapat akhir dari Imam Malik. Beliau berkata : dan adalah ulama salaf yang shaleh yaitu para shahabat mendirikan shalat dalam bulan Ramadhan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab dan dengan perintah beliau dalam mesjid dengan dua puluh rakaat, ini adalah yang di pilih oleh Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad, inilah yang di amalkan pada masa sekarang di seluruh Negri. Kemudian setelah dua puluh rakaat, mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. (penamaan shalat tersebut dengan witir) adalah secara taghlib kepada yang lebih mulia (ganjil lebih mulia daripada genap), bukan karena tiga itu ganjil, karena yang ganjil adalah satu rakaat sebagaimana (penjelasan) yang telah lalu. Hal ini juga di tunjuki oleh perkataan beliau ; dan mereka memisahkan antara shalat genap dan ganjil dengan salam yang sunat, dan di makruhkan menyambungnya kecuali karena mengikuti imam yang juga mengambungnya (antara dua rakaat witir dan satu rakaat). Abu Hanifah berkata “tidak boleh di pisahkan di antara keduanya”. Imam Syafii memberikan pilihan antara memisahkan dan menyambungnya. Amalan kaum muslimin terus menerus dengan 23 rakaat baik di timur dan di barat. Kemudian setelah peperangan harrah di Madinah, para ulama salaf yang lain – karena yang di maksudkan dengan mereka disini adalah para ulama yang ada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz – setelah jumlah bilangan yang ada pada masa Saidina Umar (20 rakaat) shalat dengan 36 rakaat selain genap dan ganjil (shalat witir 3 rakaat) – hingga akhir perkataan beliau – ini adalah pendapat yang di pilih oleh Imam Malik dalam kitab al-Mudawwanah, dan beliau menganggapnya baik dan ini adalah yang di amalkan oleh ahli Madinah. Sebagian pengikut Imam Malik lebih menguatkan yang pertama (20 rakaat) sebagaimana Saidina Umar menyatukan manusia atasnya karena berkekalan amalan (umat Islam) atasnya pada sekalian kota.

وأما الشافعية فيصرحون بأن التراويح عشرون ركعة ذكر الامام النواوى ذلك فقال : مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذلك خمس ترويحات والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأحمد وداود وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكى أن الاسود بن مزيد كان يقوم بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهى ستة وثلاثون ركعة غير الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا

Adapun ulama Mazhab Syafii, mereka menyebutkan secara jelas bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat, Imam Nawawi menyebutkan hal demikian. beliau berkata “menurut mazhab kita shalat taraweh adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam selain witir, demikian adalah lima kali istirahat, satu kali istirahat adalah empat rakaat dengan dua kali salam. Ini adalah mazhab kita dan juga pendapat Abu Hanifah dan pengikut beliau, Imam Ahmad, Daud ad-Dhahiry, dan imam ainnya. Dan juga di kutip oleh Qadhi Iyadh dari mayoritas ulama. Di hikayahkan bahwa al-Aswad bin Mazid mendirikan shalat 40 rakaat dan melakukan witir dengan tujuh rakaat. Imam Malik berkata, shalat taraweh itu adalah tujuh kali istirahat yaitu tiga puluh enam rakaat selain witir, beliau berhujjah bahwa ahli Madinah melakukannya demikian”.

ويجمع الشافعية بين مذهب المالكية ومذهب الجمهور حيث عللوا زيادة الركعات عند الامام مالك بأن ذلك لتعويض الطواف فى المسجد الحرام . قال ابن حجر : وهي عندنا لغير أهل المدينة عشرون ركعة كما أطبقوا عليها في زمن عمر - رضي الله عنه - لما اقتضى نظره السديد جمع الناس على إمام واحد فوافقوه وكانوا يوترون عقبها بثلاث، وسر العشرين أن الرواتب المؤكدة غير رمضان عشر فضوعفت فيه؛ لأنه وقت جد وتشمير، ولهم فقط لشرفهم بجواره - صلى الله عليه وسلم - ست وثلاثون جبرا لهم بزيادة ستة عشر في مقابلة طواف أهل مكة أربعة أسباع بين كل ترويحة من العشرين سبع

Para ulama Mazhab Syafii menyatukan pendapat Mazhab Maliki dan Mazhab mayoritas ulama ketika mereka (ulama Mazhab Syafii) memberikan alasan penambahan rakaat (hingga 36 rakaat) menurut Imam Malik, hal tersebut merupakan sebagai ganti dari thawaf yang di lakukan di Masjid Haram. Ibnu Hajar al-Haitami berkata “shalat taraweh menurut kita (mazhab Syafii) selain ahli Madinah adalah 20 rakaat sebagaimana telah di sepakati pada masa Saidina Umar, karena sesuai dengan pandangan beliau yang tepat yang menyatukan manusia atas satu imam shalat kemudian mereka (shahabat yang lain) menyetujuinya. mereka melakukan shalat witir setelah taraweh dengan tiga rakaat. Rahasia shalat taraweh 20 rakaat adalah shalat rawatib muakkad dalam bulan lain adalah 10 rakaat maka dalam bulan Ramdhan di gandakan (menjadi 20 rakaat) karena Ramdhan adalah waktu bersunguh-sungguh (dalam beribadah). Dan hanya bagi mereka (penduduk Madinah) – karena kemulian mereka dengan sebab berhampiran dengan Rasulullah SAW – boleh menambahkan 16 rakaat (jumlah semuanya 36) sebagai ganti thawaf penduduk kota Makkah empat kali di antara setiap istirahat dari 20 rakaat sebanyak 7 kali. 

ويؤكد ذلك ما ذكره العلامة شمس الدين محمد الرملى حيث قال : وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات في كل ليلة من رمضان، لما روي أنهم كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب في شهر رمضان بعشرين ركعة. وفي رواية لمالك في الموطأ بثلاث وعشرين. وجمع البيهقي بينهما بأنهم كانوا يوترون بثلاث، وقد جمع الناس على قيام شهر رمضان الرجال على أبي بن كعب، والنساء على سليمان بن أبي حثمة، وقد انقطع الناس عن فعلها جماعة في المسجد إلى ذلك، وسميت كل أربع منها ترويحة؛ لأنهم كانوا يتروحون عقبها: أي يستريحون

hal tersebut juga di kuatkan oleh penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad Ramli, beliau berkata “shalat taraweh adalah 20 rakaat dengan 10 kali salam pada tiap malam dalam bulan Ramadhan, karena berdasarkan hadits yang di riwayatkan bahwa kaum muslimin mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab dengan 20 rakaat. Dalam riwayat Imam Malik dalam kitab al-Muwatha` dengan 23 rakaat, Imam Baihaqy menyatukan keduanya bahwa mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. Saidina Umar bin Khatab menyatukan manusia dalam mendirikan bulan Ramadhan, kaum laki-laki di imami oleh Ubai bin Ka’ab sedangkan wanita dengan imam Sulaiman bin Abin Hatsnah. Dan padahal sunguh terputuslah manusia dalam melakukan shalat taraweh secara berjamaah hingga masa itu. Dan di namakan setiap empat rakaat dengan satu tarwihah karena mereka beristirahat setelahnya.

اما الحنابلة فقد صرحوا بأن المختار عند الامام أحمد عشرون ركعة فقال العلامة ابن قدامة المقدسى : والمختار عند أبي عبد الله رحمه الله فيها عشرون ركعة وبهذا قال الثوري و أبو حنيفة و الشافعي وقال مالك : ستة وثلاثون وزعم أنه الأمر القديم وتعلق بفعل أهل المدينة فإن صالحا مولى التوأمة قال : أدركت الناس يقومون بإحدى وأربعين ركعة يوترون منها بخمس

Adapun ulama Mazhab Hanbali, mereka menerangkan bahwa yang di pilih di sisi Imam Ahmad adalah dua puluh rakaat, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy berkata "yang di pilih di sisi Abu Abdillah (Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat, ini juga pendapat Imam Sufyan Tsaury, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii. Imam Malik mengatakan 36 rakaat. Ada yang mendakwakan bahwa hal tersebut adalah pendapat beliau yang qadim (terdahulu) dan berdasarkan amalan ahli Madinah. Karena Salih maula at-Tau-amah berkata, saya dapati manusia mendirikan shalat 41 rakaat dan witir darinya sebanyak 5 rakaat".

وينقل كذلك العلامة البهوتى معتمد المذهب الحنبلى فيقول عن التراويح : سميت بذلك لأنهم كانوا يجلسون بين كل أربع يستريحون وقيل مشتقة من المراوحة وهي التكرار في الفعل وهي ( عشرون ركعة في رمضان ) لما روى مالك عن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون في زمن عمر في رمضان بثلاث وعشرين

Hal serupa juga di kutip oleh Imam al-Bahuty yang menjadi pegangan ulama Mazhab Hanbaly, beliau berkata tentang shalat taraweh, di namakan shalat taraweh dengan demikian karena mereka duduk melakukan istirahat di antara setiap empat rakaat. Ada yang mengatakan bahwa (kata tarawih) di musytaq dari kata murawahah yang artinya berulang-ulang dalam berbuat. shalat taraweh adalah 20 rakaat berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Imam Malik dari Yazid bin Rauman beliau berkata, adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dengan 23 rakaat. 

حتى ابن تيمية الذى يعتمد عليه كثير من المتشددين يؤكد ما ذهب إليه الأئمة ويقر بأنه السنة عند كثير من العلماء فقال : شبه ذلك من بعض الوجوه تنازع العلماء في مقدار القيام في رمضان، فإنه قد ثبت أن أبي بن كعب كان يقوم بالناس عشرين ركعة في قيام رمضان، ويوتر بثلاث. فرأى كثير من العلماء أن ذلك هو السنة ؛ لأنه أقامه بين المهاجرين والأنصار، ولم ينكره منكر. واستحب آخرون: تسعة وثلاثين ركعة ؛ بني على أنه عمل أهل المدينة القديم. وقال طائفة: قد ثبت في الصحيح عن عائشة {أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة}. واضطرب قوم في هذا الأصل، لما ظنوه من معارضة الحديث الصحيح لما ثبت من سنة الخلفاء الراشدين، وعمل المسلمين. والصواب أن ذلك جميعه حسن

Bahkan, Ibnu Taimiyah sendiri yang merupakan pegangan mayoritas kaum radikal menguatkan pendapat para aimmah dan beliau mengakui bahwa hal tersebut adalah sunnah menurut kebanyakan ulama. Beliau berkata “serupa demikian dari beberapa segi oleh perdebat sebagian ulama tentang kadar (rakaat) mendirikan malam ramadhan, karena sungguh tetaplah bahwa Ubay bin Ka’ab berdiri dengan manusia dengan 20 rakaat dalam mendirikan malam Ramadhan dan melakukan witir 3 rakaat. Maka mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang demikianlah yang sunnah. Karena shalat tersebut didirikan di antara kaum muhajin dan Anshar dan tidak ada shahabat yang mengingkarinya. pendapat yang lain mengatakan sunat 39 rakaat berdasarkan amalan ahli Madinah yang qadim. Beliau berkata “sungguh telah tetaplah dalam hadits yang shahih dari Siti Aisyah bahwa Nabi tidak melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan lainnya dari 23 rakaat”. berbeda-bedalah pendapat ulama tentang dalil ini, karena mereka menyangka adanya kontradiksi antara hadits shahih dengan hal yang tetap dengan sunnah khulaur rasyidin dan amalan kaum muslimin. Yang benar adalah semua adalah hasan.

ومما سبق نرى أن ما عليه الأئمة والعلماء والمذاهب الفقهية على مر العصور سلفا وخلفا شرقا وغربا أن صلاة التراويح عشرين ركعة وهى سنة مؤكدة وليست واجبة فمن تركها حرم أجرا عظيما ومن زاد عليها فلا حرج عليه ومن نقص عنها لا حرج عليه إلا أن ذلك يعد قيام ليل وليس سنة التراويح المذكورة . وااله تعالى أعلى وأعلم

Dari penjelasan terdahulu, bisa kita lihat bahwa pendapat yang akui oleh para aimmah dan ulama dan mazhab fiqh dari semenjak lalu sepanjang masa baik ulama salaf, khalaf, baik di timur dan barat bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat dan sunat muakkad bukan wajib. Maka barang siapa meninggalkannya maka ia terlarang baginya pahala yang besar, dan barang siapa menambahkannya tiada dosa atasnya dan barang siapa yang menguranginya juga tiada dosa baginya tetapi shalatnya tersebut di namakan qiyam lail dan bukan sunah taraweh yang telah di sebutkan. Wallahu A’lam bish shawab.

Maka dari uraian di atas dapat di pahami bahwa para ulama ijmak bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat, sedangkan 8 rakaat bukanlah shalat taraweh, pendapat bahwa shalat taraweh adalah 8 rakaat adalah pendapat yang muncul di akhir zaman dan tidak di kenal pada zaman para mujtahid yang empat.
--------------------------------------------------
Sumber :http://lbm.mudimesra.com/

Lencana Facebook

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Blog ini?

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

MOTTO

Kami tidak malu menerima saran & kritik anda...